"Adik Anda tidak apa-apa, operasinya berjalan dengan lancar. Namun, kami akan terus memantau untuk perkembangan ke depannya."
Melody tersenyum lega saat mendengar hal itu, dia bahkan hampir terjatuh jika saja Anderson tidak menopangnya. Setelahnya, dokter kembali menjelaskan kondisi Mike dengan lebih detail lagi sebelum dirinya pergi dan Mike diantar ke ruangan lain. *** Waktu berjalan dengan sangat cepat tanpa Melody sadari, hingga akhirnya hari pernikahannya dengan Anderson pun telah tiba. Melody mengatakan pada Mike bahwa dia akan menikah. Namun tidak sampai bercerita bagaimana dirinya mendapatkan uang untuk biaya pengobatan dan melunasi hutang. Apa yang Melody pastikan adalah Mike tidak perlu tahu apa pun. Mike yang juga sudah diperbolehkan pulang, sehingga dia bisa menghadiri pernikahan kakaknya. Dia saat ini menunggu di ruang rias pengantin perempuan. Memperhatikan kakaknya didandani sedemikian rupa. Cantik, sungguh sangat cantik. Riasan simple, gaun pengantin berwarna putih dengan renda dan menonjolkan bagian atas tubuh Melody. Menjadikan Melody bak seorang putri ditambah tiara kecil yang tersemat di atas kepalanya. Rambut Melody yang panjang itu pada hari sakral itu disanggul dan hanya menyisakan beberapa anak rambut. "Kakak, sangat cantik," ucap Mike yang jujur apa adanya. "Thank you, Mike." "Andai saja ada ibu di sini. Ibu pasti senang melihat Kakak akhirnya menikah." Melody tidak heran kenapa Mike yang baru saja berusia sepuluh tahun itu tidak menyebut nama ayah mereka. "Pengantin perempuan silakan menuju hall." Staff WO memanggil Melody hingga obrolan dua beradik itu berhenti. Karena tidak ada laki-laki dewasa yang mendampingi Melody, jadi orang tua Anderson sendiri yang menjadi pendamping Melody. "Kamu sungguh cantik, Nak." Jade Gretchen sudah ada di depan pintu masuk hall, menyambut kedatangan Melody. Acara pernikahan tersebut tidak terlalu mewah, tamu yang datang juga kebanyakan relasi Jade saja. Hanya ada beberapa teman Anderson yang datang. Diana? Perempuan itu bahkan tidak hadir di acara tersebut. Masalah kesehatan Mike yang jadi alasan Melody. "Aku pikir Kak Melody menikah dengan Leo, ternyata dengan orang lain. Ya, tidak masalah selama orang itu mencintai Kak Melody dan tidak akan membuatnya bersedih," gumam Mike. Hanya Mike tamu dari pihak Melody. Hingga dia seperti orang asing di antara mereka. Acara pernikahan itu begitu cepat tidak sampai lima menit, kini Melody telah menjadi istri kedua dari Anderson. Ucapan selamat satu per satu diterima Melody dan Anderson, raja dan ratu sehari itu berpura-pura tersenyum bahagia. Tidak ada yang dapat menebak bahwa pernikahan tersebut hanyalah sebuah sandiwara, iya pernikahan yang tidak ubahnya dijadikan sebagai topeng. Melody membayangkan hal terburuk dari pernikahan tersebut, apa yang akan terjadi padanya setelah dia memberikan keturunan untuk Anderson dan Diana? Atau apa yang akan terjadi seandainya dia juga mandul? "Kakak, kamu tidak apa-apa?" tanya Mike yang kembali menyadarkan Melody. "Iya, tidak apa-apa." Melody mengutuk kebodohan dirinya, padahal Mike ada di sampingnya. Namun, dia justru menampilkan sesuatu yang akan membuat Mike curiga. **** Setelah acara pernikahan selesai, Mike pulang dengan keluarga Gretchen. Sementara Melody dan Anderson masih berada di hotel. Mereka diminta untuk menjalani proses malam pertama di hotel bintang lima tersebut. Melody gugup bukan main seusai dia keluar dari kamar mandi, hanya dirinya dan Anderson saja di kamar bernuansa romantis tersebut. Gadis itu melirik ke arah Anderson yang hendak mandi. Menyadari Melody sedang memperhatikannya, Anderson mendekat dan berbisik padanya. "Jangan takut begitu, aku tidak akan menerkammu malam ini. Mungkin besok pagi." Bulu kuduk Melody meremang. Dia langsung mendorong Anderson agar menjauh darinya. Sungguh dekat-dekat dengan laki-laki itu tidak baik untuk jantungnya. "Hahaha ... lucu sekali kamu, Melody. Padahal kamu sendiri yang menyetujui ide gila ini." Anderson melanjutkan rencana awalnya, tubuhnya sangat lelah. Selain sibuk dengan urusan kantornya, malam sebelum acara pernikahan itu dia bercinta dengan Diana hingga pagi menjelang. Laki-laki itu menghela napas panjang, dia tidak menyangka akan memiliki dua istri hanya untuk mendapatkan seorang anak. Apa yang akan dia lakukan dengan istri barunya itu? Sudah sangat jelas Melody takut padanya. "Lebih baik aku mandi dan tidur," gumam Anderson.Seusai Anderson keluar dari kamar mandi, dia tidak menemukan sosok istri barunya. Meski kamar itu temaram dengan penerangan lampu yang diatur sedemikian rupa. Namun, Anderson masih dapat melihat dengan jelas seisi kamar pengantin itu. Anderson menoleh ke sana ke mari mencari Melody, hingga dia menemukan tubuh mungil Melody tertidur dengan posisi yang pasti tidak nyaman. Laki-laki itu mendekati Melody dan membopongnya, dibaringkannya Melody di kasur king size yang memang untuk mereka gunakan. "Dasar, ini aku udah macem nikahin bocah saja. Lagian ngapain juga dia tidur di sofa kecil itu. Sudah tahu tubuhnya kecil, buat susah orang saja. Toh, tidur seranjang pun tidak akan membuatku terangsang," ucapnya. Anderson mendengus kesal dan beranjak dari ranjang, laki-laki itu mengambil botol vodka dan mencicipinya sambil menikmati pemandangan malam di luar hotel. Suasana begitu sunyi senyap, Anderson menghembuskan napasnya. Dia mengingat kembali apa yang istrinya katakan, sehari sebelum hari
Melody mendelik kasar pada Anderson, sungguh dia tidak sanggup jika harus berhadapan dengan manusia satu ini lebih lama lagi. Belum lagi saat pengajuan cutinya selesai, entah apa yang akan terjadi pada kewarasannya nanti. Anderson dikenal sebagai CEO yang tidak berperikemanusiaan jika itu menyangkut pekerjaan, sudah berapa banyak karyawan yang mengeluhkan akan hal itu. Apalagi jika ada proyek baru, bukan tidak main kerasnya Anderson memacu mereka agar lembur tiap hari. Di kantor saja sudah membuat kepala Melody pusing tujuh keliling, gimana nanti jika mereka terus bertemu setiap hari di luar jam kerja. Membayangkannya saja sudah membuat Melody kesal setengah mati. Jika bisa, ingin saja dia mencubit keras pinggang laki-laki yang sedang memamerkan seringainya yang paling menyebalkan."Ngapain sih kamu, sana tidur. Jangan pernah ganggu aku. Ini bagianmu, awas saja kalau melewati batas ini. Akan kuhajar," ancam Melody setelah memberi sekat di kasur yang akan mereka gunakan tersebut.
Keesokan harinya, terbangun dengan wajah kusut dan mata pandanya. Semalaman dia tidak bisa tidur sama sekali, barulah saat mentari mulai terbit dia sempat tertidur selama tiga puluh menit. Semalaman itu Laura terus berjaga, sungguh dia takut tiba-tiba Anderson menyerangnya saat dia melelapkan matanya. Aksi ciuman yang dilakukan Anderson tanpa aba-aba sudah membuat gadis itu merinding disko, dia sangat tahu bagaimana pengaruh alkohol terhadap seseorang. Dulu, ayahnya selalu menganiaya ibunya ketika sang ayah dalam pengaruh alkohol. Meski keesokan harinya sang ayah meminta maaf pada ibunya, tapi hal tersebut tidak langsung menjadikan Melody memaklumi tindakan orang lain saat mabuk. Melody sungguh tidak habis pikir, kenapa orang lain sangat menyukai alkohol. Padahal minuman keras tersebut tidak baik bagi kesehatan si peminumnya. Melody menghela napas panjang, baru juga bangun tidur yang hanya sekelip mata. Dia mengutuk dirinya sendiri yang selalu banyak berpikir. Melody beranjak dari r
Setelah penyatuan keduanya, Melody masih berbaring di kasur yang sudah acak-acakan. Ditariknya selimut putih itu hingga menutupi sekujur tubuhnya, rasa sakit di bagian bawah sana tidak lebih sakit hati Melody saat ini. Tidak terasa air mata itu menyeruak tanpa diinginkan Melody, dia samar-samar mendengar percakapan Anderson dengan Diana. Isi percakapan yang sungguh mengiris hati wanitanya, dia tidak sanggup dan tidak ingin mendengar lebih jauh lagi. Namun, Anderson seolah-olah sengaja mengeraskan suaranya agar Melody juga mendengar apa saja yang dia katakan. "Tentu saja kamu yang terbaik, Sayang. Tidak mungkin kayu itu mampu memuaskanku, kamu tidak tahu apa yang aku rasakan selama aku having sex dengan dia kan? Kaku! Dia bukan hanya seperti kayu, tapi juga tidak beda jauh dengan kanebo yang sangat kering," tutur Anderson sambil melirik ke arah ranjang.Laki-laki itu dapat melihat bahu Melody beringsut-ingsut, Anderson dapat menebak pasti Melody pura-pura tidur dan menangis diam-diam
Anderson terbangun ketika mentari telah menyingsing, saat itu dia mencari keberadaan Melody. Namun, istri barunya itu telah meninggalkan kamar hotel tanpa satu pesan sama sekali. Anderson mendengus kesal, padahal dia masih ingin mengulangi aktivitas 'itu' sekali lagi. Walaupun dia sudah melakukannya berulang kali dan telah mengisi rahim Melody dengan cairannya. Ada sebuah kepuasan tersendiri di hati Anderson, ketika dirinya menyentuh istri keduanya itu. Hal yang belum pernah dia rasakan terhadap Diana. Anderson pun tidak yakin apakah karena Melody yang masih virgin atau bukan, yang jelas dia tidak bisa melupakan ingatan akan penyatuan mereka. Lihatlah, dengan mengingat hal itu saja sudah membuat bagian bawahnya mengeras. "Sialan, nih anak pasti pulang ke rumahnya. Istri tidak berguna," gerutu Anderson. Laki-laki itu beranjak dari kasur dengan bertelanjang bulat. Toh tidak ada siapapun pikirnya, ada hal yang lebih penting yang harus segera dia lakukan dari pada masalah menutupi tubu
Anderson mengemudi mobilnya dengan tampang datar, percakapan antara dirinya dan Diana membuat suasana hatinya tiba-tiba buruk. Anderson tidak mengira bahwa Diana menyuruh dia dan Melody bercerai, setelah Melody selesai dengan tugasnya. Jadi, Melody benar-benar dijadikan sebagai mesin pencetak anak semata. Tidak lebih dari itu. Namun, ada yang membuat Anderson tidak habis pikir, seharusnya dia setuju dengan usulan Diana. Toh memang kesepakatan awalnya hanya itu. Sedangkan apa yang dirasakan Anderson justru sebaliknya. Tidak mungkin juga dia tiba-tiba mencintai Melody hanya dengan hubungan seks sekali itu saja. Memang keduanya sudah mengenal satu sama lain di tempat kerja, tapi itu berbeda dengan hubungan sekarang. Keduanya tidak hanya terikat sebagai bos dan sekretaris. Melainkan suami istri, walau ada sebab dibaliknya. "Kenapa sih, dari tadi diam mulu?" tanya Diana yang sedari tadi mengamati perubahan raut wajah suaminya. Suaminya itu seperti orang lain, padahal mereka hanya berpis
Pintu bel dibunyikannya berkali-kali dengan kesal, tapi masih belum juga ada yabg membukakan pintu untuknya. Anderson bahkan sudah berencana untuk mendobrak pintu terkutuk itu. Emosinya yang memang setipis tisu dibqgi dua itu sudah tidak bisa ditahan lagi, saat dia hendak menggedor pintu apartemen Melody. Di saat yang bersamaan, Melody muncul dari dalam. "T-tuan ... bagaimana Anda bisa tahu saya di rumah?" tanya Melody yang panik dan kalut akan kedatangan Anderson yang tiba-tiba. "Hah! Kamu menanyakan hal bodoh begitu? Hei, Melody kamu ini pintar. Masa hak remeh begini, kamu itu 'kan sekretarisku, apa ini kemampuan daya tangkap sekretaris dan istri Anderson Gretchen?" sindir Anderson dengan nada sinisnya yang menusuk relung kalbu. Raut wajah Melody masam dari awal dia membuka pintu, bahkan sekarang dia bertambah kesal. Dia tidak ingin Anderson memandang rendah dirinya, setidaknya di depan adiknya saja. Melody tidak ingin membuat adiknya khawatir. Melody menarik Anderson agar men
Karena tidak berhasil membujuk Mike untuk menjauhi Anderson, Melody pun menyerah. Dengan terpaksa dia membiarkan Anderson bermain dengan adiknya itu. Melody juga sadar, dia yang selama ini sering meninggalkan Mike sendirian di rumah hingga membuat Melody merasa bersalah. Bukan hanya dirinya saja yang menderita, Mike pun demikian. Namun, Mike tidak pernah sekalipun menunjukkan kesedihannya. Bahkan Mike tidak pernah menuntut ini dan itu padanya. Sikap Mike yang dewasa sebelum waktunya ini yang membuat Melody makin merasa bersalah dan gagal sebagai kakak dan orang tua bagi Mike. Terkadang ada masanya Melody mendoakan keburukan bagi ayahnya, dia mengutuk sosok yang seharusnya menjadi penopang hidupnya. Akan tetapi, apa yang ayahnya beri hanya beban hidup yang tidak ada habisnya. Lamunan Melody terhenti saat Anderson mencubit pipinya. "Ih, apaan sih cubit-cubit. Dikira pipiku ini squeasy apa," gerutu Melody."Memang bukan, mana ada squeasy yang kurus begitu. Lagian kamu lagi lamunin apa
Melody menatap nanar pintu rumah barunya, kesendirian yang sunyi ini entah berapa lama dia akan sanggup melaluinya. Rumah itu hanya sepetak dengan perabot rumah tangga yang sudah usang, terlihat sekali memang sengaja Anne dan Diana menempatkannya di tempat yang tidak layak untuknya. "Enak juga ya jadi orang kaya, mau berbuat apa saja bisa. Bahkan merendahkan manusia lainnya hanya untuk kepuasan ego mereka saja," guman Melody. Tidak mau berlarut dalam kesedihan, dia pun melangkah mencari kamarnya. Begitu Melody membuka pintu kayu yang ada tidak jauh dari dia berdiri, pemandangan di dalam kamar pun tidak begitu jauh berbeda.Tidak ada ranjang kasur, hanya kasur lipat yang selalunya dia lihat di drama Korea yang dia tonton dahulu kala. Tidak pernah sekalipun Melody akan mengalami tidur di kasur yang demikian. "Haaa ... sudahlah, Mel. Toh kamu sebelumnya juga sudah miskin, jangan terlena dengan kebahagiaan sesaat bersama suamimu."Melody menggelar kasur lipat tersebut, membersikan bag
Anderson mengambil penerbangan selanjutnya, dia tidak peduli meski harus merogoh kocek berkali lipat dari harga normal. Selama tujuannya tercapai dia tidak peduli dengan nominal uang yang dia keluarkan. Di dalam burung besi itu pikiran Anderson bercabang, terutama kekhawatiran akaan nasib Melody yang tengah mengandung anaknya. Belum lagi tentang keanehan yang Diana tunjukkan beberapa saat lalu, dia curiga Diana memiliki andil atas kepergian Melody darinya. Anderson tidak sabar menunggu informasi yang dibawa Aidan. Jika kecurigaannya benar. Maka dia bisa mengambil tindakan yang sepadan untuk Diana. "Kamu ada di mana sekarang, Mel? Tega sekali kamu meninggalkanku sendirian di sini? Apakah tidak ada secercah harapan agar kita bisa bersama?" Anderson duduk sambil membuka galeri ponselnya, memandangi potret isti keduanya yang tengah tersenyum. Dia ingat foto itu dia ambil diam-diam ketika mendiang Mike memotret Melody. ***Sementara Anderson yang sedang dilanda rasa khawatir tidak te
"Kamu masih belum tahu informasi tentang Melody?" tanya Anderson yang mulai kehilangan kesabarannya. "Saya masih mengeceknya, Tuan. Sabar dulu," ucap Aidan yang masih menanyakan akan keberadaan Melody, pada staff bandara. Dia sudah menghubungi nomor Melody yang tentunya sudah tidak aktif. Dia makin yakin Melody sekarang berada di pesawat. Hatinya bergemuruh, perasaannya tidak menentu. Anderson mulai menebak siapa dalang di balik tindakan nekat Melody. Tidak mungkin Melody bertindak seorang diri tanpa ada yang menekannya. "Tuan, Nyonya Melody ada di penerbangan menuju Korea Selatan. Saya sudah memastikannya beberapa kali dan informasinya akurat," tutur Aidan. "Korea Selatan? Untuk apa dia ke sana? Dia tidak punya kenalan ataupun saudara di sana." Aidan menggedikkan bahunya, jika Anderson sudah berkata demikian maka hal itu benar adanya. "Pesankan aku tiket ke Korea Selatan juga sekarang! Aku akan menyusul Melody, pastikan kamu pilih penerbangan yang tercepat!" titah A
"Kalian ini semuanya bodoh ya! Bagaimana bisa kalian membiarkan pasien yang belum sembuh pulang!" Anderson mengamuk di depan lobi rumah sakit, di mana ada beberapa perawat dan satpam yang berusaha menenangkan Anderson. Namun, bukannya tenang, justru Anderson makin mengamuk. Dia bahkan ingin menuntut rumah sakit tersebut. "Ada apa ini? Kenapa ribut sekali?" tanya dokter yang dulu bertanggung jawab terhadap Melody. Sang dokter yang baru saja menyelesaikan operasi salah satu pasiennya, dia langsung menuju lobi ketika salah satu perawat memberitahu situasi genting saat itu. "Oh, ini dia biang keroknya! Katakan qpq alasanmu mengizinkan istriku pulang, hah!" Anderson mencengkeram erat kerah jubah dokter, dari sorot mata Anderson saja sudah terlihat kalau laki-laki itu sangat murka. "Lepaskan saya, Anda tidak berhak melakukan kekerasan terhadap saya maupun tim medis lainnya." "Anda ingin tahu kenapa istri Anda pulang lebih cepat? Itu semua karena keiinginannya dan juga kondisi istri
Keesokan harinya, seperti yang sudah direncanakan, Melody keluar dari rumah sakit sebelum Aidan datang menjenguk. Tidak banyak barang bawaan yang dia miliki, hanya koper kecil, dan hand bag berisi paspor, tiket pesawat, dan uang cash. Melody juga dibekali ponsel oleh Anne, ponsel yang hanya ada kontak Anne dan Diana saja. Dengan ponsel itu lah Anne akan memantau keberadaan Melody. "Taksi!" Melody menyetop taksi yang akan membawanya ke tempat pelariannya. Dia duduk di kursi belakang dengan hati gelisah, tapi sebisa mungkin dia redam gejolak perasaan yang seolah-olah meronta akan keputusan yang dia ambil sekarang. "Maafkan aku, Anderson. Aku harap setelah kepergian kami, kalian bisa hidup rukun lagi," gumam Melody. Rintik hujan mulai turun, seakan-akan alam pun turut mengantar kepergian Melody menjemput kehidupan barunya. Selama perjalanan Melody hanya melamun, supir taksi itu pun juga bukanlah orang yang ramah. Sehingga hanya suara siaran berita yang terdengar dari radio saj
"Ambil uang ini dan pergi dari hidup putriku," ucap Anne sambil melempar amplop cokelat berisi uang, ke arah Melody. "Maksud Anda apa? Saya tidak akan terima uang ini, sekalipun saya butuh," jawab Melody. Melody menyingkirkan amplop itu menjauh darinya, hatinya terenyuh bagaikan seseorang menyiram cuka di lukanya yang menganga lebar. Dia mengepalkan tangannya, beginikah rasanya menjadi orang miskin. Hingga orang yang berada tidak ada henti-hentinya merendahkan dia? Anne mendekati Melody dan menarik kasar dagu Melody, sorot mata kebencian terlihat dengan jelas. Sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi, bahwa wanita itu tidak menyukainya. "Dengar, Melody Gray. Saat ini kamu hanya sedang beruntung saja, karena kamu hamil anak Anderson makanya kamu dapat perhatian dari menantuku.""Namun, apa yang kamu terima sekarang itu bukanlah cinta. Kamu sadar 'kan apa yang dia perlukan saat ini?" Anne melepaskan tangannya. Diambilnya lagi amplop itu dan disematkan langsung pada Melody seraya berka
Sepulangnya Aidan, Melody kembali merenung menatap nanar langit-langit kamar rawat inapnya. Hatinya sempat goyah ketika Aidan mengatakan bahwa Anderson mencaritahu tentang dirinya. "Kamu bodoh, Mel. Buat apa lagi kamu mikirin suamimu itu? Jelas-jelas dia tidak bisa mengambil keputusan yang baik untukmu," gumam Melody. Melody meraup wajahnya dengan kasar, dia tidak percaya akan kesulitan seperti sekarang dalam mencintai seseorang. Iya, tidak bisa dipungkiri, kebersamaan yang dia lalui bersama Anderson sedikit demi sedikit telah membuka hatinya. Apa lagi perhatian yang Anderson berikan bagaikan siraman air hujan di musim kemarau. Sosok Anderson yang selalu ada di saat dia butuhkan, menggantikan ketidakhadiran sang ayah. Bahkan Mike yang pemalu saja bisa langsung dekat dengan Anderson, siapa yang tidak jatuh hati jika dipertemukan dengan orang seperti Anderson?"Sungguh, aku benci dengan apa yang kurasa." Melody memejamkan matanya, rasa pedih itu kembali menyerang kedua kelopak mata
"Maaf, Mel, aku datang telat. Tadi ban mobilku kempes." Napas Aidan tersengal-sengal sesampainya dia di ruangan Melody. Dia membungkukkan tubuhnya sambil mengatur napas, di tangan kanan Aidan terdapat kotak kue yang dipesan Melody. "Maaf, ya Aidan. Aku jadi merepotkan kamu terus," ucapnya penuh rasa bersalah. Melody menyeka keringat di dahi Aidan dengan tisu di dekat meja brangkar. Keadaannya sudah jauh lebih membaik, dari terakhir dia datang. Hanya saja, dokter masih meminta Melody untuk dirawat dulu sampai beberapa hari kedepan. "Thank's, Mel. Oh iya ini kue yang kamu minta. Aku siapkan piringnya dulu ya," ucap Aidan. Aidan berjalan ke arah sudut ruangan, di mana beberapa alat makan berada. Buah segar yang dia beli pun dia taruh di atas rak kecil yang tersedia. Diserahkannya peralatan makan bersih pada Melody beserta kue yang diinginkan ibu hamil itu. Terkadang Aidan merasa kasihan, di saat seperti sekarang ini harusnya yang lebih peduli akan keadaan Melody itu Anderson, bukan
Anderson tidak bisa memejamkan matanya sama sekali. Pikirannya semrawut dan hanya teringat akan Melody semata. Padahal dia baru saja menggauli Diana, meski itu semua karena paksaan Diana. Hati Anderson tidak bisa dibohongi lagi, dia sungguh sudah tertawan oleh Melody. Dia juga tidak tahu sejak kapan hatinya hanya tertuju pada istri keduanya ini. Rasa bersalah bersemayam di hatinya saat dia bercinta dengan Diana beberapa saat lalu, sebab bukan Diana yang dia lihat melainkan Melody. Sungguh tiap kali Anderson terpaksa menyentuh Diana, yang ada dipikirannya hanya wajah Melody saja. Dia mengacak rambutnya yang masih basah sehabis mandi tadi. Meski Diana menyuruhnya untuk mengeringkan rambutnya, tapi Anderson tidak mempedulikan kata-katanya dan justru berbaring di kasur membelakangi Diana. "Sayang, makasih ya. Karena kamu masih mau menyentuhku. Aku takut kamu tidak lagi tertarik dengan tubuhku ini," bisik Diana. Tidak ada jawaban dari Anderson, hingga akhirnya Diana berinisiatif meme