Anderson terbangun ketika mentari telah menyingsing, saat itu dia mencari keberadaan Melody. Namun, istri barunya itu telah meninggalkan kamar hotel tanpa satu pesan sama sekali. Anderson mendengus kesal, padahal dia masih ingin mengulangi aktivitas 'itu' sekali lagi. Walaupun dia sudah melakukannya berulang kali dan telah mengisi rahim Melody dengan cairannya. Ada sebuah kepuasan tersendiri di hati Anderson, ketika dirinya menyentuh istri keduanya itu. Hal yang belum pernah dia rasakan terhadap Diana. Anderson pun tidak yakin apakah karena Melody yang masih virgin atau bukan, yang jelas dia tidak bisa melupakan ingatan akan penyatuan mereka. Lihatlah, dengan mengingat hal itu saja sudah membuat bagian bawahnya mengeras. "Sialan, nih anak pasti pulang ke rumahnya. Istri tidak berguna," gerutu Anderson. Laki-laki itu beranjak dari kasur dengan bertelanjang bulat. Toh tidak ada siapapun pikirnya, ada hal yang lebih penting yang harus segera dia lakukan dari pada masalah menutupi tubu
Anderson mengemudi mobilnya dengan tampang datar, percakapan antara dirinya dan Diana membuat suasana hatinya tiba-tiba buruk. Anderson tidak mengira bahwa Diana menyuruh dia dan Melody bercerai, setelah Melody selesai dengan tugasnya. Jadi, Melody benar-benar dijadikan sebagai mesin pencetak anak semata. Tidak lebih dari itu. Namun, ada yang membuat Anderson tidak habis pikir, seharusnya dia setuju dengan usulan Diana. Toh memang kesepakatan awalnya hanya itu. Sedangkan apa yang dirasakan Anderson justru sebaliknya. Tidak mungkin juga dia tiba-tiba mencintai Melody hanya dengan hubungan seks sekali itu saja. Memang keduanya sudah mengenal satu sama lain di tempat kerja, tapi itu berbeda dengan hubungan sekarang. Keduanya tidak hanya terikat sebagai bos dan sekretaris. Melainkan suami istri, walau ada sebab dibaliknya. "Kenapa sih, dari tadi diam mulu?" tanya Diana yang sedari tadi mengamati perubahan raut wajah suaminya. Suaminya itu seperti orang lain, padahal mereka hanya berpis
Pintu bel dibunyikannya berkali-kali dengan kesal, tapi masih belum juga ada yabg membukakan pintu untuknya. Anderson bahkan sudah berencana untuk mendobrak pintu terkutuk itu. Emosinya yang memang setipis tisu dibqgi dua itu sudah tidak bisa ditahan lagi, saat dia hendak menggedor pintu apartemen Melody. Di saat yang bersamaan, Melody muncul dari dalam. "T-tuan ... bagaimana Anda bisa tahu saya di rumah?" tanya Melody yang panik dan kalut akan kedatangan Anderson yang tiba-tiba. "Hah! Kamu menanyakan hal bodoh begitu? Hei, Melody kamu ini pintar. Masa hak remeh begini, kamu itu 'kan sekretarisku, apa ini kemampuan daya tangkap sekretaris dan istri Anderson Gretchen?" sindir Anderson dengan nada sinisnya yang menusuk relung kalbu. Raut wajah Melody masam dari awal dia membuka pintu, bahkan sekarang dia bertambah kesal. Dia tidak ingin Anderson memandang rendah dirinya, setidaknya di depan adiknya saja. Melody tidak ingin membuat adiknya khawatir. Melody menarik Anderson agar men
Karena tidak berhasil membujuk Mike untuk menjauhi Anderson, Melody pun menyerah. Dengan terpaksa dia membiarkan Anderson bermain dengan adiknya itu. Melody juga sadar, dia yang selama ini sering meninggalkan Mike sendirian di rumah hingga membuat Melody merasa bersalah. Bukan hanya dirinya saja yang menderita, Mike pun demikian. Namun, Mike tidak pernah sekalipun menunjukkan kesedihannya. Bahkan Mike tidak pernah menuntut ini dan itu padanya. Sikap Mike yang dewasa sebelum waktunya ini yang membuat Melody makin merasa bersalah dan gagal sebagai kakak dan orang tua bagi Mike. Terkadang ada masanya Melody mendoakan keburukan bagi ayahnya, dia mengutuk sosok yang seharusnya menjadi penopang hidupnya. Akan tetapi, apa yang ayahnya beri hanya beban hidup yang tidak ada habisnya. Lamunan Melody terhenti saat Anderson mencubit pipinya. "Ih, apaan sih cubit-cubit. Dikira pipiku ini squeasy apa," gerutu Melody."Memang bukan, mana ada squeasy yang kurus begitu. Lagian kamu lagi lamunin apa
"S-saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan," ucap Melody. Dia memalingkan wajahnya, sebab jika dia lengah dan menatapnya maka rahasia yang selama ini dia sembunyikan itu akan terungkap. Ini yang membuat Melody menghindari mata Anderson. Melihat reaksi Melody yang di luar dugaannya, Anderson makin senang mengusik istrinya itu. Ke mana hilangnya Melody yang dikenal tegas dan tidak gentar itu? Justru yang ada di hadapannya saat ini adalah Melody yang kikuk dan malu-malu. "Kenapa kamu segitu tidak ingin menatap mataku? Apakah kamu takut rahasiamu itu ketahuan olehku atau pun Diana?" Melody bungkam, dia menyingkirkan lengan Anderson yang melingkar di pinggangnya. Sungguh dia masih tidak nyaman dengan sentuhan Anderson. Bukan karena dia tidak menyukainya, hanya saja ada rasa bersalah jauh di lubuk hatinya. "Kenapa tidak jawab pertanyaanku, Melody?" Melody menengok sekilas wajah Anderson yang memperlihatkan raut wajah masam dan mengintimidasi di saat yang bersamaan. Baru kali
Sedetik kemudian, Anderson melumat bibir Melody. Lidahnya menyeruak masuk saat Melody melenguh dan berusaha melepaskan diri. Tidak kuasa akan sensasi yang kembali dirasanya, membuat Melody pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya. Anderson mengulum senyum saat istri keduanya itu akhirnya berhenti melawan, ketegangan Melody yang berkurang membuat Anderson lebih leluasa meneruskan aksinya. Suara desahan Melody yang tertahan, justru membuatnya kian terangsang. Dicumbunya Melody dengan penuh gairah, dia tidak peduli meskipun ada orang lain di apartemen tersebut. Di balik pintu kamar Melody, keduanya kembali mengulangi penyatuan mereka. Tempo pergerakan Anderson lebih lembut dan tidak terburu-buru kali ini, dia juga tidak ingin sampai adik iparnya itu terbangun dan memergoki apa yang tengah dia lakukan pada kakaknya. Dengan gerakan perlahan itu, bukannya membuat Melody tenang dan menikmati permainan Anderson. Dia justru ingin Anderson memasukkannya lebih dalam, tapi tentu saja Melody ti
Diana menunggu kedatangan suaminya dengan perasaan resah dan gundah gulana. Setelah dia mendapat kabar dari Aidan, perasaannya mulai tidak tenang. Ada rasa penyesalan di dalam hatinya atas keputusan yang dulu dia ambil. Bagaimana tidak, hampir tiap hari Anderson tidak pernah pulang ke rumahnya. Alasan yang diberi oleh suaminya itu pasti karena masalah anak. Anderson lebih memilih menghabiskan waktunya dengan Melody, agar Melody segera hamil dan memberinya keturunan. Namun, alasana Anderson yang demikian tidak lagi bisa memenangkan hati Diana. Perlakuan Anderson terhadap Melody, di kantor berubah drastis. Dia bahkan tidak membiarkan Melody lembur, atau pun mengerjakan hal-hal yang sulit. Hal yang selama ini memang menjadi tugas Melody. Bukan hanya itu saja, menurut apa yang Aidan katakan, suaminya itu pun sering mengajak Melody makan di luar hanya berdua saja. Perubahan sikap Anderson tidak hanya menjadi bahan pembicaraan di kantor tapi sudah merujuk pada keduanya memiliki hubu
"Tuan, apa yang Anda lakukan di sini? Bukannya Anda bilang akan bersama Nyonya malam ini?" tanya Melody yang terkejut saat membuka pintu dan melihat siapa yang datang. Anderson tidak menjawab, dia langsung masuk ke dalam apartemen Melody. Direbahkan tubuh lelahnya di sofa, berada di tempat Melody sungguh menenangkan hatinya. Apa lagi aroma Melody entah kenapa selalu membuat Anderson nyaman. "Minumlah," ucap Melody seraya menyerahkan air minum untuk suaminya. Melody tidak bertanya apa pun lagi, dia menunggu sampai suaminya itu cerita sendiri. "Biarkan aku tinggal di sini untuk sementara waktu. Aku capek jika terus bersama dengan Diana. Makin ke sini dia terus mengekangku." "Saya tidak masalah, toh rumah ini pun darimu. Namun, apakah Anda yakin tidak akan ada masalah? Saya tidak mau Nyonya Diana menyalahkan saya," sahut Melody. "Kenapa? Kamu bukan orang lain, melainkan istriku juga." Melody membisu, dia juga tahu akan kenyataan itu. Hanya saja, Anderson tidak tahu bagaimana rasany