Keesokan harinya, Anderson berangkat kerja bersama dengan Melody. Malam itu mereka tidak melakukan apa-apa, Anderson menepati janjinya untuk tidak menyentuh Melody yang kelelahan. Keduanya berakhir tidur saling memeluk saja. Sesampainya di kantor, saat Anderson membuka pintu ruangannya ternyata Diana telah menunggu di dalam. Raut wajah Diana yang masam seperti jeruk nipis itu, menunjukkan bahwa wanita itu sedang badmood. Anderson mengabaikan kehadiran Melody. Dia melabuhkan punggungnya di kursi empuk miliknya. Dibukanya laptop dan sesekali dia membuka berkas yang kemarin belum selesai di periksa. "Kamu! Sekarang begini sikapmu denganku, Anderson? Kamu mengabaikanku, bahkan melihat wajahku pun kamu tidak mau?" Diana sudah hilang kesabaran. Wanita itu berjalan ke arah Anderson yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Ditariknya baju Anderson, sampai Anderson hampir kehilangan keseimbangan. Kesal dengan perlakuan Diana, Anderson pun menampis tangan Diana. "Kamu gila ya! Tidak bisaka
Di tengah kegaduhan itu, suara ponsel Melody mengalihkan sejenak pertikaian ketiganya. Melody mengambil ponsel dari saku rok kerjanya. Nama dokter yang menangani Mike tertera di layar ponsel. Melody langsung menekan tombol hijau dan berniat untuk keluar dari ruangan Anderson, entah kenapa dia merasakan ada hal besar yang akan terjadi. Akan tetapi, niat Melody dihalangi Diana. Diana mencekal lengan Melody, hingga Melody pun berhenti dari langkahnya. Wajah Melody pucat pasi. Dia melirik ke arah Anderson, memohon agar Anderson membantunya lepas dari Diana. "Lepaskan dia, Diana. Kamu tidak bisa menahan orang lain begitu saja. Kita selesaikan urusan kita saja," ucap Anderson. Dia melepaskan tangan Diana dari lengan Melody. "Pergilah, Melody. Aku akan menyusul nanti." Anderson mencegah Diana yang masih ingin meraih Melody. Melody mengambil kesempatan itu untuk keluar dari ruangan suaminya. Degup jantungnya teramat kencang detik itu juga, bagaimana tidak demikian saat dia mende
Kapar meninggalnya Mike pun telah sampai di telinga Anderson. Aiden sekretaris kedua Anderson, yang mendapat telepon dari pihak rumah sakit mengabarkan berita duka itu. Pihak rumah sakit pun juga mengatakan bahwa kondisi Melody sekarang sedang tidak sadarkan diri. Mereka meminta keluarga Melody untuk datang mengurus segala sesuatunya. Anderson yang saat itu masih berseteru dengan Diana, memilih untuk pergi ke rumah sakit. Dari pada dia ribut tanpa ada hasil yang baik. Disambarnya jas yang dia letakkan di kursi kerjanya. Ketika Anderson ingin membuka pintu ruangannya, Diana menghadang dirinya. "Mau apa kamu? Minggir! Aku tidak punya banyak waktu mengurus keegoisanmu, Diana!" bentak Anderson yang makin muak dengan tingkah laku istrinya itu. "Mau ke mana lagi kamu? Kita belum selesai bicara loh!" Diana memegang erat lengan Anderson. Emosinya meningkat drastis saat Anderson lebih memilih pergi meninggalkan dirinya demi Melody, padahal selama ini Anderson tidak pernah mengabaikan dir
Pemakaman Mike berjalan dengan lancar, tidak banyak yang datang. Hanya orang tua Anderson saja, bahkan Diana pun tidak menunjukkan dirinya sama sekali. "Kami pulang dulu, sebaiknya istrimu bawa pulang ke rumahmu, Anderson. Jangan biarkan dia sendiri di rumah itu. Dia sedang hamil anakmu ingat itu, jangan sampai terjadi apa-apa dengan cucuku," ujar sang ayah. "Aku tahu." Anderson membiarkan ayah dan ibunya pergi lebih dulu, dia masih setia menemani Melody yang masih duduk terpegun di depan pusara Mike. Melody mendengar apa yang dikatakan mertuanya. Dia memang tidak berharap ada belas kasih dari orang tua Anderson, toh pernikahannya dengan Anderson juga hanya sementara. Namun, tetap saja jauh di lubuk hatinya merasa sangat terluka jika dia hanya dianggap sebagai mesin pencetak anak semata. Langit yang sebelumnya sudah mendung, dengan semilir angin yang berhembus cukup kencang itu pun kini rintik hujan mulai membahasi area pemakaman. Beruntung Anderson membawa payung, hingga dia bisa
Anderson dan Melody sampai hampir larut malam, Anderson sengaja mengajak Melody makan dulu di restoran sebelum mereka pulang. Tujuan awalnya untuk menghindari Diana, meski hanya untuk sementara waktu saja. Melody menerima uluran tangan Anderson yang membantunya turun dari mobil, wajah Melody memucat seketika saat dia membayangkan apa yang akan terjadi seandainya Diana tahu kedatangannya malam ini dengan tujuan tinggal bersama. Membayangkan apa yang Diana lakukan selama beberapa hari terakhir, tidak mungkin madunya itu akan menyambutnya dengan tangan terbuka. Karena itu lah Melody ragu ketika Anderson mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ada apa? Ayo masuk, nanti kamu sakit kalau terlalu lama di luar malam-malam gini," ujar Anderson. Melody menggeleng lemah, firasatnya mengatakan bahwa dia pasti akan dalam masalah jika masuk ke dalam rumah tersebut. Meski secara hukum dan agama Anderson adalah suaminya, tapi di mata orang lain dia adalah perusak rumah tangga. Orang luar tidak akan me
"Tuan yakin saya bisa tinggal di sini? Nyonya Diana samgat jelas sekali dia tidak suka dengan saya," ucap Melody. Anderson meletakkan barang-barang Melody di salah satu kamar yang ada di rumahnya. Dia kemudian mendekat pada sang istri yang masih mematung di depan pintu. Dia memegang tangan Melody dan menuntunnya duduk di ranjang. "Jangan hiraukan dia, kamu pun istriku. Apa lagi kamu sekarang sedang hamil anakku, tidak mungkin kamu kubiarkan sendirian di luar sana." "Tapi, bagaimana jika Nyonya terus mengganggu saya?" "Kalau dia macam-macam sama kamu, bilang padaku. Oh iya, mulai sekarang jangan panggil aku tuan, aku ini suamimu. Kita bukan hanya terikat sebagai bos dan sekretaris lagi," ujar Anderson. Tidak ada jawaban dari Melody, dia masih ragu dengan semua ucapan Anderson. Masih teringat apa yang Anderson katakan di malam pengantin waktu itu, perlakuan Diana, serta mertuanya yang hanya ingin mengharapkan anak semata. Melody takut, seandainya anak yang dia kandung nanti telah
Sepulangnya dari bersenang-senang, Diana melihat Melody tengah duduk merenung di ruang tamu. Melody yang tidak bereaksi akan kehadiran Diana menandakan dia sedang melamun, bahkan Diana dapat melihat ada sisa air mata di pipi madunya itu. Ya bukan berarti Diana peduli juga akan kesedihan yang dirasakan Melody, dia malah sengaja menendang kaki Melody hingga Melody terhenyak dari lamunan panjangnya. "Enak banget ya kamu, sekarang jadi nyonya rumah. Ngelamun gitu, sedang mikirin cara untuk miliki rumah ini?" sindir Diana. Sontak saja Melody bangun dari duduknya ketika dia mendengar sindiran tersebut, meski kakinya masih terasa sakit akibat perbuatan Diana. Namun, Melody menahannya seolah-olah dia tidak merasakan apa-apa. "Maaf, Diana. Saya tidak punya niat seperti itu." "Hah? Apa tadi kamu bilang?" "Saya tidak bermaksud begitu." "Bukan itu! Kamu tadi manggil aku apa? Diana? Siapa yang menyuruhmu memanggilku begitu, hah!"Wajah Diana merah padam menahan emosinya, dia yang menganggap
"Kamu yakin tidak apa-apa? Mau kupanggilkan dokter keluargaku?" tanya Anderson yang tidak tenang ketika melihat wajah Melody pucat pasi. "Tidak perlu. Sungguh aku tidak apa-apa." Melody melepaskan tangan Anderson dari lengannya. Perasaannya campur aduk. Kalau tahu akan begini, setelah kembali dari kuburan adiknya lebih baik dia ke rumah lamanya saja. Biarlah dia sendirian, itu justru lebih bagus dari pada serumah dengan Diana. Langkah kaki Melody gontai menuju ranjang, dilabuhkan dirinya di kasur empuk tapi tidak ada bedanya seperti duri. "Tidak bisakah aku kembali ke rumahku saja?" tanya Melody setelah diam beberapa saat."Tidak. Di sana siapa yang akan menjagamu?" Raut wajah Anderson langsung berubah kelam ketika Melody mengungkit masalah itu lagi. Dia sungguh tidak ingin berpisah dengan Melody. Bila perlu, dia ingin memindahkan semua pekerjaan di kantornya ke rumah. "Kenapa tidak? Kamu bisa menggaji pembantu untuk menjagaku. Kamu tidak lihat bagaimana istrimu memperlakukanku?
Melody menatap nanar pintu rumah barunya, kesendirian yang sunyi ini entah berapa lama dia akan sanggup melaluinya. Rumah itu hanya sepetak dengan perabot rumah tangga yang sudah usang, terlihat sekali memang sengaja Anne dan Diana menempatkannya di tempat yang tidak layak untuknya. "Enak juga ya jadi orang kaya, mau berbuat apa saja bisa. Bahkan merendahkan manusia lainnya hanya untuk kepuasan ego mereka saja," guman Melody. Tidak mau berlarut dalam kesedihan, dia pun melangkah mencari kamarnya. Begitu Melody membuka pintu kayu yang ada tidak jauh dari dia berdiri, pemandangan di dalam kamar pun tidak begitu jauh berbeda.Tidak ada ranjang kasur, hanya kasur lipat yang selalunya dia lihat di drama Korea yang dia tonton dahulu kala. Tidak pernah sekalipun Melody akan mengalami tidur di kasur yang demikian. "Haaa ... sudahlah, Mel. Toh kamu sebelumnya juga sudah miskin, jangan terlena dengan kebahagiaan sesaat bersama suamimu."Melody menggelar kasur lipat tersebut, membersikan bag
Anderson mengambil penerbangan selanjutnya, dia tidak peduli meski harus merogoh kocek berkali lipat dari harga normal. Selama tujuannya tercapai dia tidak peduli dengan nominal uang yang dia keluarkan. Di dalam burung besi itu pikiran Anderson bercabang, terutama kekhawatiran akaan nasib Melody yang tengah mengandung anaknya. Belum lagi tentang keanehan yang Diana tunjukkan beberapa saat lalu, dia curiga Diana memiliki andil atas kepergian Melody darinya. Anderson tidak sabar menunggu informasi yang dibawa Aidan. Jika kecurigaannya benar. Maka dia bisa mengambil tindakan yang sepadan untuk Diana. "Kamu ada di mana sekarang, Mel? Tega sekali kamu meninggalkanku sendirian di sini? Apakah tidak ada secercah harapan agar kita bisa bersama?" Anderson duduk sambil membuka galeri ponselnya, memandangi potret isti keduanya yang tengah tersenyum. Dia ingat foto itu dia ambil diam-diam ketika mendiang Mike memotret Melody. ***Sementara Anderson yang sedang dilanda rasa khawatir tidak te
"Kamu masih belum tahu informasi tentang Melody?" tanya Anderson yang mulai kehilangan kesabarannya. "Saya masih mengeceknya, Tuan. Sabar dulu," ucap Aidan yang masih menanyakan akan keberadaan Melody, pada staff bandara. Dia sudah menghubungi nomor Melody yang tentunya sudah tidak aktif. Dia makin yakin Melody sekarang berada di pesawat. Hatinya bergemuruh, perasaannya tidak menentu. Anderson mulai menebak siapa dalang di balik tindakan nekat Melody. Tidak mungkin Melody bertindak seorang diri tanpa ada yang menekannya. "Tuan, Nyonya Melody ada di penerbangan menuju Korea Selatan. Saya sudah memastikannya beberapa kali dan informasinya akurat," tutur Aidan. "Korea Selatan? Untuk apa dia ke sana? Dia tidak punya kenalan ataupun saudara di sana." Aidan menggedikkan bahunya, jika Anderson sudah berkata demikian maka hal itu benar adanya. "Pesankan aku tiket ke Korea Selatan juga sekarang! Aku akan menyusul Melody, pastikan kamu pilih penerbangan yang tercepat!" titah A
"Kalian ini semuanya bodoh ya! Bagaimana bisa kalian membiarkan pasien yang belum sembuh pulang!" Anderson mengamuk di depan lobi rumah sakit, di mana ada beberapa perawat dan satpam yang berusaha menenangkan Anderson. Namun, bukannya tenang, justru Anderson makin mengamuk. Dia bahkan ingin menuntut rumah sakit tersebut. "Ada apa ini? Kenapa ribut sekali?" tanya dokter yang dulu bertanggung jawab terhadap Melody. Sang dokter yang baru saja menyelesaikan operasi salah satu pasiennya, dia langsung menuju lobi ketika salah satu perawat memberitahu situasi genting saat itu. "Oh, ini dia biang keroknya! Katakan qpq alasanmu mengizinkan istriku pulang, hah!" Anderson mencengkeram erat kerah jubah dokter, dari sorot mata Anderson saja sudah terlihat kalau laki-laki itu sangat murka. "Lepaskan saya, Anda tidak berhak melakukan kekerasan terhadap saya maupun tim medis lainnya." "Anda ingin tahu kenapa istri Anda pulang lebih cepat? Itu semua karena keiinginannya dan juga kondisi istri
Keesokan harinya, seperti yang sudah direncanakan, Melody keluar dari rumah sakit sebelum Aidan datang menjenguk. Tidak banyak barang bawaan yang dia miliki, hanya koper kecil, dan hand bag berisi paspor, tiket pesawat, dan uang cash. Melody juga dibekali ponsel oleh Anne, ponsel yang hanya ada kontak Anne dan Diana saja. Dengan ponsel itu lah Anne akan memantau keberadaan Melody. "Taksi!" Melody menyetop taksi yang akan membawanya ke tempat pelariannya. Dia duduk di kursi belakang dengan hati gelisah, tapi sebisa mungkin dia redam gejolak perasaan yang seolah-olah meronta akan keputusan yang dia ambil sekarang. "Maafkan aku, Anderson. Aku harap setelah kepergian kami, kalian bisa hidup rukun lagi," gumam Melody. Rintik hujan mulai turun, seakan-akan alam pun turut mengantar kepergian Melody menjemput kehidupan barunya. Selama perjalanan Melody hanya melamun, supir taksi itu pun juga bukanlah orang yang ramah. Sehingga hanya suara siaran berita yang terdengar dari radio saj
"Ambil uang ini dan pergi dari hidup putriku," ucap Anne sambil melempar amplop cokelat berisi uang, ke arah Melody. "Maksud Anda apa? Saya tidak akan terima uang ini, sekalipun saya butuh," jawab Melody. Melody menyingkirkan amplop itu menjauh darinya, hatinya terenyuh bagaikan seseorang menyiram cuka di lukanya yang menganga lebar. Dia mengepalkan tangannya, beginikah rasanya menjadi orang miskin. Hingga orang yang berada tidak ada henti-hentinya merendahkan dia? Anne mendekati Melody dan menarik kasar dagu Melody, sorot mata kebencian terlihat dengan jelas. Sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi, bahwa wanita itu tidak menyukainya. "Dengar, Melody Gray. Saat ini kamu hanya sedang beruntung saja, karena kamu hamil anak Anderson makanya kamu dapat perhatian dari menantuku.""Namun, apa yang kamu terima sekarang itu bukanlah cinta. Kamu sadar 'kan apa yang dia perlukan saat ini?" Anne melepaskan tangannya. Diambilnya lagi amplop itu dan disematkan langsung pada Melody seraya berka
Sepulangnya Aidan, Melody kembali merenung menatap nanar langit-langit kamar rawat inapnya. Hatinya sempat goyah ketika Aidan mengatakan bahwa Anderson mencaritahu tentang dirinya. "Kamu bodoh, Mel. Buat apa lagi kamu mikirin suamimu itu? Jelas-jelas dia tidak bisa mengambil keputusan yang baik untukmu," gumam Melody. Melody meraup wajahnya dengan kasar, dia tidak percaya akan kesulitan seperti sekarang dalam mencintai seseorang. Iya, tidak bisa dipungkiri, kebersamaan yang dia lalui bersama Anderson sedikit demi sedikit telah membuka hatinya. Apa lagi perhatian yang Anderson berikan bagaikan siraman air hujan di musim kemarau. Sosok Anderson yang selalu ada di saat dia butuhkan, menggantikan ketidakhadiran sang ayah. Bahkan Mike yang pemalu saja bisa langsung dekat dengan Anderson, siapa yang tidak jatuh hati jika dipertemukan dengan orang seperti Anderson?"Sungguh, aku benci dengan apa yang kurasa." Melody memejamkan matanya, rasa pedih itu kembali menyerang kedua kelopak mata
"Maaf, Mel, aku datang telat. Tadi ban mobilku kempes." Napas Aidan tersengal-sengal sesampainya dia di ruangan Melody. Dia membungkukkan tubuhnya sambil mengatur napas, di tangan kanan Aidan terdapat kotak kue yang dipesan Melody. "Maaf, ya Aidan. Aku jadi merepotkan kamu terus," ucapnya penuh rasa bersalah. Melody menyeka keringat di dahi Aidan dengan tisu di dekat meja brangkar. Keadaannya sudah jauh lebih membaik, dari terakhir dia datang. Hanya saja, dokter masih meminta Melody untuk dirawat dulu sampai beberapa hari kedepan. "Thank's, Mel. Oh iya ini kue yang kamu minta. Aku siapkan piringnya dulu ya," ucap Aidan. Aidan berjalan ke arah sudut ruangan, di mana beberapa alat makan berada. Buah segar yang dia beli pun dia taruh di atas rak kecil yang tersedia. Diserahkannya peralatan makan bersih pada Melody beserta kue yang diinginkan ibu hamil itu. Terkadang Aidan merasa kasihan, di saat seperti sekarang ini harusnya yang lebih peduli akan keadaan Melody itu Anderson, bukan
Anderson tidak bisa memejamkan matanya sama sekali. Pikirannya semrawut dan hanya teringat akan Melody semata. Padahal dia baru saja menggauli Diana, meski itu semua karena paksaan Diana. Hati Anderson tidak bisa dibohongi lagi, dia sungguh sudah tertawan oleh Melody. Dia juga tidak tahu sejak kapan hatinya hanya tertuju pada istri keduanya ini. Rasa bersalah bersemayam di hatinya saat dia bercinta dengan Diana beberapa saat lalu, sebab bukan Diana yang dia lihat melainkan Melody. Sungguh tiap kali Anderson terpaksa menyentuh Diana, yang ada dipikirannya hanya wajah Melody saja. Dia mengacak rambutnya yang masih basah sehabis mandi tadi. Meski Diana menyuruhnya untuk mengeringkan rambutnya, tapi Anderson tidak mempedulikan kata-katanya dan justru berbaring di kasur membelakangi Diana. "Sayang, makasih ya. Karena kamu masih mau menyentuhku. Aku takut kamu tidak lagi tertarik dengan tubuhku ini," bisik Diana. Tidak ada jawaban dari Anderson, hingga akhirnya Diana berinisiatif meme