Di tengah kegaduhan itu, suara ponsel Melody mengalihkan sejenak pertikaian ketiganya. Melody mengambil ponsel dari saku rok kerjanya. Nama dokter yang menangani Mike tertera di layar ponsel. Melody langsung menekan tombol hijau dan berniat untuk keluar dari ruangan Anderson, entah kenapa dia merasakan ada hal besar yang akan terjadi. Akan tetapi, niat Melody dihalangi Diana. Diana mencekal lengan Melody, hingga Melody pun berhenti dari langkahnya. Wajah Melody pucat pasi. Dia melirik ke arah Anderson, memohon agar Anderson membantunya lepas dari Diana. "Lepaskan dia, Diana. Kamu tidak bisa menahan orang lain begitu saja. Kita selesaikan urusan kita saja," ucap Anderson. Dia melepaskan tangan Diana dari lengan Melody. "Pergilah, Melody. Aku akan menyusul nanti." Anderson mencegah Diana yang masih ingin meraih Melody. Melody mengambil kesempatan itu untuk keluar dari ruangan suaminya. Degup jantungnya teramat kencang detik itu juga, bagaimana tidak demikian saat dia mende
Kapar meninggalnya Mike pun telah sampai di telinga Anderson. Aiden sekretaris kedua Anderson, yang mendapat telepon dari pihak rumah sakit mengabarkan berita duka itu. Pihak rumah sakit pun juga mengatakan bahwa kondisi Melody sekarang sedang tidak sadarkan diri. Mereka meminta keluarga Melody untuk datang mengurus segala sesuatunya. Anderson yang saat itu masih berseteru dengan Diana, memilih untuk pergi ke rumah sakit. Dari pada dia ribut tanpa ada hasil yang baik. Disambarnya jas yang dia letakkan di kursi kerjanya. Ketika Anderson ingin membuka pintu ruangannya, Diana menghadang dirinya. "Mau apa kamu? Minggir! Aku tidak punya banyak waktu mengurus keegoisanmu, Diana!" bentak Anderson yang makin muak dengan tingkah laku istrinya itu. "Mau ke mana lagi kamu? Kita belum selesai bicara loh!" Diana memegang erat lengan Anderson. Emosinya meningkat drastis saat Anderson lebih memilih pergi meninggalkan dirinya demi Melody, padahal selama ini Anderson tidak pernah mengabaikan dir
Pemakaman Mike berjalan dengan lancar, tidak banyak yang datang. Hanya orang tua Anderson saja, bahkan Diana pun tidak menunjukkan dirinya sama sekali. "Kami pulang dulu, sebaiknya istrimu bawa pulang ke rumahmu, Anderson. Jangan biarkan dia sendiri di rumah itu. Dia sedang hamil anakmu ingat itu, jangan sampai terjadi apa-apa dengan cucuku," ujar sang ayah. "Aku tahu." Anderson membiarkan ayah dan ibunya pergi lebih dulu, dia masih setia menemani Melody yang masih duduk terpegun di depan pusara Mike. Melody mendengar apa yang dikatakan mertuanya. Dia memang tidak berharap ada belas kasih dari orang tua Anderson, toh pernikahannya dengan Anderson juga hanya sementara. Namun, tetap saja jauh di lubuk hatinya merasa sangat terluka jika dia hanya dianggap sebagai mesin pencetak anak semata. Langit yang sebelumnya sudah mendung, dengan semilir angin yang berhembus cukup kencang itu pun kini rintik hujan mulai membahasi area pemakaman. Beruntung Anderson membawa payung, hingga dia bisa
Anderson dan Melody sampai hampir larut malam, Anderson sengaja mengajak Melody makan dulu di restoran sebelum mereka pulang. Tujuan awalnya untuk menghindari Diana, meski hanya untuk sementara waktu saja. Melody menerima uluran tangan Anderson yang membantunya turun dari mobil, wajah Melody memucat seketika saat dia membayangkan apa yang akan terjadi seandainya Diana tahu kedatangannya malam ini dengan tujuan tinggal bersama. Membayangkan apa yang Diana lakukan selama beberapa hari terakhir, tidak mungkin madunya itu akan menyambutnya dengan tangan terbuka. Karena itu lah Melody ragu ketika Anderson mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ada apa? Ayo masuk, nanti kamu sakit kalau terlalu lama di luar malam-malam gini," ujar Anderson. Melody menggeleng lemah, firasatnya mengatakan bahwa dia pasti akan dalam masalah jika masuk ke dalam rumah tersebut. Meski secara hukum dan agama Anderson adalah suaminya, tapi di mata orang lain dia adalah perusak rumah tangga. Orang luar tidak akan me
"Tuan yakin saya bisa tinggal di sini? Nyonya Diana samgat jelas sekali dia tidak suka dengan saya," ucap Melody. Anderson meletakkan barang-barang Melody di salah satu kamar yang ada di rumahnya. Dia kemudian mendekat pada sang istri yang masih mematung di depan pintu. Dia memegang tangan Melody dan menuntunnya duduk di ranjang. "Jangan hiraukan dia, kamu pun istriku. Apa lagi kamu sekarang sedang hamil anakku, tidak mungkin kamu kubiarkan sendirian di luar sana." "Tapi, bagaimana jika Nyonya terus mengganggu saya?" "Kalau dia macam-macam sama kamu, bilang padaku. Oh iya, mulai sekarang jangan panggil aku tuan, aku ini suamimu. Kita bukan hanya terikat sebagai bos dan sekretaris lagi," ujar Anderson. Tidak ada jawaban dari Melody, dia masih ragu dengan semua ucapan Anderson. Masih teringat apa yang Anderson katakan di malam pengantin waktu itu, perlakuan Diana, serta mertuanya yang hanya ingin mengharapkan anak semata. Melody takut, seandainya anak yang dia kandung nanti telah
Sepulangnya dari bersenang-senang, Diana melihat Melody tengah duduk merenung di ruang tamu. Melody yang tidak bereaksi akan kehadiran Diana menandakan dia sedang melamun, bahkan Diana dapat melihat ada sisa air mata di pipi madunya itu. Ya bukan berarti Diana peduli juga akan kesedihan yang dirasakan Melody, dia malah sengaja menendang kaki Melody hingga Melody terhenyak dari lamunan panjangnya. "Enak banget ya kamu, sekarang jadi nyonya rumah. Ngelamun gitu, sedang mikirin cara untuk miliki rumah ini?" sindir Diana. Sontak saja Melody bangun dari duduknya ketika dia mendengar sindiran tersebut, meski kakinya masih terasa sakit akibat perbuatan Diana. Namun, Melody menahannya seolah-olah dia tidak merasakan apa-apa. "Maaf, Diana. Saya tidak punya niat seperti itu." "Hah? Apa tadi kamu bilang?" "Saya tidak bermaksud begitu." "Bukan itu! Kamu tadi manggil aku apa? Diana? Siapa yang menyuruhmu memanggilku begitu, hah!"Wajah Diana merah padam menahan emosinya, dia yang menganggap
"Kamu yakin tidak apa-apa? Mau kupanggilkan dokter keluargaku?" tanya Anderson yang tidak tenang ketika melihat wajah Melody pucat pasi. "Tidak perlu. Sungguh aku tidak apa-apa." Melody melepaskan tangan Anderson dari lengannya. Perasaannya campur aduk. Kalau tahu akan begini, setelah kembali dari kuburan adiknya lebih baik dia ke rumah lamanya saja. Biarlah dia sendirian, itu justru lebih bagus dari pada serumah dengan Diana. Langkah kaki Melody gontai menuju ranjang, dilabuhkan dirinya di kasur empuk tapi tidak ada bedanya seperti duri. "Tidak bisakah aku kembali ke rumahku saja?" tanya Melody setelah diam beberapa saat."Tidak. Di sana siapa yang akan menjagamu?" Raut wajah Anderson langsung berubah kelam ketika Melody mengungkit masalah itu lagi. Dia sungguh tidak ingin berpisah dengan Melody. Bila perlu, dia ingin memindahkan semua pekerjaan di kantornya ke rumah. "Kenapa tidak? Kamu bisa menggaji pembantu untuk menjagaku. Kamu tidak lihat bagaimana istrimu memperlakukanku?
Sesampainya di rumah sakit, tim medis langsung membawa Melody untuk dilakukan pemeriksaan awal. Sementara itu Anderson mengurus administrasi. Setelah selesai dengan urusannya, Anderson segera mendatangi ruangan di mana Melody berada. Ketakutan dirasa Anderson saat ini, dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya. Ketika Anderson sampai, dokter baru saja selesai mendiagnosa Melody. "Bagiamana keadaan istri saya, Dok?" tanya Anderson. "Istri Anda tidak dalam keadaan yang baik, berat badannya turun dari terakhir dia dirawat. Saya sudah bilang, untuk menjaga istri Anda dengan baik.""Wanita yang sedang hamil itu harus diperhatikan lebih, apa lagi istri Anda baru saja kehilangan adiknya. Pasti tidak mudah untuknya saat seperti sekarang ini," imbuh sang dokter yang menangani Melody. Anderson mematung, dia tidak bisa membantah apa yang dikatakan oleh dokter tersebut. Memang benar Melody hampir tidak menyentuh makanannya. Bukan hanya karena morning sick, tapi dengan keadaan di rum