"Kamu yakin tidak apa-apa? Mau kupanggilkan dokter keluargaku?" tanya Anderson yang tidak tenang ketika melihat wajah Melody pucat pasi. "Tidak perlu. Sungguh aku tidak apa-apa." Melody melepaskan tangan Anderson dari lengannya. Perasaannya campur aduk. Kalau tahu akan begini, setelah kembali dari kuburan adiknya lebih baik dia ke rumah lamanya saja. Biarlah dia sendirian, itu justru lebih bagus dari pada serumah dengan Diana. Langkah kaki Melody gontai menuju ranjang, dilabuhkan dirinya di kasur empuk tapi tidak ada bedanya seperti duri. "Tidak bisakah aku kembali ke rumahku saja?" tanya Melody setelah diam beberapa saat."Tidak. Di sana siapa yang akan menjagamu?" Raut wajah Anderson langsung berubah kelam ketika Melody mengungkit masalah itu lagi. Dia sungguh tidak ingin berpisah dengan Melody. Bila perlu, dia ingin memindahkan semua pekerjaan di kantornya ke rumah. "Kenapa tidak? Kamu bisa menggaji pembantu untuk menjagaku. Kamu tidak lihat bagaimana istrimu memperlakukanku?
Sesampainya di rumah sakit, tim medis langsung membawa Melody untuk dilakukan pemeriksaan awal. Sementara itu Anderson mengurus administrasi. Setelah selesai dengan urusannya, Anderson segera mendatangi ruangan di mana Melody berada. Ketakutan dirasa Anderson saat ini, dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya. Ketika Anderson sampai, dokter baru saja selesai mendiagnosa Melody. "Bagiamana keadaan istri saya, Dok?" tanya Anderson. "Istri Anda tidak dalam keadaan yang baik, berat badannya turun dari terakhir dia dirawat. Saya sudah bilang, untuk menjaga istri Anda dengan baik.""Wanita yang sedang hamil itu harus diperhatikan lebih, apa lagi istri Anda baru saja kehilangan adiknya. Pasti tidak mudah untuknya saat seperti sekarang ini," imbuh sang dokter yang menangani Melody. Anderson mematung, dia tidak bisa membantah apa yang dikatakan oleh dokter tersebut. Memang benar Melody hampir tidak menyentuh makanannya. Bukan hanya karena morning sick, tapi dengan keadaan di rum
Anderson terkejut saat seseorang menepuk pundaknya. Refleks dia menengok ke belakang dan menemukan Aidan menyeringai memamerkan deretan gigi putihnya. "Astaga! Kamu ini ngagetin orang saja!" Kesal atas ulah Aidan, dia pun memukuli tubuh kekar sang sekretaris pertamanya. "Maaf, Tuan. Habis saya nggak enak ganggu Tuan tadi," ucapnya."Huh, alasan saja. Ada apa?" Anderson mengajak Aidan keluar dari ruangan. Dia tidak ingin mengganggu istrinya. "Tuan, tadi nyonya besar telepon saya. Katanya dia ingin Anda untuk pulang. Nyonya besar bilang, Anda tidak mau mengangkat telepon darinya." Kini Anderson tahu alasan Aidan ada di rumah sakit. Dia memang sengaja tidak merespon panggilan dari ibunya maupun Diana. Pikirannya kusut, tidak mungkin dia ingin bertemu dengan keduanya. Namun, Anderson juga tahu dia tidak bisa selamanya mengabaikan masalah ini jika ingin Melody diterima di keluarganya. "Sudahlah, aku tahu kenapa. Aku akan pulang ke rumah dulu, untuk sementara waktu kamu tolong perhati
Anderson tidak bisa memejamkan matanya sama sekali. Pikirannya semrawut dan hanya teringat akan Melody semata. Padahal dia baru saja menggauli Diana, meski itu semua karena paksaan Diana. Hati Anderson tidak bisa dibohongi lagi, dia sungguh sudah tertawan oleh Melody. Dia juga tidak tahu sejak kapan hatinya hanya tertuju pada istri keduanya ini. Rasa bersalah bersemayam di hatinya saat dia bercinta dengan Diana beberapa saat lalu, sebab bukan Diana yang dia lihat melainkan Melody. Sungguh tiap kali Anderson terpaksa menyentuh Diana, yang ada dipikirannya hanya wajah Melody saja. Dia mengacak rambutnya yang masih basah sehabis mandi tadi. Meski Diana menyuruhnya untuk mengeringkan rambutnya, tapi Anderson tidak mempedulikan kata-katanya dan justru berbaring di kasur membelakangi Diana. "Sayang, makasih ya. Karena kamu masih mau menyentuhku. Aku takut kamu tidak lagi tertarik dengan tubuhku ini," bisik Diana. Tidak ada jawaban dari Anderson, hingga akhirnya Diana berinisiatif meme
"Maaf, Mel, aku datang telat. Tadi ban mobilku kempes." Napas Aidan tersengal-sengal sesampainya dia di ruangan Melody. Dia membungkukkan tubuhnya sambil mengatur napas, di tangan kanan Aidan terdapat kotak kue yang dipesan Melody. "Maaf, ya Aidan. Aku jadi merepotkan kamu terus," ucapnya penuh rasa bersalah. Melody menyeka keringat di dahi Aidan dengan tisu di dekat meja brangkar. Keadaannya sudah jauh lebih membaik, dari terakhir dia datang. Hanya saja, dokter masih meminta Melody untuk dirawat dulu sampai beberapa hari kedepan. "Thank's, Mel. Oh iya ini kue yang kamu minta. Aku siapkan piringnya dulu ya," ucap Aidan. Aidan berjalan ke arah sudut ruangan, di mana beberapa alat makan berada. Buah segar yang dia beli pun dia taruh di atas rak kecil yang tersedia. Diserahkannya peralatan makan bersih pada Melody beserta kue yang diinginkan ibu hamil itu. Terkadang Aidan merasa kasihan, di saat seperti sekarang ini harusnya yang lebih peduli akan keadaan Melody itu Anderson, bukan
Sepulangnya Aidan, Melody kembali merenung menatap nanar langit-langit kamar rawat inapnya. Hatinya sempat goyah ketika Aidan mengatakan bahwa Anderson mencaritahu tentang dirinya. "Kamu bodoh, Mel. Buat apa lagi kamu mikirin suamimu itu? Jelas-jelas dia tidak bisa mengambil keputusan yang baik untukmu," gumam Melody. Melody meraup wajahnya dengan kasar, dia tidak percaya akan kesulitan seperti sekarang dalam mencintai seseorang. Iya, tidak bisa dipungkiri, kebersamaan yang dia lalui bersama Anderson sedikit demi sedikit telah membuka hatinya. Apa lagi perhatian yang Anderson berikan bagaikan siraman air hujan di musim kemarau. Sosok Anderson yang selalu ada di saat dia butuhkan, menggantikan ketidakhadiran sang ayah. Bahkan Mike yang pemalu saja bisa langsung dekat dengan Anderson, siapa yang tidak jatuh hati jika dipertemukan dengan orang seperti Anderson?"Sungguh, aku benci dengan apa yang kurasa." Melody memejamkan matanya, rasa pedih itu kembali menyerang kedua kelopak mata
"Ambil uang ini dan pergi dari hidup putriku," ucap Anne sambil melempar amplop cokelat berisi uang, ke arah Melody. "Maksud Anda apa? Saya tidak akan terima uang ini, sekalipun saya butuh," jawab Melody. Melody menyingkirkan amplop itu menjauh darinya, hatinya terenyuh bagaikan seseorang menyiram cuka di lukanya yang menganga lebar. Dia mengepalkan tangannya, beginikah rasanya menjadi orang miskin. Hingga orang yang berada tidak ada henti-hentinya merendahkan dia? Anne mendekati Melody dan menarik kasar dagu Melody, sorot mata kebencian terlihat dengan jelas. Sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi, bahwa wanita itu tidak menyukainya. "Dengar, Melody Gray. Saat ini kamu hanya sedang beruntung saja, karena kamu hamil anak Anderson makanya kamu dapat perhatian dari menantuku.""Namun, apa yang kamu terima sekarang itu bukanlah cinta. Kamu sadar 'kan apa yang dia perlukan saat ini?" Anne melepaskan tangannya. Diambilnya lagi amplop itu dan disematkan langsung pada Melody seraya berka
Keesokan harinya, seperti yang sudah direncanakan, Melody keluar dari rumah sakit sebelum Aidan datang menjenguk. Tidak banyak barang bawaan yang dia miliki, hanya koper kecil, dan hand bag berisi paspor, tiket pesawat, dan uang cash. Melody juga dibekali ponsel oleh Anne, ponsel yang hanya ada kontak Anne dan Diana saja. Dengan ponsel itu lah Anne akan memantau keberadaan Melody. "Taksi!" Melody menyetop taksi yang akan membawanya ke tempat pelariannya. Dia duduk di kursi belakang dengan hati gelisah, tapi sebisa mungkin dia redam gejolak perasaan yang seolah-olah meronta akan keputusan yang dia ambil sekarang. "Maafkan aku, Anderson. Aku harap setelah kepergian kami, kalian bisa hidup rukun lagi," gumam Melody. Rintik hujan mulai turun, seakan-akan alam pun turut mengantar kepergian Melody menjemput kehidupan barunya. Selama perjalanan Melody hanya melamun, supir taksi itu pun juga bukanlah orang yang ramah. Sehingga hanya suara siaran berita yang terdengar dari radio saj