Sepulangnya Aidan, Melody kembali merenung menatap nanar langit-langit kamar rawat inapnya. Hatinya sempat goyah ketika Aidan mengatakan bahwa Anderson mencaritahu tentang dirinya. "Kamu bodoh, Mel. Buat apa lagi kamu mikirin suamimu itu? Jelas-jelas dia tidak bisa mengambil keputusan yang baik untukmu," gumam Melody. Melody meraup wajahnya dengan kasar, dia tidak percaya akan kesulitan seperti sekarang dalam mencintai seseorang. Iya, tidak bisa dipungkiri, kebersamaan yang dia lalui bersama Anderson sedikit demi sedikit telah membuka hatinya. Apa lagi perhatian yang Anderson berikan bagaikan siraman air hujan di musim kemarau. Sosok Anderson yang selalu ada di saat dia butuhkan, menggantikan ketidakhadiran sang ayah. Bahkan Mike yang pemalu saja bisa langsung dekat dengan Anderson, siapa yang tidak jatuh hati jika dipertemukan dengan orang seperti Anderson?"Sungguh, aku benci dengan apa yang kurasa." Melody memejamkan matanya, rasa pedih itu kembali menyerang kedua kelopak mata
"Ambil uang ini dan pergi dari hidup putriku," ucap Anne sambil melempar amplop cokelat berisi uang, ke arah Melody. "Maksud Anda apa? Saya tidak akan terima uang ini, sekalipun saya butuh," jawab Melody. Melody menyingkirkan amplop itu menjauh darinya, hatinya terenyuh bagaikan seseorang menyiram cuka di lukanya yang menganga lebar. Dia mengepalkan tangannya, beginikah rasanya menjadi orang miskin. Hingga orang yang berada tidak ada henti-hentinya merendahkan dia? Anne mendekati Melody dan menarik kasar dagu Melody, sorot mata kebencian terlihat dengan jelas. Sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi, bahwa wanita itu tidak menyukainya. "Dengar, Melody Gray. Saat ini kamu hanya sedang beruntung saja, karena kamu hamil anak Anderson makanya kamu dapat perhatian dari menantuku.""Namun, apa yang kamu terima sekarang itu bukanlah cinta. Kamu sadar 'kan apa yang dia perlukan saat ini?" Anne melepaskan tangannya. Diambilnya lagi amplop itu dan disematkan langsung pada Melody seraya berka
Keesokan harinya, seperti yang sudah direncanakan, Melody keluar dari rumah sakit sebelum Aidan datang menjenguk. Tidak banyak barang bawaan yang dia miliki, hanya koper kecil, dan hand bag berisi paspor, tiket pesawat, dan uang cash. Melody juga dibekali ponsel oleh Anne, ponsel yang hanya ada kontak Anne dan Diana saja. Dengan ponsel itu lah Anne akan memantau keberadaan Melody. "Taksi!" Melody menyetop taksi yang akan membawanya ke tempat pelariannya. Dia duduk di kursi belakang dengan hati gelisah, tapi sebisa mungkin dia redam gejolak perasaan yang seolah-olah meronta akan keputusan yang dia ambil sekarang. "Maafkan aku, Anderson. Aku harap setelah kepergian kami, kalian bisa hidup rukun lagi," gumam Melody. Rintik hujan mulai turun, seakan-akan alam pun turut mengantar kepergian Melody menjemput kehidupan barunya. Selama perjalanan Melody hanya melamun, supir taksi itu pun juga bukanlah orang yang ramah. Sehingga hanya suara siaran berita yang terdengar dari radio saj
"Kalian ini semuanya bodoh ya! Bagaimana bisa kalian membiarkan pasien yang belum sembuh pulang!" Anderson mengamuk di depan lobi rumah sakit, di mana ada beberapa perawat dan satpam yang berusaha menenangkan Anderson. Namun, bukannya tenang, justru Anderson makin mengamuk. Dia bahkan ingin menuntut rumah sakit tersebut. "Ada apa ini? Kenapa ribut sekali?" tanya dokter yang dulu bertanggung jawab terhadap Melody. Sang dokter yang baru saja menyelesaikan operasi salah satu pasiennya, dia langsung menuju lobi ketika salah satu perawat memberitahu situasi genting saat itu. "Oh, ini dia biang keroknya! Katakan qpq alasanmu mengizinkan istriku pulang, hah!" Anderson mencengkeram erat kerah jubah dokter, dari sorot mata Anderson saja sudah terlihat kalau laki-laki itu sangat murka. "Lepaskan saya, Anda tidak berhak melakukan kekerasan terhadap saya maupun tim medis lainnya." "Anda ingin tahu kenapa istri Anda pulang lebih cepat? Itu semua karena keiinginannya dan juga kondisi istri
"Kamu masih belum tahu informasi tentang Melody?" tanya Anderson yang mulai kehilangan kesabarannya. "Saya masih mengeceknya, Tuan. Sabar dulu," ucap Aidan yang masih menanyakan akan keberadaan Melody, pada staff bandara. Dia sudah menghubungi nomor Melody yang tentunya sudah tidak aktif. Dia makin yakin Melody sekarang berada di pesawat. Hatinya bergemuruh, perasaannya tidak menentu. Anderson mulai menebak siapa dalang di balik tindakan nekat Melody. Tidak mungkin Melody bertindak seorang diri tanpa ada yang menekannya. "Tuan, Nyonya Melody ada di penerbangan menuju Korea Selatan. Saya sudah memastikannya beberapa kali dan informasinya akurat," tutur Aidan. "Korea Selatan? Untuk apa dia ke sana? Dia tidak punya kenalan ataupun saudara di sana." Aidan menggedikkan bahunya, jika Anderson sudah berkata demikian maka hal itu benar adanya. "Pesankan aku tiket ke Korea Selatan juga sekarang! Aku akan menyusul Melody, pastikan kamu pilih penerbangan yang tercepat!" titah A
Anderson mengambil penerbangan selanjutnya, dia tidak peduli meski harus merogoh kocek berkali lipat dari harga normal. Selama tujuannya tercapai dia tidak peduli dengan nominal uang yang dia keluarkan. Di dalam burung besi itu pikiran Anderson bercabang, terutama kekhawatiran akaan nasib Melody yang tengah mengandung anaknya. Belum lagi tentang keanehan yang Diana tunjukkan beberapa saat lalu, dia curiga Diana memiliki andil atas kepergian Melody darinya. Anderson tidak sabar menunggu informasi yang dibawa Aidan. Jika kecurigaannya benar. Maka dia bisa mengambil tindakan yang sepadan untuk Diana. "Kamu ada di mana sekarang, Mel? Tega sekali kamu meninggalkanku sendirian di sini? Apakah tidak ada secercah harapan agar kita bisa bersama?" Anderson duduk sambil membuka galeri ponselnya, memandangi potret isti keduanya yang tengah tersenyum. Dia ingat foto itu dia ambil diam-diam ketika mendiang Mike memotret Melody. ***Sementara Anderson yang sedang dilanda rasa khawatir tidak te
Melody menatap nanar pintu rumah barunya, kesendirian yang sunyi ini entah berapa lama dia akan sanggup melaluinya. Rumah itu hanya sepetak dengan perabot rumah tangga yang sudah usang, terlihat sekali memang sengaja Anne dan Diana menempatkannya di tempat yang tidak layak untuknya. "Enak juga ya jadi orang kaya, mau berbuat apa saja bisa. Bahkan merendahkan manusia lainnya hanya untuk kepuasan ego mereka saja," guman Melody. Tidak mau berlarut dalam kesedihan, dia pun melangkah mencari kamarnya. Begitu Melody membuka pintu kayu yang ada tidak jauh dari dia berdiri, pemandangan di dalam kamar pun tidak begitu jauh berbeda.Tidak ada ranjang kasur, hanya kasur lipat yang selalunya dia lihat di drama Korea yang dia tonton dahulu kala. Tidak pernah sekalipun Melody akan mengalami tidur di kasur yang demikian. "Haaa ... sudahlah, Mel. Toh kamu sebelumnya juga sudah miskin, jangan terlena dengan kebahagiaan sesaat bersama suamimu."Melody menggelar kasur lipat tersebut, membersikan bag
Suara derap langkah kaki terdengar begitu nyaring di lorong kantor, seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang yang berayun mengikuti langkahnya terlihat tengah terburu-buru sekali. Raut wajahnya kian memutih dan guratan kekhawatiran terlihat dengan jelas. Perempuan itu seolah berpacu dengan waktu, hingga langkahnya terhenti di depan ruangan dengan pintu hitam tertutup rapat. Perempuan itu mengetuk pintu berapa kali dan menyebutkan siapa dirinya dan saat seseorang dari dalam ruangan menyuruhnya masuk, perempuan itu pun langsung menghadap si pemilik ruangan. "Tuan, tolong izinkan saya pulang sekarang." Perempuan itu tanpa basa-basi langsung mengutarakan niatnya. "Pulang? Kenapa? Jam kerja masih lama, Melody. Kamu sekretarisku, gimana bisa kamu yang lebih dulu pulang dari bosmu?" tanya Anderson Gretchen. CEO GRETCHEN HOLDING COMPANY. Anderson bahkan tidak melihat lama ke arah perempuan bernama Melody Gray yang telah menjabat sebagai sekretarisnya selama tiga tahu