Apa Ebrahim berniat mengadu? Zana membelalak horor, takut jika benar Ebrahim berniat mengadu pada daddynya– di mana tadi, Zana ikut demo. Namun, ketika sudah di ruang tengah, Zana cukup kaget karena ada tamu. Buru-buru Zana melepas alamamaternya agar daddynya tak curiga–menyerahkan almet tersebut pada maid. "Nana, kemari, Sayang." Zana menurut ketika dipanggil oleh sang mommy, dia langsung menatap Ebrahim yang sudah lebih dulu bergabung. 'Pantas saja Kak Ebrahim tak langsung pulang, orang tuanya ada di sini.' Zana menyalam orang-orang di sana kemudian kembali duduk ke tempat semula. Yang membuat mereka tertawa geli adalah ketika dengan polosnya, Zana juga menyalam Ebrahim. Ah, bukan hanya orang tua Ebrahim yang datang. Tetapi juga aunty dan Uncle hum-nya–Ziea dan Reigha. "Wah, Zana cantik sekali yah," puji Lea–Mommy dari Ebrahim. Di mana dia tersenyum lebar, menatap berseri-seri pada Zana. Lama tak bertemu dengan Zana, ternyata anak ini sudah tumbuh menjadi anak yang san
"Kau bilang apa?!" ucap Zayyan geram, sudah melayangkan tatapan membunuh ke arah putrinya. Wajah Zana seketika memucat, menatap takut pada sang daddy. "Mas Zay, Zana tadi hanya asal bicara," ucap Kina, buru-buru menghampiri Zayyan. "Mommymu mati-matian melahirkanmu, mengorbankan nyawa bahkan kewarasan demi kehidupanmu. Lalu kau dengan gampang mengatakan ingin mengakhiri hidup, Hah?!" marah Zayyan yang sudah menampilkan air muka mengerikan. "Mas," pekik Kina. "Zana hanya bercanda dan … tolonglah jangan memarahinya lagi. Kamu kan sudah janji tidak meninggikan suara lagi pada Zana dan Zee," ucap Kina dengan nada rapuh dan sedih. Dia selalu ingin menangis saat suaminya memarahi anak-anaknya. Sebagai anak yang tak pernah mendapat kasih sayang dari orangtuanya, Kina tak bisa melihat anak-anaknya dimarahi oleh Zayyan. Jika hanya marah biasa, Kina masih bisa. Namun, jika Zayyan sudah menggunakan nada tinggi Kina merasa dirinya lah yang dimarahi oleh Zayyan. Zayyan memang diam teta
'Mereka sudah di sini, hanya tinggal kamu yang tak datang.' Zana mengerjap beberapa kali, menatap ke arah lapanang dengan tampang muka suram. Bukankah kemarin Revano mengatakan jika Zana harus menjaga jarak? Pria ini bilang jangan menghubunginya bukan? "Maaf, tapi kenapa Kak Revano menghubungiku? Bukannya Kak Revano sendiri yang melarang jika aku tidak boleh menghubungimu." Zana berkata datar, berdiri di pinggir teras lalu menghadap halaman yang luas. 'Ck, kenapa kamu membahas itu, Zana? Elina sedang sakit dan apa kamu tidak khawatir? Tolong datang ke sini dan bawa makanan. Elina dan yang lainnya sudah lapar. Cepat.' "Rumahku sedang kedatangan tamu dan lagipula sedang turun gerimis." 'Hanya gerimis kan? Kamu tidak akan sakit hanya karena gerimis, Zana. Kamu bukan perempuan pada umumnya. Jangan banyak alasan, cepat.' "Aku tidak akan datang." Zana mematikan sambungan HP secara sepihak. Dia berdecak kesal, rasanya hampir sakit karena Revano begitu peduli pada Elina akan tetapi
Lumayan! Sepadan dengan apa yang Zeeshan lakukan padanya–perihal bandara. "Wu!" Zana turun dari ranjang adiknya yang masih berlutut di lantai. Dengan tengil dan belagu, Zana mengambil ancang-ancang memukul Zeeshan. "Makanya jangan berani padaku. Sok sokan ingin menjebakku. Ini Zana, penguasa bumi. Cih, Daddy saja kulawan apalagi anak ingusan sepertimu. Kacang!" ucap Zana angkuh, menoyor pelan kepala Zeeshan lalu segera beranjak dari sana–berjalan sambil mencek isi dompet adiknya. "Lumayan juga nih anak. Duitnya banyak. Wah … enak juga jadi bandit rumah," gumam Zana pelan. Sedangkan Zeeshan, mendengkus kesal. Kembali ke meja belajar untuk melanjutkan tugas sekolah. Punya kakak perempuan, dia disayang dan dimanja? Tidak. Dia dirampok! Kakaknya sedikit berbeda. *** Hari ini Kina, Ziea dan Lea pergi kesebuah dukun–usulan dari seorang teman lama. Tadinya mereka ke butik untuk mempersiapkan gaun pernikahan Zana. Tiga jam menunggu Zana datang, anak itu tak kunjung datang. Saat dit
"Darimana saja kau?" Zana yang berniat ke kamar langsung menghentikan langkah ketika mendengar suara daddynya. Zana sebenarnya takut karena dia ketahuan keluar. Akan tetapi mengingat dukun tadi, Zana menekan rasa takut itu. Meskipun ada Ebrahim dan pamannya–Rain, di sana, Zana tak peduli. Zana harus memperingati daddy. "Daddy habis dari dukun yah?" tuding Zana, setelah sebelumnya menyalam tangan sang daddy. "Daddy memang pendosa. Tetapi mempercayai hal seperti itu-- " Zayyan menggelengkan kepala, menatap aneh pada putrinya. Istrinya tiba-tiba muncul, dan … baik! Sekarang Zayyan paham. "Bilang saja sejujurnya. Daddy ke sana supaya aku mau nikah kan dengan …-" Zana menatap sinis ke arah Ebrahim. "Dia?!" lanjutnya sembari menunjuk Ebrahim. "Sopan begitu, Hum?!" dingin Zayyan, melayangkan tatapan tajam pada putrinya. Kina buru-buru menarik Zana untuk menjauh dari suaminya. "Jangan begitu, Zana sayang. Jangan menunjuk-nunjuk seseorang, tak sopan. Apalagi Kak Ebrahim itu calon
Acara pesta pernikahan selesai dan paginya Ebrahim membawa Zana pulang ke kediaman Mahendra. Zana terdiam sesaat ketika turun dari mobil suaminya, menatap rumah mewah milik Mahendra. Zana cukup khawatir, takut tidak nyaman dengan suasana rumah ini. Zana selama ini jarang bertemu dengan sepupu atau kerabat. Dia bukan introvert seperti uncle humnya atau antisosial seperti daddynya. Zana suka ditempat ramai, aktivitasnya padat dan selalu berhubungan dengan perkumpulan orang-orang. Namun, Zana anti kerabat. Sekarang Zana takut, cemas jika keluarga Mahendra sama seperti keluarga Azam. "Menantuku sudah datang. Aaa … ayo, Sayang, kita masuk," heboh Azalea–aunty yang kini berubah menjadi mama mertuanya. Lea menggenggam tangan mungil Zana lalu mengajaknya masuk. Saat di pintu masuk, Zana sempat berhenti untuk menyalam tangan ayah mertuanya. Kedua orangtua suaminya menunggu kedatanganya. Hal yang sederhana akan tetapi Zana tersentuh. Di belakang tubuh ayah mertuanya, ada seorang a
Dia merokok sembari menatap ke arah Zana yang terlihat kaget. "Huaaa …." Zana memekik kaget, tergelonjak lalu mundur ke sudut bath up. Dia terkejut melihat Ebrahim, dan saat mengingat tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman, Zana berubah panik. "Kak Ebrahim," gumamnya pelan, canggung bercampur malu karena kondisinya yang hampir mendekati telanjang. Pria itu tetap diam dan masih sibuk merokok. Tatapannya begitu intens pada sosok gadis kecil yang telah sah menjadi istrinya, mendengus tiba-tiba untuk menetralkan gejolak aneh yang menyelimuti. Gadis mungil ini terlihat menggiurkan. Pundak seksi yang terlihat jelas itu-- rasanya ingin Ebrahim gigit. Shit! Perempuan ini mengundang. Zana tiba-tiba melepas tangan yang menyilang di depan dada. Untuk apa dia takut dan khawatir? Dia ingat sesuatu. 'Tidak ada laki-laki yang tertarik padamu, Zana. Lihat penampilanmu?! Laki-laki ilfeel padamu.' Ucapan Revano tiba-tiba mengiyang. Benar! Zana terlalu pede jika Ebrahim tergiur olehnya. Ta
"Aku bisa, Mom. Itu makanan kesukaanku." "Wah ... sama yah dengan Ebrahim. Ah, kalian memang cocok," ucap Lea tertawa lucu. "Kamu masak yah buah Ebrahim. Supaya ...- debutmu menjadi istrinya Ebrahim punya kesan manis aroma strawberry." "Mommy ini." Alana memutar bola mata jengah. "Oh iya. Mommy juga akan memberitahu Zana apa saja makanan kesukaan Ebrahim, hobi dan kebiasaan. Semua Mommy kasih tahu, no tipu-tipu no abu-abu. Biar kamu cepat suka Ebrahim dan ... aaaa, romantis kalian," ucap Lea dengan nada bersemangat, begitu happy berbicara pada sang menantu. 'Berarti Mommy juga tahu kalau Zana tak suka pada Kak Ebrahim dan sekarang Mommy berusaha bikin Zana suka pada Kak Ebrahim.' batin Alana, bertopang dagu memperhatikan Zana dan mommynya, di mana saat ini Zana tengah mencatat apa saja makanan kesukaan serta kebiasaan kakaknya pada sebuah noted di HP, dan mommynya sibuk menjabarkan semuanya. 'Aku jadi penasaran kenapa Zana bisa menikah dengan Kak Ebrahim. Karena ... siapa yang