Dia merokok sembari menatap ke arah Zana yang terlihat kaget. "Huaaa …." Zana memekik kaget, tergelonjak lalu mundur ke sudut bath up. Dia terkejut melihat Ebrahim, dan saat mengingat tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman, Zana berubah panik. "Kak Ebrahim," gumamnya pelan, canggung bercampur malu karena kondisinya yang hampir mendekati telanjang. Pria itu tetap diam dan masih sibuk merokok. Tatapannya begitu intens pada sosok gadis kecil yang telah sah menjadi istrinya, mendengus tiba-tiba untuk menetralkan gejolak aneh yang menyelimuti. Gadis mungil ini terlihat menggiurkan. Pundak seksi yang terlihat jelas itu-- rasanya ingin Ebrahim gigit. Shit! Perempuan ini mengundang. Zana tiba-tiba melepas tangan yang menyilang di depan dada. Untuk apa dia takut dan khawatir? Dia ingat sesuatu. 'Tidak ada laki-laki yang tertarik padamu, Zana. Lihat penampilanmu?! Laki-laki ilfeel padamu.' Ucapan Revano tiba-tiba mengiyang. Benar! Zana terlalu pede jika Ebrahim tergiur olehnya. Ta
"Aku bisa, Mom. Itu makanan kesukaanku." "Wah ... sama yah dengan Ebrahim. Ah, kalian memang cocok," ucap Lea tertawa lucu. "Kamu masak yah buah Ebrahim. Supaya ...- debutmu menjadi istrinya Ebrahim punya kesan manis aroma strawberry." "Mommy ini." Alana memutar bola mata jengah. "Oh iya. Mommy juga akan memberitahu Zana apa saja makanan kesukaan Ebrahim, hobi dan kebiasaan. Semua Mommy kasih tahu, no tipu-tipu no abu-abu. Biar kamu cepat suka Ebrahim dan ... aaaa, romantis kalian," ucap Lea dengan nada bersemangat, begitu happy berbicara pada sang menantu. 'Berarti Mommy juga tahu kalau Zana tak suka pada Kak Ebrahim dan sekarang Mommy berusaha bikin Zana suka pada Kak Ebrahim.' batin Alana, bertopang dagu memperhatikan Zana dan mommynya, di mana saat ini Zana tengah mencatat apa saja makanan kesukaan serta kebiasaan kakaknya pada sebuah noted di HP, dan mommynya sibuk menjabarkan semuanya. 'Aku jadi penasaran kenapa Zana bisa menikah dengan Kak Ebrahim. Karena ... siapa yang
Malam ini Zana menemui Ebrahim ke kamar pria itu. Setelah dipikir pikir, dia perlu membicarakan pernikahan ini pada Ebrahim. Zana menikah karena dianggap bandel dan ini hukuman untuknya. Sedangkan Ebrahim menikah karena permintaan Razie. Bukankah dia dan Ebrahim sama-sama terpaksa dalam pernikahan ini? Setelah di persilahkan masuk, Zana berjalan ke arah ranjang Ebrahim. Sejenak dia memperhatikan kamar Ebrahim yang jauh lebih kecil dari kamarnya. "Ada yang ingin ku bicarakan pada Kak Ebrahim." "Yah, silahkan," jawab Ebrahim, menoleh sejenak lalu kembali menatap laptop-nya. Dia segera mematikannya kemudian meletakkannya di atas nakas. Zana duduk di depan Ebrahim. "Ini mengenai pernikahan kita. Kak Ebrahim menikahiku karena permintaan Kak Razie kan? Dan aku menikah karena perintah Daddy. Artinya kita sama-sama terpaksa dalam pernikahan ini. Tapi Kak Ebrahim tidak perlu terbebani. Kita bisa melakukan pembata
Zana terbangun dan sejenak bingung karena tak mengenali tempatnya. Ketika Zana mengingat semalam dia ketiduran di kamar Ebrahim, Zana langsung menghela napas. Saat menoleh ke sebelah, ternyata Ebrahim sudah tidak ada. Zana buru-buru keluar dari kamar tersebut kemudian berjalan ke kamarnya. "Kak Ebra tidak membangunkanku dan … jika aku tidur di kamarnya, tadi malam dia tidur di mana?" gumam Zana, yang saat ini sudah dalam kamarnya sendiri. Lebih tepatnya di kamar mandi, tengah menggosok gigi. Setelah menggosok gigi, Zana mencuci muka–ia lakukan untuk mengumpulkan nyawa yang masih berpecah. Setelah merasa punya semangat untuk mandi, Zana melepas pakaian. Seketika membulatkan mata karena mendapati banyaknya bercak kemerahan di tubuhnya. "Hah? Ini apa?" gumam Zana, kaget dan panik sendiri. Bagian paling banyak ada pada area keindahanya. Namun, diperutnya yang ramping dan rata juga cukup banyak. Zana memang memiliki alergi terhadap beberapa seafood, akan tetapi bercaknya tak seper
Zana saat ini berada di perpustakaan fakultas untuk mengenakan skripsi yang sempat terbengkalai selama hampir dua bulan. Zana tidak punya banyak waktu karena dia harus mengejar pendaftaran sidang yang akan dilakukan tiga atau empat bulan yang akan datang. Pendaftaran sudah buka dan Zana harus cepat sebelum kuota tutup. Sebenarnya Zana sudah sempro meskipun dia sempat menunda karena untuk menemui Revano yang berulang tahun. Itulah yang membuat daddynya marah, Zana menyepelekan pendidikan karena seorang pria, meremehkan dosen pembimbing dan tidak memperdulikan masa depan. Bukankah itu melanggar etika seorang mahasiswa? Sekarang Zana sadar kesalahannya dan dia ingin memperbaikinya. Betul sekali. Orangtuanya memberikan cinta penuh padanya, lalu kenapa Zana harus mengemis dari pria yang bahkan tak peduli padanya? 'Tunggu aku, Mommy Daddy. Dalam enam bulan ini, aku pastikan akan kembali pada kalian. Aku akan berkumpul lagi dengan Mommy dan Daddy.' batin Zana, memotivasi diri supaya lebih
"Cepat minta maaf!" Zana menatap tak percaya pada sosok pria yang tengah mencekal tangannya tersebut. Wajahnya kusut, campuran heran dan kesal secara bersamaan. Namun, dia juga merasa sakit hati. Pria ini menyuruhnya meminta maaf atas sebuah kesalahan yang tak pernah Zana lakukan. Zana menghempas tangannya kasar, setelah melayangkan tatapan benci pada Revano. Dari Zana yang sangat mengagumi pria ini, sekarang malah membencinya. "Meminta maaf? Kalian memangnya siapa sehingga aku harus peduli pada kalian. Tolong yah, kalian itu tak penting. Jangan membuang-buang waktuku!" dingin Zana. Revano cukup kaget mendengar nada bicara Zana. Perempuan ini biasanya selalu berbicara sopan dan manis padanya, tatapannya juga selalu berbinar. Akan tetapi, sekarang Zana sangat dingin. "Zana, ki-kita bersahabat baik. Aku--aku akan memutuskan hubunganku dengan Kak Revano asal …-" "Zana." Seseorang memanggil Zana sehingga Elina menghentikan ucapannya. Orang tersebut langsung merangkul Zana, kemu
"Apa aku memang tidak layak disukai yah, Dir?" tanya Zana, saat ini di sebuah cafe bersama Dirga. Sebenarnya Zana ingin pulang, akan tetapi dia memilih menenangkan diri lebih dulu. "Layak." Dirga berkata lembut, mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala Zana, "sebenarnya kamu itu cantik, bahkan saat seperti ini kecantikanmu tak berkurang sedikitpun. Hanya saja kamu salah menyukai seseorang. Ganti targetmu."Zana menatap Dirga serius. "Dia bilang tak akan ada yang suka padaku, Dir." "Itu mah omongan brengsek dia saja supaya kamu kehilangan kepercayaan diri." ucap Dirga, "buktinya kamu sering dikejar dan digoda." "Siapa?" Zana berkata antusias. Benarkah ada yang mengejar dan menggodanya? "Setan." Dirga cengengesan. "Bang Sat!" Zana mengumpat, melempar sendok ke arah Dirga. Sialan, dia sudah kege'eran ada yang suka dan tengah mengejarnya, ternyata yang Dirga maksud malah setan. Salah tapi … tidak salah juga. Setan memang begitu, suka menggoda manusia dan mengikutinya setiap sa
Karena kejadian semalam, pagi sekali Zana sudah berangkat ke kampus. Dia menghindar dari Ebrahim. Sebenarnya bukan hanya takut tetapi Zana juga tak tahu bagaimana caranya dia berbicara pada sosok itu, sekedar berbasa-basipun Zana tak berani. Setelah di kampus, Zana langsung ke perpustakaan. Apakah Zana belajar? Tidak! Dia tidur–menyambung tidur dari rumah. Jika dia tetap di rumah, kepala maid mungkin akan membangunkannya lalu Zana akan sarapan bersama dengan Ebrahim. Ah, Zana takut! "Setan satu ini!" Dirga menggelengkan kepala, tak habis pikir melihat Zana yang sudah di perpustakaan dalam keadaan sudah tidur. Dirga pagi-pagi sudah di kampus karena tujuan baik, dia ingin bimbingan. Akan tetapi sebelum itu Dirga ingin merevisi dan memeriksa ulang skripsi. Dirga duduk di sebelah Zana kemudian mengerjakan skripsinya. Sedangkan Zana, dia terbangun setelah tengah sembilan pagi. Dia langsung menatap jam tangan lalu menghela napas. "Ck, sudah jam setengah sembilan. Pinjam HP, Dir," ucap Z