"Zana!" Bentak seseorang, tak lain adalah pria yang menjadi leader dari proyek. Alana menatap terkejut karena leader dari proyek tersebut mengetahui nama Zana. Namun, dia menutupi perasaan terkejut karena lebih khawatir pada Zana. "Oh." Zana menatap Revano, ber oh ria dengan santai. Dia menyunggingkan senyuman miring yang tipis sembari melirik Elina–di mana pipi Elina terlihat masih lebam. "Selamat, Pak, proyek tim kita menang," ucap Zana santai, kembali mengisi gelas dengan minuman soda–mengangkatnya tinggi ke arah Revano yang duduk di ujung meja, seolah mengajak pria itu bersulang. Setelah itu, Zana meminum sendiri. "Siapa yang membawamu kemari?" Revano berdiri, menatap nyalang ke arah Zana. "Kamu kira ini tempat bermain. Pulang! Jangan mengacau di sini!" "Ouh. Aku datang ke sini karena melihat dia--" Zana berkata santai, menjeda lalu menatap Elina, "masuk ke perusahaan ini. Sama-sama dari universitas B dan kalau dia bisa masuk ke sini, kenapa aku enggak?" Para staf yang berkum
Alana bangkit dari kursi dan mendekat pada sosok itu. Sedangkan para staf berdiri dengan kepala tertunduk. "Pak CEO, ma-maaf membuat kekacauan." Revano buru-buru meminta maaf, menundukkan kepala dalam. Bug'Namun, tiba-tiba saja sang CEO menendangnya–kena bagian perut. Revano terpental lalu berakhir tersungkur di lantai. Dia memegangi perut yang terasa sakit dan keram, mendongak dengan muka bingung. Revano bisa melihat jelas kemarahan di wajah sang big boss, akan tetapi apa kesalahan yang dia lakukan? Mungkinkah karena Zana? 'Zana memang pembawa sial!' batin Revano. "Ma-maafkan saya, Pak. Saya tidak tahu ke-kenapa dia bisa masuk ke perusahaan ini. Te-ternyata temannya–mahasiswa magang itu yang membawanya ke sini. Saya sudah mengusir tetapi dia tidak bersedia." Revano menjelaskan. "Jadi kau bersembunyi di perusahaanku?" Ebrahim berucap dingin, mengabaikan ucapan Revano sebelumnya dan menatap begitu marah pada pria yang berlutut di hadapannya. Pantas dia seperti tidak asing dengan
Zana menatap ragu pada Ebrahim. Pria itu tengah duduk di depannya, menyender ke sofa dengan santai lalu bersedekap di dada. Keselurusan aura pria ini dingin, menyeramkan dan mendominasi. Ditambah tatapan mata Ebrahim yang terus menghunus pada Zana, itu semakin membuat Zana merasa terancam. Zana menggaruk pelipis, gugup sekaligus canggung. Andai pria ini bukan suaminya dan andai kejadian tadi malam tak ada, mungkin Zana masih bisa menghadapi situasi ini. Yang membuat Zana semakin merasa terbunuh di ruangan ini adalah mereka hanya berdua di sini. Ebrahim menyuruh Alana menjemput makan siang, ditemani oleh Martin. "Tadi pagi-" Ebrahim membuka suara. Otomatis membuat Zana menegakkan punggung. "Kau pergi tanpa pamit dan tidak sarapan." "Itu karena aku terburu-buru, aku harus menemui dosen pembimbingku, Kak," jawab Zana cepat dengan penuh kebohongan. "Bukan tidur di perpustakaan?" Mata Zana melotot, terkejut mendengar perkataan Ebrahim. Zana meneguk saliva kasar lalu mengigit bi
Setelah selesai memeriksa skripsinya, Zana memutuskan untuk tidur. Dia berbaring di ranjang sembari mengingat kejadian di kantor. "Kak Ebrahim memperkenalkanku pada karyawannya sebagai istrinya, padahal kami sudah sepakat jika kami akan melakukan pembatalan pernikahan setelah aku wisuda. Harusnya Kak Ebra merahasiakan pernikahan kami. Dan tadi … dia menyebut dirinya suami. Ini hanya kebetulan atau apa?" gumam Zana, sedikit resah pada Ebrahim. "Tadi juga Kak Ebrahim … ah, tidak. Wajahnya lempeng kok pas melihat tubuhku. Itu berarti Kak Ebrahim memang tak tertarik." Zana menghela napas kemudian mengambil HP-nya, niat hati ingin menyingkirkan masalah pada kantor tadi dari kepalanya. Akan tetapi-- tiba-tiba saja Zana tersenyum malu, tersipu ketika mengingat Ebrahim memeluk pinggangnya kemudian menggendongnya di depan para staff. Bukan hanya itu, cara Ebrahim menghajar Revano memanglah mengerikan, akan tetapi Zana merasa dilindungi. Bukan seperti seorang adik mendapat perlindungan d
Zana terbangun dan tak mendapati Ebrahim di sebelahnya. Mungkin pria itu sudah pindah ke kamarnya. Zana bangkit dari ranjang, segera ke kamar mandi untuk melakukan ritual bersih diri. Zana mengerutkan kening saat sadar dirinya tak mengenakan bra. Zana menatap ke arah dalam tank top untuk lebih mematikan, tetapi benar dia tak menggunakan bra. Zana memang terbiasa melepas bra saat tidur karena untuk kesehatan. Akan tetapi seingatnya tadi malam dia tak melepasnya karena keburu ngantuk. Dan lagi-lagi bagian atas keindahannya terasa nyeri walau tak sesakit waktu itu. "Ah, mungkin aku yang nggak ingat kalau aku emang sudah melepasnya." Zana mengedikkan pundak, meraih sikat gigi lalu menaruh odol di atasnya. "dan mungkin emang benar juga kalau si kembar lagi proses perkembangan makanya akhir akhir ini sering nyeri," lanjut Zana, tak ambil pusing dengan apa yang terjadi padanya. Setelah selesai mandi dan berpakaian, Zana mengemasi skripsi lalu segera keluar dari kamar. Semoga hari ini
"Selain gratis, si Elina juga bisa bayarin hotel kalau lagi pengen." "Wah … sisi gelap kaum kalian ngeri juga yah, Cui." Zana berkomentar. "Jadi takut." "Makanya jangan suka pada Revano. Dia itu laki-laki pelit plus bejad! Kerja di kantor elit tetapi setiap ada kegiatan club futsal, sering tak mau keluarin duit. Oleh sebab itu dulu aku keluar dari club." Dirga berkata setengah kesal, mengingat dulu Revano yang sangat pelit padahal banyak uang. "Lagian kamu kenapa bisa suka ke dia?" "Hehehe … ganteng," cengenges Zana, langsung mendapat tatapan cengang dari Dirga dan Marchel. Sedangkan Sasya hanya menatap malas. Namun, memang benar. Revano itu tampan dan banyak yang suka padanya. Sasya sendiri mengaku juga pernah suka, akan tetapi hanya sekedar suka. Tak seperti Zana yang sampai ke tahap cinta. "Tapi emang iya yah, kalau laki-laki suka ke perempuan yang jauh lebih muda, itu si laki-laki nafsuan?" tanya Zana, kembali untuk memastikan. Usianya dan Ebrahim cukup jauh, bukan?! "K
Zana kembali fokus pada skripsinya. Namun, saat mendengar suara pintu terbuka, Zana langsung menatap ke sana–ke arah Ebrahim yang keluar dari kamar mandi. Pria itu mengenakan handuk di pinggan dan berjalan tenang menuju walk in closet. Pemandangan yang sangat segar! Zana merasa seperti sedang berpuasa lalu berbuka dengan minuman dingin. Lega dan … ah. 'Otakku sedikit bulgos.' batin Zana, menggaruk kening karena heran dengan pemikirannya. Menyadari sesuatu, Zana mengerutkan kening, memusatkan seluruh atensi pada pintu walk in closet–Ebrahim sudah masuk ke dalam. "Aku baru ngeh kalau … sepertinya ini memang kamar Kak Ebrahim deh. Beberapa kali dia salah masuk ke kamar ini, pakaiannya ada di lemari dan … nuansa kamar sama persis dengan kamarnya yang ada di rumah orangtuanya. Kamar mandi pun sama, punya bath up yang besar." Zana buru-buru menatap laptop ketika Ebrahim keluar dari kamar mandi. "Tapi kenapa dia memberikan kamar ini padaku? Apa karena lebih luas?" gumam Zana, bert
Setelah Zana pergi, Ebrahim kembali melayangkan pukulan pada Revano. Padahal pria itu baru bangkit tetapi kembali tersungkur setelah mendapat pukulan yang jauh lebih kuat dari Ebrahim. Revano berbaring tak berdaya di lantai. Memalukannya, beberapa orang yang berlalu lalang memperhatikan. "Sepertinya kau tidak mengindahkan peringatan ku." Ebrahim menatap tajam dan dingin pada Revano, aura mengerikan menguar dari dirinya, menusuk dan membuat siapapun merinding karenanya. "Pa-Pak Ebrahim, a-anda salah paham. Aku dan Zana ingin menyelesaikan permasalah …-" Ebrahim mendekat pada Revano, menginjak santai dada pria itu. Meskipun begitu, tentunya pijakannya sangat kuat–terlihat dari raut muka Revano yang menunjukan eksoresi kesakitan. "Kau adalah masalah utama bagi Zana-ku. Jika kau memang ingin menyelesaikannya maka akhiri hidupmu," dingin Ebrahim, "aku memang tidak membunuh orang, tetapi aku bisa membuat seseorang memohon kematian padaku. Tunggu saja!" ancam Ebrahim, setelah itu be