"Selain gratis, si Elina juga bisa bayarin hotel kalau lagi pengen." "Wah … sisi gelap kaum kalian ngeri juga yah, Cui." Zana berkomentar. "Jadi takut." "Makanya jangan suka pada Revano. Dia itu laki-laki pelit plus bejad! Kerja di kantor elit tetapi setiap ada kegiatan club futsal, sering tak mau keluarin duit. Oleh sebab itu dulu aku keluar dari club." Dirga berkata setengah kesal, mengingat dulu Revano yang sangat pelit padahal banyak uang. "Lagian kamu kenapa bisa suka ke dia?" "Hehehe … ganteng," cengenges Zana, langsung mendapat tatapan cengang dari Dirga dan Marchel. Sedangkan Sasya hanya menatap malas. Namun, memang benar. Revano itu tampan dan banyak yang suka padanya. Sasya sendiri mengaku juga pernah suka, akan tetapi hanya sekedar suka. Tak seperti Zana yang sampai ke tahap cinta. "Tapi emang iya yah, kalau laki-laki suka ke perempuan yang jauh lebih muda, itu si laki-laki nafsuan?" tanya Zana, kembali untuk memastikan. Usianya dan Ebrahim cukup jauh, bukan?! "K
Zana kembali fokus pada skripsinya. Namun, saat mendengar suara pintu terbuka, Zana langsung menatap ke sana–ke arah Ebrahim yang keluar dari kamar mandi. Pria itu mengenakan handuk di pinggan dan berjalan tenang menuju walk in closet. Pemandangan yang sangat segar! Zana merasa seperti sedang berpuasa lalu berbuka dengan minuman dingin. Lega dan … ah. 'Otakku sedikit bulgos.' batin Zana, menggaruk kening karena heran dengan pemikirannya. Menyadari sesuatu, Zana mengerutkan kening, memusatkan seluruh atensi pada pintu walk in closet–Ebrahim sudah masuk ke dalam. "Aku baru ngeh kalau … sepertinya ini memang kamar Kak Ebrahim deh. Beberapa kali dia salah masuk ke kamar ini, pakaiannya ada di lemari dan … nuansa kamar sama persis dengan kamarnya yang ada di rumah orangtuanya. Kamar mandi pun sama, punya bath up yang besar." Zana buru-buru menatap laptop ketika Ebrahim keluar dari kamar mandi. "Tapi kenapa dia memberikan kamar ini padaku? Apa karena lebih luas?" gumam Zana, bert
Setelah Zana pergi, Ebrahim kembali melayangkan pukulan pada Revano. Padahal pria itu baru bangkit tetapi kembali tersungkur setelah mendapat pukulan yang jauh lebih kuat dari Ebrahim. Revano berbaring tak berdaya di lantai. Memalukannya, beberapa orang yang berlalu lalang memperhatikan. "Sepertinya kau tidak mengindahkan peringatan ku." Ebrahim menatap tajam dan dingin pada Revano, aura mengerikan menguar dari dirinya, menusuk dan membuat siapapun merinding karenanya. "Pa-Pak Ebrahim, a-anda salah paham. Aku dan Zana ingin menyelesaikan permasalah …-" Ebrahim mendekat pada Revano, menginjak santai dada pria itu. Meskipun begitu, tentunya pijakannya sangat kuat–terlihat dari raut muka Revano yang menunjukan eksoresi kesakitan. "Kau adalah masalah utama bagi Zana-ku. Jika kau memang ingin menyelesaikannya maka akhiri hidupmu," dingin Ebrahim, "aku memang tidak membunuh orang, tetapi aku bisa membuat seseorang memohon kematian padaku. Tunggu saja!" ancam Ebrahim, setelah itu be
Sudah lewat sepupu menit dari jam biasa Ebrahim pulang. Apa Ebrahim sibuk? Atau pulang ke rumah orang tuanya karena hari ini hari ulang tahunnya? Ting' Sebuah pesan dari Alana masuk. [Hari ini Kak Ebrahim ulang tahun, Zan. Kamu jangan sampai lupa yah. Soalnya Kak Ebra mudah tersinggung jika hari-hari pentingnya dilupakan.] Zana membalas lalu kembali mematikan HP. Dia sudah mempersiapkannya dan dia tidak lupa sama sekali. Hanya saja, Ebrahim yang tak pulang-pulang. Zana menunggu hingga jam setengah sembilan malam, akan tetapi Ebrahim tak pulang. Karena khawatir, Zana mencoba menelpon pria itu. Beberapa kali menghubungi dan akhirnya diangkat. "Kak Ebrahim di mana …-" Zana langsung mencerocos saking khawatirnya. Akan tetapi suaranya berhenti begitu saja karena dipotong oleh seseorang dari seberang sana. 'Ini adiknya Ebrahim yah? Alana? Tenang saja, Kakak Ebrahimmu aman dengan Kakak. Sekarang kami sedang merayakan ulangtahun di sebuah restoran hotel mewah.' jawab seorang wa
Zana pulang ke rumah untuk mandi. Dia yakin Ebrahim sudah pergi ke kantor dan benar saja, pria itu sudah tak ada di rumah. Setelah mandi, Zana kembali keluar. Dia akan mengurus stand bazar. Zana mencek persiapan bazar yang akan dilaksanakan tiga hari lagi. Sekitar jam tiga sore, pekerjaannya selesai dan Zana berniat pulang. Akan tetapi juniornya menghubunginya lalu memohon supaya Zana datang ke ulangtahunnya. Zana ingin menolak tetapi Dirga dan Marchel juga mengajaknya ke sana. Pada akhirnya Zana ke sana, tetapi sebelumnya dia membeli hadiah untuk si junior. "Selamat ulang tahun, Austin," ucap Zana pada pemuda yang masih berusia sembilan belas tahun tersebut. Tak lupa dia memberikan hadiah pada pemuda tampan dan putih tersebut. Austin terlihat senang, idolanya datang ke acara ulangtahunnya dan bahkan memberikan hadiah padanya. "Terimakasih, Kak Zan. Ucapan ulang tahunmu adalah yang paling kunanti," ucap Austin, diakhiri cengiran lebar pada Zana. Dia terlihat malu-malu secara b
Pada akhirnya Kanza kalah dan memilih menebalkan wajah, tak mengganti uang Zana yang keluar untuknya. Karena Zana bersikeras untuk tak menerima uang ganti. Setelah mereka tiba di rumah sakit, lagi-lagi Kanza dibuat meringis. Zana membayar biaya berobat Kanza dan seniornya tersebut juga mengantarnya pulang. Kanza benar-benar tak enak hati dan sangat berterimakasih pada pertolongan Zana. Sedangkan Zana, entah kenapa dia merasa ada hubungan dengan Kanza. Dia merasa harus menolong juniornya tersebut. *** Akhirnya Zana tiba di rumah, sekitar tengah delapan malam. Terlihat mobil Ebrahim sudah di rumah, artinya pria itu sudah pulang. Zana mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan Ebrahim. Dia berusaha bersikap tenang dan bersikap seolah malam kemarin–saat dia effort menyiapkan ulang tahun Ebrahim, itu tak pernah terjadi. "Nyonya, syukurlah anda sudah pulang." Kepala maid terlihat khawatir. "Tu-Tuan marah karena Nyonya menghilang dari tadi pagi dan pulang terlambat." "Kak Ebrah
Zana terbangun dengan tubuh yang terasa sakit dan remuk. Dia memejamkan mata ketika mengingat kejadian tadi malam. Ebrahim merampas kesuciannya, bahkan melakukannya berulang kali. Bodohnya Zana tak melakukan perlawan sedikit pun. Zana bangkit dari ranjang secara hati-hati. Ebrahim masih tidur dan terlihat sangat nyenyak. Meskipun rasanya sangat sakit dibawah sana, akan tetapi Zana menahan. Dia berusaha mengabaikannya. Dia harus cepat-cepat membersihkan diri dan pergi dari sini. Zana ingin menghindari Ebrahim. Setelah menyegarkan diri dan berpakaian serba tertutup, Zana mengendap keluar dari kamar. "Nyonya Zana, anda ingin kemana?" tanya Kepala maid yang memang bangun lebih awal untuk menyiapkan segala keperluan rumah. "Aku ke kampus untuk menyiapkan stand bazar," jawab Zana pelan kemudian berjalan terburu-buru keluar dari rumah.
"Jadi selama ini … aku tidak pernah alergi. Tapi …-" Zana terdiam sembari mengingat kembali kapan terakhir dia terkena alergi aneh tersebut. Tiba-tiba Zana tersenyum malu-malu, akan tetapi karena merasa bodoh dengan diri sendiri Zana langsung menampar wajahnya. "Astaga, kok aku senyum?" Zana menggerutu sendiri berlari ke arah ranjang lalu membanting tubuh ke atas kasur. Zana meraih guling kemudian memeluknya erat. Zana tak bisa pingkiri ia senang karena tubuhnya ternyata menggoda lawan jenis, dalam artian dia tak separah yang Revano katakan–tak ada satu laki-laaki pun yang tertarik pada Zana. See? Sekelas Ebrahim saja ternyata tidak mampu menahan godaan oleh tubuh Zana. "Agk!" Zana menjerit tertahan, tak menyangka selama ini Ebrahim diam-diam suka mencumbunya. Pasti karena tubuhnya se menggoda itu. "Apa aku masuk dunia model saja yah? Kan tubuh ku bagus," gumam Zana yang mulai kepedean. Dia bangkit lalu kembali berdiri di depan cermin meja rias. "Ah, masuk master chef saja deh