Malam ini Zana menemui Ebrahim ke kamar pria itu. Setelah dipikir pikir, dia perlu membicarakan pernikahan ini pada Ebrahim.
Zana menikah karena dianggap bandel dan ini hukuman untuknya. Sedangkan Ebrahim menikah karena permintaan Razie. Bukankah dia dan Ebrahim sama-sama terpaksa dalam pernikahan ini? Setelah di persilahkan masuk, Zana berjalan ke arah ranjang Ebrahim. Sejenak dia memperhatikan kamar Ebrahim yang jauh lebih kecil dari kamarnya. "Ada yang ingin ku bicarakan pada Kak Ebrahim." "Yah, silahkan," jawab Ebrahim, menoleh sejenak lalu kembali menatap laptop-nya. Dia segera mematikannya kemudian meletakkannya di atas nakas. Zana duduk di depan Ebrahim. "Ini mengenai pernikahan kita. Kak Ebrahim menikahiku karena permintaan Kak Razie kan? Dan aku menikah karena perintah Daddy. Artinya kita sama-sama terpaksa dalam pernikahan ini. Tapi Kak Ebrahim tidak perlu terbebani. Kita bisa melakukan pembataZana terbangun dan sejenak bingung karena tak mengenali tempatnya. Ketika Zana mengingat semalam dia ketiduran di kamar Ebrahim, Zana langsung menghela napas. Saat menoleh ke sebelah, ternyata Ebrahim sudah tidak ada. Zana buru-buru keluar dari kamar tersebut kemudian berjalan ke kamarnya. "Kak Ebra tidak membangunkanku dan … jika aku tidur di kamarnya, tadi malam dia tidur di mana?" gumam Zana, yang saat ini sudah dalam kamarnya sendiri. Lebih tepatnya di kamar mandi, tengah menggosok gigi. Setelah menggosok gigi, Zana mencuci muka–ia lakukan untuk mengumpulkan nyawa yang masih berpecah. Setelah merasa punya semangat untuk mandi, Zana melepas pakaian. Seketika membulatkan mata karena mendapati banyaknya bercak kemerahan di tubuhnya. "Hah? Ini apa?" gumam Zana, kaget dan panik sendiri. Bagian paling banyak ada pada area keindahanya. Namun, diperutnya yang ramping dan rata juga cukup banyak. Zana memang memiliki alergi terhadap beberapa seafood, akan tetapi bercaknya tak seper
Zana saat ini berada di perpustakaan fakultas untuk mengenakan skripsi yang sempat terbengkalai selama hampir dua bulan. Zana tidak punya banyak waktu karena dia harus mengejar pendaftaran sidang yang akan dilakukan tiga atau empat bulan yang akan datang. Pendaftaran sudah buka dan Zana harus cepat sebelum kuota tutup. Sebenarnya Zana sudah sempro meskipun dia sempat menunda karena untuk menemui Revano yang berulang tahun. Itulah yang membuat daddynya marah, Zana menyepelekan pendidikan karena seorang pria, meremehkan dosen pembimbing dan tidak memperdulikan masa depan. Bukankah itu melanggar etika seorang mahasiswa? Sekarang Zana sadar kesalahannya dan dia ingin memperbaikinya. Betul sekali. Orangtuanya memberikan cinta penuh padanya, lalu kenapa Zana harus mengemis dari pria yang bahkan tak peduli padanya? 'Tunggu aku, Mommy Daddy. Dalam enam bulan ini, aku pastikan akan kembali pada kalian. Aku akan berkumpul lagi dengan Mommy dan Daddy.' batin Zana, memotivasi diri supaya lebih
"Cepat minta maaf!" Zana menatap tak percaya pada sosok pria yang tengah mencekal tangannya tersebut. Wajahnya kusut, campuran heran dan kesal secara bersamaan. Namun, dia juga merasa sakit hati. Pria ini menyuruhnya meminta maaf atas sebuah kesalahan yang tak pernah Zana lakukan. Zana menghempas tangannya kasar, setelah melayangkan tatapan benci pada Revano. Dari Zana yang sangat mengagumi pria ini, sekarang malah membencinya. "Meminta maaf? Kalian memangnya siapa sehingga aku harus peduli pada kalian. Tolong yah, kalian itu tak penting. Jangan membuang-buang waktuku!" dingin Zana. Revano cukup kaget mendengar nada bicara Zana. Perempuan ini biasanya selalu berbicara sopan dan manis padanya, tatapannya juga selalu berbinar. Akan tetapi, sekarang Zana sangat dingin. "Zana, ki-kita bersahabat baik. Aku--aku akan memutuskan hubunganku dengan Kak Revano asal …-" "Zana." Seseorang memanggil Zana sehingga Elina menghentikan ucapannya. Orang tersebut langsung merangkul Zana, kemu
"Apa aku memang tidak layak disukai yah, Dir?" tanya Zana, saat ini di sebuah cafe bersama Dirga. Sebenarnya Zana ingin pulang, akan tetapi dia memilih menenangkan diri lebih dulu. "Layak." Dirga berkata lembut, mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala Zana, "sebenarnya kamu itu cantik, bahkan saat seperti ini kecantikanmu tak berkurang sedikitpun. Hanya saja kamu salah menyukai seseorang. Ganti targetmu."Zana menatap Dirga serius. "Dia bilang tak akan ada yang suka padaku, Dir." "Itu mah omongan brengsek dia saja supaya kamu kehilangan kepercayaan diri." ucap Dirga, "buktinya kamu sering dikejar dan digoda." "Siapa?" Zana berkata antusias. Benarkah ada yang mengejar dan menggodanya? "Setan." Dirga cengengesan. "Bang Sat!" Zana mengumpat, melempar sendok ke arah Dirga. Sialan, dia sudah kege'eran ada yang suka dan tengah mengejarnya, ternyata yang Dirga maksud malah setan. Salah tapi … tidak salah juga. Setan memang begitu, suka menggoda manusia dan mengikutinya setiap sa
Karena kejadian semalam, pagi sekali Zana sudah berangkat ke kampus. Dia menghindar dari Ebrahim. Sebenarnya bukan hanya takut tetapi Zana juga tak tahu bagaimana caranya dia berbicara pada sosok itu, sekedar berbasa-basipun Zana tak berani. Setelah di kampus, Zana langsung ke perpustakaan. Apakah Zana belajar? Tidak! Dia tidur–menyambung tidur dari rumah. Jika dia tetap di rumah, kepala maid mungkin akan membangunkannya lalu Zana akan sarapan bersama dengan Ebrahim. Ah, Zana takut! "Setan satu ini!" Dirga menggelengkan kepala, tak habis pikir melihat Zana yang sudah di perpustakaan dalam keadaan sudah tidur. Dirga pagi-pagi sudah di kampus karena tujuan baik, dia ingin bimbingan. Akan tetapi sebelum itu Dirga ingin merevisi dan memeriksa ulang skripsi. Dirga duduk di sebelah Zana kemudian mengerjakan skripsinya. Sedangkan Zana, dia terbangun setelah tengah sembilan pagi. Dia langsung menatap jam tangan lalu menghela napas. "Ck, sudah jam setengah sembilan. Pinjam HP, Dir," ucap Z
"Zana!" Bentak seseorang, tak lain adalah pria yang menjadi leader dari proyek. Alana menatap terkejut karena leader dari proyek tersebut mengetahui nama Zana. Namun, dia menutupi perasaan terkejut karena lebih khawatir pada Zana. "Oh." Zana menatap Revano, ber oh ria dengan santai. Dia menyunggingkan senyuman miring yang tipis sembari melirik Elina–di mana pipi Elina terlihat masih lebam. "Selamat, Pak, proyek tim kita menang," ucap Zana santai, kembali mengisi gelas dengan minuman soda–mengangkatnya tinggi ke arah Revano yang duduk di ujung meja, seolah mengajak pria itu bersulang. Setelah itu, Zana meminum sendiri. "Siapa yang membawamu kemari?" Revano berdiri, menatap nyalang ke arah Zana. "Kamu kira ini tempat bermain. Pulang! Jangan mengacau di sini!" "Ouh. Aku datang ke sini karena melihat dia--" Zana berkata santai, menjeda lalu menatap Elina, "masuk ke perusahaan ini. Sama-sama dari universitas B dan kalau dia bisa masuk ke sini, kenapa aku enggak?" Para staf yang berkum
Alana bangkit dari kursi dan mendekat pada sosok itu. Sedangkan para staf berdiri dengan kepala tertunduk. "Pak CEO, ma-maaf membuat kekacauan." Revano buru-buru meminta maaf, menundukkan kepala dalam. Bug'Namun, tiba-tiba saja sang CEO menendangnya–kena bagian perut. Revano terpental lalu berakhir tersungkur di lantai. Dia memegangi perut yang terasa sakit dan keram, mendongak dengan muka bingung. Revano bisa melihat jelas kemarahan di wajah sang big boss, akan tetapi apa kesalahan yang dia lakukan? Mungkinkah karena Zana? 'Zana memang pembawa sial!' batin Revano. "Ma-maafkan saya, Pak. Saya tidak tahu ke-kenapa dia bisa masuk ke perusahaan ini. Te-ternyata temannya–mahasiswa magang itu yang membawanya ke sini. Saya sudah mengusir tetapi dia tidak bersedia." Revano menjelaskan. "Jadi kau bersembunyi di perusahaanku?" Ebrahim berucap dingin, mengabaikan ucapan Revano sebelumnya dan menatap begitu marah pada pria yang berlutut di hadapannya. Pantas dia seperti tidak asing dengan
Zana menatap ragu pada Ebrahim. Pria itu tengah duduk di depannya, menyender ke sofa dengan santai lalu bersedekap di dada. Keselurusan aura pria ini dingin, menyeramkan dan mendominasi. Ditambah tatapan mata Ebrahim yang terus menghunus pada Zana, itu semakin membuat Zana merasa terancam. Zana menggaruk pelipis, gugup sekaligus canggung. Andai pria ini bukan suaminya dan andai kejadian tadi malam tak ada, mungkin Zana masih bisa menghadapi situasi ini. Yang membuat Zana semakin merasa terbunuh di ruangan ini adalah mereka hanya berdua di sini. Ebrahim menyuruh Alana menjemput makan siang, ditemani oleh Martin. "Tadi pagi-" Ebrahim membuka suara. Otomatis membuat Zana menegakkan punggung. "Kau pergi tanpa pamit dan tidak sarapan." "Itu karena aku terburu-buru, aku harus menemui dosen pembimbingku, Kak," jawab Zana cepat dengan penuh kebohongan. "Bukan tidur di perpustakaan?" Mata Zana melotot, terkejut mendengar perkataan Ebrahim. Zana meneguk saliva kasar lalu mengigit bi