Zana saat ini berada di perpustakaan fakultas untuk mengenakan skripsi yang sempat terbengkalai selama hampir dua bulan. Zana tidak punya banyak waktu karena dia harus mengejar pendaftaran sidang yang akan dilakukan tiga atau empat bulan yang akan datang. Pendaftaran sudah buka dan Zana harus cepat sebelum kuota tutup. Sebenarnya Zana sudah sempro meskipun dia sempat menunda karena untuk menemui Revano yang berulang tahun. Itulah yang membuat daddynya marah, Zana menyepelekan pendidikan karena seorang pria, meremehkan dosen pembimbing dan tidak memperdulikan masa depan. Bukankah itu melanggar etika seorang mahasiswa? Sekarang Zana sadar kesalahannya dan dia ingin memperbaikinya. Betul sekali. Orangtuanya memberikan cinta penuh padanya, lalu kenapa Zana harus mengemis dari pria yang bahkan tak peduli padanya? 'Tunggu aku, Mommy Daddy. Dalam enam bulan ini, aku pastikan akan kembali pada kalian. Aku akan berkumpul lagi dengan Mommy dan Daddy.' batin Zana, memotivasi diri supaya lebih
"Cepat minta maaf!" Zana menatap tak percaya pada sosok pria yang tengah mencekal tangannya tersebut. Wajahnya kusut, campuran heran dan kesal secara bersamaan. Namun, dia juga merasa sakit hati. Pria ini menyuruhnya meminta maaf atas sebuah kesalahan yang tak pernah Zana lakukan. Zana menghempas tangannya kasar, setelah melayangkan tatapan benci pada Revano. Dari Zana yang sangat mengagumi pria ini, sekarang malah membencinya. "Meminta maaf? Kalian memangnya siapa sehingga aku harus peduli pada kalian. Tolong yah, kalian itu tak penting. Jangan membuang-buang waktuku!" dingin Zana. Revano cukup kaget mendengar nada bicara Zana. Perempuan ini biasanya selalu berbicara sopan dan manis padanya, tatapannya juga selalu berbinar. Akan tetapi, sekarang Zana sangat dingin. "Zana, ki-kita bersahabat baik. Aku--aku akan memutuskan hubunganku dengan Kak Revano asal …-" "Zana." Seseorang memanggil Zana sehingga Elina menghentikan ucapannya. Orang tersebut langsung merangkul Zana, kemu
"Apa aku memang tidak layak disukai yah, Dir?" tanya Zana, saat ini di sebuah cafe bersama Dirga. Sebenarnya Zana ingin pulang, akan tetapi dia memilih menenangkan diri lebih dulu. "Layak." Dirga berkata lembut, mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala Zana, "sebenarnya kamu itu cantik, bahkan saat seperti ini kecantikanmu tak berkurang sedikitpun. Hanya saja kamu salah menyukai seseorang. Ganti targetmu."Zana menatap Dirga serius. "Dia bilang tak akan ada yang suka padaku, Dir." "Itu mah omongan brengsek dia saja supaya kamu kehilangan kepercayaan diri." ucap Dirga, "buktinya kamu sering dikejar dan digoda." "Siapa?" Zana berkata antusias. Benarkah ada yang mengejar dan menggodanya? "Setan." Dirga cengengesan. "Bang Sat!" Zana mengumpat, melempar sendok ke arah Dirga. Sialan, dia sudah kege'eran ada yang suka dan tengah mengejarnya, ternyata yang Dirga maksud malah setan. Salah tapi … tidak salah juga. Setan memang begitu, suka menggoda manusia dan mengikutinya setiap sa
Karena kejadian semalam, pagi sekali Zana sudah berangkat ke kampus. Dia menghindar dari Ebrahim. Sebenarnya bukan hanya takut tetapi Zana juga tak tahu bagaimana caranya dia berbicara pada sosok itu, sekedar berbasa-basipun Zana tak berani. Setelah di kampus, Zana langsung ke perpustakaan. Apakah Zana belajar? Tidak! Dia tidur–menyambung tidur dari rumah. Jika dia tetap di rumah, kepala maid mungkin akan membangunkannya lalu Zana akan sarapan bersama dengan Ebrahim. Ah, Zana takut! "Setan satu ini!" Dirga menggelengkan kepala, tak habis pikir melihat Zana yang sudah di perpustakaan dalam keadaan sudah tidur. Dirga pagi-pagi sudah di kampus karena tujuan baik, dia ingin bimbingan. Akan tetapi sebelum itu Dirga ingin merevisi dan memeriksa ulang skripsi. Dirga duduk di sebelah Zana kemudian mengerjakan skripsinya. Sedangkan Zana, dia terbangun setelah tengah sembilan pagi. Dia langsung menatap jam tangan lalu menghela napas. "Ck, sudah jam setengah sembilan. Pinjam HP, Dir," ucap Z
"Zana!" Bentak seseorang, tak lain adalah pria yang menjadi leader dari proyek. Alana menatap terkejut karena leader dari proyek tersebut mengetahui nama Zana. Namun, dia menutupi perasaan terkejut karena lebih khawatir pada Zana. "Oh." Zana menatap Revano, ber oh ria dengan santai. Dia menyunggingkan senyuman miring yang tipis sembari melirik Elina–di mana pipi Elina terlihat masih lebam. "Selamat, Pak, proyek tim kita menang," ucap Zana santai, kembali mengisi gelas dengan minuman soda–mengangkatnya tinggi ke arah Revano yang duduk di ujung meja, seolah mengajak pria itu bersulang. Setelah itu, Zana meminum sendiri. "Siapa yang membawamu kemari?" Revano berdiri, menatap nyalang ke arah Zana. "Kamu kira ini tempat bermain. Pulang! Jangan mengacau di sini!" "Ouh. Aku datang ke sini karena melihat dia--" Zana berkata santai, menjeda lalu menatap Elina, "masuk ke perusahaan ini. Sama-sama dari universitas B dan kalau dia bisa masuk ke sini, kenapa aku enggak?" Para staf yang berkum
Alana bangkit dari kursi dan mendekat pada sosok itu. Sedangkan para staf berdiri dengan kepala tertunduk. "Pak CEO, ma-maaf membuat kekacauan." Revano buru-buru meminta maaf, menundukkan kepala dalam. Bug'Namun, tiba-tiba saja sang CEO menendangnya–kena bagian perut. Revano terpental lalu berakhir tersungkur di lantai. Dia memegangi perut yang terasa sakit dan keram, mendongak dengan muka bingung. Revano bisa melihat jelas kemarahan di wajah sang big boss, akan tetapi apa kesalahan yang dia lakukan? Mungkinkah karena Zana? 'Zana memang pembawa sial!' batin Revano. "Ma-maafkan saya, Pak. Saya tidak tahu ke-kenapa dia bisa masuk ke perusahaan ini. Te-ternyata temannya–mahasiswa magang itu yang membawanya ke sini. Saya sudah mengusir tetapi dia tidak bersedia." Revano menjelaskan. "Jadi kau bersembunyi di perusahaanku?" Ebrahim berucap dingin, mengabaikan ucapan Revano sebelumnya dan menatap begitu marah pada pria yang berlutut di hadapannya. Pantas dia seperti tidak asing dengan
Zana menatap ragu pada Ebrahim. Pria itu tengah duduk di depannya, menyender ke sofa dengan santai lalu bersedekap di dada. Keselurusan aura pria ini dingin, menyeramkan dan mendominasi. Ditambah tatapan mata Ebrahim yang terus menghunus pada Zana, itu semakin membuat Zana merasa terancam. Zana menggaruk pelipis, gugup sekaligus canggung. Andai pria ini bukan suaminya dan andai kejadian tadi malam tak ada, mungkin Zana masih bisa menghadapi situasi ini. Yang membuat Zana semakin merasa terbunuh di ruangan ini adalah mereka hanya berdua di sini. Ebrahim menyuruh Alana menjemput makan siang, ditemani oleh Martin. "Tadi pagi-" Ebrahim membuka suara. Otomatis membuat Zana menegakkan punggung. "Kau pergi tanpa pamit dan tidak sarapan." "Itu karena aku terburu-buru, aku harus menemui dosen pembimbingku, Kak," jawab Zana cepat dengan penuh kebohongan. "Bukan tidur di perpustakaan?" Mata Zana melotot, terkejut mendengar perkataan Ebrahim. Zana meneguk saliva kasar lalu mengigit bi
Setelah selesai memeriksa skripsinya, Zana memutuskan untuk tidur. Dia berbaring di ranjang sembari mengingat kejadian di kantor. "Kak Ebrahim memperkenalkanku pada karyawannya sebagai istrinya, padahal kami sudah sepakat jika kami akan melakukan pembatalan pernikahan setelah aku wisuda. Harusnya Kak Ebra merahasiakan pernikahan kami. Dan tadi … dia menyebut dirinya suami. Ini hanya kebetulan atau apa?" gumam Zana, sedikit resah pada Ebrahim. "Tadi juga Kak Ebrahim … ah, tidak. Wajahnya lempeng kok pas melihat tubuhku. Itu berarti Kak Ebrahim memang tak tertarik." Zana menghela napas kemudian mengambil HP-nya, niat hati ingin menyingkirkan masalah pada kantor tadi dari kepalanya. Akan tetapi-- tiba-tiba saja Zana tersenyum malu, tersipu ketika mengingat Ebrahim memeluk pinggangnya kemudian menggendongnya di depan para staff. Bukan hanya itu, cara Ebrahim menghajar Revano memanglah mengerikan, akan tetapi Zana merasa dilindungi. Bukan seperti seorang adik mendapat perlindungan d
"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak
"Humm?" Ebrahim mengerutkan kening, menatap tak percaya pada Zana. Istrinya tadi memanggilnya …- "Ahahaha … katanya Zana tak mau," ucap Lea dengan nada meledek. Zana yang menyadari panggilannya pada Ebrahim langsung melebarkan mata. Dia menatap Ebarhim cepat dan segera menggelengkan kepala. "Aku-- aku bisa jelasin, Kak," panik Zana. Lea dan Haiden terkekeh geli karena mendengar ucapan Zana. Menantu mereka sangat lucu. "Tak ada yang harus kamu jelaskan, Zana," geli Haiden pada sang menantu. "Aku salah …." Zana menutup wajah dengan tangan, "panggil," lanjutnya, menahan senyuman geli. Ebrahim tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Zana, dia juga mencubit gemas pipi istrinya. Makhluk satu ini sangat lucu. "Tidak apa-apa kau memanggil Kakak dengan sebutan mas. Dengan begitu kakak juga akan memanggilmu Dek." "Elleh." Alana memutar bola mata jengah mendengar ucapan kakannya. Maklum, Alana jomblo dan dia sedikit mual dengan hal berbau romantis. "Muka seram sok manis," lanjut Alana
"Kak." Panggil seseorang yang tengah Nindi dan Zana bahas. Keduanya langsung menoleh, Zana dengan tatapan penuh interogasi dan Nindi dengan muka panik serta pucat. Matilah Nindi jika sampai Zeeshan melihat gelang ini! Tunggu! Zeeshan memanggil perempuan ini dengan sebutan apa? Sayang, Kak atau apa? Saking gugupnya dia, Nindi tak ingat betul. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Zana, memicingkan mata pada adiknya. Setelah itu melirik tipis pada gadis di samping Zeeshan, setelah itu dia senyum jahil. Zeeshan yang paham dengan lirikan kakaknya, segera menoleh pada sosok di sebelahnya–di mana gadis di sebelahnya langsung menutup wajah menggunakan novel. "Aku diminta oleh Kak Ebra untuk menyusulmu. Dia takut Kakak kenapa-napa," jelas Zeeshan. "Kak Zan sudah selesai?" "Belum." Zana menjawab santai, "aku masih ingin mencari komik kesukaanku." "Aku punya." Zeeshan menjawab cepat, langsung menggandeng tangan kakaknya–menariknya supaya beranjak dari sana. "Dek, duluan yah," pamit Zana
Zana berhenti sejenak di toko buku, dia ingin membelikan Alana buku. Ada sebuah novel yang menjadi incaran Alana, sudah keluar, dan Zana ingin menbelikannya pada Alana. "Tuan Miliarder Mengejar Cinta Istri karya CacaCici," gumam Zana, mengingat-ingat novel yang ingin ia cari tersebut. Tak lama, Zana menemukan buku itu. Dia membaca sinopsis dan dia menjadi tertarik. "Kisah seorang suami yang tiga tahun mendiami istrinya karena salah paham, dan ketika istrinya lelah barulah dia sadar akan cinta yang dia miliki pada istrinya. Dia mengejar cinta istrinya dan berupaya menjadi suami yang baik juga. Wah … menarik sekali novel ini. Penulisnya pasti keren. Ckckck …." Zana mengambil dua buku karena dia juga menginginkannya. "Permisi, Kak." Zana yang ingin beranjak dari sana untuk membayar buku yang dia ambil, seketika beranjak. Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ada hal yang aneh, perempuan itu terlihat terkejut saat melihat Zana. Sedangkan Zana, dia merasa tak pernah mengenali