Zana melompat dari pagar rumah lalu segera berlari cepat dari sana. Dia mengenakan jas alamamater-nya, bersiap-siap untuk mengikuti demo hari kedua. Daddynya jelas tak akan memberi izin, oleh sebab itu Zana pergi secara diam-diam. Masalah kemarin, Zana tak ambil pusing. Dia benar-benar menganggap Razie serta Ebrahim telah menyelamatkan hidupnya. Saat makan malam kemarin, daddynya juga tak menyinggung masalah pernikahan. Itu artinya Zana memang sudah selamat. Setelah tiba di kampus, Zana bertemu dengan teman organisasinya. Zana memiliki posisi cukup tinggi di organisasinya, dia merupakan mantan gubernur mahasiswa di fakultasnya. Meskipun posisinya sudah mantan, akan tetapi juniornya serta teman satu angkatannya masih segan padanya. Sebelum berangkat, mereka kembali mengecek kesiapan dan setelah itu barulah berangkat. Tiba di lokasi dan demo telah di mulai–sesuai jam yang telah disepakati bersama. Bukan dari universitas Zana saja, akan tetapi universitas lain juga ikut meramaikan.
Apa Ebrahim berniat mengadu? Zana membelalak horor, takut jika benar Ebrahim berniat mengadu pada daddynya– di mana tadi, Zana ikut demo. Namun, ketika sudah di ruang tengah, Zana cukup kaget karena ada tamu. Buru-buru Zana melepas alamamaternya agar daddynya tak curiga–menyerahkan almet tersebut pada maid. "Nana, kemari, Sayang." Zana menurut ketika dipanggil oleh sang mommy, dia langsung menatap Ebrahim yang sudah lebih dulu bergabung. 'Pantas saja Kak Ebrahim tak langsung pulang, orang tuanya ada di sini.' Zana menyalam orang-orang di sana kemudian kembali duduk ke tempat semula. Yang membuat mereka tertawa geli adalah ketika dengan polosnya, Zana juga menyalam Ebrahim. Ah, bukan hanya orang tua Ebrahim yang datang. Tetapi juga aunty dan Uncle hum-nya–Ziea dan Reigha. "Wah, Zana cantik sekali yah," puji Lea–Mommy dari Ebrahim. Di mana dia tersenyum lebar, menatap berseri-seri pada Zana. Lama tak bertemu dengan Zana, ternyata anak ini sudah tumbuh menjadi anak yang san
"Kau bilang apa?!" ucap Zayyan geram, sudah melayangkan tatapan membunuh ke arah putrinya. Wajah Zana seketika memucat, menatap takut pada sang daddy. "Mas Zay, Zana tadi hanya asal bicara," ucap Kina, buru-buru menghampiri Zayyan. "Mommymu mati-matian melahirkanmu, mengorbankan nyawa bahkan kewarasan demi kehidupanmu. Lalu kau dengan gampang mengatakan ingin mengakhiri hidup, Hah?!" marah Zayyan yang sudah menampilkan air muka mengerikan. "Mas," pekik Kina. "Zana hanya bercanda dan … tolonglah jangan memarahinya lagi. Kamu kan sudah janji tidak meninggikan suara lagi pada Zana dan Zee," ucap Kina dengan nada rapuh dan sedih. Dia selalu ingin menangis saat suaminya memarahi anak-anaknya. Sebagai anak yang tak pernah mendapat kasih sayang dari orangtuanya, Kina tak bisa melihat anak-anaknya dimarahi oleh Zayyan. Jika hanya marah biasa, Kina masih bisa. Namun, jika Zayyan sudah menggunakan nada tinggi Kina merasa dirinya lah yang dimarahi oleh Zayyan. Zayyan memang diam teta
'Mereka sudah di sini, hanya tinggal kamu yang tak datang.' Zana mengerjap beberapa kali, menatap ke arah lapanang dengan tampang muka suram. Bukankah kemarin Revano mengatakan jika Zana harus menjaga jarak? Pria ini bilang jangan menghubunginya bukan? "Maaf, tapi kenapa Kak Revano menghubungiku? Bukannya Kak Revano sendiri yang melarang jika aku tidak boleh menghubungimu." Zana berkata datar, berdiri di pinggir teras lalu menghadap halaman yang luas. 'Ck, kenapa kamu membahas itu, Zana? Elina sedang sakit dan apa kamu tidak khawatir? Tolong datang ke sini dan bawa makanan. Elina dan yang lainnya sudah lapar. Cepat.' "Rumahku sedang kedatangan tamu dan lagipula sedang turun gerimis." 'Hanya gerimis kan? Kamu tidak akan sakit hanya karena gerimis, Zana. Kamu bukan perempuan pada umumnya. Jangan banyak alasan, cepat.' "Aku tidak akan datang." Zana mematikan sambungan HP secara sepihak. Dia berdecak kesal, rasanya hampir sakit karena Revano begitu peduli pada Elina akan tetapi
Lumayan! Sepadan dengan apa yang Zeeshan lakukan padanya–perihal bandara. "Wu!" Zana turun dari ranjang adiknya yang masih berlutut di lantai. Dengan tengil dan belagu, Zana mengambil ancang-ancang memukul Zeeshan. "Makanya jangan berani padaku. Sok sokan ingin menjebakku. Ini Zana, penguasa bumi. Cih, Daddy saja kulawan apalagi anak ingusan sepertimu. Kacang!" ucap Zana angkuh, menoyor pelan kepala Zeeshan lalu segera beranjak dari sana–berjalan sambil mencek isi dompet adiknya. "Lumayan juga nih anak. Duitnya banyak. Wah … enak juga jadi bandit rumah," gumam Zana pelan. Sedangkan Zeeshan, mendengkus kesal. Kembali ke meja belajar untuk melanjutkan tugas sekolah. Punya kakak perempuan, dia disayang dan dimanja? Tidak. Dia dirampok! Kakaknya sedikit berbeda. *** Hari ini Kina, Ziea dan Lea pergi kesebuah dukun–usulan dari seorang teman lama. Tadinya mereka ke butik untuk mempersiapkan gaun pernikahan Zana. Tiga jam menunggu Zana datang, anak itu tak kunjung datang. Saat dit
"Darimana saja kau?" Zana yang berniat ke kamar langsung menghentikan langkah ketika mendengar suara daddynya. Zana sebenarnya takut karena dia ketahuan keluar. Akan tetapi mengingat dukun tadi, Zana menekan rasa takut itu. Meskipun ada Ebrahim dan pamannya–Rain, di sana, Zana tak peduli. Zana harus memperingati daddy. "Daddy habis dari dukun yah?" tuding Zana, setelah sebelumnya menyalam tangan sang daddy. "Daddy memang pendosa. Tetapi mempercayai hal seperti itu-- " Zayyan menggelengkan kepala, menatap aneh pada putrinya. Istrinya tiba-tiba muncul, dan … baik! Sekarang Zayyan paham. "Bilang saja sejujurnya. Daddy ke sana supaya aku mau nikah kan dengan …-" Zana menatap sinis ke arah Ebrahim. "Dia?!" lanjutnya sembari menunjuk Ebrahim. "Sopan begitu, Hum?!" dingin Zayyan, melayangkan tatapan tajam pada putrinya. Kina buru-buru menarik Zana untuk menjauh dari suaminya. "Jangan begitu, Zana sayang. Jangan menunjuk-nunjuk seseorang, tak sopan. Apalagi Kak Ebrahim itu calon
Acara pesta pernikahan selesai dan paginya Ebrahim membawa Zana pulang ke kediaman Mahendra. Zana terdiam sesaat ketika turun dari mobil suaminya, menatap rumah mewah milik Mahendra. Zana cukup khawatir, takut tidak nyaman dengan suasana rumah ini. Zana selama ini jarang bertemu dengan sepupu atau kerabat. Dia bukan introvert seperti uncle humnya atau antisosial seperti daddynya. Zana suka ditempat ramai, aktivitasnya padat dan selalu berhubungan dengan perkumpulan orang-orang. Namun, Zana anti kerabat. Sekarang Zana takut, cemas jika keluarga Mahendra sama seperti keluarga Azam. "Menantuku sudah datang. Aaa … ayo, Sayang, kita masuk," heboh Azalea–aunty yang kini berubah menjadi mama mertuanya. Lea menggenggam tangan mungil Zana lalu mengajaknya masuk. Saat di pintu masuk, Zana sempat berhenti untuk menyalam tangan ayah mertuanya. Kedua orangtua suaminya menunggu kedatanganya. Hal yang sederhana akan tetapi Zana tersentuh. Di belakang tubuh ayah mertuanya, ada seorang a
Dia merokok sembari menatap ke arah Zana yang terlihat kaget. "Huaaa …." Zana memekik kaget, tergelonjak lalu mundur ke sudut bath up. Dia terkejut melihat Ebrahim, dan saat mengingat tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman, Zana berubah panik. "Kak Ebrahim," gumamnya pelan, canggung bercampur malu karena kondisinya yang hampir mendekati telanjang. Pria itu tetap diam dan masih sibuk merokok. Tatapannya begitu intens pada sosok gadis kecil yang telah sah menjadi istrinya, mendengus tiba-tiba untuk menetralkan gejolak aneh yang menyelimuti. Gadis mungil ini terlihat menggiurkan. Pundak seksi yang terlihat jelas itu-- rasanya ingin Ebrahim gigit. Shit! Perempuan ini mengundang. Zana tiba-tiba melepas tangan yang menyilang di depan dada. Untuk apa dia takut dan khawatir? Dia ingat sesuatu. 'Tidak ada laki-laki yang tertarik padamu, Zana. Lihat penampilanmu?! Laki-laki ilfeel padamu.' Ucapan Revano tiba-tiba mengiyang. Benar! Zana terlalu pede jika Ebrahim tergiur olehnya. Ta
"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak
"Humm?" Ebrahim mengerutkan kening, menatap tak percaya pada Zana. Istrinya tadi memanggilnya …- "Ahahaha … katanya Zana tak mau," ucap Lea dengan nada meledek. Zana yang menyadari panggilannya pada Ebrahim langsung melebarkan mata. Dia menatap Ebarhim cepat dan segera menggelengkan kepala. "Aku-- aku bisa jelasin, Kak," panik Zana. Lea dan Haiden terkekeh geli karena mendengar ucapan Zana. Menantu mereka sangat lucu. "Tak ada yang harus kamu jelaskan, Zana," geli Haiden pada sang menantu. "Aku salah …." Zana menutup wajah dengan tangan, "panggil," lanjutnya, menahan senyuman geli. Ebrahim tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Zana, dia juga mencubit gemas pipi istrinya. Makhluk satu ini sangat lucu. "Tidak apa-apa kau memanggil Kakak dengan sebutan mas. Dengan begitu kakak juga akan memanggilmu Dek." "Elleh." Alana memutar bola mata jengah mendengar ucapan kakannya. Maklum, Alana jomblo dan dia sedikit mual dengan hal berbau romantis. "Muka seram sok manis," lanjut Alana
"Kak." Panggil seseorang yang tengah Nindi dan Zana bahas. Keduanya langsung menoleh, Zana dengan tatapan penuh interogasi dan Nindi dengan muka panik serta pucat. Matilah Nindi jika sampai Zeeshan melihat gelang ini! Tunggu! Zeeshan memanggil perempuan ini dengan sebutan apa? Sayang, Kak atau apa? Saking gugupnya dia, Nindi tak ingat betul. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Zana, memicingkan mata pada adiknya. Setelah itu melirik tipis pada gadis di samping Zeeshan, setelah itu dia senyum jahil. Zeeshan yang paham dengan lirikan kakaknya, segera menoleh pada sosok di sebelahnya–di mana gadis di sebelahnya langsung menutup wajah menggunakan novel. "Aku diminta oleh Kak Ebra untuk menyusulmu. Dia takut Kakak kenapa-napa," jelas Zeeshan. "Kak Zan sudah selesai?" "Belum." Zana menjawab santai, "aku masih ingin mencari komik kesukaanku." "Aku punya." Zeeshan menjawab cepat, langsung menggandeng tangan kakaknya–menariknya supaya beranjak dari sana. "Dek, duluan yah," pamit Zana
Zana berhenti sejenak di toko buku, dia ingin membelikan Alana buku. Ada sebuah novel yang menjadi incaran Alana, sudah keluar, dan Zana ingin menbelikannya pada Alana. "Tuan Miliarder Mengejar Cinta Istri karya CacaCici," gumam Zana, mengingat-ingat novel yang ingin ia cari tersebut. Tak lama, Zana menemukan buku itu. Dia membaca sinopsis dan dia menjadi tertarik. "Kisah seorang suami yang tiga tahun mendiami istrinya karena salah paham, dan ketika istrinya lelah barulah dia sadar akan cinta yang dia miliki pada istrinya. Dia mengejar cinta istrinya dan berupaya menjadi suami yang baik juga. Wah … menarik sekali novel ini. Penulisnya pasti keren. Ckckck …." Zana mengambil dua buku karena dia juga menginginkannya. "Permisi, Kak." Zana yang ingin beranjak dari sana untuk membayar buku yang dia ambil, seketika beranjak. Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ada hal yang aneh, perempuan itu terlihat terkejut saat melihat Zana. Sedangkan Zana, dia merasa tak pernah mengenali