"Kenna." Zana menoleh cepat pada Daddynya. "Ada apa, Daddy?" "Tidur." ucap Zayyan singkat. Zana menganggukkan kepala, tipe yang sangat patuh dan penurut pada sang daddy. Zana pamit pada orang tuanya dan segera beranjak dari sana. Zana merasa sangat senang dan bahagia, karena semakin ke sini dia semakin dekat dengan daddynya. Tak seperti dulu, di mana jika ingin menemui sang daddy, Zana lebih dulu mengumpet di balik tembok–memantau daddynya dan setelah dipanggil oleh sang daddy barulah dia mendekat. "Sekarang kau harus menemaniku," ucap Zayyan, turun dari sofa lalu duduk di sebelah Kina. Meskipun sudah dibereskan oleh Kina, Zayyan tetap mengambil buku sketsa istrinya. Baru dan diberikan oleh Zayyan sendiri. Zayyan memeriksa buku tersebut, memantau pekerjaan istrinya. Dia tersenyum, bangga dan salut dengan Kina. Sejujurnya Kina tidak membutuhkan pekerjaan apapun. Selain punya suami yang kaya, Kina juga punya kekayaan sendiri dari neneknya. Zayyan tahu itu! Namun, Kina ingin berdir
"Agk." Ringisan sakit akibat punggung yang terbentur ke sebuah rak, terdengar hingga ke ujung lorong. Sayangnya tak ada yang datang untuk membantu. Lorong itu sepi, dan adapun pengunjung lain, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Rata-rata dari mereka menutup telinga dengan headphone supaya fokus membaca atau mencari buku. Kina memejamkan mata erat, sudah pasrah jika tubuhnya harus bersentuhan dengan Edgar. Dia sudah tak memikirkan semisal dia berakhir dipelukan pria ini, daripada anak dalam perutnya kenapa-napa. Bug' Kina yang masih memejamkan mata bisa merasakan wajahnya menabrak dada bidang yang terasa keras dan kokoh. Aroma harus seketika menyeruak, menusuk indra penciuman Kina. Mengenali aroma parfum tersebut, mata Kina langsung terbuka. Dia mendongak, menatap kaget pada sosok pria tinggi yang menangkap tubuhnya. "Mas Zayyan," gumam Kina pelan, mengucek mata saking tak percaya dengan penglihatannya. Bukankah seharusnya yang menangkap tubuhnya adalah Edgar? Lalu kenapa
"Aku ingin donat salju," jawab Kina, keukeuh tetap di posisi itu sampai Zayyan mau membelikan donat salju padanya. Sejujurnya, Kina sangat malu saat ini. Dia tidak tahu kenapa dia bisa melakukan hal konyol ini, sok-sokan merajuk dan berniat berjongkok sepanjang hari di sini hanya demi donat. Akan tetapi, dia sudah terlanjur malu, menyudahinya pun Kina malu. Hais, Kina jijik sendiri dengan tingkahnya. Putrinya saja yang masih kecil tak pernah se niat ini saat sedang merajuk. Ada apa dengannya? Zayyan menarik lengan Kina cukup kuat, membuat perempuan itu spontan berdiri. Lalu tanpa mengatakan apa-apa, Zayyan membawa Kina ketempat yang di maksud. Coffee shop! "Ehehehe …." Kina seketika lupa pada rasa malu yang sempat melanda, terlalu senang karena Zayyan akhirnya menurut juga padanya–membawanya ke coffee shop tersebut. Setelah di dalam dan di depan barista, Kina menyengir lebar pada Zayyan. Kina menarik lengan tu
"Dari … larangan. Kan Mas Zay melarangku untuk keluar rumah." "Apa yang kau lakukan selama di luar?" tanya Zayyan, seolah-olah tak tahu apa yang sedang istrinya perbuat. Padahal Kina masih di perjalanan pun, dia sudah menyusul istrinya. Dia jelas tahu. "Aku hanya ke toko buku untuk mencari buku yang mengupas tentang olahraga. Setelah tiba di toko, aku berjalan dari pintu menuju rak nomor satu. Aku memeriksa di sana dan ternyata …-" "Tidak perlu menjelaskan bagian itu," potong Zayyan, melayangkan tatapan dingin pada Kina. Hell! Anak kucing ini!!"Kau bertemu dengan seseorang dan seseorang itu lelaki. Apa kau dan dia melakukan perjanjian sebelum bertemu, Kina Anggita Azam?!" tanya Zayyan melanjutkan. 'Hais, nama panjangku sudah disebut. Puncak gawat darurat seorang Kina adalah ketika Mas suami sudah menyebut nama lengkap ku. Haaaah … reflek lupa cara bernafas. Untung di Yo-uTube ada tutorialnya.' Kina menggaruk pi
"Kina." Kina yang sedang bengong di sofa reflek mendongak saat namanya dipanggil oleh seseorang. Awalnya Kina cukup riang karena yang memanggilnya adalah Ziea. Namun, raut muka riang tersebut langsung hilang, berganti dengan raut muka datar saat melihat orang-orang yang berada di belakang Ziea. Saudara dan sepupu suaminya yang mengatainya ketika di pantai. Kenapa mereka ada di sini? Apa mereka ingin untuk mengejek Kina gila? Kina berdiri dari sofa dan berniat kabur dari sana. Dia tak ingin berhadapan dengan mereka semua, Kina lebih baik menghindar daripada dia membiarkan dirinya dikata-katai oleh mereka. "Duduk kembali," ucap Zayyan ketika Kina akan melangkah. Kina menatap Zayyan, memperhatikan raut muka flat pria itu. Dengan gerakan lambat, Kina kembali duduk di sofa–masih terus menatap Zayyan yang saat ini berjalan ke arahnya. Dia bertanya-tanya kenapa Zayyan membawa orang-orang ini kemari. Akan tetapi untuk mengeluhkan hal itu, Kina tak mampu. Ini rumah Zayyan dan mereka se
"Kenapa kalian diam?" lanjut Kina, sudah berhenti tertawa–menatap satu persatu orang-orang di sana. "Aku tidak apa-apa dan sudah melupakan masalah di pulau. Aku memaklumi kalian juga, bagaimanapun Nathalia masih kerabat kalian dan aku orang baru disini. Kalian juga tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara aku dan Nathalia. Jadi … wajar saja." Kina kembali bersuara, tersenyum tipis di akhir perkataannya, "aku benar-benar tidak mempermasalahkannya. Dan aku juga meminta maaf pada kalian, gara-gara ku liburan kalian jadi rusak." "Tidak, Kina. Kenapa kamu meminta maaf? Liburan rusak karena kesalahan kami yang begitu egois, hanya memikirkan kesenangan sendiri tanpa peduli pada kenyamanan yang lainnya. Maaf …," ucap Serena. Kina hanya tersenyum sebagai jawaban. Kina senang mereka meminta maaf, tetapi Kina juga merasa terpukul dengan semua ini. "Sekali lagi, maafkan kami, Kina. Maaf yang sedalam-dalamnya," pinta Aayara. Kina menganggukkan kepala dengan pelan, kembali tersenyum ma
"Berarti teman kamu laki-laki, Na?" Zana menganggukkan kepala. "Dari kelas sebelah, kelas petualang. Sedangkan Nana dari kelas Star." "Tadi kami bermain di lapangan bersama-sama, Mommy. Dan teman baruku bersedia mengajari Nana bermain bola." "Kalau begitu, kamu tak perlu harus ganti cita-cita cuma karena baru sekali main bola," celetuk Kina, "hari ini dia mengajarimu bermain bola, besok kamu yang mengajarinya menggambar. Kamu bisa seru-seruan bermain bola, teman barumu juga bisa seru-seruan menggambar denganmu." "Betul juga." Zana menatap riang ke arah mommynya. "Oke deh. Nana ganti pakaian dulu. Habis itu kita menggambar sama-sama yah, Mom. Supaya Nana ada bahan mengajari teman baru menggambar," seru Zana yang sudah beranjak dari sana, berjalan riang–setengah berlari sembari melompat, membuat rambutnya yang diikat dua seperti menari–nari. "Hais." Kina menatap piringnya yang kosong. Donatnya ludes sudah! "Mommy." "Huaa …." Kina memekik kaget saat Zana tiba-tiba muncul lag
"Aku akan pergi, kau tidak ingin mengatakan sesuatu, Kitten?" ucap Zayyan yang saat ini berdua dengan Kina, di teras halaman belakang rumah kediaman Dharmansya. "Mengatakan apa, Mas?" tanya Kina, mengerutkan kening pada Zayyan. Mereka hanya berdua, keluarganya sudah beristirahat dan begitu juga dengan Zana. Ini sudah larut malam. Ah, ini malam terakhir Kina dengan Zayyan. Bisakah selanjutnya malamnya tetap indah meski tanpa sosok ini?"Aku mencintaimu," ucap Zayyan tiba-tiba. Kina yang terkejut kembali menoleh secara cepat ke arah Zayyan. Dia tahu pria ini mencintainya. Akan tetapi kenapa Zayyan tiba-tiba mengatakannya? "Iya, aku tahu, Mas Zayyan," jawab Kina. Manik Zayyan terlihat memancarkan sorot kecewa. Bukan itu yang dia inginkan. Bukan! Zayyan ingin sebuah balasan. Zayyan akan pergi jauh dan dia butuh kepastian, agar dia yakin istrinya tetap memikirkannya selama mereka berpisah. Namun, sepertinya Zayyan tak akan mendapatkannya. "Kau belum jatuh cinta padaku?" Zayyan menole