"Aku ingin donat salju," jawab Kina, keukeuh tetap di posisi itu sampai Zayyan mau membelikan donat salju padanya. Sejujurnya, Kina sangat malu saat ini. Dia tidak tahu kenapa dia bisa melakukan hal konyol ini, sok-sokan merajuk dan berniat berjongkok sepanjang hari di sini hanya demi donat. Akan tetapi, dia sudah terlanjur malu, menyudahinya pun Kina malu. Hais, Kina jijik sendiri dengan tingkahnya. Putrinya saja yang masih kecil tak pernah se niat ini saat sedang merajuk. Ada apa dengannya? Zayyan menarik lengan Kina cukup kuat, membuat perempuan itu spontan berdiri. Lalu tanpa mengatakan apa-apa, Zayyan membawa Kina ketempat yang di maksud. Coffee shop! "Ehehehe …." Kina seketika lupa pada rasa malu yang sempat melanda, terlalu senang karena Zayyan akhirnya menurut juga padanya–membawanya ke coffee shop tersebut. Setelah di dalam dan di depan barista, Kina menyengir lebar pada Zayyan. Kina menarik lengan tu
"Dari … larangan. Kan Mas Zay melarangku untuk keluar rumah." "Apa yang kau lakukan selama di luar?" tanya Zayyan, seolah-olah tak tahu apa yang sedang istrinya perbuat. Padahal Kina masih di perjalanan pun, dia sudah menyusul istrinya. Dia jelas tahu. "Aku hanya ke toko buku untuk mencari buku yang mengupas tentang olahraga. Setelah tiba di toko, aku berjalan dari pintu menuju rak nomor satu. Aku memeriksa di sana dan ternyata …-" "Tidak perlu menjelaskan bagian itu," potong Zayyan, melayangkan tatapan dingin pada Kina. Hell! Anak kucing ini!!"Kau bertemu dengan seseorang dan seseorang itu lelaki. Apa kau dan dia melakukan perjanjian sebelum bertemu, Kina Anggita Azam?!" tanya Zayyan melanjutkan. 'Hais, nama panjangku sudah disebut. Puncak gawat darurat seorang Kina adalah ketika Mas suami sudah menyebut nama lengkap ku. Haaaah … reflek lupa cara bernafas. Untung di Yo-uTube ada tutorialnya.' Kina menggaruk pi
"Kina." Kina yang sedang bengong di sofa reflek mendongak saat namanya dipanggil oleh seseorang. Awalnya Kina cukup riang karena yang memanggilnya adalah Ziea. Namun, raut muka riang tersebut langsung hilang, berganti dengan raut muka datar saat melihat orang-orang yang berada di belakang Ziea. Saudara dan sepupu suaminya yang mengatainya ketika di pantai. Kenapa mereka ada di sini? Apa mereka ingin untuk mengejek Kina gila? Kina berdiri dari sofa dan berniat kabur dari sana. Dia tak ingin berhadapan dengan mereka semua, Kina lebih baik menghindar daripada dia membiarkan dirinya dikata-katai oleh mereka. "Duduk kembali," ucap Zayyan ketika Kina akan melangkah. Kina menatap Zayyan, memperhatikan raut muka flat pria itu. Dengan gerakan lambat, Kina kembali duduk di sofa–masih terus menatap Zayyan yang saat ini berjalan ke arahnya. Dia bertanya-tanya kenapa Zayyan membawa orang-orang ini kemari. Akan tetapi untuk mengeluhkan hal itu, Kina tak mampu. Ini rumah Zayyan dan mereka se
"Kenapa kalian diam?" lanjut Kina, sudah berhenti tertawa–menatap satu persatu orang-orang di sana. "Aku tidak apa-apa dan sudah melupakan masalah di pulau. Aku memaklumi kalian juga, bagaimanapun Nathalia masih kerabat kalian dan aku orang baru disini. Kalian juga tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara aku dan Nathalia. Jadi … wajar saja." Kina kembali bersuara, tersenyum tipis di akhir perkataannya, "aku benar-benar tidak mempermasalahkannya. Dan aku juga meminta maaf pada kalian, gara-gara ku liburan kalian jadi rusak." "Tidak, Kina. Kenapa kamu meminta maaf? Liburan rusak karena kesalahan kami yang begitu egois, hanya memikirkan kesenangan sendiri tanpa peduli pada kenyamanan yang lainnya. Maaf …," ucap Serena. Kina hanya tersenyum sebagai jawaban. Kina senang mereka meminta maaf, tetapi Kina juga merasa terpukul dengan semua ini. "Sekali lagi, maafkan kami, Kina. Maaf yang sedalam-dalamnya," pinta Aayara. Kina menganggukkan kepala dengan pelan, kembali tersenyum ma
"Berarti teman kamu laki-laki, Na?" Zana menganggukkan kepala. "Dari kelas sebelah, kelas petualang. Sedangkan Nana dari kelas Star." "Tadi kami bermain di lapangan bersama-sama, Mommy. Dan teman baruku bersedia mengajari Nana bermain bola." "Kalau begitu, kamu tak perlu harus ganti cita-cita cuma karena baru sekali main bola," celetuk Kina, "hari ini dia mengajarimu bermain bola, besok kamu yang mengajarinya menggambar. Kamu bisa seru-seruan bermain bola, teman barumu juga bisa seru-seruan menggambar denganmu." "Betul juga." Zana menatap riang ke arah mommynya. "Oke deh. Nana ganti pakaian dulu. Habis itu kita menggambar sama-sama yah, Mom. Supaya Nana ada bahan mengajari teman baru menggambar," seru Zana yang sudah beranjak dari sana, berjalan riang–setengah berlari sembari melompat, membuat rambutnya yang diikat dua seperti menari–nari. "Hais." Kina menatap piringnya yang kosong. Donatnya ludes sudah! "Mommy." "Huaa …." Kina memekik kaget saat Zana tiba-tiba muncul lag
"Aku akan pergi, kau tidak ingin mengatakan sesuatu, Kitten?" ucap Zayyan yang saat ini berdua dengan Kina, di teras halaman belakang rumah kediaman Dharmansya. "Mengatakan apa, Mas?" tanya Kina, mengerutkan kening pada Zayyan. Mereka hanya berdua, keluarganya sudah beristirahat dan begitu juga dengan Zana. Ini sudah larut malam. Ah, ini malam terakhir Kina dengan Zayyan. Bisakah selanjutnya malamnya tetap indah meski tanpa sosok ini?"Aku mencintaimu," ucap Zayyan tiba-tiba. Kina yang terkejut kembali menoleh secara cepat ke arah Zayyan. Dia tahu pria ini mencintainya. Akan tetapi kenapa Zayyan tiba-tiba mengatakannya? "Iya, aku tahu, Mas Zayyan," jawab Kina. Manik Zayyan terlihat memancarkan sorot kecewa. Bukan itu yang dia inginkan. Bukan! Zayyan ingin sebuah balasan. Zayyan akan pergi jauh dan dia butuh kepastian, agar dia yakin istrinya tetap memikirkannya selama mereka berpisah. Namun, sepertinya Zayyan tak akan mendapatkannya. "Kau belum jatuh cinta padaku?" Zayyan menole
Satu bulan berlalu, tetapi Kina masih di kota neneknya. Tak ada kabar dari suaminya, dan seluruh keluarga Azam seperti ditelan bumi. Tak ada informasi mengenai keluarga Azam. Kina melanggar ucapan suaminya, sudah dua kali dia diam-diam kembali ke kota mereka–demi memastikan apakah suaminya sudah pulang atau tidak. Kina sempat berpikir mungkin saja Zayyan sudah kembali, tetapi karena marah pada Kina, dia tidak ingin menjemput Kina. Sayangnya, rumah itu masih ditempati maid tak dikenal. Mansion utama-- juga tak jauh berbeda dengan rumah Zayyan, dihuni oleh pekerja baru. Gila! Kina rasanya ingin gila. Karena bukan hanya rumah suaminya dan rumah mertuanya yang dia kunjungi, tetapi semua rumah anggota keluarga Azam. Semuanya sama, tak ada siapapun kecuali orang tak dikenal. Kapan suaminya pulang dan pada siapa Kina bertanya kabar suaminya? "Kata Mommy, Daddy hanya seminggu di sana. Tetapi … ini sudah sebulan. Nana bahkan sudah sekolah di tempat baru," keluh Zana yang sedang sarapan,
Kina pada akhirnya pulang ke rumah neneknya, kini tengah bersantai di halaman belakang sembari bermain game di ponsel. "Bagaimana, Sayang? Kamu senang tidak berkunjung ke rumah industri kita?" tanya Paritha, datang menghampiri Kina–berdiri di sebelah Kina sembari mengusap pucuk kepala cucunya dengan penuh kasih sayang. "Senang, Nek. Tapi kesal karena aku nggak berhasil bikin satu Vas saja," ucap Kina antusias di awal lalu cemberut di akhir kalimat. Neneknya tertawa sebagai tanggapan. "Kamu pasti lelah yah? Nenek ambilkan sup kesukaanmu dulu, tunggu di sini." Paritha beranjak dari sana. Kina ingin mencegah neneknya karena dia memang tak ingin makan. Namun, notifikasi HP-nya berhasil menyita perhatiannya. Dari nomor tak dikenal–mengirim sebuah foto dan pesan. Deg deg deg'Jantung Kina seketika berdebar kencang, dadanya terasa sesak dan wajahnya berubah murung. Tatapan Kina jatuh–memandangi sebuah foto suaminya dengan seorang perempuan yang sedang bergandengan tangan, seperti tengah
"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak
"Humm?" Ebrahim mengerutkan kening, menatap tak percaya pada Zana. Istrinya tadi memanggilnya …- "Ahahaha … katanya Zana tak mau," ucap Lea dengan nada meledek. Zana yang menyadari panggilannya pada Ebrahim langsung melebarkan mata. Dia menatap Ebarhim cepat dan segera menggelengkan kepala. "Aku-- aku bisa jelasin, Kak," panik Zana. Lea dan Haiden terkekeh geli karena mendengar ucapan Zana. Menantu mereka sangat lucu. "Tak ada yang harus kamu jelaskan, Zana," geli Haiden pada sang menantu. "Aku salah …." Zana menutup wajah dengan tangan, "panggil," lanjutnya, menahan senyuman geli. Ebrahim tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Zana, dia juga mencubit gemas pipi istrinya. Makhluk satu ini sangat lucu. "Tidak apa-apa kau memanggil Kakak dengan sebutan mas. Dengan begitu kakak juga akan memanggilmu Dek." "Elleh." Alana memutar bola mata jengah mendengar ucapan kakannya. Maklum, Alana jomblo dan dia sedikit mual dengan hal berbau romantis. "Muka seram sok manis," lanjut Alana
"Kak." Panggil seseorang yang tengah Nindi dan Zana bahas. Keduanya langsung menoleh, Zana dengan tatapan penuh interogasi dan Nindi dengan muka panik serta pucat. Matilah Nindi jika sampai Zeeshan melihat gelang ini! Tunggu! Zeeshan memanggil perempuan ini dengan sebutan apa? Sayang, Kak atau apa? Saking gugupnya dia, Nindi tak ingat betul. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Zana, memicingkan mata pada adiknya. Setelah itu melirik tipis pada gadis di samping Zeeshan, setelah itu dia senyum jahil. Zeeshan yang paham dengan lirikan kakaknya, segera menoleh pada sosok di sebelahnya–di mana gadis di sebelahnya langsung menutup wajah menggunakan novel. "Aku diminta oleh Kak Ebra untuk menyusulmu. Dia takut Kakak kenapa-napa," jelas Zeeshan. "Kak Zan sudah selesai?" "Belum." Zana menjawab santai, "aku masih ingin mencari komik kesukaanku." "Aku punya." Zeeshan menjawab cepat, langsung menggandeng tangan kakaknya–menariknya supaya beranjak dari sana. "Dek, duluan yah," pamit Zana
Zana berhenti sejenak di toko buku, dia ingin membelikan Alana buku. Ada sebuah novel yang menjadi incaran Alana, sudah keluar, dan Zana ingin menbelikannya pada Alana. "Tuan Miliarder Mengejar Cinta Istri karya CacaCici," gumam Zana, mengingat-ingat novel yang ingin ia cari tersebut. Tak lama, Zana menemukan buku itu. Dia membaca sinopsis dan dia menjadi tertarik. "Kisah seorang suami yang tiga tahun mendiami istrinya karena salah paham, dan ketika istrinya lelah barulah dia sadar akan cinta yang dia miliki pada istrinya. Dia mengejar cinta istrinya dan berupaya menjadi suami yang baik juga. Wah … menarik sekali novel ini. Penulisnya pasti keren. Ckckck …." Zana mengambil dua buku karena dia juga menginginkannya. "Permisi, Kak." Zana yang ingin beranjak dari sana untuk membayar buku yang dia ambil, seketika beranjak. Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ada hal yang aneh, perempuan itu terlihat terkejut saat melihat Zana. Sedangkan Zana, dia merasa tak pernah mengenali