Kina mengintip ke arah luar, diam-diam memperhatikan suaminya yang sedang duduk sendiri di teras depan villa. Rain mungkin sudah tidur dan Samantha terakhir kali bersama Jabier. Mungkin dokter pribadinya tersebut akan tidur di villa utama, mengingat ini sudah larut dan Samantha belum kembali. 'Mas Zayyan sangat suka menyendiri. Dia seperti ini pasti setiap kali punya beban pikiran.' batin Kina, meremas pinggiran pintu karena tak tega serta cemas melihat suaminya. Dia merasa bersalah! 'Dan bajingannya, aku lah beban pikiran Mas Zayyan.' Melihat Zayyan mengeluarkan rokok, mata Kina seketika membelalak. "Aku tidak suka pria perokok!" jerit Kina secara reflek, saking paniknya dia jika Zayyan akan merokok. Menyadari kelakuannya, Kina reflek menutup mulut–menarik tubuh untuk bersembunyi di balik pintu. Zayyan sejujurnya sudah tahu Kina ada di sana. Jelas! Zayyan peka pada sekitarnya, dia mudah mendeteksi kehadiran seseorang. Terlebih jika dalam keadaan tenang seperti ini. Zayyan meleta
"Satu lagi, karena dia cukup berjasa, berikan dia pelayanan VIP dengan membiarkannya memilih sendiri cara untuk mati."Rain meringis mendengarkan ucapan Zayyan, cukup merinding dan ngeri-ngeri sedap. Makanan enak tetapi rerumputan terbaik. Enak memang! Tetapi bagi sapi, bukan manusia. Lalu pelayanan VIP? Rain kira sebuah sel tahanan dengan fasilitas mewah, ternyata diperbolehkan memilih cara untuk mati. Hais, sama saja! Memangnya ada cara mati yang mudah bagi tahanan Zayyan? "Baik, Tuan." Rain pada akhirnya hanya bisa patuh. "Aku sedang muak dan jadikan dia sebagai umpan," ucap Zayyan lagi, memberi perintah pada Rain. "Dia?" Rain mengerutkan kening, cukup panik dan takut karena bisa saja 'dia ini adalah adiknya. Namun, melihat raut muka dingin tuannya, Rain seketika tahu. "Ah, baik, saya paham, Tuan. Saya akan mengaturnya.""Hum. Beristirahatlah, kau bukan robot." "Kalau begitu saya pamit, Tuan." Rain membungkuk, tersenyum tipis karena terharu dengan ucapan Tuannya. Walaupun kaku
"Kau mengetahui sesuatu, Darling?" bisik Zayyan tepat di daun telinga Kina. Setelah itu dia mengigit pelan telinga Kina, membuat Kina bergidik ngeri–reflek tergelonjak kaget serta berusaha menarik kepala untuk menjauh dari jangkauan Zayyan. Kina tidak suka perbuatan Zayyan yang seperti ini. Jantungnya selalu tidak tahan, tubuhnya berdesir aneh, panas dingin tidak karuan. "A-aku tidak tahu apa-apa, Mas Zayyan. A-aku hanya ingin tidur di kamar," jawab Kina cepat, gelagapan karena gugup oleh perbuatan Zayyan yang terus mencium lehernya. "Kau tahu sesuatu di dalam Handphone-ku atau sesuatu …-" Zayyan menegakkan tubuh, memegang kedua sisi kepala Kina lalu mengarahkannya ke tembok, "dibalik tembok, Humm?" Gluk' Kina meneguk saliva secara kasar, matanya menoleh ke sana kemari–gelisah dan panik sendiri. Saat mendengar obrolan mengerikan antara Zayyan dan Rain, Kina rasa dia tidak se takut ini. Akan tetapi, kenapa saat Zayyan berhadapan dengannya ini lebih mengerikan dibandingkan isi pemb
"Karena Mas Zayyan imamnya, aku mengikut saja." Kina menyengir di akhir kalimat. Sejujurnya dia sangat ingin ke Paris, akan tetapi Kina tidak mungkin memaksa Zayyan. Pasti pria ini sedang cemas memikirkan keselamatannya dan Zana. Zayyan menganggukkan kepala, memejamkan mata dan tak bersuara lagi. "Mas Zayyan, aku ingin bertanya padamu. Apa perbedaan obsesi dan cinta?" tanya Kina yang terlanjur penasaran. Saking penasarannya, dia tidak membiarkan Zayyan tidur begitu saja. Dia memaksa Zayyan membuka mata, menarik kelopak mata suaminya ke atas. "Cinta itu kau dan obsesi itu cara," jawab Zayyan serak dan berat, perpaduan mengantuk dan gemas dengan istrinya. "Tidur!" "Aku akan tidur jika Zana ditengah," jawab Kina cepat. "Kalau begitu jangan tidur," enteng Zayyan yang sudah memejamkan mata kembali. Kina melongo horor, menatap suaminya tak percaya. 'Segitunya!' batin Kina. **** Setelah membujuk Zayyan sekuat tenaga, akhirnya Kina dibolehkan ke pinggir pantai, bergabung
Kina membiarkan Samantha menutup telinganya–meskipun dia sendiri menyumbat telinga dengan earbuds. Saat semua orang menatap ke arahnya, Kina kikuk dan cukup gugup. Apa dia telah melakukan kesalahan yang fatal sehingga orang-orang menatapnya marah? "Kak, buka saja. Aku tidak apa-apa," ucap Kina, menjauhkan tangan Samantha dari telinganya. Dia ingin mendengarkan orang-orang, dia ingin tahu apa yang mereka bicarakan. "Pasang lagi, Nyonya," ucap Samantha panik saat Kina nekat membuka earbuds. Kina menggelengkan kepala, tersenyum tipis ke arah Samantha yang terlihat menampilkan raut muka khawatir. Sekarang Kina tahu semua orang sedang membicarakan dirinya, mengatainya kekanak-kanakan dan egois. "Bukankah kau sangat tahu apa masalahmu dengan Kina?" Reigha mengalihkan pandanganya dari Kina, menatap Nathalia dengan tajam. "Aku tahu, Kak. Tapi … aku sudah berusaha meminta maaf, dia saja yang tidak mau menemuiku dan memaafkanku. Lalu salahku di mana lagi?" ucap Nathalia, mencari pembenaran
"Aku tidak mendengar apapun dan tolong meminta maaf pada Zana karena sudah membentaknya," ucap Kina pelan tetapi penuh tuntutan pada Zayyan, setelah mereka sampai di villa. "Kau lebih memikirkan Zana daripada kondisimu?" geram Zayyan, langsung melayangkan tatapan tajam dan marah pada Kina. Meskipun mengaku tidak mendengarkan apapun, tetapi melihat kondisi Kina, Zayyan tahu istrinya mendengar dan melihat semua kejadian tadi. Tangan Kina yang ia genggam, sejak tadi terus bergetar dan terasa dingin. Bibir dan wajah istrinya jua sudah pucat. Bagiamana tidak Zayyan tak khawatir? Ditambah istrinya sedang hamil. Bukan kewarasan Kina lagi yang Zayyan kahwatirkan. Tapi dia! Bisa-bisa dia gila, kehilangan akal sehat jika terjadi sesuatu pada istrinya dan calon bayinya. Kina menganggukkan kepala. "Zana putriku," ucapnya pelan, mencicit dan dengan nada bergetar. Maniknya sudah basah, tetapi Kina bertahan untuk tak menangis, "dan ak
[Wkwkwk … kan kamu emang gila beneran. Aku gila, kamu gila, semua orang gila. Kita gila. Hanya saja jenis gilanya saja yang berbeda. Mereka hanya tidak sadar jika sedang di zona kegilaan duniawi] Kina memutar bola mata jengah, membaca pesan dari Bintang. Saat dia berusaha menenangkan diri, tiba-tiba Bintang menghubunginya–Vidio Call. Karena melihat wajah Kina yang pucat dan terlihat panik, Bintang langsung menebak jika sahabatnya tersebut sedang dalam masalah. Dia tahu Kina tidak nyaman, dan mereka lanjut mengobrol lewat chet. [Tinggi amat kata-katamu. Ahaha … gila dunia. Tapi emang iya sih. Ngapain aku sakit hati, orang aku memang mantan orang gila.] balas Kina. Tak lama dia mendapat balasan dari Bintang. [Nah, gitu dong. Ini baru Kina sang pencuri Mangga fakultas. Hidup Kina! Hidup!] Kina membalas. [Yakali mati. Trus yang lagi chettingan sama kamu siapa? Hantu?] [Kin, aku ada info buat kam
"Kina, kamu tidak apa-apa?" tanya Ziea, langsung menghampiri Kina. Kina terlihat gugup, tak enak karena Ziea begitu khawatir. Mungkin itu karena masalah tadi. "Aku tidak apa-apa, Kak," jawab Kina, pasrah saja saat Ziea menariknya untuk duduk di sofa. Tak hanya Ziea, Lea, Haiden, Matheo, Aesya, Jabier dan Samantha juga ada di sana. Tentunya, Rain juga. Namun, orang yang menyakiti Kina, mereka tak ada. Satupun dari mereka tak terlihat batang hidungnya di sini. Akan tetapi, apa yang Kina harapkan? Permintaan maaf dari mereka? Tidak mungkin!"Maaf, Kina, tadi aku sama sekali tidak bersuara. Aku takut keadaan semakin runyam." Aesya berucap dengan nada penuh penyesalan. Demi Tuhan, dia sangat ingin membela Kina dan Zayyan, walau dia sendiri tak terlalu paham apa masalah Kina dengan Natahlia. Zayyan adalah adiknya dan dia mengenal Kina lebih dari cukup, dia seharunya membela Zayyan. Akan tetapi, ada Rafael di sana. Aesya tidak berani! "Tidak apa-apa, Kak Aesya," ucap Kina kikuk, menggaru
"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak
"Humm?" Ebrahim mengerutkan kening, menatap tak percaya pada Zana. Istrinya tadi memanggilnya …- "Ahahaha … katanya Zana tak mau," ucap Lea dengan nada meledek. Zana yang menyadari panggilannya pada Ebrahim langsung melebarkan mata. Dia menatap Ebarhim cepat dan segera menggelengkan kepala. "Aku-- aku bisa jelasin, Kak," panik Zana. Lea dan Haiden terkekeh geli karena mendengar ucapan Zana. Menantu mereka sangat lucu. "Tak ada yang harus kamu jelaskan, Zana," geli Haiden pada sang menantu. "Aku salah …." Zana menutup wajah dengan tangan, "panggil," lanjutnya, menahan senyuman geli. Ebrahim tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Zana, dia juga mencubit gemas pipi istrinya. Makhluk satu ini sangat lucu. "Tidak apa-apa kau memanggil Kakak dengan sebutan mas. Dengan begitu kakak juga akan memanggilmu Dek." "Elleh." Alana memutar bola mata jengah mendengar ucapan kakannya. Maklum, Alana jomblo dan dia sedikit mual dengan hal berbau romantis. "Muka seram sok manis," lanjut Alana
"Kak." Panggil seseorang yang tengah Nindi dan Zana bahas. Keduanya langsung menoleh, Zana dengan tatapan penuh interogasi dan Nindi dengan muka panik serta pucat. Matilah Nindi jika sampai Zeeshan melihat gelang ini! Tunggu! Zeeshan memanggil perempuan ini dengan sebutan apa? Sayang, Kak atau apa? Saking gugupnya dia, Nindi tak ingat betul. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Zana, memicingkan mata pada adiknya. Setelah itu melirik tipis pada gadis di samping Zeeshan, setelah itu dia senyum jahil. Zeeshan yang paham dengan lirikan kakaknya, segera menoleh pada sosok di sebelahnya–di mana gadis di sebelahnya langsung menutup wajah menggunakan novel. "Aku diminta oleh Kak Ebra untuk menyusulmu. Dia takut Kakak kenapa-napa," jelas Zeeshan. "Kak Zan sudah selesai?" "Belum." Zana menjawab santai, "aku masih ingin mencari komik kesukaanku." "Aku punya." Zeeshan menjawab cepat, langsung menggandeng tangan kakaknya–menariknya supaya beranjak dari sana. "Dek, duluan yah," pamit Zana
Zana berhenti sejenak di toko buku, dia ingin membelikan Alana buku. Ada sebuah novel yang menjadi incaran Alana, sudah keluar, dan Zana ingin menbelikannya pada Alana. "Tuan Miliarder Mengejar Cinta Istri karya CacaCici," gumam Zana, mengingat-ingat novel yang ingin ia cari tersebut. Tak lama, Zana menemukan buku itu. Dia membaca sinopsis dan dia menjadi tertarik. "Kisah seorang suami yang tiga tahun mendiami istrinya karena salah paham, dan ketika istrinya lelah barulah dia sadar akan cinta yang dia miliki pada istrinya. Dia mengejar cinta istrinya dan berupaya menjadi suami yang baik juga. Wah … menarik sekali novel ini. Penulisnya pasti keren. Ckckck …." Zana mengambil dua buku karena dia juga menginginkannya. "Permisi, Kak." Zana yang ingin beranjak dari sana untuk membayar buku yang dia ambil, seketika beranjak. Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ada hal yang aneh, perempuan itu terlihat terkejut saat melihat Zana. Sedangkan Zana, dia merasa tak pernah mengenali