Share

Bab 7. Menerima Rani

“Aku tidak mau melepaskanmu! Asal kamu mau merahasiakan tentang Rani. Ini untuk kebaikan kita, Sayang. Rani berperan penting bagi anak kita nanti,” terang Galvin menenangkan istri pertamanya.

Isak tangis Siska semakin pecah. Ia memang menginginkan seorang anak. Namun, ada rasa tidak terima jika anaknya nanti dikandung oleh wanita semacam Rani.

“Aku mohon, kamu terima Rani. Bagaimana pun dia sudah rela mau memberikan anak untuk kita. Kamu mengerti ‘kan?” Galvin berkata kembali agar Siska paham.

Anggukkan kecil pun Siska berikan kepada suaminya. Meski hatinya sebenarnya menolak keras, tetapi ia akan mencoba menerima Rani berada di keluarganya.

“Maafkan aku, Mas. Aku terlalu egois. Sampai-sampai aku bersikap seperti ini,” sesal Siska lirih.

Galvin yang masih memeluk tubuh istri pertamanya langsung merasa lega. Sebab, Siska sudah mau menerima Rani kali ini.

“Tidak perlu meminta maaf. Ini semua salahku, harusnya dari awal aku memberitahumu. Akan tetapi, semua sudah terjadi,” kata Galvin menyesal.

Siska semakin mempererat pelukannya kepada sang suami. Ia merindukan hal seperti ini. Apalagi hampir 2 minggu ditinggal keluar kota, lalu pulang-pulang membawa madu. Hal itu pun membuat hati Siska terasa sakit tak berdarah.

Namun, berbeda dengan Rani yang melihat dua sepasang suami-istri itu yang sedang saling berpelukan. Entah kenapa ada rasa sensasi terbakar di bagian dadanya. Padahal memang sudah sepantasnya mereka berdua saling memaafkan satu sama lain. Akan tetapi, hati Rani serasa tidak bisa menerimanya.

Ia pun akhirnya berpamit untuk ke kamarnya agar hatinya bisa kembali seperti semula.

Baik Galvin maupun Siska ia hanya mengangguk pelan dan mereka pun melanjutkan kemesraannya yang sempat hilang dengan saling bertukar ciuman.

Tentu saja, interaksi mereka dilihat langsung oleh Rani yang melihat dari lantai atas.

“Harusnya aku senang melihat mereka berbaikan. Tapi ... Ah, lupakan. Ini hanya perasaanku yang sedang tidak baik-baik saja,” ungkapnya dalam hati dengan menutup pintu kamar dan berjalan ke arah jendela.

***

Keesokan harinya. Rani yang baru bangun, ia menurunkan kakinya dari ranjang dan berjalan ke arah jendela untuk merasakan udara sejuk di pagi hari.

Ia pun melihat ke arah cermin untuk memastikan penampilannya tak berantakan. Setelah itu, ia keluar dari kamar dikarenakan perutnya sedikit keroncongan. Sebab, tadi malam ia melewatkan makan malam akibat tertidur lebih awal.

“Pagi,” sapanya ke arah Galvin dan juga Siska.

Galvin sendiri hanya mengangguk. Sedangkan Siska, hanya memberikan senyuman dengan mengode agar Rani duduk di kursi seberangnya.

“Maafkan aku, Rani. Atas sikapku yang kemarin,” kata Siska lirih.

Rani tersenyum tipis dan mengangguk. “Lupakan saja, Nyonya. Dan terima kasih sudah mau menerimaku.”

Siska pun membalas anggukan. Sementara Galvin melihat istri mereka berbaikan, perasaan di hatinya begitu bahagia. Ia pun berjanji akan bersikap adil kepada mereka berdua.

Setelah sarapan selesai. Galvin pun bersiap berangkat ke kantor. Karena hari ini akan ada meeting besar bersama investor berasal dari Singapura.

“Mas, ini jasnya,” kata Siska yang mendekat.

“Terima kasih, ya, Sayang. Semoga acaramu nanti lancar. Maaf aku tidak bisa datang,” ucap Galvin dengan mengecup kening Siska secara lembut.

“Terima kasih, Mas. Nggak apa, kok. Lagian kamu juga sibuk.” Siska merasa dirinya bahagia, suaminya tetap bersikap romantis apalagi di depan Rani saat ini.

“Ya, sudah. Aku berangkat dulu, ya,” kata Galvin dengan tersenyum kepada Siska dan Rani.

Rani hanya menanggapi dengan senyuman tipis melihat kepergian suaminya.

Setelah mobil Galvin tak terlihat. Siska pun meninggalkan Rani begitu saja di teras rumah.

Rani pun tak mempermasalahkan. Ia juga tidak mau bersikap sok dekat atau sok akrab dengan istri pertama suaminya itu. Meski Siska sudah mau menerimanya.

Ia pun berjalan masuk ke dalam kamar, sebab bingung mau melakukan apa di rumah sebesar ini. Saat hendak masuk, ia berpapasan dengan Siska yang sudah rapi dan hendak keluar.

“Aku akan ada acara di butik milikku. Mungkin pulang malam, apa kamu mau ikut?” tawar Siska basa basi.

Rani sempat terkejut mendengar tawaran dari wanita di hadapannya yang memakai dress berwarna cokelat muda dengan rambut tergerai bergelombang. Karena merasa sungkan, membuat Rani hanya menggeleng pelan.

“Tidak Nyonya. Aku di rumah saja,” jawab Rani menolak.

Siska pun mengangguk. “Baiklah, aku tinggal dulu,” ucapnya dengan berjalan keluar ke arah parkiran mobil.

Setelah kepergian istri pertama suaminya itu. Rani kembali masuk dan melihat ke sekeliling rumah suaminya yang belum sempat ia lihat keseluruhannya. Tatapannya kini tak sengaja melihat ke sebuah bingkai foto maternity shoot istri pertama suaminya.

“Nyonya pernah hamil?” gumamnya terkejut.

Perut yang dikandung Siska cukup besar, kemungkinan kehamilan di foto itu sekitar usia 8 bulan. Rani pun menaruh foto yang ia pegang kembali ke atas meja. Di dalam benaknya banyak sekali pertanyaan tentang Siska. Yang membuat ia semakin penasaran.

“Kira-kira apa yang membuat Nyonya kini tak bisa hamil? Apalagi anak yang di kandungnya pun tak terlihat di rumah ini?” ungkap Rani menerka-nerka.

“Duh, kok, aku kepo gini, sih? Cari tahu nggak, ya? Atau biarin saja?” imbuhnya dengan memegang kepalanya.

Karena ia tidak ingin memusingkan hal itu. Ia pun melupakan pertanyaan tentang istri pertama suaminya. Rani akhirnya berjalan ke arah kamar, lalu merebahkan tubuhnya untuk beristirahat.

***

Berbeda di tempat lain. Yakni kantor milik Galvin. Ia yang sibuk fokus ke layar monitor. Tanpa di sadari ia terkejut saat melihat ibunya datang ke ruangannya.

Hatinya merasa tak enak, saat melihat raut wajah Helena yang tak biasa.

“Ibu?” sapa Galvin dengan berdiri dan langsung menyalami.

Namun, tangan Galvin langsung ditampik oleh Helena dengan kasar.

“Apa maksudmu ini?” hardik Helena dengan menunjuk layar ponselnya ke hadapan Galvin.

Wajah Galvin terkejut seketika. “Dari mana Ibu mendapatkan foto itu?”

“Dari seseorang. Apa benar Rani itu wanita malam?” cecar Helena berbalik tanya.

Galvin mengusap wajahnya secara kasar. Ia ingin mencurigai Siska, tetapi ia yakin jika istri pertamanya tak mungkin yang melakukan.

“Jawab, Galvin! Apa benar Rani wanita penghibur?” ulang Helena sambil berteriak.

Galvin membuang napas panjang sebelum menjawab. Lalu ia pun mengangguk pelan karena ia tak bisa mengelak lagi.

Helena menggeleng pelan. Entah kenapa dadanya terasa sesak saat tahu tentang kebenarannya.

“Berani-beraninya kamu membohongiku, Galvin. Ibu kecewa sama kamu! Kecewa!” desis Helena dengan memegang dadanya yang sakit.

Galvin merasa bersalah telah berbohong, bahkan menutupi asal usul istri keduanya itu. Ia pun memohon maaf atas kesalahannya.

Helena menggeleng, ia belum bisa menerima kenyataan tentang istri kedua putranya. Kepalanya tiba-tiba mulai berat dan tak berlangsung lama kesadarannya pun hilang. Helena terjatuh ke atas lantai dengan keadaan tak sadarkan diri.

Galvin seketika panik. Ia pun berlutut menghampiri ibunya yang tersungkur di lantai.

“Ibu, bangun, Bu. Maafkan aku, Bu,” ucapnya menyesal dengan mencoba membangunkan Helena.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status