Share

Bab 6. Kecemburuan Siska

“Kenapa kamu diam? Karena memang benar makanya kamu tidak berani berkutik?” tawa Siska sinis.

“Kalo memang benar kenapa? Lagi pula yang menginginkan diriku, suamimu bukan aku!” jawab Rani spontan.

Siska pun tak habis pikir. Jika Rani masih berani melawannya.

“Ingat, Nyonya! Meski aku wanita malam. Tapi, aku yang akan mengandung anakmu!” timpal Rani lagi lalu pergi meninggalkan Siska yang terdiam mematung.

Tentu saja, Siska menghentakan kakinya saking kesalnya kepada istri kedua suaminya itu.

“Lama-lama aku jadi g*la gara-gara dia! Semua gagal total karena mas Galvin!” gumam Siska dengan pergi meninggalkan kamar Rani.

Di dalam kamar. Rani menghela napas panjang. Sebenarnya, dia sedikit takut karena Siska sudah tahu dari mana ia berasal. Entah kenapa ia mempunyai firasat yang tidak enak.

“Ku kira ancaman Marko paling menakutkan. Ternyata ini lebih menyeramkan dari yang dibayangkan! Astaga, bagaimana aku bisa hidup tenang selama 10 bulan ke depan,” sesalnya dalam hati.

Rani pun berjalan ke arah jendela yang menghadap ke pemukiman warga. Karena posisi kamarnya di lantai atas. Ia pun bisa melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat dengan angin yang menghembus ke wajahnya saat jendela itu sengaja ia buka.

“Kamu di sini?” ucapan seseorang dari arah belakang mengagetkan Rani yang melamun.

“Tuan!” suara Rani yang terkejut membuat Galvin tersenyum melihatnya.

“Kamu melamuni apa siang-siang begini?” tanya Galvin saat mendekat.

Rani menggeleng pelan. “Tidak, Tuan. Bukan apa-apa, hanya ingin mencari angin segar!” jawabnya spontan.

Galvin pun hanya mengangguk. “Baiklah. Cepatlah bersiap, kita akan berbelanja baju untukmu sesuai janjiku tadi pagi. Aku tunggu di bawah,” titahnya dengan berjalan keluar ke arah pintu.

Rani hanya bisa menurut. Ia pun lekas berganti pakaian yang menurutnya sedikit sopan.

Setelah selesai dan ia pun turun menghampiri Galvin yang sudah menunggunya sedari tadi.

Saat sudah berada di dalam mobil. Rani mempertanyakan keberadaan Siska yang sedari tadi tak terlihat.

“Istriku sedang berkunjung ke butiknya. Karena besok ada acara pameran yang akan ia ikuti di luar kota,” jawab Galvin sambil mengemudi.

“Kenapa Anda tidak mengantarnya, Tuan? Kenapa malah mengantarku berbelanja,” tanya Rani polos.

“Karena kamu belum terlalu paham daerah Jakarta. Kalau kamu hilang, aku juga yang repot nanti,” sahut Galvin terkikik.

Rani tersenyum malu mendengarnya. Ia pun menatap ke arah suaminya ingin menanyakan suatu hal.

Namun, gerak gerik Rani langsung terbaca oleh Galvin yang bertanya lebih dulu.

“Kamu mau ngomong apa?”

Rani lagi-lagi tersenyum kaku. “Ah, itu, Tu-an. Kapan rencanamu membuat anak. Ehem, maksudku—,”

“Nanti saja kita bicarakan hal itu,” timpal Galvin menyela ucapan Rani yang belum selesai.

Rani hanya terdiam sambil tersenyum kaku. Entah kenapa, ia menginginkan semua ini secepatnya berakhir.

Sesampainya di mall kawasan Jakarta Barat. Galvin mengajak Rani masuk dan berkeliling ke setiap toko pakaian. Jujur saja, Rani sedikit sungkan berjalan berdampingan dengan Galvin yang selalu menjadi pusat perhatian setiap orang.

Setelah masuk ke salah satu butik terkenal. Rani diperintahkan untuk memilih pakaian kesukaannya tetapi harus sopan.

“Silakan pilih sesukamu, kalau bisa sebanyak-banyaknya. Aku tunggu di sini,” titah Galvin sambil duduk di sofa yang disediakan.

Rani pun mengangguk senang. Ini adalah kesukaannya berbelanja banyak tanpa harus memikirkan pembayarannya.

“Duh, enak juga jadi Nyonya,” gumam Rani sambil memilih beberapa pakaian dress selutut.

Tanpa Rani sadari, Galvin sedari tadi memperhatikannya dari tempat satu ke tempat yang lain. Galvin sendiri merasa ada sedikit yang berbeda di perasaannya. Namun, ia tak menyadari akan hal itu.

“Tuan, aku sudah memilih beberapa baju yang aku suka,” kata Rani mendekat ke arah Galvin.

Galvin bahkan sampai terkejut saat istri keduanya sudah berada di hadapannya kini.

“Apa segitu cukup?” tanyanya gugup.

Rani mengangguk. “Cukup, Tuan. Sangat cukup.”

“Baiklah, kalo cukup aku akan membayar semuanya,” kata Galvin sambil beranjak dari kursi sofa dan berjalan ke arah kasir.

Setelah membayar semua belanjaan Rani. Galvin lalu mengajak Rani untuk makan siang bersama. Sebenarnya, Rani menolak. Akan tetapi, Galvin memaksa terus menerus.

Mereka berdua pun berjalan ke arah makanan khas Jepang yang berada di lobi mall.

Makanan sudah mereka pesan. Namun, di antara Rani maupun Galvin mereka saling terdiam satu sama lain. Rani pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling area mall. Tiba-tiba dari arah pintu masuk lobi, ia melihat seseorang yang wajahnya terlihat tidak asing.

“Astaga! Bukankah dia pelanggan terakhirku waktu itu,” gumam Rani terkejut. Ia pun mengambil buku menu untuk menutupi wajahnya agar tak terlihat.

“Kenapa?” tanya Galvin bingung.

Rani menggeleng. “Ti-dak, Tuan. Tidak apa-apa,” sahutnya gugup.

Galvin menurunkan buku menu itu dari wajah Rani. Lalu ia melihat ekspresi raut wajah Rani yang sedikit panik.

“Apa kamu melihat sesuatu?” tanyanya menebak.

Rani akhirnya mengangguk pelan. “Kita pulang saja, Tuan. Lagi pula aku masih kenyang,” ajaknya dengan beranjak dari kursi.

Galvin pun mau tak mau hanya bisa menuruti keinginan istri keduanya. Padahal makanan sudah mereka pesan.

Setelah keluar dari lobi mall, mereka berjalan ke arah basemen untuk mengambil mobil. Di perjalanan Rani lebih banyak diam tak seperti biasanya. Hal itu membuat Galvin menjadi cemas. Namun, ia tak berani bertanya lebih banyak.

Hampir 25 menit perjalanan. Kini mobil yang dikendarai Galvin pun sampai kediamannya. Setelah memarkirkan mobil, mereka masuk secara bersamaan. Tanpa mereka sadari Siska ternyata sudah menunggunya di ruang tamu sedari tadi.

“Dari mana saja kamu, Mas?” tanya sinis Siska.

“Aku mengantar Rani berbelanja baju,” sahut Galvin terus terang.

Siska mendecih. “Apa dia nggak bisa berbelanja sendiri sampai kamu mau direpotkan?”

Galvin menghela napas panjang. “Ini kemauanku sendiri, Sayang. Karena Rani belum tahu jalan. Lagi pula aku sudah izin sama kamu, tapi kamu tidak membalas pesanku?”

Siska tetap saja tidak mempercayai. Jujur ia cemburu kepada Rani. Sebab, sikap Galvin menurutnya terlalu berlebihan.

“Itu hanya alasan dia saja ‘kan, Mas?” tunjuk Siska ke arah Rani. “Seorang wanita malam memang tugasnya menggoda. Lalu kamu gunakan kepolosanmu untuk menggoda suamiku, hah?” teriak Siska membuat Galvin ikut tersulut emosi.

“Cukup, Siska! Rani tidak salah, karena aku sendiri yang ingin mengantarnya!” bentak Galvin tak bisa terkontrol.

Siska yang mendapat bentakan dari suaminya terkejut. Kedua matanya mengembun seketika.

“Maaf, Sayang. Aku tidak bermak—,”

“Cukup, Mas! Aku tidak mau mendengar penjelasanmu!” isak Siska menggeleng. Ia berjalan mundur secara perlahan. Sebab, Galvin mencoba mendekat.

Hati Siska terasa sakit mendengar bentakan suaminya. Selama ia menikah dengan Galvin. Baru kali ini ia dibentak untuk yang kedua kalinya hanya karena seorang wanita.

“Akan aku beri tahu ke orang tuamu. Siapa Rani sebenarnya!” ancam Siska serius.

“Tolong, Sayang. Aku mohon jangan,” pinta Galvin lirih. “Aku tahu, aku salah. Tolong, maafkan aku!”

Siska tak menggubrisnya sama sekali. Ia langsung berjalan ke arah pintu keluar dengan air mata yang membanjiri wajahnya.

Galvin dengan cepat mencegahnya. Siska pun memberontak, tetapi tenaga suaminya lebih besar darinya.

“Lepaskan aku, Mas. Lepas!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status