“Kenapa kamu diam? Karena memang benar makanya kamu tidak berani berkutik?” tawa Siska sinis.
“Kalo memang benar kenapa? Lagi pula yang menginginkan diriku, suamimu bukan aku!” jawab Rani spontan. Siska pun tak habis pikir. Jika Rani masih berani melawannya. “Ingat, Nyonya! Meski aku wanita malam. Tapi, aku yang akan mengandung anakmu!” timpal Rani lagi lalu pergi meninggalkan Siska yang terdiam mematung. Tentu saja, Siska menghentakan kakinya saking kesalnya kepada istri kedua suaminya itu. “Lama-lama aku jadi g*la gara-gara dia! Semua gagal total karena mas Galvin!” gumam Siska dengan pergi meninggalkan kamar Rani. Di dalam kamar. Rani menghela napas panjang. Sebenarnya, dia sedikit takut karena Siska sudah tahu dari mana ia berasal. Entah kenapa ia mempunyai firasat yang tidak enak. “Ku kira ancaman Marko paling menakutkan. Ternyata ini lebih menyeramkan dari yang dibayangkan! Astaga, bagaimana aku bisa hidup tenang selama 10 bulan ke depan,” sesalnya dalam hati. Rani pun berjalan ke arah jendela yang menghadap ke pemukiman warga. Karena posisi kamarnya di lantai atas. Ia pun bisa melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat dengan angin yang menghembus ke wajahnya saat jendela itu sengaja ia buka. “Kamu di sini?” ucapan seseorang dari arah belakang mengagetkan Rani yang melamun. “Tuan!” suara Rani yang terkejut membuat Galvin tersenyum melihatnya. “Kamu melamuni apa siang-siang begini?” tanya Galvin saat mendekat. Rani menggeleng pelan. “Tidak, Tuan. Bukan apa-apa, hanya ingin mencari angin segar!” jawabnya spontan. Galvin pun hanya mengangguk. “Baiklah. Cepatlah bersiap, kita akan berbelanja baju untukmu sesuai janjiku tadi pagi. Aku tunggu di bawah,” titahnya dengan berjalan keluar ke arah pintu. Rani hanya bisa menurut. Ia pun lekas berganti pakaian yang menurutnya sedikit sopan. Setelah selesai dan ia pun turun menghampiri Galvin yang sudah menunggunya sedari tadi. Saat sudah berada di dalam mobil. Rani mempertanyakan keberadaan Siska yang sedari tadi tak terlihat. “Istriku sedang berkunjung ke butiknya. Karena besok ada acara pameran yang akan ia ikuti di luar kota,” jawab Galvin sambil mengemudi. “Kenapa Anda tidak mengantarnya, Tuan? Kenapa malah mengantarku berbelanja,” tanya Rani polos. “Karena kamu belum terlalu paham daerah Jakarta. Kalau kamu hilang, aku juga yang repot nanti,” sahut Galvin terkikik. Rani tersenyum malu mendengarnya. Ia pun menatap ke arah suaminya ingin menanyakan suatu hal. Namun, gerak gerik Rani langsung terbaca oleh Galvin yang bertanya lebih dulu. “Kamu mau ngomong apa?” Rani lagi-lagi tersenyum kaku. “Ah, itu, Tu-an. Kapan rencanamu membuat anak. Ehem, maksudku—,” “Nanti saja kita bicarakan hal itu,” timpal Galvin menyela ucapan Rani yang belum selesai. Rani hanya terdiam sambil tersenyum kaku. Entah kenapa, ia menginginkan semua ini secepatnya berakhir. Sesampainya di mall kawasan Jakarta Barat. Galvin mengajak Rani masuk dan berkeliling ke setiap toko pakaian. Jujur saja, Rani sedikit sungkan berjalan berdampingan dengan Galvin yang selalu menjadi pusat perhatian setiap orang. Setelah masuk ke salah satu butik terkenal. Rani diperintahkan untuk memilih pakaian kesukaannya tetapi harus sopan. “Silakan pilih sesukamu, kalau bisa sebanyak-banyaknya. Aku tunggu di sini,” titah Galvin sambil duduk di sofa yang disediakan. Rani pun mengangguk senang. Ini adalah kesukaannya berbelanja banyak tanpa harus memikirkan pembayarannya. “Duh, enak juga jadi Nyonya,” gumam Rani sambil memilih beberapa pakaian dress selutut. Tanpa Rani sadari, Galvin sedari tadi memperhatikannya dari tempat satu ke tempat yang lain. Galvin sendiri merasa ada sedikit yang berbeda di perasaannya. Namun, ia tak menyadari akan hal itu. “Tuan, aku sudah memilih beberapa baju yang aku suka,” kata Rani mendekat ke arah Galvin. Galvin bahkan sampai terkejut saat istri keduanya sudah berada di hadapannya kini. “Apa segitu cukup?” tanyanya gugup. Rani mengangguk. “Cukup, Tuan. Sangat cukup.” “Baiklah, kalo cukup aku akan membayar semuanya,” kata Galvin sambil beranjak dari kursi sofa dan berjalan ke arah kasir. Setelah membayar semua belanjaan Rani. Galvin lalu mengajak Rani untuk makan siang bersama. Sebenarnya, Rani menolak. Akan tetapi, Galvin memaksa terus menerus. Mereka berdua pun berjalan ke arah makanan khas Jepang yang berada di lobi mall. Makanan sudah mereka pesan. Namun, di antara Rani maupun Galvin mereka saling terdiam satu sama lain. Rani pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling area mall. Tiba-tiba dari arah pintu masuk lobi, ia melihat seseorang yang wajahnya terlihat tidak asing. “Astaga! Bukankah dia pelanggan terakhirku waktu itu,” gumam Rani terkejut. Ia pun mengambil buku menu untuk menutupi wajahnya agar tak terlihat. “Kenapa?” tanya Galvin bingung. Rani menggeleng. “Ti-dak, Tuan. Tidak apa-apa,” sahutnya gugup. Galvin menurunkan buku menu itu dari wajah Rani. Lalu ia melihat ekspresi raut wajah Rani yang sedikit panik. “Apa kamu melihat sesuatu?” tanyanya menebak. Rani akhirnya mengangguk pelan. “Kita pulang saja, Tuan. Lagi pula aku masih kenyang,” ajaknya dengan beranjak dari kursi. Galvin pun mau tak mau hanya bisa menuruti keinginan istri keduanya. Padahal makanan sudah mereka pesan. Setelah keluar dari lobi mall, mereka berjalan ke arah basemen untuk mengambil mobil. Di perjalanan Rani lebih banyak diam tak seperti biasanya. Hal itu membuat Galvin menjadi cemas. Namun, ia tak berani bertanya lebih banyak. Hampir 25 menit perjalanan. Kini mobil yang dikendarai Galvin pun sampai kediamannya. Setelah memarkirkan mobil, mereka masuk secara bersamaan. Tanpa mereka sadari Siska ternyata sudah menunggunya di ruang tamu sedari tadi. “Dari mana saja kamu, Mas?” tanya sinis Siska. “Aku mengantar Rani berbelanja baju,” sahut Galvin terus terang. Siska mendecih. “Apa dia nggak bisa berbelanja sendiri sampai kamu mau direpotkan?” Galvin menghela napas panjang. “Ini kemauanku sendiri, Sayang. Karena Rani belum tahu jalan. Lagi pula aku sudah izin sama kamu, tapi kamu tidak membalas pesanku?” Siska tetap saja tidak mempercayai. Jujur ia cemburu kepada Rani. Sebab, sikap Galvin menurutnya terlalu berlebihan. “Itu hanya alasan dia saja ‘kan, Mas?” tunjuk Siska ke arah Rani. “Seorang wanita malam memang tugasnya menggoda. Lalu kamu gunakan kepolosanmu untuk menggoda suamiku, hah?” teriak Siska membuat Galvin ikut tersulut emosi. “Cukup, Siska! Rani tidak salah, karena aku sendiri yang ingin mengantarnya!” bentak Galvin tak bisa terkontrol. Siska yang mendapat bentakan dari suaminya terkejut. Kedua matanya mengembun seketika. “Maaf, Sayang. Aku tidak bermak—,” “Cukup, Mas! Aku tidak mau mendengar penjelasanmu!” isak Siska menggeleng. Ia berjalan mundur secara perlahan. Sebab, Galvin mencoba mendekat. Hati Siska terasa sakit mendengar bentakan suaminya. Selama ia menikah dengan Galvin. Baru kali ini ia dibentak untuk yang kedua kalinya hanya karena seorang wanita. “Akan aku beri tahu ke orang tuamu. Siapa Rani sebenarnya!” ancam Siska serius. “Tolong, Sayang. Aku mohon jangan,” pinta Galvin lirih. “Aku tahu, aku salah. Tolong, maafkan aku!” Siska tak menggubrisnya sama sekali. Ia langsung berjalan ke arah pintu keluar dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Galvin dengan cepat mencegahnya. Siska pun memberontak, tetapi tenaga suaminya lebih besar darinya. “Lepaskan aku, Mas. Lepas!”“Aku tidak mau melepaskanmu! Asal kamu mau merahasiakan tentang Rani. Ini untuk kebaikan kita, Sayang. Rani berperan penting bagi anak kita nanti,” terang Galvin menenangkan istri pertamanya. Isak tangis Siska semakin pecah. Ia memang menginginkan seorang anak. Namun, ada rasa tidak terima jika anaknya nanti dikandung oleh wanita semacam Rani. “Aku mohon, kamu terima Rani. Bagaimana pun dia sudah rela mau memberikan anak untuk kita. Kamu mengerti ‘kan?” Galvin berkata kembali agar Siska paham. Anggukkan kecil pun Siska berikan kepada suaminya. Meski hatinya sebenarnya menolak keras, tetapi ia akan mencoba menerima Rani berada di keluarganya. “Maafkan aku, Mas. Aku terlalu egois. Sampai-sampai aku bersikap seperti ini,” sesal Siska lirih. Galvin yang masih memeluk tubuh istri pertamanya langsung merasa lega. Sebab, Siska sudah mau menerima Rani kali ini. “Tidak perlu meminta maaf. Ini semua salahku, harusnya dari awal aku memberitahumu. Akan tetapi, semua sudah terjadi,” ka
Galvin langsung membawa Helena ke rumah sakit terdekat dari kantor dibantu oleh asisten pribadinya. Setelah menempuh perjalanan kurang dari 20 menit. Kini mobil Galvin sudah sampai di halaman lobi rumah sakit. Lingga, asisten Galvin langsung membantu membukakan pintu mobil dan membantu mengangkat Helena ke atas brankar. “Lingga, tolong kamu handle dulu meeting hari ini. Aku akan menemani ibuku sampai sadar,” titah Galvin saat Helena sudah masuk ke ruang IGD. Sang asisten pun hanya mengangguk pelan. Setelah pamit kepada bosnya. Lingga langsung meninggalkan Galvin seorang diri di koridor rumah sakit. Galvin mendudukkan bokongnya di kursi tunggu dengan memijat pelipisnya secara pelan. Tak lama, seseorang datang tergesa-gesa menghampiri keberadaan Galvin. “Apa yang terjadi, Vin? Kenapa ibumu dilarikan ke rumah sakit?” tanya Frans tanpa basa basi. “Maafkan aku, Ayah. Ini semua salahku,” jawab Galvin dengan lesu. “Apa maksudmu, Galvin? Katakan dengan jelas!” hardik Frans menin
Rani yang bingung akan pengusiran dari mertuanya itu hanya bisa terdiam dengan wajah polosnya. “Apa yang terjadi, Mas?” Siska yang baru saja datang dibuat bingung oleh ekspresi wajah ibu mertuanya yang tampak kesal. “Suruh wanita j*lang itu pergi, Siska! Aku tidak sudi melihat dia di sini!” usir Helena sekali lagi mengarah pada Rani. “Kamu belum tahu ‘kan?” tunjuk Helena dengan jari telunjuknya. “Ternyata wanita itu adalah wanita malam. Aku tahu dia mau dijadikan istri kedua pasti ingin memanfaatkan Galvin dan juga anaknya nanti,” imbuhnya menyindir. Galvin yang mendengar hal itu tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Karena kenyataannya tidak seperti itu. “Ibu, yang Ibu katakan itu tidak benar!” bela Galvin dengan tegas. “Aku yang menginginkan Rani. Aku pula yang sudah menawarkan Rani untuk menjadi istri keduaku. Rani memang sempat menolak, tetapi aku memaksanya. Sebab, aku merasa Rani wanita yang pantas untuk memberiku seorang anak,” beber Galvin menjelaskan
Sepulang dari rumah sakit. Rani tampak senang karena ia sudah bisa diterima oleh keluarga Galvin seutuhnya. Ia juga sudah berjanji akan memberikan seorang cucu secepatnya kepada Helena. Rani bahkan akan meminta haknya kepada Galvin agar melakukan hubungan selayaknya suami istri. Karena Siska saat ke rumah sakit membawa mobil sendiri membuat Rani dan Galvin pulang hanya berdua. Rani tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertanya kembali mengenai haknya. “Tuan, aku ingin bicara,” kata Rani dengan serius. Galvin pun sengaja menghentikan mobilnya agar bisa mendengarkan apa yang akan dibicarakan oleh istri keduanya itu. “Mau bicara apa?” tanya Galvin dengan memandang ke arah wajah Rani. “Aku....,” jeda Rani gugup. Namun, karena ia tidak bisa menunda lagi. Akhirnya ia memberanikan diri mencium bibir Galvin. Tentu saja, Galvin sangat terkejut oleh sikap Rani yang seberani itu. Ia pun mendorong tubuh Rani untuk menjauh. “Maaf, Rani. Apa yang kamu lakukan?” Galvin berkata de
Malam yang dingin berubah menjadi malam yang panas bagi sepasang suami-istri yang baru menikah dua minggu yang lalu. Pernikahan yang terjadi secara kebetulan karena sebuah perjanjian demi memiliki seorang keturunan. Hal itu pun yang membuat mereka berdua kini saling bertukar gair*h tanpa direncana. Galvin sendiri di sesi terakhir, ia menyemburkan cairan hangat ke dalam rahim milik Rani yang sudah membuat h*sratnya tak bisa dikendalikan. Setelah kedua pasangan itu sama-sama sudah mencapai puncak kenikmatan. Galvin yang lelah, tak tersadar ia ambruk di atas tubuh istri keduanya. Rani bahkan tidak menyingkirkan tubuh suaminya itu. Ia biarkan Galvin terlelap di atas tubuhnya. “Terima kasih, Tuan. Atas sentuhanmu,” gumamnya dalam hati. Ia tersenyum sambil membelai pipi wajah Galvin yang tak sadarkan diri. Jantung Rani semakin berdebar saat jemari tangannya berhenti di bagian bibir suaminya. Ia pun langsung menarik dengan cepat dan tangannya mendorong tubuh Galvin agar turun
Rani pun membereskan sisa sarapannya dan merapikan semua yang ada di atas meja lalu membawanya ke dapur. Saat dirinya sibuk mencuci piring. Terdengar suara ponselnya yang dering. Di sana terlihat nama Marko yang muncul di layar pipihnya yang menyala. Sempat ragu akan menjawab atau tidak. Namun, karena berdering hampir tiga kali membuat Rani mau tak mau akhirnya menggeser tombol hijau ke arah kanan. “Ada apa?” tanya Rani singkat. “Kenapa tidak menjawab panggilanku sedari tadi, hah?” sungut Marko kesal. Rani hanya terdiam tak menjawab pertanyaan dari Marko. “Kita sudah tidak ada urusan. Jadi, jangan pernah hubungi aku lagi,” sahut Rani mengalihkan ke yang lain. Marko menyeringai tersenyum di seberang sana. “Mentang-mentang kamu sudah dinikahi oleh pria kaya raya, jadi kamu seenaknya bicara seperti itu, hah?” cecar Marko berteriak. Rani menjauhkan ponselnya dari telinganya karena suara keras Marko. “Maaf, aku sibuk jangan pernah hubungi aku lagi!” Rani pun mematikan
Rani terkejut saat melihat seseorang yang wajahnya sangat tak asing baginya. Sama halnya dengan Rani. Seseorang yang memakai jaz warna abu-abu juga ikut terkejut. “Rani?” ucap Pria itu memanggil wanita di hadapannya. Sontak Rani langsung tersenyum tipis saat mengingat jika pria di hadapannya saat ini adalah pria yang selalu memakai jasanya. “Tuan,” sapa Rani gugup. “Wah, aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini. Aku kira kamu hanya menetap di Bali,” kata pria itu dengan memasang wajah senang. “Aku sudah pindah ke sini, Tuan.” “Baguslah kalau gitu. Jadi, aku tidak perlu jauh ke Bali untuk menemuimu,” kata pria itu lagi tersenyum. Rani yang paham dengan ucapan pria itu pun langsung mencari alasan yang lain agar obrolannya saat ini segera disudahi. Karena, pembahasan pria itu mengarah pada dirinya yang dikira masih menjadi wanita malam. “Maaf, Tuan. Aku harus pergi!” pamit Rani. Namun, pria itu langsung mencekal tangan kiri Rani, membuat si Rani mau tak mau menghen
“Kamu sangat memuaskan, Sayang. Aku akan kembali minggu depan, kamu harus bersiap,” ucap seorang Pria berbadan tinggi dengan tubuh sedikit gempal. “Kembalilah, akan aku tunggu,” jawab wanita seksi berbaju ungu dengan nada manja. Pria itu pun tersenyum lalu meninggalkan kamar VIP setelah pakaian yang ia gunakan rapi seperti semula. “Sungguh melelahkan sekali malam ini,” gumam wanita yang masih betah berbaring di atas ranjang. Tidak lama, ponsel yang ia letakan di nakas berdering. “Di mana kamu, Rani?” tanya wanita paruh baya di seberang sana. “Masih di kamar. Kenapa memangnya?” “Keluarlah, cepat. Datang ke ruanganku, sekarang!” titahnya dengan nada tinggi. Wanita yang di panggil Rani pun beranjak dari ranjang dengan malas. “Pasti akan di omelin lagi!” gerutunya dengan memungut pakaian seksinya yang masih berserakan di lantai. Rani keluar dari kamar VIP lalu berjalan ke arah ruangan yang di tuju. Setelah sampai ia pun membuka pintu dan masuk begitu saja. “Ada apa