Share

Bab 5. Diketahui

Sementara itu, Rani yang di kamar pun berganti pakaian memakai baju yang menurutnya sopan. Ia keluar untuk menyapa keluarga sang suami. Tidak ada rasa penyesalan sedikit pun di hati Rani setelah apa yang terjadi di beberapa menit yang lalu.

Lagi pula itu sudah menjadi kebiasaannya. Membuat ia merasa hal itu biasa saja.

“Selamat pagi semua,” sapa Rani tersenyum. Namun, sayangnya tidak ada satu pun yang merespons.

Galvin yang tersenyum tipis, akhirnya menarik tangan istri keduanya untuk duduk di sebelahnya yang kosong.

“Duduklah, setelah sarapan kita langsung pulang ke rumah,” titahnya kepada Rani yang mengangguk pelan.

Rani hanya menurut. Ia tak mempermasalahkan sikap keluarga dari suaminya itu.

“Maksudmu pulang apa, Mas?” tanya Siska menimpali.

“Kita kembali ke rumah, lagi pula sekarang sudah ada Rani yang menemani kamu,” sahut Galvin.

Siska mendecih. “Aku tak sudi ditemani orang kaya dia!” tunjuknya mengarah pada Rani. “Jangankan tinggal serumah, dekat saja aku merasa jijik!” imbuhnya sinis.

“Siska! Jaga bicaramu!” bentak Galvin tidak terima.

“Kamu bentak aku, Mas? Padahal apa yang aku katakan memang benar! Aku jijik sama dia!” sungut Siska meradang.

“Galvin! Apa pantas bicara seperti itu kepada istrimu! Hanya demi membela wanita seperti dia!” Helena ikut angkat bicara.

“Sudah, Mah. Jangan ikut campur.” Frans memenangkan istrinya yang terlihat emosi. “Cepat, habiskan makanannya,” sambungnya lagi.

Helena hanya bisa membuang napas kasar. Ia tidak suka Galvin bersikap kasar kepada menantu kesayangannya itu. Apalagi ia belum sepenuhnya menerima kehadiran Rani di keluarganya.

Rani semakin tidak selera untuk menghabiskan makanannya. Belum juga habis, ia lebih memilih untuk beranjak dari kursinya dan berjalan masuk ke dalam kamarnya lagi.

“Rani!” Galvin memanggil. Namun, Rani menghiraukan.

Siska sendiri ia tersenyum miring saat melihat tingkah istri kedua suaminya itu.

“Tidak ku sangka seleramu sangat rendah, Mas!” sindirnya dengan melipat kedua tangannya di atas d*da.

“Apa maksudmu?” Galvin memandang ke arah Siska tak mengerti.

“Aku sudah tahu asal usul wanita itu. Jika kedua orang tuamu tahu. Apa kata mereka nanti?” Siska berkata dengan nada mengejek.

Tentu saja, wajah Galvin berubah tak biasa. Ia sudah menduga jika istrinya memang cerdas dalam segala hal.

“Tolong, rahasiakan. Aku tidak mau membuat Rani sedih jika asal usulnya diketahui oleh siapa pun. Aku mohon!” pinta Galvin berharap Siska mau mengabulkan permintaannya.

Bukan apa-apa, mendengar permohonan Galvin yang memelas. Membuat hati Siska merasa terbagi oleh wanita itu.

Kedua mata Siska mengembun, tetapi ia masih tetap berekspresi tertawa.

“Kenapa kamu selalu menjaga wibawa wanita itu, Mas? Padahal di sini aku yang paling terluka?” Siska akhirnya mengungkapkan apa yang ia rasakan.

Galvin paham apa yang dikatakan istrinya itu. Ia mengaku salah, tetapi ia tak bisa berbuat apa pun karena semua terjadi begitu cepat.

“Maafkan aku, Sayang. Tolong, kamu pahami. Yang aku lakukan ini semua demi keluarga kecil kita. Bersabarlah, sampai anak yang dikandung Rani dilahirkan. Aku dan Rani akan berpisah,” terang Galvin dengan berat.

Siska mendecih, ia tidak bisa percaya begitu saja. Apalagi yang ia tangkap Rani bukan wanita yang gampang dibohongi. Ada sisi lain yang belum ia ketahui dari wanita itu.

“Cepat bereskan barang-barang. Kita pulang ke rumah hari ini juga,” sambung Galvin dengan beranjak dari kursi untuk ke kamar Rani.

Siska semakin geram. Ia sebenarnya malas pulang ke rumah apalagi harus serumah dengan madu suaminya.

“Lihat aja, akan kubuat dia tidak betah tinggal di rumahku!” gumam Siska kesal.

***

Galvin kini masuk ke kamar Rani setelah mengetuk pintu. Ia duduk di pinggir ranjang dengan perasaan bersalah.

“Kamu kenapa tidak menghabiskan makanannya?” tanya Galvin berbasa basi.

“Tidak selera.” Rani menjawab singkat.

“Maaf, sudah membuatmu tak selera makan,” ucap Galvin merasa salah.

Rani melihat ke arah suaminya yang menunduk. “Tidak perlu meminta maaf, aku tidak apa kok. Oh, ya, kapan kita akan pergi dari rumah ini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

“Sekarang, kamu bersiap-siap. Kita akan pulang bersama dengan istri pertamaku,” sahut Galvin tersenyum tipis.

Rani hanya mengangguk pelan. “Its okay, tak masalah. Ya, sudah aku akan membereskan barang-barangku, Tuan,” ucapnya tersenyum.

“Baiklah, aku tunggu di ruang tamu.”

Setelah kepergian Galvin. Rani langsung membereskan barang-barangnya yang masih berantakan.

Galvin yang kini berjalan ke ruang tengah, di sana ia melihat istri pertamanya sedang berbincang bersama kedua orang tuanya di sofa.

“Ingat, Galvin. Meski Ibu tidak berada di satu atap dengan kalian. Jika sampai Ibu mendengar kamu membuat Siska menangis atau tertekan olehmu, kamu langsung berurusan denganku!” ancam Helena serius.

“Ibu tenang saja, aku akan mencoba bersikap adil kepada Siska maupun Rani,” jawab Galvin terus terang.

“Ayah, percaya sama kamu,” ucap Frans kepada putra sulungnya.

Galvin tersenyum mendengar ucapan ayahnya yang bijaksana.

Tidak lama, Rani kini muncul ke ruang tengah dengan membawa koper miliknya. Ia pamit kepada kedua orang tua suaminya itu. Meski sikap Helena masih acuh, tetapi Rani beruntung Frans masih bisa menerima uluran tangan dan berkata baik padanya.

Setelah masuk ke dalam mobil dan meninggalkan kediaman kedua orang tuanya. Baik Galvin maupun Siska dan Rani mereka bertiga saling diam saat berada di perjalanan.

Tak berselang lama mobil Galvin pun kini sudah sampai di kediamannya setelah menempuh perjalanan hampir satu jam.

Jujur saja, Rani sangat terpukau melihat rumah milik suaminya yang begitu mewah. Ia bahkan melihat ke seluruh sudut rumah yang begitu klasik berbalut modern.

“Hei, kamu sini. Akan aku tunjukan kamarmu di mana,” kata Siska dengan ketus.

Rani hanya menurut dan mengikuti langkah istri pertamanya yang naik ke atas tangga.

“Ini kamarmu. Sebenarnya aku kurang cocok kamu tinggal di kamar ini. Namun, mas Galvin yang memaksanya. Apa boleh buat aku hanya bisa menurutinya,” ucap Siska dengan nada jutek.

“Oh, ya. Karena ini rumahku, jadi kamu jangan bersikap seenaknya! Semua di rumah ini aku yang mengatur. Jadi, kamu harus mengikuti semua aturanku. Apa kamu paham!” imbuhnya mengancam.

Rani tertawa kali ini. Hal itu pun membuat Siska menaikkan kedua alisnya.

“Kenapa kamu tertawa?” Siska merasa diejek.

“Maaf, Nyonya. Tetapi aku tidak mau mengikuti aturanmu,” kata Rani menantang.

“Apa kamu bilang? Kamu membantah ucapanku?” Siska mulai meradang.

“Tentu saja, status kita sama. Kenapa aku harus takut!” Rani menyeringai. “Jangan menginjak harga diriku, jika harga dirimu tidak mau aku injak! Camkan itu!” gertaknya membuat Siska membulatkan kedua matanya tak percaya.

Rani pun meninggalkan Siska dan hendak masuk ke dalam kamarnya.

“Harga diri yang seperti apa? Kenyataannya harga dirimu sangat murahan!” suara lantang Siska itu pun membuat langkah Rani terhenti.

“Apa katamu?” Rani bertanya mengarah pada Siska yang menyeringai.

“Aku tahu siapa dirimu sebenarnya. Kamu hanya wanita malam, bukan?”

Sontak saja, Rani langsung membelalak dan terdiam membisu mendengarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status