Sementara itu, Rani yang di kamar pun berganti pakaian memakai baju yang menurutnya sopan. Ia keluar untuk menyapa keluarga sang suami. Tidak ada rasa penyesalan sedikit pun di hati Rani setelah apa yang terjadi di beberapa menit yang lalu.
Lagi pula itu sudah menjadi kebiasaannya. Membuat ia merasa hal itu biasa saja. “Selamat pagi semua,” sapa Rani tersenyum. Namun, sayangnya tidak ada satu pun yang merespons. Galvin yang tersenyum tipis, akhirnya menarik tangan istri keduanya untuk duduk di sebelahnya yang kosong. “Duduklah, setelah sarapan kita langsung pulang ke rumah,” titahnya kepada Rani yang mengangguk pelan. Rani hanya menurut. Ia tak mempermasalahkan sikap keluarga dari suaminya itu. “Maksudmu pulang apa, Mas?” tanya Siska menimpali. “Kita kembali ke rumah, lagi pula sekarang sudah ada Rani yang menemani kamu,” sahut Galvin. Siska mendecih. “Aku tak sudi ditemani orang kaya dia!” tunjuknya mengarah pada Rani. “Jangankan tinggal serumah, dekat saja aku merasa jijik!” imbuhnya sinis. “Siska! Jaga bicaramu!” bentak Galvin tidak terima. “Kamu bentak aku, Mas? Padahal apa yang aku katakan memang benar! Aku jijik sama dia!” sungut Siska meradang. “Galvin! Apa pantas bicara seperti itu kepada istrimu! Hanya demi membela wanita seperti dia!” Helena ikut angkat bicara. “Sudah, Mah. Jangan ikut campur.” Frans memenangkan istrinya yang terlihat emosi. “Cepat, habiskan makanannya,” sambungnya lagi. Helena hanya bisa membuang napas kasar. Ia tidak suka Galvin bersikap kasar kepada menantu kesayangannya itu. Apalagi ia belum sepenuhnya menerima kehadiran Rani di keluarganya. Rani semakin tidak selera untuk menghabiskan makanannya. Belum juga habis, ia lebih memilih untuk beranjak dari kursinya dan berjalan masuk ke dalam kamarnya lagi. “Rani!” Galvin memanggil. Namun, Rani menghiraukan. Siska sendiri ia tersenyum miring saat melihat tingkah istri kedua suaminya itu. “Tidak ku sangka seleramu sangat rendah, Mas!” sindirnya dengan melipat kedua tangannya di atas d*da. “Apa maksudmu?” Galvin memandang ke arah Siska tak mengerti. “Aku sudah tahu asal usul wanita itu. Jika kedua orang tuamu tahu. Apa kata mereka nanti?” Siska berkata dengan nada mengejek. Tentu saja, wajah Galvin berubah tak biasa. Ia sudah menduga jika istrinya memang cerdas dalam segala hal. “Tolong, rahasiakan. Aku tidak mau membuat Rani sedih jika asal usulnya diketahui oleh siapa pun. Aku mohon!” pinta Galvin berharap Siska mau mengabulkan permintaannya. Bukan apa-apa, mendengar permohonan Galvin yang memelas. Membuat hati Siska merasa terbagi oleh wanita itu. Kedua mata Siska mengembun, tetapi ia masih tetap berekspresi tertawa. “Kenapa kamu selalu menjaga wibawa wanita itu, Mas? Padahal di sini aku yang paling terluka?” Siska akhirnya mengungkapkan apa yang ia rasakan. Galvin paham apa yang dikatakan istrinya itu. Ia mengaku salah, tetapi ia tak bisa berbuat apa pun karena semua terjadi begitu cepat. “Maafkan aku, Sayang. Tolong, kamu pahami. Yang aku lakukan ini semua demi keluarga kecil kita. Bersabarlah, sampai anak yang dikandung Rani dilahirkan. Aku dan Rani akan berpisah,” terang Galvin dengan berat. Siska mendecih, ia tidak bisa percaya begitu saja. Apalagi yang ia tangkap Rani bukan wanita yang gampang dibohongi. Ada sisi lain yang belum ia ketahui dari wanita itu. “Cepat bereskan barang-barang. Kita pulang ke rumah hari ini juga,” sambung Galvin dengan beranjak dari kursi untuk ke kamar Rani. Siska semakin geram. Ia sebenarnya malas pulang ke rumah apalagi harus serumah dengan madu suaminya. “Lihat aja, akan kubuat dia tidak betah tinggal di rumahku!” gumam Siska kesal. *** Galvin kini masuk ke kamar Rani setelah mengetuk pintu. Ia duduk di pinggir ranjang dengan perasaan bersalah. “Kamu kenapa tidak menghabiskan makanannya?” tanya Galvin berbasa basi. “Tidak selera.” Rani menjawab singkat. “Maaf, sudah membuatmu tak selera makan,” ucap Galvin merasa salah. Rani melihat ke arah suaminya yang menunduk. “Tidak perlu meminta maaf, aku tidak apa kok. Oh, ya, kapan kita akan pergi dari rumah ini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. “Sekarang, kamu bersiap-siap. Kita akan pulang bersama dengan istri pertamaku,” sahut Galvin tersenyum tipis. Rani hanya mengangguk pelan. “Its okay, tak masalah. Ya, sudah aku akan membereskan barang-barangku, Tuan,” ucapnya tersenyum. “Baiklah, aku tunggu di ruang tamu.” Setelah kepergian Galvin. Rani langsung membereskan barang-barangnya yang masih berantakan. Galvin yang kini berjalan ke ruang tengah, di sana ia melihat istri pertamanya sedang berbincang bersama kedua orang tuanya di sofa. “Ingat, Galvin. Meski Ibu tidak berada di satu atap dengan kalian. Jika sampai Ibu mendengar kamu membuat Siska menangis atau tertekan olehmu, kamu langsung berurusan denganku!” ancam Helena serius. “Ibu tenang saja, aku akan mencoba bersikap adil kepada Siska maupun Rani,” jawab Galvin terus terang. “Ayah, percaya sama kamu,” ucap Frans kepada putra sulungnya. Galvin tersenyum mendengar ucapan ayahnya yang bijaksana. Tidak lama, Rani kini muncul ke ruang tengah dengan membawa koper miliknya. Ia pamit kepada kedua orang tua suaminya itu. Meski sikap Helena masih acuh, tetapi Rani beruntung Frans masih bisa menerima uluran tangan dan berkata baik padanya. Setelah masuk ke dalam mobil dan meninggalkan kediaman kedua orang tuanya. Baik Galvin maupun Siska dan Rani mereka bertiga saling diam saat berada di perjalanan. Tak berselang lama mobil Galvin pun kini sudah sampai di kediamannya setelah menempuh perjalanan hampir satu jam. Jujur saja, Rani sangat terpukau melihat rumah milik suaminya yang begitu mewah. Ia bahkan melihat ke seluruh sudut rumah yang begitu klasik berbalut modern. “Hei, kamu sini. Akan aku tunjukan kamarmu di mana,” kata Siska dengan ketus. Rani hanya menurut dan mengikuti langkah istri pertamanya yang naik ke atas tangga. “Ini kamarmu. Sebenarnya aku kurang cocok kamu tinggal di kamar ini. Namun, mas Galvin yang memaksanya. Apa boleh buat aku hanya bisa menurutinya,” ucap Siska dengan nada jutek. “Oh, ya. Karena ini rumahku, jadi kamu jangan bersikap seenaknya! Semua di rumah ini aku yang mengatur. Jadi, kamu harus mengikuti semua aturanku. Apa kamu paham!” imbuhnya mengancam. Rani tertawa kali ini. Hal itu pun membuat Siska menaikkan kedua alisnya. “Kenapa kamu tertawa?” Siska merasa diejek. “Maaf, Nyonya. Tetapi aku tidak mau mengikuti aturanmu,” kata Rani menantang. “Apa kamu bilang? Kamu membantah ucapanku?” Siska mulai meradang. “Tentu saja, status kita sama. Kenapa aku harus takut!” Rani menyeringai. “Jangan menginjak harga diriku, jika harga dirimu tidak mau aku injak! Camkan itu!” gertaknya membuat Siska membulatkan kedua matanya tak percaya. Rani pun meninggalkan Siska dan hendak masuk ke dalam kamarnya. “Harga diri yang seperti apa? Kenyataannya harga dirimu sangat murahan!” suara lantang Siska itu pun membuat langkah Rani terhenti. “Apa katamu?” Rani bertanya mengarah pada Siska yang menyeringai. “Aku tahu siapa dirimu sebenarnya. Kamu hanya wanita malam, bukan?” Sontak saja, Rani langsung membelalak dan terdiam membisu mendengarnya.“Kenapa kamu diam? Karena memang benar makanya kamu tidak berani berkutik?” tawa Siska sinis. “Kalo memang benar kenapa? Lagi pula yang menginginkan diriku, suamimu bukan aku!” jawab Rani spontan. Siska pun tak habis pikir. Jika Rani masih berani melawannya. “Ingat, Nyonya! Meski aku wanita malam. Tapi, aku yang akan mengandung anakmu!” timpal Rani lagi lalu pergi meninggalkan Siska yang terdiam mematung. Tentu saja, Siska menghentakan kakinya saking kesalnya kepada istri kedua suaminya itu. “Lama-lama aku jadi g*la gara-gara dia! Semua gagal total karena mas Galvin!” gumam Siska dengan pergi meninggalkan kamar Rani. Di dalam kamar. Rani menghela napas panjang. Sebenarnya, dia sedikit takut karena Siska sudah tahu dari mana ia berasal. Entah kenapa ia mempunyai firasat yang tidak enak. “Ku kira ancaman Marko paling menakutkan. Ternyata ini lebih menyeramkan dari yang dibayangkan! Astaga, bagaimana aku bisa hidup tenang selama 10 bulan ke depan,” sesalnya dalam hati. Ra
“Aku tidak mau melepaskanmu! Asal kamu mau merahasiakan tentang Rani. Ini untuk kebaikan kita, Sayang. Rani berperan penting bagi anak kita nanti,” terang Galvin menenangkan istri pertamanya. Isak tangis Siska semakin pecah. Ia memang menginginkan seorang anak. Namun, ada rasa tidak terima jika anaknya nanti dikandung oleh wanita semacam Rani. “Aku mohon, kamu terima Rani. Bagaimana pun dia sudah rela mau memberikan anak untuk kita. Kamu mengerti ‘kan?” Galvin berkata kembali agar Siska paham. Anggukkan kecil pun Siska berikan kepada suaminya. Meski hatinya sebenarnya menolak keras, tetapi ia akan mencoba menerima Rani berada di keluarganya. “Maafkan aku, Mas. Aku terlalu egois. Sampai-sampai aku bersikap seperti ini,” sesal Siska lirih. Galvin yang masih memeluk tubuh istri pertamanya langsung merasa lega. Sebab, Siska sudah mau menerima Rani kali ini. “Tidak perlu meminta maaf. Ini semua salahku, harusnya dari awal aku memberitahumu. Akan tetapi, semua sudah terjadi,” ka
Galvin langsung membawa Helena ke rumah sakit terdekat dari kantor dibantu oleh asisten pribadinya. Setelah menempuh perjalanan kurang dari 20 menit. Kini mobil Galvin sudah sampai di halaman lobi rumah sakit. Lingga, asisten Galvin langsung membantu membukakan pintu mobil dan membantu mengangkat Helena ke atas brankar. “Lingga, tolong kamu handle dulu meeting hari ini. Aku akan menemani ibuku sampai sadar,” titah Galvin saat Helena sudah masuk ke ruang IGD. Sang asisten pun hanya mengangguk pelan. Setelah pamit kepada bosnya. Lingga langsung meninggalkan Galvin seorang diri di koridor rumah sakit. Galvin mendudukkan bokongnya di kursi tunggu dengan memijat pelipisnya secara pelan. Tak lama, seseorang datang tergesa-gesa menghampiri keberadaan Galvin. “Apa yang terjadi, Vin? Kenapa ibumu dilarikan ke rumah sakit?” tanya Frans tanpa basa basi. “Maafkan aku, Ayah. Ini semua salahku,” jawab Galvin dengan lesu. “Apa maksudmu, Galvin? Katakan dengan jelas!” hardik Frans menin
Rani yang bingung akan pengusiran dari mertuanya itu hanya bisa terdiam dengan wajah polosnya. “Apa yang terjadi, Mas?” Siska yang baru saja datang dibuat bingung oleh ekspresi wajah ibu mertuanya yang tampak kesal. “Suruh wanita j*lang itu pergi, Siska! Aku tidak sudi melihat dia di sini!” usir Helena sekali lagi mengarah pada Rani. “Kamu belum tahu ‘kan?” tunjuk Helena dengan jari telunjuknya. “Ternyata wanita itu adalah wanita malam. Aku tahu dia mau dijadikan istri kedua pasti ingin memanfaatkan Galvin dan juga anaknya nanti,” imbuhnya menyindir. Galvin yang mendengar hal itu tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Karena kenyataannya tidak seperti itu. “Ibu, yang Ibu katakan itu tidak benar!” bela Galvin dengan tegas. “Aku yang menginginkan Rani. Aku pula yang sudah menawarkan Rani untuk menjadi istri keduaku. Rani memang sempat menolak, tetapi aku memaksanya. Sebab, aku merasa Rani wanita yang pantas untuk memberiku seorang anak,” beber Galvin menjelaskan
Sepulang dari rumah sakit. Rani tampak senang karena ia sudah bisa diterima oleh keluarga Galvin seutuhnya. Ia juga sudah berjanji akan memberikan seorang cucu secepatnya kepada Helena. Rani bahkan akan meminta haknya kepada Galvin agar melakukan hubungan selayaknya suami istri. Karena Siska saat ke rumah sakit membawa mobil sendiri membuat Rani dan Galvin pulang hanya berdua. Rani tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertanya kembali mengenai haknya. “Tuan, aku ingin bicara,” kata Rani dengan serius. Galvin pun sengaja menghentikan mobilnya agar bisa mendengarkan apa yang akan dibicarakan oleh istri keduanya itu. “Mau bicara apa?” tanya Galvin dengan memandang ke arah wajah Rani. “Aku....,” jeda Rani gugup. Namun, karena ia tidak bisa menunda lagi. Akhirnya ia memberanikan diri mencium bibir Galvin. Tentu saja, Galvin sangat terkejut oleh sikap Rani yang seberani itu. Ia pun mendorong tubuh Rani untuk menjauh. “Maaf, Rani. Apa yang kamu lakukan?” Galvin berkata de
Malam yang dingin berubah menjadi malam yang panas bagi sepasang suami-istri yang baru menikah dua minggu yang lalu. Pernikahan yang terjadi secara kebetulan karena sebuah perjanjian demi memiliki seorang keturunan. Hal itu pun yang membuat mereka berdua kini saling bertukar gair*h tanpa direncana. Galvin sendiri di sesi terakhir, ia menyemburkan cairan hangat ke dalam rahim milik Rani yang sudah membuat h*sratnya tak bisa dikendalikan. Setelah kedua pasangan itu sama-sama sudah mencapai puncak kenikmatan. Galvin yang lelah, tak tersadar ia ambruk di atas tubuh istri keduanya. Rani bahkan tidak menyingkirkan tubuh suaminya itu. Ia biarkan Galvin terlelap di atas tubuhnya. “Terima kasih, Tuan. Atas sentuhanmu,” gumamnya dalam hati. Ia tersenyum sambil membelai pipi wajah Galvin yang tak sadarkan diri. Jantung Rani semakin berdebar saat jemari tangannya berhenti di bagian bibir suaminya. Ia pun langsung menarik dengan cepat dan tangannya mendorong tubuh Galvin agar turun
Rani pun membereskan sisa sarapannya dan merapikan semua yang ada di atas meja lalu membawanya ke dapur. Saat dirinya sibuk mencuci piring. Terdengar suara ponselnya yang dering. Di sana terlihat nama Marko yang muncul di layar pipihnya yang menyala. Sempat ragu akan menjawab atau tidak. Namun, karena berdering hampir tiga kali membuat Rani mau tak mau akhirnya menggeser tombol hijau ke arah kanan. “Ada apa?” tanya Rani singkat. “Kenapa tidak menjawab panggilanku sedari tadi, hah?” sungut Marko kesal. Rani hanya terdiam tak menjawab pertanyaan dari Marko. “Kita sudah tidak ada urusan. Jadi, jangan pernah hubungi aku lagi,” sahut Rani mengalihkan ke yang lain. Marko menyeringai tersenyum di seberang sana. “Mentang-mentang kamu sudah dinikahi oleh pria kaya raya, jadi kamu seenaknya bicara seperti itu, hah?” cecar Marko berteriak. Rani menjauhkan ponselnya dari telinganya karena suara keras Marko. “Maaf, aku sibuk jangan pernah hubungi aku lagi!” Rani pun mematikan
Rani terkejut saat melihat seseorang yang wajahnya sangat tak asing baginya. Sama halnya dengan Rani. Seseorang yang memakai jaz warna abu-abu juga ikut terkejut. “Rani?” ucap Pria itu memanggil wanita di hadapannya. Sontak Rani langsung tersenyum tipis saat mengingat jika pria di hadapannya saat ini adalah pria yang selalu memakai jasanya. “Tuan,” sapa Rani gugup. “Wah, aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini. Aku kira kamu hanya menetap di Bali,” kata pria itu dengan memasang wajah senang. “Aku sudah pindah ke sini, Tuan.” “Baguslah kalau gitu. Jadi, aku tidak perlu jauh ke Bali untuk menemuimu,” kata pria itu lagi tersenyum. Rani yang paham dengan ucapan pria itu pun langsung mencari alasan yang lain agar obrolannya saat ini segera disudahi. Karena, pembahasan pria itu mengarah pada dirinya yang dikira masih menjadi wanita malam. “Maaf, Tuan. Aku harus pergi!” pamit Rani. Namun, pria itu langsung mencekal tangan kiri Rani, membuat si Rani mau tak mau menghen
“Aku tidak suka, kalo kamu pergi tanpa seizinku, Rani!” pekik Galvin emosi. “Tapi, Mas ....” Rani hendak bicara, namun tanpa diduga bibirnya kini dilumat oleh Galvin hingga ia hampir kehabisan oksigen. Dia mendorong tubuh Galvin dengan keras. Hingga membuat tubuh suaminya itu terpental jatuh di atas ranjangnya. “Kenapa kamu sekasar ini, Mas? Apa salahku!” gertaknya tak terima. Galvin mendengkus. “Karena ini hukuman yang pantas untukmu, Rani!” sangkalnya menatap dingin. Rani menggeleng cepat. Ia lalu meninggalkan suaminya dengan masuk ke kamar mandi, tidak lupa juga menguncinya dari dalam. Setelah itu ia tatap wajahnya yang cukup berantakan. Lipstik yang ia pakai juga sudah belepotan ke mana-mana. Air matanya tak bisa ditahan lagi. Ia menghapus jejak air matanya yang berulang kali keluar. “Hanya karena pulang bersama mas Haris. Mas Galvin sampai semarah itu,” desisnya tak habis pikir. *** Setelah hampir dua jam lebih berada di dalam kamar mandi. Kini Rani keluar s
Kalisa menarik lengan mantan kekasihnya hingga dia berbalik ke hadapannya. Suara tamparan keras pun terdengar saat tangan mungil Kalisa mendarat ke pipi kiri mantannya itu. “Beraninya lo jalan sama wanita lain, sedangkan hutang lo aja belum dibayar!” cecarnya emosi. Marshel Gunawan, mantan kekasih dari Kalisa memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan dari mantan kekasihnya itu. Ia mendengkus kesal kali ini. “Gue akan balikin secepatnya!” desisnya meninggi. “Kalau lo tetap memaksa, gue bisa aja sebarin rahasia kita!” ancamnya membuat wajah Kalisa yang kesal langsung melunak. “Jangan cuman berani mengancam saja, ya, Shel!” pekik Kalisa. Ia juga menatap ke wanita di samping Marshel dengan penuh amarah. “Sebelum lo jadi mangsa selanjutnya, lebih baik putusin dia, carilah yang lebih baik darinya!” tuduhnya membuat si wanita itu menunduk takut.“Jaga bicaramu, Lisa!” geram Marshel mendorong tubuh Kalisa hingga terhuyung ke arah lantai. Untung saja, Marko dengan sigap men
Beberapa hari kemudian. Setelah dinyatakan hamil, keadaan Rani cukup berbeda. Bukan hanya Galvin yang selalu mengkhawatirkan dirinya, tetapi sekarang Helena bersikap yang sama. Rani begitu bahagia diperlakukan sebaik itu oleh ibu mertuanya. Dari pakaian dan juga makanan, Helena sangat antusias menyiapkan semuanya untuk Rani. Tentu saja, hal itu membuat Siska semakin cemburu atas sikap Helena pada istri kedua suaminya. Rani seperti biasa setiap pagi ia kan menyirami tanaman di kebun samping rumah milik suaminya. Semenjak hamil, ia menjadi menyukai tanaman. “Bisa nggak, hamil jangan bikin manja atau caper ke semua orang! Jijik tahu nggak lihatnya!” desis Siska yang tiba-tiba berdiri di samping Rani. Rani memutar tubuhnya ke arah samping. Ia tatap wajah istri pertama suaminya dengan membuang napas secara pelan. “Siapa yang manja?” tanya Rani dengan kembali fokus ke arah tanaman. “Kamu tuh, ya!” geram Siska kesal. Tangannya yang terangkat seketika ia hempaskan secara kasar.
Rani di antar oleh Helena dan Frans sampai di kediaman Galvin. Meski wajahnya terlihat murung dan lesu, tetapi Rani harus menunjukkan senyum lebarnya kepada kedua orang tua suaminya. “Kamu istirahat saja di kamar, jangan terlalu banyak beraktivitas. Kalo perlu sesuatu panggil saja bi Inah. Dia yang akan ku suruh untuk menjagamu setiap saat,” titah Helena saat sudah masuk ke dalam rumah putranya. Bi Inah sendiri adalah pelayan kepercayaannya yang sengaja ia datangkan langsung dari rumahnya. Karena ini menyangkut cucu kesayangannya. Membuat Helena enggan mencari orang baru, ia belum sepenuhnya percaya kepada orang baru bahkan pembantu baru yang bekerja di rumah putranya saat ini. “Terima kasih, Bu. Ini suatu kehormatan untukku,” kata Rani tersenyum trenyuh. Helena seketika menggeleng. “Tidak perlu berkata seperti, Rani. Kamu sudah saya anggap seperti anakku, yang terpenting cucuku nantinya bisa lahir dengan sehat,” sahutnya lagi. Rani hanya tersenyum tak menjawab. Ia rasanya s
Satu jam pun berlalu. Keluarga Galvin dan istri pertamanya kini telah sampai di rumah sakit. Helena langsung memeluk Rani saat sudah berada di dalam ruang IGD. “Sayang, terima kasih untuk kehamilanmu,” ucapnya dengan lembut. “Iya, Bu. Terima kasih,” jawab Rani terharu. Frans juga mengucapkan selamat, di belakangnya kini tinggal Siska yang masih terdiam berdiri sembari menatap ke arah istri kedua suaminya. “Selamat, Rani. Jaga dirimu baik-baik selama 9 bulan,” kata Siska setelah mengurai pelukannya. “Terima kasih, Mbak,” sahut Rani tersenyum. Rani sedikit senang dengan ucapan Siska yang menurutnya enak di dengar. Entah ini hanya karena ada kedua mertuanya dia bersikap baik, atau memang senang mendengar atas kehamilannya. “Bu, kata Dokter, Rani sudah diperbolehkan pulang sekarang,” ucap Galvin saat masuk ke dalam ruangan. Saat orang tuanya datang. Dia memang dipanggil oleh suster untuk menemui sang dokter. “Syukurlah, hayo, Rani. Ibu dan ayah akan mengantarmu. Biar Siska
Bibir Rani seketika sulit terucap mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Galvin. “M-as!” sapa Rani gugup. “Jawab, ucapanku Rani! Siapa dia?” bentak Galvin terbawa emosi. Marko yang mendengar bentakan Galvin tidak terima, meski ia dulunya kasar kepada Rani. Melihat Rani diperlakukan seperti itu hatinya terasa sakit. “Aku Marko, kerabat Rani.” Marko akhirnya yang menjawab. Sebab, Rani masih saja terdiam.“Aku tidak bertanya kepadamu!” hardik Galvin menatap ke arah Marko. “Jawab, Rani! Siapa dia?” ulangnya geram. “Marko benar, Mas. Dia kerabatku, lebih tepatnya saudara dari ibu.” Rani berkata jujur. Kedua matanya yang mengembun kini menetes dengan menatap ke arah wajah Galvin yang memerah. “Kita pulang sekarang!” ajak Galvin dengan menarik lengan kanan Rani secara kasar. Namun, tangan kiri Rani ditahan oleh Marko. “Jangan bersikap kasar kepadanya!” tekan Marko tak terima. Rani pun menengok ke arah belakang di mana Marko berada. Ia seperti salah mendengar ucapan yang dika
Kalisa yang melihat Rani di depan pintu kamarnya seketika langsung tak sadarkan diri. Hal itu membuat Rani semakin panik, dengan cepat pula ia menghampiri ranjang sahabatnya mencoba membangunkan. “Kalisa! Bangun, Sa!” teriak Rani dengan kencang. Namun, suara Rani tetap tak bisa membangunkan keadaan Kalisa yang terpejam. Rani bingung harus menghubungi siapa karena di sini tak mempunyai kerabat selain Galvin. Terbesit dalam benak Rani nama Marko di pikirannya. Tanpa menunggu lama, ia langsung mencari nomor pria itu di ponselnya. Lalu menghubungi untuk ke apartemen Kalisa. “Baik, aku akan ke sama sekarang!” jawaban Marko membuat hati kecil Rani lega.“Terima kasih, Marko.” Ucapan Rani untuk pertama kali kepada Marko. Karena sedari dulu hanya umpatan yang sering ia keluarkan kepada Marko si penagih hutang. Rani pun turun dari ranjang Kalisa. Ia akan mencari sesuatu yang akan menjadi bukti nanti. Setelah mencari ke seluruh kamar sahabatnya. Tidak ada satu pun benda yang mencurig
Satu minggu kemudian. Hampir satu bulan Rani menyandang status sebagai seorang istri. Meski hanya sebagai istri kedua, tetapi Rani merasa kehidupannya mulai berubah. Ia pun kini tidak perlu lagi bersusah payah mencari selembar uang untuk menghidupi kesehariannya. Sebab, kini semua kebutuhan sudah tercukupi. Di pagi ini dengan suasana yang cerah. Rani disibukkan oleh beberapa tanaman bunga yang sengaja ia tanam. Meski tidak mendapat persetujuan dari istri pertama suaminya. Namun, untung saja Galvin sebagai sang suami tetap mengizinkan. Hal itu membuat Rani merasa senang oleh sikap Galvin yang semakin hari semakin perhatian. Disaat fokus menyirami, Rani sampai tidak tahu jika Siska kini berada di belakangnya sembari melipat kedua tangan di d*danya. “Setelah selesai, beresin seluruh rumah. Aku hari ini ada acara sampai sore,” titah Siska. Rani terkejut mendengar perintah dari istri pertama suaminya. Sebab, Galvin pernah bicara jika hari ini akan kedatangan pembantu untuk me
“Jadi kamu sudah tahu siapa Rani?” tanya Galvin menatap tajam ke arah Haris. Haris sendiri hanya mengangguk. “Entah ini kebetulan atau bagaimana, aku juga sedikit kaget. Saat tahu wanita malam kesayanganku harus menjadi istri keduamu. Padahal dialah yang menjadi alasanku kembali ke tanah air, jika sedang berlibur,” sahutnya terang-terangan. “Seberapa lama kalian kenal? Jadi, kamu pernah tidur dengan Rani?” cecar Galvin penasaran. Hatinya semakin panas, tetapi ia harus tetap bisa menyembunyikan ekspresi kesal di wajahnya. “Kurang lebih satu tahun, jangankan tidur, bersetu—.” Galvin seketika langsung meninggalkan Haris seorang diri. Padahal Haris belum selesai berbicara. Kepergian Galvin yang begitu saja, membuat Haris menyeringai. Ia tahu jika sepupunya terbakar cemburu oleh ucapannya. Namun, Haris tak mempermasalahkan, sebab, ia berbicara sesuai kenyataan yang ia alami. Galvin berjalan ke arah kebun belakang. Ia langsung meraih tangan kiri Rani untuk berdiri. “Bangun, ki