Galvin mengangguk pelan. Sementara Rani, ia menunduk takut.
“Kenapa kamu baru memberitahuku, Mas?” Siska bertanya penuh emosi. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Aku menikah lagi?” Galvin berbalik tanya membuat wajah Siska kelicutan. “Apa maksudmu?” Helena ikut angkat bicara. “Tanyakan sama menantumu, Bu,” tunjuk Galvin mengarah pada Siska. Helena pun menatap ke arah Siska meminta jawaban. Siska mengangguk lalu ia pun berkata, “Yang dikatakan mas Galvin benar, Bu. Aku menyuruhnya untuk menikah lagi. Karena aku tidak bisa memberinya anak. Tapi, yang jadi masalahnya kenapa harus diam-diam kamu menikah di belakangku, Mas. Apalagi kita tidak tahu asal usul dia dari mana!” Siska pun bicara jujur. Sontak Galvin dibuat tercengang saat Siska menanyakan asal usul istri keduanya. “Jawab Galvin? Dia dari keluarga mana? Apa setara dengan kita atau—,” “Yang terpenting dia orang baik,” sela Galvin memotong ucapan Helena, Ibu kandungnya. Siska mendecih. Ia melirik ke arah istri kedua suaminya yang sedari tadi menunduk. “Apa kamu tidak punya mulut untuk berbicara? Kenapa kamu diam saja?” hardiknya dengan mendekat ke arah Rani. Jujur saja, Rani sangat muak melihat wajah Siska itu. Andai tidak ada kedua orang tua Galvin. Mungkin saja Rani akan membalas ucapannya. “Siska! Apa kamu tidak bisa berbicara baik padanya?” desis Galvin merasa tidak enak kepada Rani. Siska membelalak saat suaminya membela istri keduanya dibandingkan dirinya. Helena sebagai ibu mertua Siska juga tidak terima akan pembelaan putranya kepada wanita yang dianggap sebagai istri kedua putranya itu. “Kalau kamu mau tinggal di sini. Jawab pertanyaanku. Dari mana asal usulmu?” tanya Helena mengarah pada Rani. Rani mendongak, dan ia hendak berbicara. Namun, Galvin lebih dulu menimpali. “Dia teman rekan bisnisku yang ada di Bali. Kedua orang tuanya sudah meninggal,” ujar Galvin berharap semua keluarganya percaya. “Tolong! Kalian terima dia, karena pernikahanku dan Rani hanya 10 bulan,” imbuhnya dengan membawa Rani masuk ke dalam menuju kamar tamu. Semua orang di sana tercengang atas pernyataan Galvin. “Apa maksudnya 10 bulan?” gumam Siska dengan melihat suaminya pergi bersama istri keduanya. *** Setelah sampai di dalam kamar tamu. Galvin langsung meminta maaf atas sikap keluarga dan istri pertamanya. Dia sangat menyesal tidak memberitahu lebih awal. Galvin beranggapan Siska akan menerimanya semudah itu, sebab, dialah yang memojokkan dirinya untuk menikah lagi. “Tenang, Tuan. Aku sudah kebal dengan hinaan seperti itu. Jangan dibuat risau. Aku baik-baik saja,” kata Rani tersenyum tipis. Galvin tak bisa berkata-kata. Dia sudah mengira Rani akan memakinya karena sikap keluarganya. Namun, dugaannya salah besar. “Terima kasih. Kamu tenang saja, kita hanya menginap semalam di sini. Besok kita kembali ke rumah utamaku,” ucap Galvin dengan mengusap lembut bahu Rani. Rani hanya mengangguk pelan. Ia pun memegang dadanya yang berdebar kencang. “Kamu kenapa?” Pertanyaan Galvin membuyar lamunan Rani. Rani pun hanya menggeleng pelan sebagai jawabannya. “Sepertinya aku lelah. Aku mau istirahat,” kata Rani dengan berjalan ke arah ranjang. Galvin hanya mengangguk. “Baiklah, selamat istirahat.” Setelah kepergian Galvin dari kamar tamu. Rani yang berbaring kini beranjak dan duduk di pinggir ranjang. Ia menggerutui dirinya sendiri yang tergiur oleh uang milyaran, tetapi membuat dia masuk dalam kesengsaraan. “Sial! Baru masuk rumah ini aja sudah dicecar habis-habisan. Aish! Mana 10 bulan masih lama banget!” gerutu Rani menyesal sudah mau menerima tawaran menjadi istri kedua. “Gue harus siapkan mental menghadapi mereka semua!” sambungnya memberi semangat untuk dirinya sendiri. Tidak lama, pintu kamar dibuka oleh seseorang yang masuk begitu saja. “Heh, Kamu! Aku peringatkan! Jangan berlaga seperti nyonya, karena di sini akulah nyonya yang sebenarnya. Dan satu lagi, jangan sampai kamu mencintai suamiku. Jika hal itu sampai terjadi, aku tidak akan tinggal diam!” ancam Siska dengan tatapan tajam. “Jika kenyataannya suamimu diam-diam mencintaiku, bagaimana?” balas Rani menyeringai. “Tutup mulutmu! Beraninya kamu melawan ucapanku, hah?” gertak Siska emosi. “Kita lihat saja nanti. Silakan keluar, aku mau tidur!” usir Rani membuat Siska yang meradang langsung pergi begitu saja meninggalkan kamar tamu. Siska tak habis pikir. Jika istri kedua suaminya berani melawan ucapannya. Padahal saat ia baru datang, Rani bahkan jarang sekali berbicara. Mengucap satu kata pun tidak. “Aku harus cari tahu dia dari mana? Aku yakin, dia bukan wanita polos dan lugu,” gumamnya dalam hati. Ia pun menghubungi seseorang melalui ponselnya. Setelah memberitahu tujuannya, ia kembali menyimpan ponselnya di nakas persis saat Galvin masuk ke dalam kamarnya. “Sayang!” panggil Galvin lirih. Lalu ia mendekat ke arah istri pertamanya yang membuang muka. “Maafin aku, Sayang. Aku tahu caraku salah. Tetapi, aku hanya ingin mengabulkan permintaanmu. Aku merasa tersudutkan terus menerus olehmu yang memintaku untuk menikah. Namun, kenapa setelah aku melakukan permintaanmu, kamu marah?” ungkap Galvin dengan mendekat ke arah ranjang. Siska menghela napas panjang. “Karena aku inginnya, wanita yang kamu nikahi harus aku yang memilihkan bukan menikah secara diam-diam. Itu, Mas. Yang buat aku kecewa sama kamu!” “Ya, aku minta maaf aku salah. Tapi, tidak mungkin ‘kan, tiba-tiba aku harus menceraikan Rani. Apalagi kita baru menikah kemarin,” terang Galvin menyesal. “Aku mohon terima dia demi anak kita,” imbuhnya lagi. Siska mendecih. Ia tak menanggapi ucapan suaminya itu. Ia pun memilih tidur membelakangi sang suami. *** Keesokan harinya, semua anggota keluarga Galvin sudah bangun dan sedang menikmati sarapan pagi bersama. Namun, berbeda dengan Rani. Dia yang baru bangun, langsung beranjak dari ranjang dan berjalan ke arah pintu. Tentu hal itu membuat semua orang dibuat terkejut saat ia keluar kamar menggunakan pakaian seksi, yang biasa dia gunakan untuk tidur. Galvin langsung menutup kedua matanya dan mengkode mata agar Rani masuk ke dalam kamar lagi untuk berganti pakaian yang lebih sopan. Namun, Rani yang tak paham. Membuat Galvin beranjak dari kursi lalu menghampiri dan membawanya masuk ke dalam kamar tamu lagi. “Kenapa, Tuan? Aku hanya ingin menyapa keluargamu,” ucap Rani polos. “Lihat pakaianmu? Apa pantas berpakaian seperti ini?” sindir Galvin. Rani pun menggeleng. “Tapi, aku biasa berpakaian seperti jika sarapan, Tuan,” terangnya tanpa rasa bersalah. Lagi-lagi Galvin membuang napas panjang. “Mulai sekarang ubah kebiasaanmu itu. Siang nanti akan aku temani berbelanja baju. Bersiaplah dan berpakaianlah yang sopan,” titahnya dengan meninggalkan Rani yang diam mematung. Sementara itu, di meja makan. Semua keluarga Galvin saling berbisik membicarakan istri keduanya. Galvin yang tahu dan paham pun hanya bisa meminta maaf atas sikap Rani. “Lain kali, ajari berpakaian yang sopan, Galvin,” suara Helena memecah keheningan. Galvin hanya mengangguk pelan. “Maaf, Bu.” Dalam hati Siska dia sangat senang. Melihat ibu mertuanya terlihat membenci istri kedua suaminya itu. Ia pun mempercepat menghabiskan makannya karena sudah berjanji akan bertemu dengan seseorang. Saat sedang menikmati makannya, tidak lama suara notifikasi pesan berbunyi. Siska segera mengambil benda pipihnya itu yang berada di samping piring, lalu membacanya. Sungguh, Siska dibuat tercengang oleh isi pesan itu yang ia baca. “Hah? Tidak mungkin!”Sementara itu, Rani yang di kamar pun berganti pakaian memakai baju yang menurutnya sopan. Ia keluar untuk menyapa keluarga sang suami. Tidak ada rasa penyesalan sedikit pun di hati Rani setelah apa yang terjadi di beberapa menit yang lalu. Lagi pula itu sudah menjadi kebiasaannya. Membuat ia merasa hal itu biasa saja. “Selamat pagi semua,” sapa Rani tersenyum. Namun, sayangnya tidak ada satu pun yang merespons. Galvin yang tersenyum tipis, akhirnya menarik tangan istri keduanya untuk duduk di sebelahnya yang kosong. “Duduklah, setelah sarapan kita langsung pulang ke rumah,” titahnya kepada Rani yang mengangguk pelan. Rani hanya menurut. Ia tak mempermasalahkan sikap keluarga dari suaminya itu. “Maksudmu pulang apa, Mas?” tanya Siska menimpali. “Kita kembali ke rumah, lagi pula sekarang sudah ada Rani yang menemani kamu,” sahut Galvin. Siska mendecih. “Aku tak sudi ditemani orang kaya dia!” tunjuknya mengarah pada Rani. “Jangankan tinggal serumah, dekat saja aku mera
“Kenapa kamu diam? Karena memang benar makanya kamu tidak berani berkutik?” tawa Siska sinis. “Kalo memang benar kenapa? Lagi pula yang menginginkan diriku, suamimu bukan aku!” jawab Rani spontan. Siska pun tak habis pikir. Jika Rani masih berani melawannya. “Ingat, Nyonya! Meski aku wanita malam. Tapi, aku yang akan mengandung anakmu!” timpal Rani lagi lalu pergi meninggalkan Siska yang terdiam mematung. Tentu saja, Siska menghentakan kakinya saking kesalnya kepada istri kedua suaminya itu. “Lama-lama aku jadi g*la gara-gara dia! Semua gagal total karena mas Galvin!” gumam Siska dengan pergi meninggalkan kamar Rani. Di dalam kamar. Rani menghela napas panjang. Sebenarnya, dia sedikit takut karena Siska sudah tahu dari mana ia berasal. Entah kenapa ia mempunyai firasat yang tidak enak. “Ku kira ancaman Marko paling menakutkan. Ternyata ini lebih menyeramkan dari yang dibayangkan! Astaga, bagaimana aku bisa hidup tenang selama 10 bulan ke depan,” sesalnya dalam hati. Ra
“Aku tidak mau melepaskanmu! Asal kamu mau merahasiakan tentang Rani. Ini untuk kebaikan kita, Sayang. Rani berperan penting bagi anak kita nanti,” terang Galvin menenangkan istri pertamanya. Isak tangis Siska semakin pecah. Ia memang menginginkan seorang anak. Namun, ada rasa tidak terima jika anaknya nanti dikandung oleh wanita semacam Rani. “Aku mohon, kamu terima Rani. Bagaimana pun dia sudah rela mau memberikan anak untuk kita. Kamu mengerti ‘kan?” Galvin berkata kembali agar Siska paham. Anggukkan kecil pun Siska berikan kepada suaminya. Meski hatinya sebenarnya menolak keras, tetapi ia akan mencoba menerima Rani berada di keluarganya. “Maafkan aku, Mas. Aku terlalu egois. Sampai-sampai aku bersikap seperti ini,” sesal Siska lirih. Galvin yang masih memeluk tubuh istri pertamanya langsung merasa lega. Sebab, Siska sudah mau menerima Rani kali ini. “Tidak perlu meminta maaf. Ini semua salahku, harusnya dari awal aku memberitahumu. Akan tetapi, semua sudah terjadi,” ka
Galvin langsung membawa Helena ke rumah sakit terdekat dari kantor dibantu oleh asisten pribadinya. Setelah menempuh perjalanan kurang dari 20 menit. Kini mobil Galvin sudah sampai di halaman lobi rumah sakit. Lingga, asisten Galvin langsung membantu membukakan pintu mobil dan membantu mengangkat Helena ke atas brankar. “Lingga, tolong kamu handle dulu meeting hari ini. Aku akan menemani ibuku sampai sadar,” titah Galvin saat Helena sudah masuk ke ruang IGD. Sang asisten pun hanya mengangguk pelan. Setelah pamit kepada bosnya. Lingga langsung meninggalkan Galvin seorang diri di koridor rumah sakit. Galvin mendudukkan bokongnya di kursi tunggu dengan memijat pelipisnya secara pelan. Tak lama, seseorang datang tergesa-gesa menghampiri keberadaan Galvin. “Apa yang terjadi, Vin? Kenapa ibumu dilarikan ke rumah sakit?” tanya Frans tanpa basa basi. “Maafkan aku, Ayah. Ini semua salahku,” jawab Galvin dengan lesu. “Apa maksudmu, Galvin? Katakan dengan jelas!” hardik Frans menin
Rani yang bingung akan pengusiran dari mertuanya itu hanya bisa terdiam dengan wajah polosnya. “Apa yang terjadi, Mas?” Siska yang baru saja datang dibuat bingung oleh ekspresi wajah ibu mertuanya yang tampak kesal. “Suruh wanita j*lang itu pergi, Siska! Aku tidak sudi melihat dia di sini!” usir Helena sekali lagi mengarah pada Rani. “Kamu belum tahu ‘kan?” tunjuk Helena dengan jari telunjuknya. “Ternyata wanita itu adalah wanita malam. Aku tahu dia mau dijadikan istri kedua pasti ingin memanfaatkan Galvin dan juga anaknya nanti,” imbuhnya menyindir. Galvin yang mendengar hal itu tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Karena kenyataannya tidak seperti itu. “Ibu, yang Ibu katakan itu tidak benar!” bela Galvin dengan tegas. “Aku yang menginginkan Rani. Aku pula yang sudah menawarkan Rani untuk menjadi istri keduaku. Rani memang sempat menolak, tetapi aku memaksanya. Sebab, aku merasa Rani wanita yang pantas untuk memberiku seorang anak,” beber Galvin menjelaskan
Sepulang dari rumah sakit. Rani tampak senang karena ia sudah bisa diterima oleh keluarga Galvin seutuhnya. Ia juga sudah berjanji akan memberikan seorang cucu secepatnya kepada Helena. Rani bahkan akan meminta haknya kepada Galvin agar melakukan hubungan selayaknya suami istri. Karena Siska saat ke rumah sakit membawa mobil sendiri membuat Rani dan Galvin pulang hanya berdua. Rani tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertanya kembali mengenai haknya. “Tuan, aku ingin bicara,” kata Rani dengan serius. Galvin pun sengaja menghentikan mobilnya agar bisa mendengarkan apa yang akan dibicarakan oleh istri keduanya itu. “Mau bicara apa?” tanya Galvin dengan memandang ke arah wajah Rani. “Aku....,” jeda Rani gugup. Namun, karena ia tidak bisa menunda lagi. Akhirnya ia memberanikan diri mencium bibir Galvin. Tentu saja, Galvin sangat terkejut oleh sikap Rani yang seberani itu. Ia pun mendorong tubuh Rani untuk menjauh. “Maaf, Rani. Apa yang kamu lakukan?” Galvin berkata de
Malam yang dingin berubah menjadi malam yang panas bagi sepasang suami-istri yang baru menikah dua minggu yang lalu. Pernikahan yang terjadi secara kebetulan karena sebuah perjanjian demi memiliki seorang keturunan. Hal itu pun yang membuat mereka berdua kini saling bertukar gair*h tanpa direncana. Galvin sendiri di sesi terakhir, ia menyemburkan cairan hangat ke dalam rahim milik Rani yang sudah membuat h*sratnya tak bisa dikendalikan. Setelah kedua pasangan itu sama-sama sudah mencapai puncak kenikmatan. Galvin yang lelah, tak tersadar ia ambruk di atas tubuh istri keduanya. Rani bahkan tidak menyingkirkan tubuh suaminya itu. Ia biarkan Galvin terlelap di atas tubuhnya. “Terima kasih, Tuan. Atas sentuhanmu,” gumamnya dalam hati. Ia tersenyum sambil membelai pipi wajah Galvin yang tak sadarkan diri. Jantung Rani semakin berdebar saat jemari tangannya berhenti di bagian bibir suaminya. Ia pun langsung menarik dengan cepat dan tangannya mendorong tubuh Galvin agar turun
Rani pun membereskan sisa sarapannya dan merapikan semua yang ada di atas meja lalu membawanya ke dapur. Saat dirinya sibuk mencuci piring. Terdengar suara ponselnya yang dering. Di sana terlihat nama Marko yang muncul di layar pipihnya yang menyala. Sempat ragu akan menjawab atau tidak. Namun, karena berdering hampir tiga kali membuat Rani mau tak mau akhirnya menggeser tombol hijau ke arah kanan. “Ada apa?” tanya Rani singkat. “Kenapa tidak menjawab panggilanku sedari tadi, hah?” sungut Marko kesal. Rani hanya terdiam tak menjawab pertanyaan dari Marko. “Kita sudah tidak ada urusan. Jadi, jangan pernah hubungi aku lagi,” sahut Rani mengalihkan ke yang lain. Marko menyeringai tersenyum di seberang sana. “Mentang-mentang kamu sudah dinikahi oleh pria kaya raya, jadi kamu seenaknya bicara seperti itu, hah?” cecar Marko berteriak. Rani menjauhkan ponselnya dari telinganya karena suara keras Marko. “Maaf, aku sibuk jangan pernah hubungi aku lagi!” Rani pun mematikan
“Aku tidak suka, kalo kamu pergi tanpa seizinku, Rani!” pekik Galvin emosi. “Tapi, Mas ....” Rani hendak bicara, namun tanpa diduga bibirnya kini dilumat oleh Galvin hingga ia hampir kehabisan oksigen. Dia mendorong tubuh Galvin dengan keras. Hingga membuat tubuh suaminya itu terpental jatuh di atas ranjangnya. “Kenapa kamu sekasar ini, Mas? Apa salahku!” gertaknya tak terima. Galvin mendengkus. “Karena ini hukuman yang pantas untukmu, Rani!” sangkalnya menatap dingin. Rani menggeleng cepat. Ia lalu meninggalkan suaminya dengan masuk ke kamar mandi, tidak lupa juga menguncinya dari dalam. Setelah itu ia tatap wajahnya yang cukup berantakan. Lipstik yang ia pakai juga sudah belepotan ke mana-mana. Air matanya tak bisa ditahan lagi. Ia menghapus jejak air matanya yang berulang kali keluar. “Hanya karena pulang bersama mas Haris. Mas Galvin sampai semarah itu,” desisnya tak habis pikir. *** Setelah hampir dua jam lebih berada di dalam kamar mandi. Kini Rani keluar s
Kalisa menarik lengan mantan kekasihnya hingga dia berbalik ke hadapannya. Suara tamparan keras pun terdengar saat tangan mungil Kalisa mendarat ke pipi kiri mantannya itu. “Beraninya lo jalan sama wanita lain, sedangkan hutang lo aja belum dibayar!” cecarnya emosi. Marshel Gunawan, mantan kekasih dari Kalisa memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan dari mantan kekasihnya itu. Ia mendengkus kesal kali ini. “Gue akan balikin secepatnya!” desisnya meninggi. “Kalau lo tetap memaksa, gue bisa aja sebarin rahasia kita!” ancamnya membuat wajah Kalisa yang kesal langsung melunak. “Jangan cuman berani mengancam saja, ya, Shel!” pekik Kalisa. Ia juga menatap ke wanita di samping Marshel dengan penuh amarah. “Sebelum lo jadi mangsa selanjutnya, lebih baik putusin dia, carilah yang lebih baik darinya!” tuduhnya membuat si wanita itu menunduk takut.“Jaga bicaramu, Lisa!” geram Marshel mendorong tubuh Kalisa hingga terhuyung ke arah lantai. Untung saja, Marko dengan sigap men
Beberapa hari kemudian. Setelah dinyatakan hamil, keadaan Rani cukup berbeda. Bukan hanya Galvin yang selalu mengkhawatirkan dirinya, tetapi sekarang Helena bersikap yang sama. Rani begitu bahagia diperlakukan sebaik itu oleh ibu mertuanya. Dari pakaian dan juga makanan, Helena sangat antusias menyiapkan semuanya untuk Rani. Tentu saja, hal itu membuat Siska semakin cemburu atas sikap Helena pada istri kedua suaminya. Rani seperti biasa setiap pagi ia kan menyirami tanaman di kebun samping rumah milik suaminya. Semenjak hamil, ia menjadi menyukai tanaman. “Bisa nggak, hamil jangan bikin manja atau caper ke semua orang! Jijik tahu nggak lihatnya!” desis Siska yang tiba-tiba berdiri di samping Rani. Rani memutar tubuhnya ke arah samping. Ia tatap wajah istri pertama suaminya dengan membuang napas secara pelan. “Siapa yang manja?” tanya Rani dengan kembali fokus ke arah tanaman. “Kamu tuh, ya!” geram Siska kesal. Tangannya yang terangkat seketika ia hempaskan secara kasar.
Rani di antar oleh Helena dan Frans sampai di kediaman Galvin. Meski wajahnya terlihat murung dan lesu, tetapi Rani harus menunjukkan senyum lebarnya kepada kedua orang tua suaminya. “Kamu istirahat saja di kamar, jangan terlalu banyak beraktivitas. Kalo perlu sesuatu panggil saja bi Inah. Dia yang akan ku suruh untuk menjagamu setiap saat,” titah Helena saat sudah masuk ke dalam rumah putranya. Bi Inah sendiri adalah pelayan kepercayaannya yang sengaja ia datangkan langsung dari rumahnya. Karena ini menyangkut cucu kesayangannya. Membuat Helena enggan mencari orang baru, ia belum sepenuhnya percaya kepada orang baru bahkan pembantu baru yang bekerja di rumah putranya saat ini. “Terima kasih, Bu. Ini suatu kehormatan untukku,” kata Rani tersenyum trenyuh. Helena seketika menggeleng. “Tidak perlu berkata seperti, Rani. Kamu sudah saya anggap seperti anakku, yang terpenting cucuku nantinya bisa lahir dengan sehat,” sahutnya lagi. Rani hanya tersenyum tak menjawab. Ia rasanya s
Satu jam pun berlalu. Keluarga Galvin dan istri pertamanya kini telah sampai di rumah sakit. Helena langsung memeluk Rani saat sudah berada di dalam ruang IGD. “Sayang, terima kasih untuk kehamilanmu,” ucapnya dengan lembut. “Iya, Bu. Terima kasih,” jawab Rani terharu. Frans juga mengucapkan selamat, di belakangnya kini tinggal Siska yang masih terdiam berdiri sembari menatap ke arah istri kedua suaminya. “Selamat, Rani. Jaga dirimu baik-baik selama 9 bulan,” kata Siska setelah mengurai pelukannya. “Terima kasih, Mbak,” sahut Rani tersenyum. Rani sedikit senang dengan ucapan Siska yang menurutnya enak di dengar. Entah ini hanya karena ada kedua mertuanya dia bersikap baik, atau memang senang mendengar atas kehamilannya. “Bu, kata Dokter, Rani sudah diperbolehkan pulang sekarang,” ucap Galvin saat masuk ke dalam ruangan. Saat orang tuanya datang. Dia memang dipanggil oleh suster untuk menemui sang dokter. “Syukurlah, hayo, Rani. Ibu dan ayah akan mengantarmu. Biar Siska
Bibir Rani seketika sulit terucap mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Galvin. “M-as!” sapa Rani gugup. “Jawab, ucapanku Rani! Siapa dia?” bentak Galvin terbawa emosi. Marko yang mendengar bentakan Galvin tidak terima, meski ia dulunya kasar kepada Rani. Melihat Rani diperlakukan seperti itu hatinya terasa sakit. “Aku Marko, kerabat Rani.” Marko akhirnya yang menjawab. Sebab, Rani masih saja terdiam.“Aku tidak bertanya kepadamu!” hardik Galvin menatap ke arah Marko. “Jawab, Rani! Siapa dia?” ulangnya geram. “Marko benar, Mas. Dia kerabatku, lebih tepatnya saudara dari ibu.” Rani berkata jujur. Kedua matanya yang mengembun kini menetes dengan menatap ke arah wajah Galvin yang memerah. “Kita pulang sekarang!” ajak Galvin dengan menarik lengan kanan Rani secara kasar. Namun, tangan kiri Rani ditahan oleh Marko. “Jangan bersikap kasar kepadanya!” tekan Marko tak terima. Rani pun menengok ke arah belakang di mana Marko berada. Ia seperti salah mendengar ucapan yang dika
Kalisa yang melihat Rani di depan pintu kamarnya seketika langsung tak sadarkan diri. Hal itu membuat Rani semakin panik, dengan cepat pula ia menghampiri ranjang sahabatnya mencoba membangunkan. “Kalisa! Bangun, Sa!” teriak Rani dengan kencang. Namun, suara Rani tetap tak bisa membangunkan keadaan Kalisa yang terpejam. Rani bingung harus menghubungi siapa karena di sini tak mempunyai kerabat selain Galvin. Terbesit dalam benak Rani nama Marko di pikirannya. Tanpa menunggu lama, ia langsung mencari nomor pria itu di ponselnya. Lalu menghubungi untuk ke apartemen Kalisa. “Baik, aku akan ke sama sekarang!” jawaban Marko membuat hati kecil Rani lega.“Terima kasih, Marko.” Ucapan Rani untuk pertama kali kepada Marko. Karena sedari dulu hanya umpatan yang sering ia keluarkan kepada Marko si penagih hutang. Rani pun turun dari ranjang Kalisa. Ia akan mencari sesuatu yang akan menjadi bukti nanti. Setelah mencari ke seluruh kamar sahabatnya. Tidak ada satu pun benda yang mencurig
Satu minggu kemudian. Hampir satu bulan Rani menyandang status sebagai seorang istri. Meski hanya sebagai istri kedua, tetapi Rani merasa kehidupannya mulai berubah. Ia pun kini tidak perlu lagi bersusah payah mencari selembar uang untuk menghidupi kesehariannya. Sebab, kini semua kebutuhan sudah tercukupi. Di pagi ini dengan suasana yang cerah. Rani disibukkan oleh beberapa tanaman bunga yang sengaja ia tanam. Meski tidak mendapat persetujuan dari istri pertama suaminya. Namun, untung saja Galvin sebagai sang suami tetap mengizinkan. Hal itu membuat Rani merasa senang oleh sikap Galvin yang semakin hari semakin perhatian. Disaat fokus menyirami, Rani sampai tidak tahu jika Siska kini berada di belakangnya sembari melipat kedua tangan di d*danya. “Setelah selesai, beresin seluruh rumah. Aku hari ini ada acara sampai sore,” titah Siska. Rani terkejut mendengar perintah dari istri pertama suaminya. Sebab, Galvin pernah bicara jika hari ini akan kedatangan pembantu untuk me
“Jadi kamu sudah tahu siapa Rani?” tanya Galvin menatap tajam ke arah Haris. Haris sendiri hanya mengangguk. “Entah ini kebetulan atau bagaimana, aku juga sedikit kaget. Saat tahu wanita malam kesayanganku harus menjadi istri keduamu. Padahal dialah yang menjadi alasanku kembali ke tanah air, jika sedang berlibur,” sahutnya terang-terangan. “Seberapa lama kalian kenal? Jadi, kamu pernah tidur dengan Rani?” cecar Galvin penasaran. Hatinya semakin panas, tetapi ia harus tetap bisa menyembunyikan ekspresi kesal di wajahnya. “Kurang lebih satu tahun, jangankan tidur, bersetu—.” Galvin seketika langsung meninggalkan Haris seorang diri. Padahal Haris belum selesai berbicara. Kepergian Galvin yang begitu saja, membuat Haris menyeringai. Ia tahu jika sepupunya terbakar cemburu oleh ucapannya. Namun, Haris tak mempermasalahkan, sebab, ia berbicara sesuai kenyataan yang ia alami. Galvin berjalan ke arah kebun belakang. Ia langsung meraih tangan kiri Rani untuk berdiri. “Bangun, ki