Ayahnya pergi entah kemana, dia tampak marah sekali dan beberapa kali menghancurkan barang. Tidak ada yang melukai Ariana secara fisik, tapi hati gadis itu jelas babak belur. Sudah diduganya semua akan kesal, meski Jareth berkata tidak apa-apa karena Ariana berhak juga memiliki pendapat.
"Kau, anak yang tidak tahu diuntung," kata Elina menuang lagi minumannya. Asap rokok itu terlihat lagi setelah terhembus dari bibir itu.
"Ini hidupku Ibu," kata Ariana dengan kesal.
"Tahu apa kamu tentang hidup? Sebaiknya kamu menurut saja. Lihat kakak kamu semua, mereka bahagia dengan pilihan kami," kata Elina dengan percaya diri.
"Tapi mereka tidak dijodohkan dengan kakek-kakek," kata Ariana memekik.
"Jangan berteriak di depanku, Nona muda. Aku melahirkan kamu." Elina kembali menghisap tembakau itu dan meracuni tubuhnya. "Aku menikah dengan pilihanku sendiri, waktu itu aku cukup buta untuk tahu bagaimana kelakuan orang yang menjadi suamiku, astaga aku menyesal."
"Ibu, jangan bicara yang buruk tentang ayah. Yang bermasalah sekarang bukankah hanya Ibu? Yang terus saja minum dan menghisap tembakau, pergi ke pesta demi pesta, bagus sekali ketika penggerebekan itu Ibu bisa selamat, kapan Ibu akan berhenti?" tanya Ariana yang kesal. "Apakah Ibu tidak kasihan dengan ayah?" tanyanya.
Elina mengumpat sekali. "Buat apa aku kasihan dengan bajingan tua itu? Kamu ... sebaiknya segera menikah saja dan keluar dari rumah ini, aku sudah tidak tahan lagi," katanya dengan kasar.
Kedua orang tuanya kadang rukun dan romantis, tapi beberapa kali saling mengumpat memaki. Tidak pernah mereka bersikap begini sebelumnya, entah apa yang ada di pikiran mereka. Yang pasti, Ariana melihat ibunya semakin tenggelam dalam minum, menghadiri pesta demi pesta sementara ayahnya lebih suka menghabiskan waktu di luar. Mungkin ibunya sakit hati, Ariana mencoba untuk maklum.
"Nanti aku mau pergi, dengan Cassy juga Leona. Mungkin pulang malam," pamit Ariana, daripada hanya berdiam di rumah saja dan membuat kepala semakin sakit. "Ibu, apapun yang terjadi di antara kalian. Kurangilah minum itu, ibu harus sayang dengan tubuh sendiri," tambahnya.
Elina mengangguk dengan sinis, sudah tipsy. "Baiklah, baiklah. Aku mendengarmu," ujarnya.
"Ibu harus jaga kesehatan." Ariana kembali bicara tapi sepertinya ibunya sudah tidak ingin peduli.
"Kalau mau pergi sebaiknya cepatlah. Beritahu aku kalau kamu tidak pulang," balasnya setelah mengangguk beberapa kali.
Ariana tidak betah juga sebenarnya berada di rumah ini, hanya tinggal dia sendiri. Kakaknya telah menikah dan beberapa tinggal di luar negeri. Hanya dirinya yang tersisa, menjadi saksi dari rumah tangga yang semakin lama terlihat panas ini. Tapi mau keluar pun caranya bagaimana.
Menikah dengan uncle Jareth? Yang benar saja.
***
"Aku kira kita akan kemana, setelah berputar kenapa malah berhenti di restoran?" tanya Cassy mencibir Leona yang menggagas acara ini.
"Kita gadis baik-baik, jadi kita di sini saja bukan berada di club' malam bercengkerama dengan para pria." Leona menggerakkan tangannya dengan manis.
"Bicaramu seperti perawan saja. Kalau Ariana sepertinya sih, yakin masih," sahut Cassy yang berada di depan Ariana.
Leona menyatukan alis sebelum bicara, "Kalau dia, memang yakin. Dia itu kilometer zero."
"Bicara apa kalian? Astaga aku ini sangat lapar. Leona, apakah kamu akan membiarkan aku kelaparan? Aku ini sudah kurus," kata Ariana kesal, sudah kemana-mana di sini pun bukannya memesan makanan malah hanya berbincang.
Gadis dengan rambut cenderung keriting itu kemudian memanggil pelayan dan menyebutkan apa saja yang dia inginkan. Bagaimana pun dia sangat hapal makanan yang disukai oleh dua temannya itu. Mereka telah lelah berpesta, sesekali kala bertemu ingin melewati waktu dengan santai saja seperti ini.
"Restoran di dekat lobby, dari sini bisa dilihat jelas tamu yang datang hilir mudik itu." Leona mengangkat gelasnya.
"Yang memakai setelan itu, mungkin datang kemari karena meeting. Yang memakai gaun merah itu, penampilan dan tingkahnya terlihat murahan, mungkin dia pelacur yang disewa orang." Cassy dengan kurang ajar memberikan penilaian.
"Dan yang memakai kemeja putih itu, dia terlihat seperti orang kantoran, berani taruhan dia akan memesan single room yang tidak terlalu mahal." Leona dengan terkikik kembali menilai.
"Oh astaga, bicara apa kalian berdua. Bagaimana bisa kalian menilai orang berdasarkan dari beberapa detik mata kalian memandang?" tanya Ariana tidak habis pikir, meski yang disebutkan oleh dua temannya itu sepertinya benar.
"Ini naluri seorang wanita, kita dengan mudah mengendus apa saja yang tidak beres. Bukankah insting wanita itu tajam?" tanya Leona setelah terbahak hingga lelah.
"Lebih tajam bibir tetangga, omongan netizens, juga ibumu ketika kau habis melakukan kesalahan." Cassy dengan tegas mengucapkan deretan fakta.
Ariana menyungging senyum yang hanya segaris tampak di bibirnya itu. "Ya Tuhan, lihatlah yang barusan datang itu. Sepertinya tampan dan kaya, astaga apakah dia seorang sugar daddy? Aku mau satu."
Cassy dan Leona serentak menoleh. "Hey jaga bicaramu."
"Kenapa?" tanya Ariana dengan polosnya.
"Kenapa? Ayolah kita ini wanita yang bermartabat tinggi. Apakah kita akan menjual diri hanya untuk mendapatkan uang sebesar harga mobil? Ayolah aku dengan mudah meminta ayahku tanpa harus menggesekkan pantat kepada para hidung belang." Cassy dengan arogan berkata.
"Aku ingin tertawa, tapi sepertinya tidak terlalu lucu," gumam Ariana menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Leona kembali mengomentari orang yang hilir mudik, bagi wanita yang kurang kerjaan seperti mereka, anggap saja itu adalah hiburan saja. Terkadang mereka malah melakukan yang lebih, seperti menebak berapa nomor sepatu pria yang kebetulan lewat, dan terkadang menanyakannya. Seperti orang gila.
Tawa Leona terhenti seketika, hampir saja dia membuka suara atas seorang pria yang sudah menua datang ke hotel itu, dari tempatnya duduk matanya bisa melihat dengan jelas siapa itu. Dia melirik Ariana yang sepertinya masih belum paham dengan apa yang terjadi. Sayangnya sepertinya rencananya tidak mulus.
"Aria, yang itu ... memakai tuxedo itu, bukankah itu adalah tuan Irvin? Ayahmu?" tanyanya membuyarkan apa yang ditutupi oleh Leona.
"Mana?" sontak Ariana membalikkan badan.
"Itu, yang sedang memeluk wanita yang memakai gaun mini itu," pekik Cassy.
"Yang mana? Kamu mungkin ngelindur," sergah Ariana yang tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh kawannya.
"Aria, aku tidak buta juga tidak rabun. Itu adalah ayahmu, tuan Irvin. Sedang memeluk wanita dengan mesra, ayolah aku bisa tahu itu bukan kakakmu. Aku tahu, kakakmu tidak akan berpakaian dengan selera rendahan begitu." Cassy kembali bersuara dengan yakin.
Ariana mencari sosok yang dimaksud, dan dia menemukan asisten ayahnya memang berada di sana. "Itu, asisten ayahku," kilahnya.
Leona membuang napasnya dengan kasar, kesal tentu. Kenapa malah memergoki orang yang sedang selingkuh ketika mau menikmati makan malam. Dan Ariana, sial sekali dia harus melihat dengan mata kepala sendiri kalau ayahnya menghianati keluarganya.
"Itu, di sebelah asisten itu, itu adalah ayahmu. Aku bisa membedakan siapa yag memakai jas mewah dan yang biasa saja." Leona membuka suara.
Ariana diam dan gemetar, dari tempatnya berada sangat jelas terlihat. Seorang Irvin yang sudah memiliki cucu itu memeluk dan mencium wanita lain. Kurang ajar. Apakah ini yang dimaksud oleh ibunya kalau ayahnya juga merupakan seorang bajingan?
***
Wajahnya memanas, dikiranya rumah yang sudah panas setiap hari itu sudah buruk tapi ini lebih buruk lagi. Jelas sekali di sana, di dekat asisten ayahnya itu adalah sosok yang bernama Irvin, manusia yang menyumbang benih hingga dirinya terlahir ke dunia.Wanita itu jelas sekali bukan ibunya yang tubuhnya semakin lama semakin tambun karena gaya hidup memburuk juga kebiasaan minumnya. Itu adalah wanita seksi yang pakaiannya mungkin untuk ukuran balita, bagian belakangnya itu hanya menutupi pantat saja, berani taruhan kalau dia membungkuk kain itu akan semakin ke atas."Aria, kamu baik saja?" tanya Cassy melontarkan kalimat yang konyol. Bagaimana mungkin dirinya ini baik saja.Tanpa pamit Ariana meraih tasnya dan beranjak pergi, diikuti dengan tatapan aneh kedua kawannya lalu Leona berusaha menyusulnya tapi terlambat. Gadis itu telah pergi dan menyetir sendirian tanpa tujuan yang jelas. Ini adalah sebuah penghianatan, ayahnya telah mengkhianati seluruh keluarganya. Cinta ibunya, dirinya j
"Kami menunggumu tuan putri, apa yang membuatmu lama sekali?" tanya Cassia yang baru saja membuka pintu.Tidak segera menjawab, Ariana hanya melangkah masuk ke dalam kamar yang begitu luas itu. Suara dialog dari film yang diputar pada sebuah televisi layar datar lebar itu terdengar nyaring bersahutan, rupanya temannya ini lagi-lagi menonton Barbie. Tas tangan yang dibawanya itu diletakkannya perlahan. Ariana membuang napas dengan sedikit kasar yang mana membuat Leona yang sedang mengecat kukunya itu menoleh lalu menatapnya dengan heran. Masih tidak bersuara dia merebahkan tubuhnya dan mengambil botol kecil yang berwarna merah bagaikan darah itu. "Jawab pertanyaanku," ucap Cassia dengan sedikit kesal. "Bukan aku yang lama, mungkin kalian saja yang terlalu cepat menggelar pesta." Ariana meletakkan kembali botol kecil itu, sama sekali tidak menarik perhatiannya. Leona yang merasakan seperti ada yang aneh itu akhirnya bertanya, "Perasaanku saja atau sebenarnya ada sesuatu?"Mau tidak
Pria itu menunggunya di luar, rasanya aneh sekali situasi ini. Dia menikah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, beberapa berspekulasi kalau wanita itu telah hamil dulu. Ketika melihat perut yang masih rata dan ramping itu berbagai tuduhan itu menguap dengan sendirinya. Gaun yang dikenakannya ini begitu berat, seberat hatinya yang merasa dunia ini begitu tidak adik kepadanya. Calon pengantinnya sekarang sedang menunggu di sana, bagaimana pakaian pengantin itu apakah pas dipakainya atau mereka akan merombaknya di beberapa bagian yang diperlukan. Dirinya menikahi seorang duda kaya raya dan yang seperti itu bukanlah hal besar, apapun gaun yang dimintanya sudah pasti uncle Jareth akan mampu membayarnya, kecuali mungkin Ariana ingin di bagian dada bertabur debu yang berasal dari cincin Saturnus atau bertatahkan batu dari planet Jupiter. "Anda terlihat cantik sekali," wanita muda memakai seragam itu memuji setelah memasangkan pakaian megah itu. Ariana menatap bayangannya di cermin. "Ak
“Aku tidak tahu harus berkomentar apa,” ucap Leona ketika mereka berada di sebuah ruangan bersama.“Bilang saja aku cantik.” Ariana berdiri tegak dengan pakaian yang masih apa adanya, riasan di wajahnya itu tampak begitu sempurna.Usianya baru 22, Ariana baru menyelesaikan sekolahnya dan berkeinginan melanjutkan di bidang seni seperti yang disukainya. Kalau ilmu bisnis yang pernah dia geluti itu, entah kapan akan berguna. Kata ayahnya, seorang wanita tidak perlu hidup sengsara, itu tugas dari seorang pria untuk bersusah payah mencari uang. Sebuah nasihat yang sesat dan dirinya tidak pernah setuju dengan itu, tapi sama sekali memang tidak pernah Ariana diberi kesempatan untuk mengurus usaha itu, hanya cipratan saham beberapa persen yang dibagi rata.Kini dirinya akan menikah dengan duda kaya raya seperti yang dikatakan oleh ibunya, dirinya akan segera menjadi seorang nyonya besar. Tidak berlebihan yang diucapkannya itu, seorang Jareth Lee memang terkenal sebagai pebisnis yang sukses da
Gaun yang berat itu dikenakannya, di sampingnya ada ayahnya yang menggandengnya dengan erat. Di matanya manusia bernama Irvin itu memang pernah tercela tapi bagaimanapun dia adalah tetap ayahnya. Tanpa ada pria itu tentu Ariana tidak akan pernah terlahir ke dunia, mungkin inilah saatnya dia harus memaafkan tapi tetap tidak bisa melupakan.Sepasang sepatu yang tinggi itu dikenakannya dan kakinya berjalan dengan pelan, ada rasa yang campur aduk di sini terutama ketika dia mulai melangkahkan kaki dan menapaki karpet itu. Dengan segenap hati dia memberanikan diri untuk mendongak, tampak calon suaminya yang berdiri tegap di sana dengan penampilan yang lumayan menawan untuk orang seusianya.Hari ini resmi Ariana menikahi pria yang berusia 45 tahun di usianya yang masih 23. Kalau melihat angka tentu saja mereka itu seperti ayah dan anak, untung saja Jareth Lee itu selalu menjaga tubuhnya dan dia berolahraga. Wajahnya masih tampak seperti pria yang berusia 30 tahun lebih. Tidak ada perut memb
"Butuh bantuan?" tanya Jareth ketika Ariana yang berada di depan cermin itu berusaha melepas kalung itu. Ariana menoleh, entah kapan datangnya pria ini, dia tiba-tiba saja berada di kamar ini. Senyum yang tipis segera disinggungkan berikut kepalanya yang mengangguk pelan. Yang berada di dalam dada terasa berdegup dengan kencang, mereka kini hanya berdua saja di ruangan yang megah dan luas ini. Terasa jari hangat itu menyentuh tengkuk berikut kalung yang dilepaskan dengan perlahan, benda itu kini telah berada pada torso yang terletak di atas meja. Mereka bersentuhan fisik memang bukan yang pertama kali, dahulu sering sekali tapi hanya terbatas pada pelukan juga kecup kecil di dahi ketika ada hari istimewa. Sekarang orang itu telah resmi menjadi suaminya. "Terima kasih," ucap Ariana dengan pelan, rasa canggung itu begitu menguasainya. "Butuh bantuan lain?" tanya Jareth ketika melihat jari lentik itu kesulitan mencapai resleting yang berada di punggung itu. "Padahal kamu tinggal bila
Rumah mereka kini boleh dikatakan lengang setelah pernikahan Ariana Putri bungsunya. Hanya ada mereka berdua saja kini dan juga para pelayan juga asisten rumah tangga yang entah jumlahnya berapa. Rasanya beban yang ada di pundak mereka itu runtuh setelah Jareth memperistri putrinya.“Kamu pasti menganggapku sebagai istri dan ibu yang jahat, seandainya mereka juga tahu apa yang telah kamu lakukan. Ariana sepertinya sudah tahu tapi dia memilih diam, sampai kapan kamu akan melakukan perilaku bejat seperti itu Irv?” tanya Elina ketika pengacara yang mengunjungi kediaman mereka baru saja pergi.“Kamu juga sama tidak sucinya dengan aku El, jadi kenapa tidak kita sudahi saja basa-basi ini? Aku tidak akan datang sekalipun ke pengadilan, aku sudah begitu menginginkan perceraian ini. Dan kamu kalau butuh alimoni sebutkan saja jumlahnya dari awal dan aku tidak ingin hal itu menjadi hambatan ketika kita bercerai.” Irvin dengan lugasnya berkata di depan istrinya.“Kamu tidak perlu kuatir, aku akan
"Apakah ada masalah?" tanya Jareth ketika masuk ke dalam kamar dan mendapati istrinya melamun di depan jendela besar dengan kaca itu.Ariana terkejut untuk sesaat tapi kemudian menyunggingkan senyum, tidak ada masalah apapun kecuali dialog yang terdengar tanpa sengaja tadi. Baru saja menginjakkan kakinya di sini dirinya sudah dibandingkan dan menerima kenyataan kalau pelayan saja tidak menyukai kehadirannya. Entah kapan suaminya itu datang ke kamarnya, bahkan suara Langkah kaki dan pintu yang terbuka itu luput dari telinganya. Ariana terlalu sibuk bergulat dengan hati, Bukan meratapi nasib tapi hanya bertanya-tanya saja kenapa selalu saja ada yang mengganggu, padahal Ariana hanya ingin hidup dengan sederhana dan tenang. dengan cepat Ariana menggeleng. "Tidak, aku hanya ... mengagumi kebun yang indah itu dari sini. Tukang kebunmu sudah bekerja dengan keras." Wanita itu membalikkan tubuhnya menyambut suaminya.Jareth segera tersenyum dan meralat kalimat istrinya. "Sejak kamu menjadi i
"Aku pikir kamu tidak akan datang," kata Lilah begitu melihat Ariana melenggang menghampirinya.Ariana berdiri tegak di depan ibu hamil itu dan berkata, "Bukankah aku sudah berjanji untuk datang? Lagipula aku tidak ada masalah dengan ini, katamu kita akan bersenang-senang menghabiskan uang suami. Jadi, tunggu apalagi?"Lilah melengos mendengar kalimat itu. "Kamu sudah beradaptasi dengan baik rupanya, bagus sekali."Wanita muda itu segera memutar tubuhnya dan mengerutkan kening. "Beradaptasi apa maksudnya?""Ah tidak." Lilah mengibaskan tangannya. "Maksudku, kamu sudah begitu cepat menyesuaikan diri menjadi istri Jareth, meski tetap belum begitu sempurna." Dengan enteng wanita hamil itu berlalu tapi memberi isyarat agar Ariana mengikutinya.Meski kesal Ariana mengikuti juga langkah dari sepupu suaminya itu. Lilah ini kalau bicara memang kerap menjengkelkan. Entah ada masalah apa dalam hidupnya, kalimat-kalimat yang terlontar beberapa kali membuat dirinya bingung kenapa. Seperti yang te
"Hati-hati di jalan Sayang, aku menunggumu." Ariana meletakkan smartphone itu dan kembali menikmati minumnya. Dirinya dan suaminya telah bertolak ke Italia sejak beberapa hari, bukan karena ini adalah salah satu negara yang romantis tapi karena Jareth ada urusan di Milan. Kalau ditanya, jelas sekali itu adalah urusan bisnis yang Ariana tidak banyak tahu. Bukannya dia sama sekali tidak paham bisnis, tapi menjadi istri dari Jareth Lee saja baru berapa lama, segala aset dan usaha milik suaminya dia belum tahu semua. Kopi itu dinikmatinya perlahan, jangan banyak makan dulu atau nanti ketika suaminya kembali perutnya sudah penuh terisi makanan. Dia mengedarkan pandangannya, suasana tenang layaknya sebuah restoran megah ini dinikmatinya dengan penuh ketenangan dalam kesendirian. Tidak mengapa, nanti dia akan memuaskan dirinya setelah suaminya kembali.Matanya terantuk pada sosok yang berada di sana, seorang wanita yang perutnya membuncit entah hamil beberapa bulan. Ariana mengumpulkan seg
"Waktunya makan malam, Tuan ... Nyonya," ucap seorang pria tua yang biasa dipanggil dengan Sebastian itu.Ariana dan Jareth telah menghabiskan beberapa hari di rumah besar itu, mendengar suara Sebastian, mereka yang sedang bercengkerama bersama memandangi kebun itu segera menoleh dan melirik ke arah pergelangan tangan. Berbeda dengan suaminya yang segera tersenyum mengiyakan, wanita itu hanya menunduk sesaat sebelum bangkit.Di sini, tidak ada bedanya dengan berada di rumahnya, kalau diingat lagi sepertinya keadaan lebih parah yang di sini. Ketika di rumah kapan harus begini dan begitu seperti sudah diatur dan waktu makan pun demikian. Kapan sarapan, makan siang dan makan malam itu selalu saja tepat waktu setiap harinya dan mereka akan menuju ruang makan hanya setelah Sebastian itu datang memberi tahu.Siapa bilang hidup seperti tuan puteri seperti yang dijalaninya ini begitu indah, sebagian memang indah ketika berada di bagian bisa kemana pun tanpa harus memikirkan finansial. Tapi ke
"Apakah ada masalah?" tanya Jareth ketika masuk ke dalam kamar dan mendapati istrinya melamun di depan jendela besar dengan kaca itu.Ariana terkejut untuk sesaat tapi kemudian menyunggingkan senyum, tidak ada masalah apapun kecuali dialog yang terdengar tanpa sengaja tadi. Baru saja menginjakkan kakinya di sini dirinya sudah dibandingkan dan menerima kenyataan kalau pelayan saja tidak menyukai kehadirannya. Entah kapan suaminya itu datang ke kamarnya, bahkan suara Langkah kaki dan pintu yang terbuka itu luput dari telinganya. Ariana terlalu sibuk bergulat dengan hati, Bukan meratapi nasib tapi hanya bertanya-tanya saja kenapa selalu saja ada yang mengganggu, padahal Ariana hanya ingin hidup dengan sederhana dan tenang. dengan cepat Ariana menggeleng. "Tidak, aku hanya ... mengagumi kebun yang indah itu dari sini. Tukang kebunmu sudah bekerja dengan keras." Wanita itu membalikkan tubuhnya menyambut suaminya.Jareth segera tersenyum dan meralat kalimat istrinya. "Sejak kamu menjadi i
Rumah mereka kini boleh dikatakan lengang setelah pernikahan Ariana Putri bungsunya. Hanya ada mereka berdua saja kini dan juga para pelayan juga asisten rumah tangga yang entah jumlahnya berapa. Rasanya beban yang ada di pundak mereka itu runtuh setelah Jareth memperistri putrinya.“Kamu pasti menganggapku sebagai istri dan ibu yang jahat, seandainya mereka juga tahu apa yang telah kamu lakukan. Ariana sepertinya sudah tahu tapi dia memilih diam, sampai kapan kamu akan melakukan perilaku bejat seperti itu Irv?” tanya Elina ketika pengacara yang mengunjungi kediaman mereka baru saja pergi.“Kamu juga sama tidak sucinya dengan aku El, jadi kenapa tidak kita sudahi saja basa-basi ini? Aku tidak akan datang sekalipun ke pengadilan, aku sudah begitu menginginkan perceraian ini. Dan kamu kalau butuh alimoni sebutkan saja jumlahnya dari awal dan aku tidak ingin hal itu menjadi hambatan ketika kita bercerai.” Irvin dengan lugasnya berkata di depan istrinya.“Kamu tidak perlu kuatir, aku akan
"Butuh bantuan?" tanya Jareth ketika Ariana yang berada di depan cermin itu berusaha melepas kalung itu. Ariana menoleh, entah kapan datangnya pria ini, dia tiba-tiba saja berada di kamar ini. Senyum yang tipis segera disinggungkan berikut kepalanya yang mengangguk pelan. Yang berada di dalam dada terasa berdegup dengan kencang, mereka kini hanya berdua saja di ruangan yang megah dan luas ini. Terasa jari hangat itu menyentuh tengkuk berikut kalung yang dilepaskan dengan perlahan, benda itu kini telah berada pada torso yang terletak di atas meja. Mereka bersentuhan fisik memang bukan yang pertama kali, dahulu sering sekali tapi hanya terbatas pada pelukan juga kecup kecil di dahi ketika ada hari istimewa. Sekarang orang itu telah resmi menjadi suaminya. "Terima kasih," ucap Ariana dengan pelan, rasa canggung itu begitu menguasainya. "Butuh bantuan lain?" tanya Jareth ketika melihat jari lentik itu kesulitan mencapai resleting yang berada di punggung itu. "Padahal kamu tinggal bila
Gaun yang berat itu dikenakannya, di sampingnya ada ayahnya yang menggandengnya dengan erat. Di matanya manusia bernama Irvin itu memang pernah tercela tapi bagaimanapun dia adalah tetap ayahnya. Tanpa ada pria itu tentu Ariana tidak akan pernah terlahir ke dunia, mungkin inilah saatnya dia harus memaafkan tapi tetap tidak bisa melupakan.Sepasang sepatu yang tinggi itu dikenakannya dan kakinya berjalan dengan pelan, ada rasa yang campur aduk di sini terutama ketika dia mulai melangkahkan kaki dan menapaki karpet itu. Dengan segenap hati dia memberanikan diri untuk mendongak, tampak calon suaminya yang berdiri tegap di sana dengan penampilan yang lumayan menawan untuk orang seusianya.Hari ini resmi Ariana menikahi pria yang berusia 45 tahun di usianya yang masih 23. Kalau melihat angka tentu saja mereka itu seperti ayah dan anak, untung saja Jareth Lee itu selalu menjaga tubuhnya dan dia berolahraga. Wajahnya masih tampak seperti pria yang berusia 30 tahun lebih. Tidak ada perut memb
“Aku tidak tahu harus berkomentar apa,” ucap Leona ketika mereka berada di sebuah ruangan bersama.“Bilang saja aku cantik.” Ariana berdiri tegak dengan pakaian yang masih apa adanya, riasan di wajahnya itu tampak begitu sempurna.Usianya baru 22, Ariana baru menyelesaikan sekolahnya dan berkeinginan melanjutkan di bidang seni seperti yang disukainya. Kalau ilmu bisnis yang pernah dia geluti itu, entah kapan akan berguna. Kata ayahnya, seorang wanita tidak perlu hidup sengsara, itu tugas dari seorang pria untuk bersusah payah mencari uang. Sebuah nasihat yang sesat dan dirinya tidak pernah setuju dengan itu, tapi sama sekali memang tidak pernah Ariana diberi kesempatan untuk mengurus usaha itu, hanya cipratan saham beberapa persen yang dibagi rata.Kini dirinya akan menikah dengan duda kaya raya seperti yang dikatakan oleh ibunya, dirinya akan segera menjadi seorang nyonya besar. Tidak berlebihan yang diucapkannya itu, seorang Jareth Lee memang terkenal sebagai pebisnis yang sukses da
Pria itu menunggunya di luar, rasanya aneh sekali situasi ini. Dia menikah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, beberapa berspekulasi kalau wanita itu telah hamil dulu. Ketika melihat perut yang masih rata dan ramping itu berbagai tuduhan itu menguap dengan sendirinya. Gaun yang dikenakannya ini begitu berat, seberat hatinya yang merasa dunia ini begitu tidak adik kepadanya. Calon pengantinnya sekarang sedang menunggu di sana, bagaimana pakaian pengantin itu apakah pas dipakainya atau mereka akan merombaknya di beberapa bagian yang diperlukan. Dirinya menikahi seorang duda kaya raya dan yang seperti itu bukanlah hal besar, apapun gaun yang dimintanya sudah pasti uncle Jareth akan mampu membayarnya, kecuali mungkin Ariana ingin di bagian dada bertabur debu yang berasal dari cincin Saturnus atau bertatahkan batu dari planet Jupiter. "Anda terlihat cantik sekali," wanita muda memakai seragam itu memuji setelah memasangkan pakaian megah itu. Ariana menatap bayangannya di cermin. "Ak