Wajahnya memanas, dikiranya rumah yang sudah panas setiap hari itu sudah buruk tapi ini lebih buruk lagi. Jelas sekali di sana, di dekat asisten ayahnya itu adalah sosok yang bernama Irvin, manusia yang menyumbang benih hingga dirinya terlahir ke dunia.
Wanita itu jelas sekali bukan ibunya yang tubuhnya semakin lama semakin tambun karena gaya hidup memburuk juga kebiasaan minumnya. Itu adalah wanita seksi yang pakaiannya mungkin untuk ukuran balita, bagian belakangnya itu hanya menutupi pantat saja, berani taruhan kalau dia membungkuk kain itu akan semakin ke atas.
"Aria, kamu baik saja?" tanya Cassy melontarkan kalimat yang konyol. Bagaimana mungkin dirinya ini baik saja.
Tanpa pamit Ariana meraih tasnya dan beranjak pergi, diikuti dengan tatapan aneh kedua kawannya lalu Leona berusaha menyusulnya tapi terlambat. Gadis itu telah pergi dan menyetir sendirian tanpa tujuan yang jelas. Ini adalah sebuah penghianatan, ayahnya telah mengkhianati seluruh keluarganya. Cinta ibunya, dirinya juga kakaknya yang begitu percaya kepadanya, yang selalu dianggap sebagai pria terhormat kesayangan keluarga.
"Oh astaga," keluh Ariana meminggirkan dan menghentikan mobilnya, berulang kali dia mengusap air matanya.
Kenapa ayahnya melakukan itu, apakah karena ibu sudah tidak lagi sedap dipandang. Ibunya sudah tidak bisa memberikan naungan terhadap hidupnya, sedangkan ayahnya yang begitu dia percaya juga malah merangkul wanita lain seusia putri sulungnya. Betapa menjijikkan.
Rumah itu tidak lagi bisa disebut rumah, kemana lagi Ariana akan pulang. Dirinya dipaksa menikah dengan duda tua itu. Baiklah kini dia tahu sekali alasannya, kedua orang tuanya memang sengaja mau membuangnya. Hidupnya berkecukupan, tapi hatinya haus sekali akan cinta dan kasih sayang. Tapi, meski kasar setidaknya ibunya adalah wanita yang suci.
"Pantas saja mereka kerap bicara tentang perceraian, ya Tuhan kenapa aku begini bodoh." Ariana kembali sesenggukan.
Dia masih banjir dengan airmata ketika terperangah kaget begitu mendengar ada yang mengetuk jendela mobilnya, ya Tuhan jangan lagi. Ariana sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun, tidak juga sedang ingin bicara dengan siapapun. Dibuangnya napasnya dengan kasar sebelum dia menengadah dan menemukan sesosok pria yang sangat dikenalnya.
"Uncle," gumam Ariana mengusap wajahnya.
Entah harus bersyukur atau bagaimana, dilihatnya Jareth mengetuk lagi jendela kaca mobilnya itu dengan tatapn kuatir. Tampak di depan mobilnya itu berhenti sebuah sedan hitam milik teman dari ayahnya itu, kebetulan yang sangat kebetulan, semesta kadang kalau beranda bisa selucu ini. Dengan pelan dia membuka kaca mobilnya.
"Ariana, apa yang kamu lakukan di sini sendirian? Ini ... sudah malam." Jareth masih tampak begitu kuatir menatap putri dari sahabatnya itu.
Bukannya menjawab Ariana malah semakin mengucurkan airmata, tangisnya kembali pecah hingga berguncang tubuhnya. Terasa ada tangan yang menyentuhnya dengan lembut lalu mengatakan semua akan baik saja. Kalau perlu apa-apa Ariana hanya tinggal berkata, tidak perlu takut. Jareth akan membantu apa saja yang dia perlukan.
Menceritakan apa yang dilihatnya kepada pria tua ini? Ah tidak, meski sakit hati tapi Ariana juga tahu diri kalau mengumbar aib keluarganya itu bukan tindakan yang bijak. Pria itu hanya mengusap pundaknya dengan lembut, sesekali berbisik menenangkan. Rasanya dia seperti tidak punya siapa-siapa lagi, ibunya sudah lebih mementingkan minuman juga pestanya, dan ayahnya memilih bermain dengan pelacur.
"Ariana, apa kamu sudah lebih baik? Tidak perlu bercerita kalau tidak ingin. Dan ... bagaimana kalau aku antar pulang?" tanya Jareth yang menatap iba.
Pulang, kemana? Sudah tidak ada lagi tempat yang bisa disebut dengan rumah.
***
Matanya kembali memicing, mobil ayahnya sudah terparkir manis di sana. Lelucon apalagi ini, matanya jelas tidak buta dan ada dia saksi yang bisa menyatakan keberatannya. Ada ayahnya juga asistennya di sana, bersama seorang wanita. Dikiranya mereka akan check in atau apa, tapi ayahnya malah berada di rumah sekarang. Astaga lelucon apalagi ini.
Irvin menyambut putri dan juga kawannya itu, tadi asistennya sempat berbalik kalau di hotel itu ada Ariana yang sedang bercengkerama bersama kawannya. Sempat panik karena citranya di hadapan anak-anaknya, dia adalah sosok ayah yang sempurna. Kenapa bisa sampai seceroboh itu, tampak sekali putri bungsunya itu melengos ketika bertemu dengannya.
"Bagaimana kalian bisa bersama?" tanya Irvin dengan curiga.
"Aku menemukan anakmu sedang menangis di pinggir jalan, entah apa yang terjadi. Aku bertanya tapi dia hanya menangis." Jareth terkekeh.
"Anak-anak memang terkadang aneh, kita pernah muda dan itu kerap membuat bingung." Irvin berkilah, tidak ingin tingkahnya tersebar luas di kalangan pengusaha, meskipun hal yang seperti itu seperti lumrah.
"Aria, kemarilah, bisa kamu cerita kepada uncle mu ini apa yang terjadi? Ayolah akan uncle hajar siapa yang telah menyakiti hatimu," kata Jareth seperti dulu ketika Ariana berkelahi dengan temannya di sekolah.
Ariana mendekat, dia sudah tampak lebih tenang sekarang. "Tidak perlu uncle, kita tidak perlu meluangkan waktu dan tenaga hanya untuk mengurusi orang yang tidak layak," ketusnya dan membuat ayahnya melongo sesaat.
"Kalimat yang sangat manis, ya sudah kalau kamu baik-baik saja, uncle sudah merasa lega." Jareth kembali terkekeh sedangkan Irvin tampak lebih salah tingkah.
"Sudah aku bilang, anak-anak memang begitu," kilah Irvin bagai sedang berpikir mencari pengalihan.
"Istirahatlah Ariana, sepertinya kamu lelah," kata Jareth dengan lembut kepada gadis itu.
Ariana menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk, bagaimana bisa sekarang dia berada di sini dengan menampilkan tampang yang tidak berdosa. Ibunya itu, yang kerap menggaungkan kata cerai itu apakah sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya. Perih di hatinya kembali terasa, ayah yang sangat disayanginya mengkhianati keluarganya.
Pandangannya beralih pada sosok yang telah berusia 45 tahun itu, sedikit lebih muda dari ayahnya. Beberapa helai rambut itu memang terlihat memutih, memang usia tidak bisa bohong. Tapi uncle Jareth masih tampak begitu energik untuk pria seusianya, dia telah menduda begitu lama tanpa Ariana tahu apa alasannya.
Berada di rumah ini, rasanya sudah tidak ingin lagi, terlebih dia mulai paham kenapa orang tuanya terkesan terburu-buru ingin menyingkirkan dia. Baiklah kalau memang itu yang harus terjadi, mungkin memang jalan itu yang terpaksa dia ambil. Hatinya sakit juga patah, berpikir pun rasanya tidak bisa. Tapi Aria sudah tidak ingin berada di antara ayah dan ibunya.
"Uncle Jareth," panggilnya setelah beberapa menit berpikir.
Pria itu segera menoleh. "Iya, ada apa?" tanyanya.
"Aku, mau bicara," kata Ariana setelah memantapkan hati. "Apakah boleh?"
"Bicaralah," kata Jareth dengan sabar memperhatikan putri dari kawannya itu.
"Hanya berdua," balas Ariana dengan tegas.
"Memangnya kenapa? Aku ini ayahmu, bicaralah saja." Irvin segera menyahut, seperti dibuang oleh anak sendiri.
"Apa yang ingin kamu sampaikan? Bicaralah," kata Jareth terkesan lebih memahaminya dari pada ayahnya sendiri. "Hanya ada kita berdua. Ayahmu itu, anggap saja tidak ada."
"Uncle, kalau aku sekarang berubah pikiran tentang perjodohan itu. Apakah Uncle bisa memaafkan dan mempertimbangkan lagi?" tanya Ariana perlahan.
Jareth terlihat bingung, tapi dia tidak punya alasan buat menolak. "Ya, tentu saja. Kenapa?" tanyanya.
Ariana menundukkan wajahnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku ... menerima Uncle. Aku, bersedia menikah dengan Uncle."
Jareth sepertinya terkejut. "Ariana, apa kamu baik-baik saja?"
"Aku, baik. Bisakah pernikahan itu dilakukan secepat mungkin? Aku tidak mau berlama di rumah ini." Ariana dengan tegas berkata lalu menatap ayahnya, melontarkan protes tanpa kata.
Irvin sedikit gelagapan. Dia senang dengan keputusan putrinya, tapi kenapa kalimat yang terakhir juga gesture itu, seakan dia yang paling bersalah di sini.
***
"Kami menunggumu tuan putri, apa yang membuatmu lama sekali?" tanya Cassia yang baru saja membuka pintu.Tidak segera menjawab, Ariana hanya melangkah masuk ke dalam kamar yang begitu luas itu. Suara dialog dari film yang diputar pada sebuah televisi layar datar lebar itu terdengar nyaring bersahutan, rupanya temannya ini lagi-lagi menonton Barbie. Tas tangan yang dibawanya itu diletakkannya perlahan. Ariana membuang napas dengan sedikit kasar yang mana membuat Leona yang sedang mengecat kukunya itu menoleh lalu menatapnya dengan heran. Masih tidak bersuara dia merebahkan tubuhnya dan mengambil botol kecil yang berwarna merah bagaikan darah itu. "Jawab pertanyaanku," ucap Cassia dengan sedikit kesal. "Bukan aku yang lama, mungkin kalian saja yang terlalu cepat menggelar pesta." Ariana meletakkan kembali botol kecil itu, sama sekali tidak menarik perhatiannya. Leona yang merasakan seperti ada yang aneh itu akhirnya bertanya, "Perasaanku saja atau sebenarnya ada sesuatu?"Mau tidak
Pria itu menunggunya di luar, rasanya aneh sekali situasi ini. Dia menikah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, beberapa berspekulasi kalau wanita itu telah hamil dulu. Ketika melihat perut yang masih rata dan ramping itu berbagai tuduhan itu menguap dengan sendirinya. Gaun yang dikenakannya ini begitu berat, seberat hatinya yang merasa dunia ini begitu tidak adik kepadanya. Calon pengantinnya sekarang sedang menunggu di sana, bagaimana pakaian pengantin itu apakah pas dipakainya atau mereka akan merombaknya di beberapa bagian yang diperlukan. Dirinya menikahi seorang duda kaya raya dan yang seperti itu bukanlah hal besar, apapun gaun yang dimintanya sudah pasti uncle Jareth akan mampu membayarnya, kecuali mungkin Ariana ingin di bagian dada bertabur debu yang berasal dari cincin Saturnus atau bertatahkan batu dari planet Jupiter. "Anda terlihat cantik sekali," wanita muda memakai seragam itu memuji setelah memasangkan pakaian megah itu. Ariana menatap bayangannya di cermin. "Ak
“Aku tidak tahu harus berkomentar apa,” ucap Leona ketika mereka berada di sebuah ruangan bersama.“Bilang saja aku cantik.” Ariana berdiri tegak dengan pakaian yang masih apa adanya, riasan di wajahnya itu tampak begitu sempurna.Usianya baru 22, Ariana baru menyelesaikan sekolahnya dan berkeinginan melanjutkan di bidang seni seperti yang disukainya. Kalau ilmu bisnis yang pernah dia geluti itu, entah kapan akan berguna. Kata ayahnya, seorang wanita tidak perlu hidup sengsara, itu tugas dari seorang pria untuk bersusah payah mencari uang. Sebuah nasihat yang sesat dan dirinya tidak pernah setuju dengan itu, tapi sama sekali memang tidak pernah Ariana diberi kesempatan untuk mengurus usaha itu, hanya cipratan saham beberapa persen yang dibagi rata.Kini dirinya akan menikah dengan duda kaya raya seperti yang dikatakan oleh ibunya, dirinya akan segera menjadi seorang nyonya besar. Tidak berlebihan yang diucapkannya itu, seorang Jareth Lee memang terkenal sebagai pebisnis yang sukses da
Gaun yang berat itu dikenakannya, di sampingnya ada ayahnya yang menggandengnya dengan erat. Di matanya manusia bernama Irvin itu memang pernah tercela tapi bagaimanapun dia adalah tetap ayahnya. Tanpa ada pria itu tentu Ariana tidak akan pernah terlahir ke dunia, mungkin inilah saatnya dia harus memaafkan tapi tetap tidak bisa melupakan.Sepasang sepatu yang tinggi itu dikenakannya dan kakinya berjalan dengan pelan, ada rasa yang campur aduk di sini terutama ketika dia mulai melangkahkan kaki dan menapaki karpet itu. Dengan segenap hati dia memberanikan diri untuk mendongak, tampak calon suaminya yang berdiri tegap di sana dengan penampilan yang lumayan menawan untuk orang seusianya.Hari ini resmi Ariana menikahi pria yang berusia 45 tahun di usianya yang masih 23. Kalau melihat angka tentu saja mereka itu seperti ayah dan anak, untung saja Jareth Lee itu selalu menjaga tubuhnya dan dia berolahraga. Wajahnya masih tampak seperti pria yang berusia 30 tahun lebih. Tidak ada perut memb
"Butuh bantuan?" tanya Jareth ketika Ariana yang berada di depan cermin itu berusaha melepas kalung itu. Ariana menoleh, entah kapan datangnya pria ini, dia tiba-tiba saja berada di kamar ini. Senyum yang tipis segera disinggungkan berikut kepalanya yang mengangguk pelan. Yang berada di dalam dada terasa berdegup dengan kencang, mereka kini hanya berdua saja di ruangan yang megah dan luas ini. Terasa jari hangat itu menyentuh tengkuk berikut kalung yang dilepaskan dengan perlahan, benda itu kini telah berada pada torso yang terletak di atas meja. Mereka bersentuhan fisik memang bukan yang pertama kali, dahulu sering sekali tapi hanya terbatas pada pelukan juga kecup kecil di dahi ketika ada hari istimewa. Sekarang orang itu telah resmi menjadi suaminya. "Terima kasih," ucap Ariana dengan pelan, rasa canggung itu begitu menguasainya. "Butuh bantuan lain?" tanya Jareth ketika melihat jari lentik itu kesulitan mencapai resleting yang berada di punggung itu. "Padahal kamu tinggal bila
Rumah mereka kini boleh dikatakan lengang setelah pernikahan Ariana Putri bungsunya. Hanya ada mereka berdua saja kini dan juga para pelayan juga asisten rumah tangga yang entah jumlahnya berapa. Rasanya beban yang ada di pundak mereka itu runtuh setelah Jareth memperistri putrinya.“Kamu pasti menganggapku sebagai istri dan ibu yang jahat, seandainya mereka juga tahu apa yang telah kamu lakukan. Ariana sepertinya sudah tahu tapi dia memilih diam, sampai kapan kamu akan melakukan perilaku bejat seperti itu Irv?” tanya Elina ketika pengacara yang mengunjungi kediaman mereka baru saja pergi.“Kamu juga sama tidak sucinya dengan aku El, jadi kenapa tidak kita sudahi saja basa-basi ini? Aku tidak akan datang sekalipun ke pengadilan, aku sudah begitu menginginkan perceraian ini. Dan kamu kalau butuh alimoni sebutkan saja jumlahnya dari awal dan aku tidak ingin hal itu menjadi hambatan ketika kita bercerai.” Irvin dengan lugasnya berkata di depan istrinya.“Kamu tidak perlu kuatir, aku akan
"Apakah ada masalah?" tanya Jareth ketika masuk ke dalam kamar dan mendapati istrinya melamun di depan jendela besar dengan kaca itu.Ariana terkejut untuk sesaat tapi kemudian menyunggingkan senyum, tidak ada masalah apapun kecuali dialog yang terdengar tanpa sengaja tadi. Baru saja menginjakkan kakinya di sini dirinya sudah dibandingkan dan menerima kenyataan kalau pelayan saja tidak menyukai kehadirannya. Entah kapan suaminya itu datang ke kamarnya, bahkan suara Langkah kaki dan pintu yang terbuka itu luput dari telinganya. Ariana terlalu sibuk bergulat dengan hati, Bukan meratapi nasib tapi hanya bertanya-tanya saja kenapa selalu saja ada yang mengganggu, padahal Ariana hanya ingin hidup dengan sederhana dan tenang. dengan cepat Ariana menggeleng. "Tidak, aku hanya ... mengagumi kebun yang indah itu dari sini. Tukang kebunmu sudah bekerja dengan keras." Wanita itu membalikkan tubuhnya menyambut suaminya.Jareth segera tersenyum dan meralat kalimat istrinya. "Sejak kamu menjadi i
"Waktunya makan malam, Tuan ... Nyonya," ucap seorang pria tua yang biasa dipanggil dengan Sebastian itu.Ariana dan Jareth telah menghabiskan beberapa hari di rumah besar itu, mendengar suara Sebastian, mereka yang sedang bercengkerama bersama memandangi kebun itu segera menoleh dan melirik ke arah pergelangan tangan. Berbeda dengan suaminya yang segera tersenyum mengiyakan, wanita itu hanya menunduk sesaat sebelum bangkit.Di sini, tidak ada bedanya dengan berada di rumahnya, kalau diingat lagi sepertinya keadaan lebih parah yang di sini. Ketika di rumah kapan harus begini dan begitu seperti sudah diatur dan waktu makan pun demikian. Kapan sarapan, makan siang dan makan malam itu selalu saja tepat waktu setiap harinya dan mereka akan menuju ruang makan hanya setelah Sebastian itu datang memberi tahu.Siapa bilang hidup seperti tuan puteri seperti yang dijalaninya ini begitu indah, sebagian memang indah ketika berada di bagian bisa kemana pun tanpa harus memikirkan finansial. Tapi ke
"Aku pikir kamu tidak akan datang," kata Lilah begitu melihat Ariana melenggang menghampirinya.Ariana berdiri tegak di depan ibu hamil itu dan berkata, "Bukankah aku sudah berjanji untuk datang? Lagipula aku tidak ada masalah dengan ini, katamu kita akan bersenang-senang menghabiskan uang suami. Jadi, tunggu apalagi?"Lilah melengos mendengar kalimat itu. "Kamu sudah beradaptasi dengan baik rupanya, bagus sekali."Wanita muda itu segera memutar tubuhnya dan mengerutkan kening. "Beradaptasi apa maksudnya?""Ah tidak." Lilah mengibaskan tangannya. "Maksudku, kamu sudah begitu cepat menyesuaikan diri menjadi istri Jareth, meski tetap belum begitu sempurna." Dengan enteng wanita hamil itu berlalu tapi memberi isyarat agar Ariana mengikutinya.Meski kesal Ariana mengikuti juga langkah dari sepupu suaminya itu. Lilah ini kalau bicara memang kerap menjengkelkan. Entah ada masalah apa dalam hidupnya, kalimat-kalimat yang terlontar beberapa kali membuat dirinya bingung kenapa. Seperti yang te
"Hati-hati di jalan Sayang, aku menunggumu." Ariana meletakkan smartphone itu dan kembali menikmati minumnya. Dirinya dan suaminya telah bertolak ke Italia sejak beberapa hari, bukan karena ini adalah salah satu negara yang romantis tapi karena Jareth ada urusan di Milan. Kalau ditanya, jelas sekali itu adalah urusan bisnis yang Ariana tidak banyak tahu. Bukannya dia sama sekali tidak paham bisnis, tapi menjadi istri dari Jareth Lee saja baru berapa lama, segala aset dan usaha milik suaminya dia belum tahu semua. Kopi itu dinikmatinya perlahan, jangan banyak makan dulu atau nanti ketika suaminya kembali perutnya sudah penuh terisi makanan. Dia mengedarkan pandangannya, suasana tenang layaknya sebuah restoran megah ini dinikmatinya dengan penuh ketenangan dalam kesendirian. Tidak mengapa, nanti dia akan memuaskan dirinya setelah suaminya kembali.Matanya terantuk pada sosok yang berada di sana, seorang wanita yang perutnya membuncit entah hamil beberapa bulan. Ariana mengumpulkan seg
"Waktunya makan malam, Tuan ... Nyonya," ucap seorang pria tua yang biasa dipanggil dengan Sebastian itu.Ariana dan Jareth telah menghabiskan beberapa hari di rumah besar itu, mendengar suara Sebastian, mereka yang sedang bercengkerama bersama memandangi kebun itu segera menoleh dan melirik ke arah pergelangan tangan. Berbeda dengan suaminya yang segera tersenyum mengiyakan, wanita itu hanya menunduk sesaat sebelum bangkit.Di sini, tidak ada bedanya dengan berada di rumahnya, kalau diingat lagi sepertinya keadaan lebih parah yang di sini. Ketika di rumah kapan harus begini dan begitu seperti sudah diatur dan waktu makan pun demikian. Kapan sarapan, makan siang dan makan malam itu selalu saja tepat waktu setiap harinya dan mereka akan menuju ruang makan hanya setelah Sebastian itu datang memberi tahu.Siapa bilang hidup seperti tuan puteri seperti yang dijalaninya ini begitu indah, sebagian memang indah ketika berada di bagian bisa kemana pun tanpa harus memikirkan finansial. Tapi ke
"Apakah ada masalah?" tanya Jareth ketika masuk ke dalam kamar dan mendapati istrinya melamun di depan jendela besar dengan kaca itu.Ariana terkejut untuk sesaat tapi kemudian menyunggingkan senyum, tidak ada masalah apapun kecuali dialog yang terdengar tanpa sengaja tadi. Baru saja menginjakkan kakinya di sini dirinya sudah dibandingkan dan menerima kenyataan kalau pelayan saja tidak menyukai kehadirannya. Entah kapan suaminya itu datang ke kamarnya, bahkan suara Langkah kaki dan pintu yang terbuka itu luput dari telinganya. Ariana terlalu sibuk bergulat dengan hati, Bukan meratapi nasib tapi hanya bertanya-tanya saja kenapa selalu saja ada yang mengganggu, padahal Ariana hanya ingin hidup dengan sederhana dan tenang. dengan cepat Ariana menggeleng. "Tidak, aku hanya ... mengagumi kebun yang indah itu dari sini. Tukang kebunmu sudah bekerja dengan keras." Wanita itu membalikkan tubuhnya menyambut suaminya.Jareth segera tersenyum dan meralat kalimat istrinya. "Sejak kamu menjadi i
Rumah mereka kini boleh dikatakan lengang setelah pernikahan Ariana Putri bungsunya. Hanya ada mereka berdua saja kini dan juga para pelayan juga asisten rumah tangga yang entah jumlahnya berapa. Rasanya beban yang ada di pundak mereka itu runtuh setelah Jareth memperistri putrinya.“Kamu pasti menganggapku sebagai istri dan ibu yang jahat, seandainya mereka juga tahu apa yang telah kamu lakukan. Ariana sepertinya sudah tahu tapi dia memilih diam, sampai kapan kamu akan melakukan perilaku bejat seperti itu Irv?” tanya Elina ketika pengacara yang mengunjungi kediaman mereka baru saja pergi.“Kamu juga sama tidak sucinya dengan aku El, jadi kenapa tidak kita sudahi saja basa-basi ini? Aku tidak akan datang sekalipun ke pengadilan, aku sudah begitu menginginkan perceraian ini. Dan kamu kalau butuh alimoni sebutkan saja jumlahnya dari awal dan aku tidak ingin hal itu menjadi hambatan ketika kita bercerai.” Irvin dengan lugasnya berkata di depan istrinya.“Kamu tidak perlu kuatir, aku akan
"Butuh bantuan?" tanya Jareth ketika Ariana yang berada di depan cermin itu berusaha melepas kalung itu. Ariana menoleh, entah kapan datangnya pria ini, dia tiba-tiba saja berada di kamar ini. Senyum yang tipis segera disinggungkan berikut kepalanya yang mengangguk pelan. Yang berada di dalam dada terasa berdegup dengan kencang, mereka kini hanya berdua saja di ruangan yang megah dan luas ini. Terasa jari hangat itu menyentuh tengkuk berikut kalung yang dilepaskan dengan perlahan, benda itu kini telah berada pada torso yang terletak di atas meja. Mereka bersentuhan fisik memang bukan yang pertama kali, dahulu sering sekali tapi hanya terbatas pada pelukan juga kecup kecil di dahi ketika ada hari istimewa. Sekarang orang itu telah resmi menjadi suaminya. "Terima kasih," ucap Ariana dengan pelan, rasa canggung itu begitu menguasainya. "Butuh bantuan lain?" tanya Jareth ketika melihat jari lentik itu kesulitan mencapai resleting yang berada di punggung itu. "Padahal kamu tinggal bila
Gaun yang berat itu dikenakannya, di sampingnya ada ayahnya yang menggandengnya dengan erat. Di matanya manusia bernama Irvin itu memang pernah tercela tapi bagaimanapun dia adalah tetap ayahnya. Tanpa ada pria itu tentu Ariana tidak akan pernah terlahir ke dunia, mungkin inilah saatnya dia harus memaafkan tapi tetap tidak bisa melupakan.Sepasang sepatu yang tinggi itu dikenakannya dan kakinya berjalan dengan pelan, ada rasa yang campur aduk di sini terutama ketika dia mulai melangkahkan kaki dan menapaki karpet itu. Dengan segenap hati dia memberanikan diri untuk mendongak, tampak calon suaminya yang berdiri tegap di sana dengan penampilan yang lumayan menawan untuk orang seusianya.Hari ini resmi Ariana menikahi pria yang berusia 45 tahun di usianya yang masih 23. Kalau melihat angka tentu saja mereka itu seperti ayah dan anak, untung saja Jareth Lee itu selalu menjaga tubuhnya dan dia berolahraga. Wajahnya masih tampak seperti pria yang berusia 30 tahun lebih. Tidak ada perut memb
“Aku tidak tahu harus berkomentar apa,” ucap Leona ketika mereka berada di sebuah ruangan bersama.“Bilang saja aku cantik.” Ariana berdiri tegak dengan pakaian yang masih apa adanya, riasan di wajahnya itu tampak begitu sempurna.Usianya baru 22, Ariana baru menyelesaikan sekolahnya dan berkeinginan melanjutkan di bidang seni seperti yang disukainya. Kalau ilmu bisnis yang pernah dia geluti itu, entah kapan akan berguna. Kata ayahnya, seorang wanita tidak perlu hidup sengsara, itu tugas dari seorang pria untuk bersusah payah mencari uang. Sebuah nasihat yang sesat dan dirinya tidak pernah setuju dengan itu, tapi sama sekali memang tidak pernah Ariana diberi kesempatan untuk mengurus usaha itu, hanya cipratan saham beberapa persen yang dibagi rata.Kini dirinya akan menikah dengan duda kaya raya seperti yang dikatakan oleh ibunya, dirinya akan segera menjadi seorang nyonya besar. Tidak berlebihan yang diucapkannya itu, seorang Jareth Lee memang terkenal sebagai pebisnis yang sukses da
Pria itu menunggunya di luar, rasanya aneh sekali situasi ini. Dia menikah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, beberapa berspekulasi kalau wanita itu telah hamil dulu. Ketika melihat perut yang masih rata dan ramping itu berbagai tuduhan itu menguap dengan sendirinya. Gaun yang dikenakannya ini begitu berat, seberat hatinya yang merasa dunia ini begitu tidak adik kepadanya. Calon pengantinnya sekarang sedang menunggu di sana, bagaimana pakaian pengantin itu apakah pas dipakainya atau mereka akan merombaknya di beberapa bagian yang diperlukan. Dirinya menikahi seorang duda kaya raya dan yang seperti itu bukanlah hal besar, apapun gaun yang dimintanya sudah pasti uncle Jareth akan mampu membayarnya, kecuali mungkin Ariana ingin di bagian dada bertabur debu yang berasal dari cincin Saturnus atau bertatahkan batu dari planet Jupiter. "Anda terlihat cantik sekali," wanita muda memakai seragam itu memuji setelah memasangkan pakaian megah itu. Ariana menatap bayangannya di cermin. "Ak