Justin membuat seharinya jadi berantakan. Bahkan ia sampai kabur dari kampus karena rasa cemasnya. Jadi, perasaan apa yang ia tujukan pada Justin? Apa benar ini cinta? Atau hanya rasa nyaman yang kebetulan bisa diberikan Justin padanya?Ia tak ingin Justin kenapa-kenapa, makanya meminta untuk pulang dan istirahat di rumah. Setidaknya agar dia bisa menenangkan pikiran. Tapi apa? Baru saja menginjakkan kaki di rumah, keduanya malah dihadapkan pada Alice yang menyambut dengan wajah kesal. Bukan pada Justin, tapi padanya."Kenapa kalian bisa pulang bareng?" tanyanya pada Alice dengan tampang sinis."Tadi aku ...""Jangan lupakan kalau dia istriku, jadi apa salahnya jika dia pulang denganku." Justin yang malah menjawab pertanyaan Alice. "Dan satu lagi. Aku sudah memberikanmu peringatan untuk tak terus mengurusi kehidupanku ataupun Hana. Terserah, kamu mau menghamburkan semua hartaku, silahkan. Aku tak perduli.""Justin, kamu sakit, ya?" tanya Alice tiba-tiba cemas melihat wajah Justin yang
Hana sampai di sebuah cafe, tempat janjiannya bersama para sahabatnya. Iya, ini adalah jalan yang terbaik. Ia tak ingin membohongi mereka terlalu lama. Setidaknya ada yang tahu statusnya saat ini selain keluarganya. Terlebih saat ia butuh solusi, palingbtidak ada temoatnya untuk meminta pendapat.Gilanya lagi itu sopir malah berniat mengekori langkahnya masuk cafe. Ini membuat tanduk di puncak kepalanya seakan tumbuh."Nggak usah dianterin, saya cuman ketemu sama teman," ujarnya."Tapi, Nona ...""Balik pulang aja. Saya nggak bakalan lama," perintah Hana langsung saja meninggalkan laki-laki itu memasuki area cafe.Itu baru satu orang loh, ya ... masih banyak stok model begituan penjaga yang disiapkan Justin untuknya. Lama lama, ke toilet pun dirinya bakalan dikawal, tuh.Dengan langkah cepat ia berjalan mencari keberadaan para sahabatnya. Hingga akhirnya ia lihat dari kejauhan lambaian tangan Clara yang mengarah padanya.Ya, seperti biasa. Ini adalah cafe favorite tempat mereka berkum
Dalam perjalanan, Justin hanya diam. Bahkan dia seolah tak berniat mengeluarkan sepatah katapun. Tak hanya itu, dia tak mengarahkan pandangannya pada Hana yang ada di sampingnya. Fokusnya hanya menatap jauh keluar kaca mobil.Hana yang cemas, seolah bingung harus berbuat apa sekarang. Mau bicara, takut. Diam, juga makin takut. Ayolah ... ia benci situasi ini. Hingga tiba-tiba saja fokusnya malah tertuju pada telapak tangan kiri Justin yang berbalut sapu tangan. Tapi mau bertanya, rasa takutnya kembali mucul.Bahkan sampai di rumah, situasinya masih sama. Dia hanya diam dan tak berkomentar. Turun dari mobil pun dia juga langsung turun dan melangkah menuju kamarnya.Sementara Hana hanya terhenti di ruang tengah, menatap hilangnya sosok itu."Kamu berani nyari masalah, ya, sama Justin?"Ia yang niatnya ingin melanjutkan langkah menuju kamar, terhenti saat mendengar pertanyaan itu dan berbalik badan."Justin itu tak sebaik yang kamu pikir, Hana! Pergi tanpa pamit, bahkan pergi secara diam
Perlahan matanya mulai terbuka, memijit kepalanya yang nyatanya memang masih sedikit pusing. Melihat keadaan sekitar dan tenang saat ia yakini kalau ini adalah kamarnya."Han, kamu dimana?" gumamnya lirih.Hendak bangun, tapi apa yang terjadi? Sebuah lengan kini ia dapati melingkar di badannya. Ia yakin, ini bukanlah Hana. Dengan cepat dan kasar langsung ia singkirkan lengan itu hingga pemiliknya terbangun."Justin kamu apaan, sih? Kenapa kasar banget?"Lihatlah, wajah yang ia benci dan tak sukai itu kini dengan seenaknya masuk ke dalam kamarnya. Tak hanya itu, Dia dengan beraninya tidur bersamanya. Yap, Alice lah pelakunya.Justin bangun dan dengan cepat menarik Alice menjauh dari kasurnya. "Siapa yang mengijinkanmu ada di sini?! Siapa yang membiarkanmu tidur di sini?!"Alice tak menjawab, tapi malah tersenyum manis berusaha menggoda Justin. Ia menyentuh wajah cowok itu dengan lembut."Justin, aku ini istri kamu. Jadi, apa salahnya, sih, jika aku ada di sini sama kamu. Aku akan mela
Hana keluar dari kamar secara diam-diam, setelah selesai bersiap untuk berangkat ke kampus. Niatnya, sih, agar Justin tak terbangun dan dia tak pergi bekerja, tapi apa ... baru juga tangannya memegang gagang pintu, suara bariton itu menghentikan niatnya.Berbalik badan dan menatap ke arah Justin sambil tersenyum gaje."Eh, haii, Om," ujarnya. "Udah bangun, ya.""Sengaja nggak ngebangunin aku, ya?""Enggaklah, Om," jawab Hana. "Aku cuman, itu ... hmm, anu." Ia bingung harus menjawab apa. Stok kebohongan dalam kepalanya tiba-tiba kosong.Justin bangun, kemudian beranjak dari tempat tidur ... berjalan menghampiri Hana yang berdiri di dekat pintu."Aku sudah bertahun-tahun bekerja ... jadi jangan dipikir aku akan ketiduran. Semengantuk apapun, saat jam kerja, aku pasti kebangun," jelasnya pada Hana."Baguslah kalau gitu. Jadi, aku nggak perlu membangunkanmu," balas Hana hendak melanjutkan niatnya, keluar dari kamar."Aku masih di sini, kenapa keluar? Apa itu sikap dari seorang istri yang
Harinya sudah dimulai dengan sesuatu yang tak bagus. Dan itu benar-benar membuat mood nya pagi ini hancur berantakan. Tak ingin sarapan, tapi Justin memaksanya.Sentuhan Justin di tangannya membuat lamunannya terhenti dan pandangan yang sedari masuk mobil hanya ia fokuskan ke jalanan, kini beralih pada cowok yang berada di sampingnya."Memikirkan apa?" tanya Justin. "Kenapa dari tadi melamun terus.""Tidak ada apa-apa," jawabnya."Sudah ku bilang, kan ... jangan memikirkan apapun perkataan dia.""Aku nggak memikirkannya, kok.""Dan ... jangan pernah melakukan kebohongan apapun jika di dekatku. Aku tahu ... aku tahu saat seseorang berbohong." Ia menyentuh lembut pipi Hana. "Termasuk kamu, Han," tambahnya.Hana kembali mengarahkan pandangannya keluar jendela mobil. Terlihat, hujan turun begitu lebat, membuat suasana pagi terasa sedikit dingin. Cocok sekali untuk rebahan, tentunya rebahan tanpa begitu banyak pikiran dan masalah."Om Justin, pulang jam berapa?" tanyanya tiba-tiba."Sepert
Seperti permintaan Justin, setengah jam berlalu, ia mulai mencoba membangunkan dia yang masih tidur. Sebenarnya nggak tega, tapi kalau tak dibangunkan, justru waktunya untuk bekerja malah bertambah. Bisa-bisa dia malah lembur hingga malam."Om, ini udah setengah jam. Katanya mau bangun," ujar Hana perlahan menyentuh wajah Justin.Awalnya tak ada respon, mungkin tidurnya benar-benar nyenyak."Om Justin, bangun. Kita makan siang," tambahnya kembali mencoba.Kali ini, barulah ada pergerakan dari si pemilik nama yang membuat kakinya kesemutan karena jadi bantal bagi Justin."Aku masih ngantuk," balasnya dengan suara serak.Bikin meleleh kayak es krim rasanya mendengar suara itu. Bangun tidur aja menggoda, apalagi saat fresh. Sudahlah, kalau tak kuat menjaga jantung, ia pastikan akan mengalami gagal jantung jika dihadapkan pada Justin.Bukannya bangun, Justin justru mengubah posisi tidurnya jadi miring dan memeluk tubuh Hana. Menenggelamkan wajahnya di antara tubuh ramping itu.Hana hanya
Hana sedang duduk di taman belakang rumah yang lokasinya memang begitu luas. Entah untuk apa taman ini dibuat, padahal pemiliknya saja bahkan jarang sekali berada di rumah. Apalagi untuk menikmati lokasi ini.Di saat ia sedang santai, tiba-tiba Alice datang menghampirinya. Heran juga, sih ... karena dia datang tak langsung mengomel atau mengatainya seperti biasa."Ada apa, Tan?" tanyanya.Alice tersenyum manis. "Hmm ... Hana, boleh aku minta tolong?"Lagi-lagi sikap Alice membuat Hana heran. Apa kepala wanita ini habis kepentok, hingga mengalami perubahan yang sangat signifikan."Minta tolong, apa?"Alice menyodorkan secarik kertas pada Hana. "Aku minta tolong tebus obat ini ke apotik, ya."Menerima benda itu. "Ini resep obat siapa?""Aku.""Tante sakit?""Sedikit kurang enak badan," jawabnya dengan efek lemas dan tak bersemangat. "Kamu mau, kan, tolong tebus resep itu?"Sebenarnya Hana merasa curiga dengan sikap manis Alice. Paling ini agar membuat dirinya keluar dari rumah saja. Ini