Hana sampai di sebuah cafe, tempat janjiannya bersama para sahabatnya. Iya, ini adalah jalan yang terbaik. Ia tak ingin membohongi mereka terlalu lama. Setidaknya ada yang tahu statusnya saat ini selain keluarganya. Terlebih saat ia butuh solusi, palingbtidak ada temoatnya untuk meminta pendapat.Gilanya lagi itu sopir malah berniat mengekori langkahnya masuk cafe. Ini membuat tanduk di puncak kepalanya seakan tumbuh."Nggak usah dianterin, saya cuman ketemu sama teman," ujarnya."Tapi, Nona ...""Balik pulang aja. Saya nggak bakalan lama," perintah Hana langsung saja meninggalkan laki-laki itu memasuki area cafe.Itu baru satu orang loh, ya ... masih banyak stok model begituan penjaga yang disiapkan Justin untuknya. Lama lama, ke toilet pun dirinya bakalan dikawal, tuh.Dengan langkah cepat ia berjalan mencari keberadaan para sahabatnya. Hingga akhirnya ia lihat dari kejauhan lambaian tangan Clara yang mengarah padanya.Ya, seperti biasa. Ini adalah cafe favorite tempat mereka berkum
Dalam perjalanan, Justin hanya diam. Bahkan dia seolah tak berniat mengeluarkan sepatah katapun. Tak hanya itu, dia tak mengarahkan pandangannya pada Hana yang ada di sampingnya. Fokusnya hanya menatap jauh keluar kaca mobil.Hana yang cemas, seolah bingung harus berbuat apa sekarang. Mau bicara, takut. Diam, juga makin takut. Ayolah ... ia benci situasi ini. Hingga tiba-tiba saja fokusnya malah tertuju pada telapak tangan kiri Justin yang berbalut sapu tangan. Tapi mau bertanya, rasa takutnya kembali mucul.Bahkan sampai di rumah, situasinya masih sama. Dia hanya diam dan tak berkomentar. Turun dari mobil pun dia juga langsung turun dan melangkah menuju kamarnya.Sementara Hana hanya terhenti di ruang tengah, menatap hilangnya sosok itu."Kamu berani nyari masalah, ya, sama Justin?"Ia yang niatnya ingin melanjutkan langkah menuju kamar, terhenti saat mendengar pertanyaan itu dan berbalik badan."Justin itu tak sebaik yang kamu pikir, Hana! Pergi tanpa pamit, bahkan pergi secara diam
Perlahan matanya mulai terbuka, memijit kepalanya yang nyatanya memang masih sedikit pusing. Melihat keadaan sekitar dan tenang saat ia yakini kalau ini adalah kamarnya."Han, kamu dimana?" gumamnya lirih.Hendak bangun, tapi apa yang terjadi? Sebuah lengan kini ia dapati melingkar di badannya. Ia yakin, ini bukanlah Hana. Dengan cepat dan kasar langsung ia singkirkan lengan itu hingga pemiliknya terbangun."Justin kamu apaan, sih? Kenapa kasar banget?"Lihatlah, wajah yang ia benci dan tak sukai itu kini dengan seenaknya masuk ke dalam kamarnya. Tak hanya itu, Dia dengan beraninya tidur bersamanya. Yap, Alice lah pelakunya.Justin bangun dan dengan cepat menarik Alice menjauh dari kasurnya. "Siapa yang mengijinkanmu ada di sini?! Siapa yang membiarkanmu tidur di sini?!"Alice tak menjawab, tapi malah tersenyum manis berusaha menggoda Justin. Ia menyentuh wajah cowok itu dengan lembut."Justin, aku ini istri kamu. Jadi, apa salahnya, sih, jika aku ada di sini sama kamu. Aku akan mela
Hana keluar dari kamar secara diam-diam, setelah selesai bersiap untuk berangkat ke kampus. Niatnya, sih, agar Justin tak terbangun dan dia tak pergi bekerja, tapi apa ... baru juga tangannya memegang gagang pintu, suara bariton itu menghentikan niatnya.Berbalik badan dan menatap ke arah Justin sambil tersenyum gaje."Eh, haii, Om," ujarnya. "Udah bangun, ya.""Sengaja nggak ngebangunin aku, ya?""Enggaklah, Om," jawab Hana. "Aku cuman, itu ... hmm, anu." Ia bingung harus menjawab apa. Stok kebohongan dalam kepalanya tiba-tiba kosong.Justin bangun, kemudian beranjak dari tempat tidur ... berjalan menghampiri Hana yang berdiri di dekat pintu."Aku sudah bertahun-tahun bekerja ... jadi jangan dipikir aku akan ketiduran. Semengantuk apapun, saat jam kerja, aku pasti kebangun," jelasnya pada Hana."Baguslah kalau gitu. Jadi, aku nggak perlu membangunkanmu," balas Hana hendak melanjutkan niatnya, keluar dari kamar."Aku masih di sini, kenapa keluar? Apa itu sikap dari seorang istri yang
Harinya sudah dimulai dengan sesuatu yang tak bagus. Dan itu benar-benar membuat mood nya pagi ini hancur berantakan. Tak ingin sarapan, tapi Justin memaksanya.Sentuhan Justin di tangannya membuat lamunannya terhenti dan pandangan yang sedari masuk mobil hanya ia fokuskan ke jalanan, kini beralih pada cowok yang berada di sampingnya."Memikirkan apa?" tanya Justin. "Kenapa dari tadi melamun terus.""Tidak ada apa-apa," jawabnya."Sudah ku bilang, kan ... jangan memikirkan apapun perkataan dia.""Aku nggak memikirkannya, kok.""Dan ... jangan pernah melakukan kebohongan apapun jika di dekatku. Aku tahu ... aku tahu saat seseorang berbohong." Ia menyentuh lembut pipi Hana. "Termasuk kamu, Han," tambahnya.Hana kembali mengarahkan pandangannya keluar jendela mobil. Terlihat, hujan turun begitu lebat, membuat suasana pagi terasa sedikit dingin. Cocok sekali untuk rebahan, tentunya rebahan tanpa begitu banyak pikiran dan masalah."Om Justin, pulang jam berapa?" tanyanya tiba-tiba."Sepert
Seperti permintaan Justin, setengah jam berlalu, ia mulai mencoba membangunkan dia yang masih tidur. Sebenarnya nggak tega, tapi kalau tak dibangunkan, justru waktunya untuk bekerja malah bertambah. Bisa-bisa dia malah lembur hingga malam."Om, ini udah setengah jam. Katanya mau bangun," ujar Hana perlahan menyentuh wajah Justin.Awalnya tak ada respon, mungkin tidurnya benar-benar nyenyak."Om Justin, bangun. Kita makan siang," tambahnya kembali mencoba.Kali ini, barulah ada pergerakan dari si pemilik nama yang membuat kakinya kesemutan karena jadi bantal bagi Justin."Aku masih ngantuk," balasnya dengan suara serak.Bikin meleleh kayak es krim rasanya mendengar suara itu. Bangun tidur aja menggoda, apalagi saat fresh. Sudahlah, kalau tak kuat menjaga jantung, ia pastikan akan mengalami gagal jantung jika dihadapkan pada Justin.Bukannya bangun, Justin justru mengubah posisi tidurnya jadi miring dan memeluk tubuh Hana. Menenggelamkan wajahnya di antara tubuh ramping itu.Hana hanya
Hana sedang duduk di taman belakang rumah yang lokasinya memang begitu luas. Entah untuk apa taman ini dibuat, padahal pemiliknya saja bahkan jarang sekali berada di rumah. Apalagi untuk menikmati lokasi ini.Di saat ia sedang santai, tiba-tiba Alice datang menghampirinya. Heran juga, sih ... karena dia datang tak langsung mengomel atau mengatainya seperti biasa."Ada apa, Tan?" tanyanya.Alice tersenyum manis. "Hmm ... Hana, boleh aku minta tolong?"Lagi-lagi sikap Alice membuat Hana heran. Apa kepala wanita ini habis kepentok, hingga mengalami perubahan yang sangat signifikan."Minta tolong, apa?"Alice menyodorkan secarik kertas pada Hana. "Aku minta tolong tebus obat ini ke apotik, ya."Menerima benda itu. "Ini resep obat siapa?""Aku.""Tante sakit?""Sedikit kurang enak badan," jawabnya dengan efek lemas dan tak bersemangat. "Kamu mau, kan, tolong tebus resep itu?"Sebenarnya Hana merasa curiga dengan sikap manis Alice. Paling ini agar membuat dirinya keluar dari rumah saja. Ini
Tian dan Justin menuju ke lokasi terakhir di mana ponsel Hana terlacak. Sementara Willy dan Joan mencari informasi di rumah sakit terdekat dengan lokasi kejadian.Justin turun dari mobil, begitupun dengan Tian. Keduanya menghampiri seorang pedagang tisu jalanan yang kebetulan berjualan di sekitar lokasi."Maaf, Mas ... apa tadi di sekitar sini ada sebuah ..." Ia rada takut juga saat mengucapkan kata itu. Takut jika Justin tak terima dengan pemikiran dan tebakannya."Ada kejadian apa di sekitar sini tadi?" Giliran Justin yang bertanya langsung. Karena feelingnya memang mengarah kesitu juga."I-iya, Pak ... ada kecelakaan tadi. Belum lama ini. Korbannya gadis muda.""Ciri-cirinya?" tanya Justin langsung. Nada suaranya saja sudah menunjukkan bahwa hatinya mulai resah."Rambutnya sepinggang, bajunya warna ..."Justin menyodorkan layar ponselnya pada laki-laki itu, yang di sana terpajang foto Hana."Nah, iya, Pak ... itu korbannya," respon laki laki itu.Justin yang awalnya masih berdiri k
Semalam akhirnya yang menjaga Riga adalah Tian dan Willy bersama Justin. Sedangkan Hana, Rhea dan Vio pulang ke rumah. Itupun penuh drama malam tengah malam, karena Vio tak ingin pulang jika Riga tak pulang bersamanya. Akhirnya dengan bujukan kakaknya itu semua bisa kelar. Sudahlah, kalau Vio mulai merengek dan tak terima akan sesuatu, bersiap saja untuk mendengar dia menangis dan mewek mewek. Dan pagi ini, tepat saat sarapan bersama Hana, gadis kecil itu kembali berulah. Dia nggak mau sarapan dan sekolah, jika tak bersama Riga. Membuat Hana dibuat pusing di pagi hari. “Riga nggak pernah suka dengan apa yang kamu lakukan ini, Sayang.” “Aku mau dia di sini denganku. Aku janji, Ma ... nggak akan berbuat yang bikin dia kesal. Aku janji nggak akan merengek dan berteriak teriak lagi di dalam rumah. Tapi, bawa kakak pulang.” Lihatlah, mukanya sudah memerah, menahan air mata yang sudah mengenang di kelopak matanya. Tapi sepertinya dia sedang menahan rasa itu. “Apa sekarang kamu mau ikut
Tian mendorong kursi roda, dengan Riga yang duduk di sana. Sementara Willy memgangi tabung cairan infus, agar berada tetap di posisi lebih tinggi. TadinyaTadinya Riga meminta dokter agar infusnya dilepaskan, tapi dokter ternyata tak menginjinkan. Dikarenakan kondisi tubuhnya yang memang belum stabil.Sampai di depan sebuah ruang perawatan, Tian menghentikan langkahnya. Sedikit berjongkok dihadapan bocah 9 tahun itu.“Ga, kamu ingat, kan, apa yang dokter bilang.”Mengangguk pertanda ia paham apa yang di maksud oleh Tian.“Aku janji nggak akan bikin Papa khawatir, aku juga nggak ingin Papa sakit hanya karena memikirkanku. Kau baik baik saja, dan akan selalu baik baik saja,” terangnya.Bahkan hanya mendengar putranya berkata seperti itu saja, mampu membuat hati Hana teriris. Dia sakit, bisa dikatakan sakit parah ... tapi lihatlah, sikap yang dia tunjukkan bahkan seolah tak sedang sakit. Hal yang membuatnya benar benar bangga memiliki Riga.Willy membuka pintu ruangan itu. Melangkah masu
Sudah hampir satu jam Semuanya pergi dan sekarang tentu saja Rhea merasa was was. Apa yang tengah terjadi, kenapa semuanya belum kembali satu orang pun? Jadi makin dibuat bingung karena Riga terus bertanya kenapa orang tua dia belum kembali.“Tante, kenapa Papa sama Mama belum kembali?”Rhea tersenyum manis pada Riga, kemudian mengelus wajah manis itu dengan lembut.“Sabar, ya, Sayang. Mungkin Mama sama Papa kamu lagi mendengarkan penjelasan dokter dulu. Atau, mungkin dokternya lagi ada pasien, jadinya mereka harus nunggu deh.”“Alasan yang nggak meyakinkan,” responnya dengan nada tak terima akan penjelasan Rhea yang berpatokan pada kata mungkin.Ayolah, dihadapkan pada posisi di mana dirinya hanya berdua dengan Riga, itu begitu sulit. Karena dia adalah tipe anak yang punya pikiran cerdas dan nggak akan gampang dibohongi.“Perasaanku nggak enak,” gumamnya perlahan.Di saat yang bersamaan, Tian datang. Seketika Riga langsung bangun dari posisi tidurnya dan berharap jika orang tuanya j
Seperti yang sudah direncanakan semalam, hari ini Riga akan melanjutkan pemeriksaan menyeluruh termasuk tes lab. Berharap jika apa yang diperkirakan Dokter semalam tak benar benar terjadi. Entah apa yang akan ia lakukan jika hal buruk itu terjadi pada putranya.Lagi lagi hanya bisa menunggu ketika putranya harus menjalani pemeriksaan dalam waktu yang lama. Bahkan berjam jam. Sungguh, ini rasanya menyakitkan hatinya sebagai seorang ibu.Dari kejauhan tampak dua orang berjalan cepat mengarah pada Hana dan Justin. Ya, Tian da Rhea.“Han, gimana Riga?” tanya Rhea langsung pada Hana.Bukannya menjawab pertanyaannya, Hana justru langsung memeluknya erat. Tentu saja itu membuat hatinya justru tak tenang. Ditambah lagi dengan dia memasang wajah sendu. Tak hanya Hana, raut muka Justin juga tampak tak baik baik saja. seperti baru saja mendengar sebuah kabar tak mengenakkan.“Ada masalah sama Riga?” tanya Tian ikut bertanya pada Justin. “Dia baik baik aja, kan?”Justin hanya mengangguk. Ia sanga
Hana dan Justin berada di depan ruang UGD, menunggu dokter keluar dari sana untuk memberikan hasil tentang keadaan dan kondisi Riga. Raut cemas tampak begitu jelas di wajah keduanya, terutama Hana yang sedari tadi terus saja menangis.Sedangkan Justin, jangan ditanya lagi seperti apa perasaannya saat ini. Bahkan saat mendapati kondisi Riga ketika sampai di rumah, nyaris membuat otaknya seperti sedang dihantam sebuah kenyataan yang menyakitkan. Bukan berniat untuk berprasangka buruk, tapi kejadian ini membuatnya benar benar tak bisa tenang.Justin membawa Hana ke pelukannya, berharap istrinya ini bisa tenang. Karena dengan melihat dia begini, jujur saja ia semakin cemas. Dan tak berharap jika kebiasaannya juga akan ikut kambuh. Itu tentu saja membuat istrinya seakan makin bingung.“Jangan nangis terus ... anak kita akan baik baik saja, Sayang,” bisik Justin menenangkan hati Hana.“Aku takut Riga kenapa kenapa, Je. Aku nggak mau dia sampai sakit,” balas Hana.“Aku tahu, tapi kalau kamu
Hana langsung tersentak ketika mendapatkan telepon seperti itu dari putranya. Darahnya seketika berdesir hebat, saat suara ringisan putranya masih terdengar di pendengarannya.“Ada apa?” tanya Justin kaget melihat raut khawatir di wajah Hana.“Kita pulang sekarang. Terjadi sesuatu sama Riga,” jawab Hana langsung beranjak dari posisi duduknya dan membawa Vio segera mengikutinya.Justin langsung mengikuti langkah Hana yang sudah lebih dulu berlalu keluar dari restoran.“Kak Riga kenapa, Ma?” tanya Vio saat berada dalam mobil, karena bingung dengan sikap kedua orang tuanya.Tak ada jawaban yang diberikan Hana pada pada putrinya. Ia fokus menelepon seseorang, hingga mengabaikan pertanyaan Vio.“Hallo, Mbak Reni ... cek Riga di kamar sekarang, ya,” pinta Hana dengan nada cemas.“Memangnya ada apa, Bu?”“Cepetan!” emosinya ketika perintahnya malah dibalas pertanyaan.“I-iya, Bu.”Hana bisa mendengar langkah cepat sang pengasuh anak anaknya itu melangkah cepat menuju lantai atas, karena terd
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, kalau malam ini akan makan di luar. Tentu saja bukan makan malam berdua, karena harus diingat, ada Vio dan Riga.Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, si princess yang sudah dari tadi siap, hanya bisa mondar mandir seperti setrikaan rusak saat orang tuanya dan juga kakaknya belum menampakkan diri dihadapannya. “Udah siapa, Sayang?” tanya Hana pada Vio yang akhirnya duduk di sofa dengan muka cemberut.“Udah dari tadi, Mama. Tapi semua orang malah belum apa apa.”Justin tersenyum dengan tingakh putrinya yang satu ini. Pokoknya kalau mau pergi pergi, dia yang paling gercep untuk siap siap.“Riga mana?” tanya Justin karena tak mendapati putranya di sana.“Aku nggak mau ikut,” sahutnya menuruni anak tangga dari lantai atas ... masih dengan pakaian rumahannya.“Loh, kok nggak ikut?” tanya Hana menghampiri Riga yang seperti biasa ... sikapnya selalu kalem seakan tak memiliki perasaan.“Nggak kenapa kenapa, kok, Ma ... cuman males aja. Ada tugas jug
Perlahan tapi pasti, hal hal yang dianggap baru dan asing juga akan terbiasa menghiasi hari hari. Begitupun dengan apa yang sedang dialami oleh Hana. Yang tadinya ia hanya berdua dengan Justin, kini semua terasa ramai ketika ada dua anak yang seakan membuat suasana di rumah terasa hangat.Justin yang tadinya hanya fokus mengurus pekerjaan meskipun di rumah, kini seolah merombak jadwal dan aktifitasnya. Saat di rumah, dia hanya akan fokus untuk keluarga. Tak ada lagi pekerjaan kantor yang dibawa pulang.Semakin terbiasa tanpa adanya bantuan perkara urusan si kecil, membuat Hana merasa benar benar full jadi ibu seutuhnya. Semua dilakukan sendiri, meskipun harus mendengar ocehan Justin yang menganggap dirinya kecapean.Jujur saja, ini rasanya memang capek ... hanya saja semua rasa itu seolah sirna ketika melihat mereka tersenyum padanya, seakan mengatakan terimakasih.Rasanya satu hari itu berlalu begitu cepat. Masih berputar putar dan fokus pada Riga dan Vio, tiba tiba saat selesai hari
Rasanya benar benar terasa lega, ketika akhirnya setelah beberapa hari di rumah sakit, kini kembali ke rumah. Tentunya pulang dengan tambahan dua anggota baru yang akan menghiasi suasana rumah.Sebelumnya hanya berstatus sebagai seorang istri, sekarang bertambah dengan status ibu dua anak. Ayolah, itu rasanya benar benar sulit dipercaya dengan dirinya yang masih berusia 20 tahunan.Justin membantu Hana turun dari mobil dengan si kembar yang berada dalam gendongan dua orang suster. Jangan berprasangka buruk dulu kalau dirinya akan menggunakan jasa dalam merawat anak anaknya, bukan seperti itu. Ini hanya untuk beberapa hari ke depan, setidaknya sampai luka bekas operasinya mulai membaik dan aman untuk banyak bergerak.Tak lama, dua mobil tampak memasuki area pekarangan. Bisa ditebak siapa yang datang. Itu mobil Tian dan Willy, yang artinya ... pasti pasangan mereka juga ikut.Melanjutkan langkah memasuki rumah, tempat yang membuatnya tiba tiba rindu, meskipun kadang menyebalkan juga kar