Tian dan Justin menuju ke lokasi terakhir di mana ponsel Hana terlacak. Sementara Willy dan Joan mencari informasi di rumah sakit terdekat dengan lokasi kejadian.Justin turun dari mobil, begitupun dengan Tian. Keduanya menghampiri seorang pedagang tisu jalanan yang kebetulan berjualan di sekitar lokasi."Maaf, Mas ... apa tadi di sekitar sini ada sebuah ..." Ia rada takut juga saat mengucapkan kata itu. Takut jika Justin tak terima dengan pemikiran dan tebakannya."Ada kejadian apa di sekitar sini tadi?" Giliran Justin yang bertanya langsung. Karena feelingnya memang mengarah kesitu juga."I-iya, Pak ... ada kecelakaan tadi. Belum lama ini. Korbannya gadis muda.""Ciri-cirinya?" tanya Justin langsung. Nada suaranya saja sudah menunjukkan bahwa hatinya mulai resah."Rambutnya sepinggang, bajunya warna ..."Justin menyodorkan layar ponselnya pada laki-laki itu, yang di sana terpajang foto Hana."Nah, iya, Pak ... itu korbannya," respon laki laki itu.Justin yang awalnya masih berdiri k
Willy dan Joan kini hanya bisa menunggu di depan ruangan operasi. Malam semakin larut, bahkan rasa dingin udara malam pun kini mulai menusuk ke dalam tulang belulang."Di sini sendirian nggak apa-apa, kan? Aku beli minum bentar," ujar Willy pada Joan."Jangan lama," balasnya.Ayolah, ia memang mencemaskan Hana di dalam sama, tapi ia juga takut sendirian di sini. Tak ada lagi orang berlalu lalang di lorong rumah sakit, bahkan terlihat begitu sepi dan kosong. Suasana yang benar-benar membuat bulu kuduk merinding.Ya, memang tak lama. Hanya sekitar lima belas menit, Willy kembali padanya."Ini, pake biar nggak kedinginan," ujar Willy menyodorkan sweater miliknya pada Joan dan sebotol air minareal."Makasih," ucapnya menerima.Entah ini efek suasana dingin atau apa ... yang jelas sikap Willy bikin kuduknya meremang. Padahal ia sudah berusaha menghindari saat cowok ini terus mepetin dirinya, tapi kalau begini, justru ia bakalan jatuh juga akhirnya."Ya ampun, Will ... ternyata lama, ya," k
Kini paniknya sedikit berkurang. Setelah ditangani oleh dokter, Hana sudah kembali tenang. Ya, kembali ke posisi di mana dia hanya diam, tanpa respon."Dokter, dia nggak kenapa-kenapa, kan? Nggak terjadi sesuatu yang buruk, kan?" Jujur saja, selama hidup, mungkin ini adalah posisi paling menguras pemikirannya.Dokter mengulas sedikit senyuman pada Justin. "Tenang saja ... dia tak apa-apa. Itu terjadi karena pergulatan antara fisik dan batinnya. Ya, keadaan fisiknya belum memungkinkan untuk sadar, sedangkan hatinya ingin segera sadar."Justin duduk di kursi, kemudian menyentuh lembut pipi Hana. "Apa semua ini masih berlangsung lama, dokter?""Tergantung kondisinya. Meskipun tak sadar, tapi dia tahu dan merasakan saat orang-orang berada di sampingnya, bicara padanya dan menyemangatinya. Dan ... mungkin kondisi barusan terjadi karena Anda bicara sesuatu yang membuat hatinya kuat untuk sadar. Hanya saja luka fisiknya yang belum mendukung."Ya ... penjelasan dokter dipahaminya dengan jelas
Sakit, bahkan rasa perihnya lebih mendominasi. Ya, itulah hal yang ia rasakan saat membuka mata. Tapi tiba-tiba rasa itu seolah lenyap ketika mendapati seseorang yang tengah berada di sampingnya. Tertidur, dengan lengan sebagai bantalan.Menyentuh lembut wajah itu. Rasanya ingin memeluk, tapi seolah terhalang oleh rasa perih di bagian dadanya saat melakukan pergerakan.Justin yang awalnya masih dalam tidur, kini bereaksi saat merasakan ada sentuhan di wajahnya. Terjaga dan mendapati apa yang ia harapkan. Hana sadar."Han, kamu sudah sadar." Ia langsung heboh. "Apa yang kamu rasain? Apa masih sakit? Kamu mau minum? Atau ..."Hana menggeleng lemah. Gila, sih ini rasanya. Seakan akan badannya ikut sakit semua hanya untuk bergerak sedikit saja."Aku nggak mau apa-apa," gumamnya lemah. "Cuman dadaku rasanya sangat sakit dan perih," ujarnya sedikit meringis."Aku panggil dokter dulu, ya ... untuk mengecek kondisimu," ujar Justin hendak berlalu pergi. Tapi niatnya itu terhenti saat Hana men
Justin sampai di rumah bersama dengan Willy. Sedangkan Hana ia minta Joan untuk menjaga di rumah sakit. Tak hanya itu ... ia juga sudah meminta beberapa orang suruhannya untuk berjaga di luar ruang rawat sang istri. Tak lama keduanya sampai, Jose dan Arum juga sampai. Bahkan Kedua orang tua Alice juga hadir. Situasi yang membuat semuanya bingung. Apa yang akan dilakukan Justin? Teriakan Alice dari dalam kamar, membuat fokus semua beralih. Terutama orang tua wanita itu, Ardi dan Henny yang kesal dengan sikap Justin pada putri mereka. "Justin, kenapa Alice dikurung dan berteriak-teriak gitu?" tanya Ardi. "Kamu berbuat kasar lagi padanya?!" Giliran Henny yang bicara. Justin tak menjawab. Karena ia tak peduli dan tak ambil pusing. Terserah, mereka mau berpikir apapun juga ... yang penting sekarang masalah ini harus berakhir. Justin duduk di kursi yang ada di ruang tengah, begitu pun dengan Willy. Memasang wajah yang ... mungkin orang orang yang terbiasa di sekitarnya akan mudah mema
Arum dan Jose yang penasaran, kini mengikuti langkah Willy menuju kamar Justin. Apalagi saat mendengar suara hempasan pintu yang seperti didobrak dengan paksa ... membuat rasa khawatir keduanya semakin meningkat.Kaget dan tak percaya. Itulah yang keduanya kini rasakan. Bagaimana tidak, mata keduanya dikagetkan dengan kondisi Justin yang seperti orang stress. Lebih kaget lagi saat Willy mengambil jarum suntik dan hendak menusukkan jarum itu pada lengan Justin."Apa yang kamu lakukan, Willy!" Arum marah dengan tindakan yang akan dilakukan Willy pada putranya. "Jistin kenapa? Ada apa dengan dia hingga kamu bertindak seperti ini!?""Om, Tante." Tersentak kaget.Ia lupa menutup pintu karena khawatir pada Justin. Tak berpikir juga kalau Arum dan Jose akan masuk dan melihat seperti apa keadaan Justin saat ini."Apa yang mau kamu lakukan pada Justin. Jawab Willy!" Arum berusaha merebut benda berjarum itu dari pegangan Willy, tapi tak berhasil karena di dengan cepat mengelakkan rebutannya.Ju
Bangun dan langsung duduk seketika saat mengingat Hana. Tangannya mencengkeram bagian belakang kepalanya yang masih terasa sakit."Je, kamu udah sadar, Nak?" pertanyaan itu muncul dari Arum.Justin seolah tak menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan padanya. Segera beranjak dari tempat tidur dan menyambar ponsel miliknya."Hana pasti nyariin aku," gumamnya masih terlihat kurang baik. Wajahnya masih terlihat lemas, begitupun ringisan yang masih terdengar di bibirnya sambil memegang kepalanya karena terasa sakit."Mama mohon, jangan pergi dulu," harap Arum dengan sedikit memohon.Entah benar-benar tak perduli akan sosok kedua orang tuanya, atau malah masih kesal dan sengaja mengabaikan ... yang jelas saat ini di dalam otaknya tak ada pikiran lain selain Hana"Je, kamu mau kemana?!" teriak Jose saat Justin seolah tak menghiraukan keberadaan dan pertanyaan yang ia dan istrinya tanyakan.Arum terisak ... saat merasakan kini putranya sendiri justru menganggapnya tak ada. Ya, rasanya benar b
Sepergi Clara, Leta dan Rhea ... jangan dipikir ia akan tidur nyenyak seperti yang diperintahkan oleh Justin. Justru kini ia ingin mengeluarkan semua pertanyaan dan kekhawatirannya."Tidur, Han," suruhnya lagi."Tadi kemana?""Willy bilang apa?" Justin balik bertanya."Om nggak ketemu klien, kan?"Justin duduk di kursi yang ada di samping Hana. "Menurutmu?""Jelasin padaku sekarang," pintanya.Justin diam, seolah sedang mengatur kalimat yang akan dia berikan pada Hana. Kemudian menggenggam tangan yang di sana masih tertancap jarum infus."Dan ku yakin, tadi pasti kambuh lagi," tebaknya.Bagaimana Hana tak tahu, karena di lengan kekar itu saja masih terdapat plester yang menempel. Artinya, dia habis disuntik di bagian itu."Memikirkan apalagi? Bisa tidak, jangan begitu terus? Kamu mengkhawatirkan dan memikirkan sesuatu terlalu berlebihan. Bahkan terkadang hal simple saja seakan dibuat jadi fokus utama.""Aku hanya memikirkan apa yang seharusnya ku pikirkan, kok. Yaitu kamu."Hana membe