Kini paniknya sedikit berkurang. Setelah ditangani oleh dokter, Hana sudah kembali tenang. Ya, kembali ke posisi di mana dia hanya diam, tanpa respon."Dokter, dia nggak kenapa-kenapa, kan? Nggak terjadi sesuatu yang buruk, kan?" Jujur saja, selama hidup, mungkin ini adalah posisi paling menguras pemikirannya.Dokter mengulas sedikit senyuman pada Justin. "Tenang saja ... dia tak apa-apa. Itu terjadi karena pergulatan antara fisik dan batinnya. Ya, keadaan fisiknya belum memungkinkan untuk sadar, sedangkan hatinya ingin segera sadar."Justin duduk di kursi, kemudian menyentuh lembut pipi Hana. "Apa semua ini masih berlangsung lama, dokter?""Tergantung kondisinya. Meskipun tak sadar, tapi dia tahu dan merasakan saat orang-orang berada di sampingnya, bicara padanya dan menyemangatinya. Dan ... mungkin kondisi barusan terjadi karena Anda bicara sesuatu yang membuat hatinya kuat untuk sadar. Hanya saja luka fisiknya yang belum mendukung."Ya ... penjelasan dokter dipahaminya dengan jelas
Sakit, bahkan rasa perihnya lebih mendominasi. Ya, itulah hal yang ia rasakan saat membuka mata. Tapi tiba-tiba rasa itu seolah lenyap ketika mendapati seseorang yang tengah berada di sampingnya. Tertidur, dengan lengan sebagai bantalan.Menyentuh lembut wajah itu. Rasanya ingin memeluk, tapi seolah terhalang oleh rasa perih di bagian dadanya saat melakukan pergerakan.Justin yang awalnya masih dalam tidur, kini bereaksi saat merasakan ada sentuhan di wajahnya. Terjaga dan mendapati apa yang ia harapkan. Hana sadar."Han, kamu sudah sadar." Ia langsung heboh. "Apa yang kamu rasain? Apa masih sakit? Kamu mau minum? Atau ..."Hana menggeleng lemah. Gila, sih ini rasanya. Seakan akan badannya ikut sakit semua hanya untuk bergerak sedikit saja."Aku nggak mau apa-apa," gumamnya lemah. "Cuman dadaku rasanya sangat sakit dan perih," ujarnya sedikit meringis."Aku panggil dokter dulu, ya ... untuk mengecek kondisimu," ujar Justin hendak berlalu pergi. Tapi niatnya itu terhenti saat Hana men
Justin sampai di rumah bersama dengan Willy. Sedangkan Hana ia minta Joan untuk menjaga di rumah sakit. Tak hanya itu ... ia juga sudah meminta beberapa orang suruhannya untuk berjaga di luar ruang rawat sang istri. Tak lama keduanya sampai, Jose dan Arum juga sampai. Bahkan Kedua orang tua Alice juga hadir. Situasi yang membuat semuanya bingung. Apa yang akan dilakukan Justin? Teriakan Alice dari dalam kamar, membuat fokus semua beralih. Terutama orang tua wanita itu, Ardi dan Henny yang kesal dengan sikap Justin pada putri mereka. "Justin, kenapa Alice dikurung dan berteriak-teriak gitu?" tanya Ardi. "Kamu berbuat kasar lagi padanya?!" Giliran Henny yang bicara. Justin tak menjawab. Karena ia tak peduli dan tak ambil pusing. Terserah, mereka mau berpikir apapun juga ... yang penting sekarang masalah ini harus berakhir. Justin duduk di kursi yang ada di ruang tengah, begitu pun dengan Willy. Memasang wajah yang ... mungkin orang orang yang terbiasa di sekitarnya akan mudah mema
Arum dan Jose yang penasaran, kini mengikuti langkah Willy menuju kamar Justin. Apalagi saat mendengar suara hempasan pintu yang seperti didobrak dengan paksa ... membuat rasa khawatir keduanya semakin meningkat.Kaget dan tak percaya. Itulah yang keduanya kini rasakan. Bagaimana tidak, mata keduanya dikagetkan dengan kondisi Justin yang seperti orang stress. Lebih kaget lagi saat Willy mengambil jarum suntik dan hendak menusukkan jarum itu pada lengan Justin."Apa yang kamu lakukan, Willy!" Arum marah dengan tindakan yang akan dilakukan Willy pada putranya. "Jistin kenapa? Ada apa dengan dia hingga kamu bertindak seperti ini!?""Om, Tante." Tersentak kaget.Ia lupa menutup pintu karena khawatir pada Justin. Tak berpikir juga kalau Arum dan Jose akan masuk dan melihat seperti apa keadaan Justin saat ini."Apa yang mau kamu lakukan pada Justin. Jawab Willy!" Arum berusaha merebut benda berjarum itu dari pegangan Willy, tapi tak berhasil karena di dengan cepat mengelakkan rebutannya.Ju
Bangun dan langsung duduk seketika saat mengingat Hana. Tangannya mencengkeram bagian belakang kepalanya yang masih terasa sakit."Je, kamu udah sadar, Nak?" pertanyaan itu muncul dari Arum.Justin seolah tak menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan padanya. Segera beranjak dari tempat tidur dan menyambar ponsel miliknya."Hana pasti nyariin aku," gumamnya masih terlihat kurang baik. Wajahnya masih terlihat lemas, begitupun ringisan yang masih terdengar di bibirnya sambil memegang kepalanya karena terasa sakit."Mama mohon, jangan pergi dulu," harap Arum dengan sedikit memohon.Entah benar-benar tak perduli akan sosok kedua orang tuanya, atau malah masih kesal dan sengaja mengabaikan ... yang jelas saat ini di dalam otaknya tak ada pikiran lain selain Hana"Je, kamu mau kemana?!" teriak Jose saat Justin seolah tak menghiraukan keberadaan dan pertanyaan yang ia dan istrinya tanyakan.Arum terisak ... saat merasakan kini putranya sendiri justru menganggapnya tak ada. Ya, rasanya benar b
Sepergi Clara, Leta dan Rhea ... jangan dipikir ia akan tidur nyenyak seperti yang diperintahkan oleh Justin. Justru kini ia ingin mengeluarkan semua pertanyaan dan kekhawatirannya."Tidur, Han," suruhnya lagi."Tadi kemana?""Willy bilang apa?" Justin balik bertanya."Om nggak ketemu klien, kan?"Justin duduk di kursi yang ada di samping Hana. "Menurutmu?""Jelasin padaku sekarang," pintanya.Justin diam, seolah sedang mengatur kalimat yang akan dia berikan pada Hana. Kemudian menggenggam tangan yang di sana masih tertancap jarum infus."Dan ku yakin, tadi pasti kambuh lagi," tebaknya.Bagaimana Hana tak tahu, karena di lengan kekar itu saja masih terdapat plester yang menempel. Artinya, dia habis disuntik di bagian itu."Memikirkan apalagi? Bisa tidak, jangan begitu terus? Kamu mengkhawatirkan dan memikirkan sesuatu terlalu berlebihan. Bahkan terkadang hal simple saja seakan dibuat jadi fokus utama.""Aku hanya memikirkan apa yang seharusnya ku pikirkan, kok. Yaitu kamu."Hana membe
Willy dan Joan datang, tepat saat keduanya masih dalam adegan pelukan. Hingga dengan cepat Hana melepaskan diri dari posisinya."Opss ... kita datang di waktu yang tepat, Jo," ujar Willy pada Joan. "Maksudku, di waktu yang nggak tepat. Orang lagi sibuk bermesraan," ralatnyaHana salah tingkah, langsung saja menutupi separo wajahnya dengan selimut. Ini memalukan, gais. Kepergok pelukan, berasa kepergok ciuman aja efeknya."Kenapa balik lagi?" tanya Justin."Kan, gue ...""Bukan elu, tapi Joan," sanggahnya.Joan langsung berjalan dan menghadap Justin dengan sedikit menundukkan wajahnya. Ya, ia tahu kenapa bos nya ini marah."Maaf, Pak ... saya tahu ini kesalahan saya," ujarnya takut-takut.Willy memasang wajah kesal saat sikap sobatnya itu selalu begitu pada Joan. Tak bisakah dia berubah jadi sedikit kalem?"Hana yang minta gue bawa Joan, jadi kalau berani, marahnya sama Hana aja," komentar Willy.Setidaknya ia tahu kalau Justin tak akan berani marah pada Hana. Makanya ia gunakan senja
Kalau bukan karena pengaruh obat, mungkin saat ini ia masih menerawang panjang tanpa ujung. Tapi tidur nyenyaknya sampai terganggu napas hangat yang tiba-tiba menerpa wajahnya. ya, sangat dekat hingga membuatnya terjaga."Udah di sini aja," gumam Hana mendapati Justin yang sudah tidur di sampingnya.Mata itu terbuka lebar saat ia melepaskan rengkuhan yang melilit badannya."Mau kemana?""Nggak mau kemana-mana," jawab Hana."Tutup matamu dan tidurlah," perintah Justin yang kembali menutup matanya."Om, besok aku mulai kuliah, ya," ujarnya kembali bicara."Nanti saja, setelah kondisimu lebih baik," balas Justin tak setuju. "Lagian, aku juga sudah membicarakan hal ini pada pihak kampus."Ayolah ... otakku kan nggak secerdas itu juga, yang bisa mengejar pelajaran yang sudah beberapa hari ku tinggalkan," rengeknya berharap Justin akan mengijinkannya.Sehari tak masuk kuliah saja sudah membuat otaknya keriting. Lah ini, sudah lebih dari satu minggu ia meliburkan diri. Bisa-bisa otaknya mele