Hana keluar dari kamar secara diam-diam, setelah selesai bersiap untuk berangkat ke kampus. Niatnya, sih, agar Justin tak terbangun dan dia tak pergi bekerja, tapi apa ... baru juga tangannya memegang gagang pintu, suara bariton itu menghentikan niatnya.Berbalik badan dan menatap ke arah Justin sambil tersenyum gaje."Eh, haii, Om," ujarnya. "Udah bangun, ya.""Sengaja nggak ngebangunin aku, ya?""Enggaklah, Om," jawab Hana. "Aku cuman, itu ... hmm, anu." Ia bingung harus menjawab apa. Stok kebohongan dalam kepalanya tiba-tiba kosong.Justin bangun, kemudian beranjak dari tempat tidur ... berjalan menghampiri Hana yang berdiri di dekat pintu."Aku sudah bertahun-tahun bekerja ... jadi jangan dipikir aku akan ketiduran. Semengantuk apapun, saat jam kerja, aku pasti kebangun," jelasnya pada Hana."Baguslah kalau gitu. Jadi, aku nggak perlu membangunkanmu," balas Hana hendak melanjutkan niatnya, keluar dari kamar."Aku masih di sini, kenapa keluar? Apa itu sikap dari seorang istri yang
Harinya sudah dimulai dengan sesuatu yang tak bagus. Dan itu benar-benar membuat mood nya pagi ini hancur berantakan. Tak ingin sarapan, tapi Justin memaksanya.Sentuhan Justin di tangannya membuat lamunannya terhenti dan pandangan yang sedari masuk mobil hanya ia fokuskan ke jalanan, kini beralih pada cowok yang berada di sampingnya."Memikirkan apa?" tanya Justin. "Kenapa dari tadi melamun terus.""Tidak ada apa-apa," jawabnya."Sudah ku bilang, kan ... jangan memikirkan apapun perkataan dia.""Aku nggak memikirkannya, kok.""Dan ... jangan pernah melakukan kebohongan apapun jika di dekatku. Aku tahu ... aku tahu saat seseorang berbohong." Ia menyentuh lembut pipi Hana. "Termasuk kamu, Han," tambahnya.Hana kembali mengarahkan pandangannya keluar jendela mobil. Terlihat, hujan turun begitu lebat, membuat suasana pagi terasa sedikit dingin. Cocok sekali untuk rebahan, tentunya rebahan tanpa begitu banyak pikiran dan masalah."Om Justin, pulang jam berapa?" tanyanya tiba-tiba."Sepert
Seperti permintaan Justin, setengah jam berlalu, ia mulai mencoba membangunkan dia yang masih tidur. Sebenarnya nggak tega, tapi kalau tak dibangunkan, justru waktunya untuk bekerja malah bertambah. Bisa-bisa dia malah lembur hingga malam."Om, ini udah setengah jam. Katanya mau bangun," ujar Hana perlahan menyentuh wajah Justin.Awalnya tak ada respon, mungkin tidurnya benar-benar nyenyak."Om Justin, bangun. Kita makan siang," tambahnya kembali mencoba.Kali ini, barulah ada pergerakan dari si pemilik nama yang membuat kakinya kesemutan karena jadi bantal bagi Justin."Aku masih ngantuk," balasnya dengan suara serak.Bikin meleleh kayak es krim rasanya mendengar suara itu. Bangun tidur aja menggoda, apalagi saat fresh. Sudahlah, kalau tak kuat menjaga jantung, ia pastikan akan mengalami gagal jantung jika dihadapkan pada Justin.Bukannya bangun, Justin justru mengubah posisi tidurnya jadi miring dan memeluk tubuh Hana. Menenggelamkan wajahnya di antara tubuh ramping itu.Hana hanya
Hana sedang duduk di taman belakang rumah yang lokasinya memang begitu luas. Entah untuk apa taman ini dibuat, padahal pemiliknya saja bahkan jarang sekali berada di rumah. Apalagi untuk menikmati lokasi ini.Di saat ia sedang santai, tiba-tiba Alice datang menghampirinya. Heran juga, sih ... karena dia datang tak langsung mengomel atau mengatainya seperti biasa."Ada apa, Tan?" tanyanya.Alice tersenyum manis. "Hmm ... Hana, boleh aku minta tolong?"Lagi-lagi sikap Alice membuat Hana heran. Apa kepala wanita ini habis kepentok, hingga mengalami perubahan yang sangat signifikan."Minta tolong, apa?"Alice menyodorkan secarik kertas pada Hana. "Aku minta tolong tebus obat ini ke apotik, ya."Menerima benda itu. "Ini resep obat siapa?""Aku.""Tante sakit?""Sedikit kurang enak badan," jawabnya dengan efek lemas dan tak bersemangat. "Kamu mau, kan, tolong tebus resep itu?"Sebenarnya Hana merasa curiga dengan sikap manis Alice. Paling ini agar membuat dirinya keluar dari rumah saja. Ini
Tian dan Justin menuju ke lokasi terakhir di mana ponsel Hana terlacak. Sementara Willy dan Joan mencari informasi di rumah sakit terdekat dengan lokasi kejadian.Justin turun dari mobil, begitupun dengan Tian. Keduanya menghampiri seorang pedagang tisu jalanan yang kebetulan berjualan di sekitar lokasi."Maaf, Mas ... apa tadi di sekitar sini ada sebuah ..." Ia rada takut juga saat mengucapkan kata itu. Takut jika Justin tak terima dengan pemikiran dan tebakannya."Ada kejadian apa di sekitar sini tadi?" Giliran Justin yang bertanya langsung. Karena feelingnya memang mengarah kesitu juga."I-iya, Pak ... ada kecelakaan tadi. Belum lama ini. Korbannya gadis muda.""Ciri-cirinya?" tanya Justin langsung. Nada suaranya saja sudah menunjukkan bahwa hatinya mulai resah."Rambutnya sepinggang, bajunya warna ..."Justin menyodorkan layar ponselnya pada laki-laki itu, yang di sana terpajang foto Hana."Nah, iya, Pak ... itu korbannya," respon laki laki itu.Justin yang awalnya masih berdiri k
Willy dan Joan kini hanya bisa menunggu di depan ruangan operasi. Malam semakin larut, bahkan rasa dingin udara malam pun kini mulai menusuk ke dalam tulang belulang."Di sini sendirian nggak apa-apa, kan? Aku beli minum bentar," ujar Willy pada Joan."Jangan lama," balasnya.Ayolah, ia memang mencemaskan Hana di dalam sama, tapi ia juga takut sendirian di sini. Tak ada lagi orang berlalu lalang di lorong rumah sakit, bahkan terlihat begitu sepi dan kosong. Suasana yang benar-benar membuat bulu kuduk merinding.Ya, memang tak lama. Hanya sekitar lima belas menit, Willy kembali padanya."Ini, pake biar nggak kedinginan," ujar Willy menyodorkan sweater miliknya pada Joan dan sebotol air minareal."Makasih," ucapnya menerima.Entah ini efek suasana dingin atau apa ... yang jelas sikap Willy bikin kuduknya meremang. Padahal ia sudah berusaha menghindari saat cowok ini terus mepetin dirinya, tapi kalau begini, justru ia bakalan jatuh juga akhirnya."Ya ampun, Will ... ternyata lama, ya," k
Kini paniknya sedikit berkurang. Setelah ditangani oleh dokter, Hana sudah kembali tenang. Ya, kembali ke posisi di mana dia hanya diam, tanpa respon."Dokter, dia nggak kenapa-kenapa, kan? Nggak terjadi sesuatu yang buruk, kan?" Jujur saja, selama hidup, mungkin ini adalah posisi paling menguras pemikirannya.Dokter mengulas sedikit senyuman pada Justin. "Tenang saja ... dia tak apa-apa. Itu terjadi karena pergulatan antara fisik dan batinnya. Ya, keadaan fisiknya belum memungkinkan untuk sadar, sedangkan hatinya ingin segera sadar."Justin duduk di kursi, kemudian menyentuh lembut pipi Hana. "Apa semua ini masih berlangsung lama, dokter?""Tergantung kondisinya. Meskipun tak sadar, tapi dia tahu dan merasakan saat orang-orang berada di sampingnya, bicara padanya dan menyemangatinya. Dan ... mungkin kondisi barusan terjadi karena Anda bicara sesuatu yang membuat hatinya kuat untuk sadar. Hanya saja luka fisiknya yang belum mendukung."Ya ... penjelasan dokter dipahaminya dengan jelas
Sakit, bahkan rasa perihnya lebih mendominasi. Ya, itulah hal yang ia rasakan saat membuka mata. Tapi tiba-tiba rasa itu seolah lenyap ketika mendapati seseorang yang tengah berada di sampingnya. Tertidur, dengan lengan sebagai bantalan.Menyentuh lembut wajah itu. Rasanya ingin memeluk, tapi seolah terhalang oleh rasa perih di bagian dadanya saat melakukan pergerakan.Justin yang awalnya masih dalam tidur, kini bereaksi saat merasakan ada sentuhan di wajahnya. Terjaga dan mendapati apa yang ia harapkan. Hana sadar."Han, kamu sudah sadar." Ia langsung heboh. "Apa yang kamu rasain? Apa masih sakit? Kamu mau minum? Atau ..."Hana menggeleng lemah. Gila, sih ini rasanya. Seakan akan badannya ikut sakit semua hanya untuk bergerak sedikit saja."Aku nggak mau apa-apa," gumamnya lemah. "Cuman dadaku rasanya sangat sakit dan perih," ujarnya sedikit meringis."Aku panggil dokter dulu, ya ... untuk mengecek kondisimu," ujar Justin hendak berlalu pergi. Tapi niatnya itu terhenti saat Hana men