Pagi itu, mentari baru saja mengintip malu-malu dari balik awan, menyinari kediaman keluarga Bara dengan cahaya keemasannya yang lembut. Namun, keindahan pagi itu tak mampu mengusir awan gelap yang menggantung di hati Keira. Dengan tangan gemetar, ia menarik koper besarnya, setiap langkah terasa berat seolah ada magnet yang menariknya kuat-kuat, enggan melepaskannya pergi.Suara roda koper yang bergesekan dengan lantai marmer terdengar memilukan di telinga Keira, seolah menjadi pengiring sendu bagi kepergiannya yang tak diinginkan. Ia menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa untuk melangkah ke ruang makan, tempat di mana ia tahu Bara dan Vera sedang menunggu.Setibanya di ambang pintu ruang makan, Keira terpaku. Pemandangan di hadapannya begitu familiar namun terasa asing di saat yang bersamaan. Bara dan Vera duduk berhadapan di meja makan, sebuah pemandangan yang telah ia saksikan ratusan kali selama tinggal di rumah ini. Namun kali ini, ada kete
Sudah seminggu berlalu sejak insiden Keira yang hampir pergi, dan suasana di rumah itu terasa jauh lebih ringan, seolah awan gelap yang selama ini menggantung telah tersapu angin.Keira duduk di sofa, tangannya mengusap lembut perutnya yang semakin membuncit. Matanya menatap jauh ke luar jendela, pikirannya melayang pada perubahan yang terjadi selama seminggu terakhir. Ia bisa merasakan kelegaan yang perlahan merayap dalam hatinya, seperti embun pagi yang menyegarkan setelah malam yang panjang dan melelahkan.Tante Vera benar-benar menepati janjinya. Tak ada lagi tatapan penuh curiga yang dulu selalu menghantui Keira. Kalaupun masih ada, tampaknya Tante Vera pandai menyembunyikannya, sehingga Keira hanya bisa menebak-nebak isi hati wanita itu, tetapi ia memilih untuk bersyukur atas perubahan yang ada.Namun, di balik kelegaan itu, ada rasa bersalah yang semakin menggerogoti hati Keira. Setiap kebaikan yang ditunjukkan Vera terasa seperti pisau tajam yang mengiris hatinya. Ia merasa ta
Vera, dengan langkah ragu, membuka pintu, dan seketika itu juga, dunianya seolah berhenti berputar. Di hadapannya berdiri Arka, putra sulungnya yang seharusnya masih berada di Amerika, menempuh pendidikan yang telah ia dan suaminya rencanakan dengan sangat hati-hati.Pemuda tampan berusia 20 tahun itu tampak berantakan, jauh dari image anak baik-baik yang selama ini dikenal. Rambutnya acak-acakan, kantung mata yang menghitam menandakan kurang tidur, dan aroma alkohol samar-samar tercium dari tubuhnya. Di tangannya, sebuah koper besar dan tas ransel tersampir di pundaknya, menandakan kepulangan yang tidak direncanakan."Ya ampun, Arka!" pekiknya, suaranya bergetar antara kaget dan masih tidak percaya kalau yang berdiri di hadapannya adalah putra sulungnya."Apa yang kamu lakukan di sini, Arka? Bukankah seharusnya kamu masih di Amerika?"Arka hanya mengangkat bahu dengan sikap acuh yang menyakitkan. Matanya yang biasanya hangat kini dingin, menyiratkan konflik batin yang telah lama ia pe
"Good Morning, Everybody!" Suara Arka memecah keheningan pagi, mengejutkan semua orang yang sudah duduk di meja makan. Pemuda itu melangkah santai, seolah kejadian semalam hanyalah mimpi buruk yang telah terlupakan. Rambutnya masih acak-acakan, dan kantung matanya menandakan malam yang dilewati tanpa tidur nyenyak. Namun, meski begitu, senyum miring tetap terpampang di wajahnya, seperti campuran antara kelelahan dan sikap menantang.Bara, yang sedang menyesap kopinya, nyaris tersedak. Matanya melebar, campuran antara terkejut dan amarah yang belum reda. Vera, yang sedang meletakkan piring di meja, menghentikan gerakannya, tangannya gemetar sedikit. Tasya memperlambat kunyahannya. Sedangkan Keira, yang duduk di sudut meja, hanya bisa menunduk, berusaha tidak menarik perhatian.Arka memandang sekeliling, matanya menyipit melihat meja yang hanya terisi empat set peralatan makan. "Enggak ada piring buatku? Memangnya aku bukan bagian dari keluarga ini lagi apa?!" Nada suaranya sinis, teta
Larut malam, di saat sebagian besar anggota keluarga Mahendrata telah terlelap, suasana hening di rumah megah itu terganggu oleh kehadiran Bara. Pria itu keluar dari ruang kerjanya, berniat sekadar membuat secangkir kopi untuk menghilangkan rasa penatnya. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok cantik Keira yang sedang duduk sendirian di ruang keluarga, memandang layar televisi yang menyala tanpa minat."Belum tidur, Kei?" tanya Bara, mendekati Keira dengan langkah ringan. Vera, istrinya, terlihat telah terlelap di kamar, memberi kesempatan bagi Bara untuk berani menghampiri dan menyapa Keira.Keira menggeleng sambil menunjukan senyum tipis dari bibir mungilnya. “Aku enggak bisa tidur, Om. Soalanya dari dalam perut aku kerasa kaya-kyak gerak terus. Kayaknya mereka ngidam pengen nonton film, soalnya waktu aku nonton, mereka langsung diem.”Sembari, Keira mengusap lembut perutnya yang semakin membesar seiring dengan usia kehamilannya. Melihat gerakan itu, Bara tak mam
Arka berdiri dengan tegak, seringai puas masih terus terpampang jelas di wajahnya. Matanya semakin berkilat penuh kemenangan saat melihat emosi yang kian bergejolak di wajah Papanya. Ia tahu bahwa ia telah berhasil memancing amarah Bara hingga ke titik didihnya. Bahkan, ia bisa melihat dengan jelas keinginan besar dalam diri Papanya untuk melayangkan sebuah tamparan atau pukulan ke wajahnya.Namun, entah apa yang menahan Papanya untuk segera bereaksi. Papanya ia tampak masih mampu mengendalikan emosinya, meskipun terlihat jelas bahwa Papanya itu sedang berjuang keras melawannya. Melihat hal ini, Arka merasa semakin tertantang untuk meruntuhkan pertahanan terakhir Papanya."Lihat, kan? Aku udah mulai membuat ulah di rumah ini,” ujar Arka dengan nada mengejek, suaranya memecah keheningan yang mencekam. Selamat menikmati kesenangan dariku, Pa! Karena masih banyak yang akan kulakukan untuk membuat hidup Papa lebih berwarna dengan tingakahky yang bisa bikin Papa sakit kepala'."Kata-kata d
Di tengah ruangan keluarga, Keira berdiri dengan tubuh tegang, matanya menatap tajam ke arah sosok yang tak henti-hentinya mengikutinya sejak pagi hingga sore nyaris malam telah menjelang.Arka, sebaliknya, tampak santai bersandar di dinding sebrang. Posturnya yang tinggi dan tegap menciptakan bayangan panjang di lantai kayu yang berkilau. Sebuah seringai tipis tersungging di bibirnya yang sempurna, menambah aura misterius pada wajahnya yang tampan, tetapi kontras dengan ketegangan yang terpancar dari Keira. Mata Arka yang gelap, dalam, dan penuh rahasia, tak pernah lepas dari sosok Keira yang ada di hadapannya. Ia mengamati setiap gerak-gerik gadis itu dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka seolah bergetar. Keira merasakan kemarahan yang telah ia tahan sejak pagi kini mulai mendidih dalam dadanya, siap meluap seperti lava dari gunung berapi yang telah lama tertidur. Dengan suara bergetar menahan emosi, ia akhirnya membuka mulut, memecah keheningan yang mencekam di
Untuk sesaat, waktu seolah membeku. Keira merasakan tubuhnya kaku, seakan-akan ia telah berubah menjadi patung es, sama seperti kejadian kemarin yang masih membekas jelas dalam ingatannya. Pikirannya kosong, tak mampu memproses apa yang sedang terjadi. Seolah-olah semua neuron di otaknya berhenti bekerja seketika.Namun, tepat sebelum bibir Arka menyentuh bibirnya, kesadarannya kembali seperti arus listrik yang menyengat. Dengan gerakan cepat yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri, ia mendorong dada Arka sekuat tenaga, membuat pemuda itu terhuyung ke belakang bak pohon yang diterpa angin kencang."Jangan pernah sentuh gue lagi!" kata Keira, Ada getaran dalam suaranya, tetapi ia paksakan untuk terdengar tegas. Matanya menatap tajam ke arah Arka, seolah-olah ingin melubangi kepala pemuda itu dengan tatapannya. "sekali lagi lo berani nyentuh gue tanpa izin, gue e
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia
“Sebaiknya kita tidak usah kembali ke kantor lagi karena Om mau mengajakmu menjemput Aurora dan Sabiru di sekolah mereka sore ini. Apa kamu tidak keberatan?”Ia mengangguk lemah sambil menyeka hidungnya. Matanya yang sembab masih terlihat sedikit memerah. Suaranya terdengar serak ketika menjawab.“Aku enggak keberatan, tapi ini kan masih siang Om? Kalau enggak balik lagi ke kantor, kita mau melakukan apa untuk menunggu sampai jam kepulangan mereka?”Bara tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sembari menunggu jam pulang sekolah anak-anak tiba?”Namun Keira tampak enggan. Tatapan matanya kosong dan pandangannya terasa hampa, seolah pikiran masih terjebak dalam lingkaran kesedihan yang baru saja dialaminya. “Entahlah, Om. Tapi aku lagi enggak ingin melakukan apa-apa, selain duduk di kursi kerjaku dan menyibukan diri dengan pekerjaan,” jawab Keira apa adanya.Perkataan positif Bara yang penuh dukungan untuknya, memang melegakan sebagai besar hati
Beberapa saat setelah Arka pergi, Keira pun keluar dari restoran tempat ia bertemu dengan Arka. Langkahnya tertatih, ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih, lega, dan terluka. Hembusan angin seolah turut membawa beban emosi yang berat dari dalam dirinya. Di hapusnya sisa air mata di sudut matanya ketika memasuki mobil Om Bara.Udara di dalam mobil terasa berat, dipenuhi emosi yang beradu-padu menyiksa diri Keira. Keheningan yang mencekam perlahan mencair ketika suara Om Bara membelah kesunyian.“Jangan paksa dirimu untuk tidak menangis, Kei.” ujar Bara dengan lembut.” Om tahu pasti berat untuk kamu karena harus menyampaikan kalau kamu yang lebih memilih Om di bandingkan Arka. Jadi, menagis lah sampai kamu merasa lega.”Bara langsung menahan tangan Keira yang mengusap air mata yang jelas-jelas masih mengalir di wajah cantik wanita itu.“Tapi aku enggak ingin terlihat lemah di hadapan Om. Aku juga takut Om bisa salah paham karena melihatku menangis setelah bertemu dengan Arka. Nanti
Keesokan paginya, Keira bertemu dengan Om Bara di sebuah kafe kecil dekat kantornya, tempat yang cukup privat untuk pembicaraan sepenting ini."Om," Keira berkata pelan, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya.Om Bara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada apa, Keira?"Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, menghabiskan malam-malam tanpa tidur memikirkan keputusan yang akan ia sampaikan hari ini."Setelah berpikir panjang..." Keira menggigit bibirnya sejenak, "aku... aku memutuskan mau mencoba membuka hati lagi untuk Om."Mata Bara melebar, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja di