Malam semakin larut ketika Bara akhirnya keluar dari kamar Keira. Ia melangkah pelan menuju ruang keluarga, dimana Vera menunggunya dengan wajah tegang. Suasana terasa berat, seolah ada kabut tak kasat mata yang menyelimuti ruangan itu.
"Lama sekali kamu di kamar Keira, Mas?!" Vera membuka percakapan, suaranya campuran antara kecemburuan, kekesalan, dan kecurigaan. "Apa memastikan kondisi gadis itu perlu menghabiskan waktu selama ini?"Bara menghela napas, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab. "Alasanku lama di sana karena menunggu Keira sampai selesai makan. Aku hanya ingin memastikan Keira menghabiskan makan malamnya, Ve."Vera menatap suaminya lekat-lekat, matanya menyipit penuh selidik. "Yakin hanya itu saja?!""Jangan mulai bersikap begini lagi, Ve!" Bara akhirnya tak bisa menahan emosinya. Suaranya meninggi, namun ada nada putus asa di dalamnya. "Asal tahu saja, sikapmu yang begini menjadi salah satu penyebab Keira menjadi banyak pikir"Tante," Keira akhirnya bersuara, suaranya sedikit bergetar karena tangisannya masih berlansung. "Saya menghargai benget perhatian Tante dan tahu maksud Tante baik. Tapi... maaf, saya rasa saya belum siap untuk hal itu."Keira berani bersuara karena setelah memdangi wajah Vera beberapa saat, sepertinya ia bisa membaca kalau Tante Vera agaknya belum mengetahui kalau dirinya hamil anak Om Bara. Kalau pun tahu, ia yakin reaksi Tante Vera tak mungkin masih menunjukan rasa perhatian padanya.Sementara itu, Vera menghela napas panjang, matanya menatap Keira dengan campuran antara simpati dan determinasi. "Keira sayang, Tante mengerti ini bukan hal yang mudah. Tapi coba pikirkan masa depan anak-anakmu. Mereka butuh sosok ayah."Keira menggigit bibirnya. "Saya tahu, Tante. Tapi... saya mohon, beri saya waktu. Saya belum siap untuk membuka hati saya untuk orang lain."Vera menggenggam tangan Keira lembut, namun ada ketegasan dalam suaranya saat ia berkata, "Keira, Tante tidak memintamu untuk j
“Intinya aku tidak akan tinggal diam kalau kamu sampai membohongiku lagi, Mas!" Suara Vera memecah keheningan, tajam dan penuh ancaman. Setiap kata yang meluncur dari bibirnya bagaikan pisau yang siap menghujam.Bara, yang biasanya tenang dan berwibawa, kini terlihat goyah. Ia menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegugupan yang menggerogoti hatinya. Anggukan pelan yang ia berikan sebagai respon terasa begitu berat, seolah seluruh beban dunia ada di pundaknya.Jantung Bara berdegup kencang, irama tak beraturan yang seolah ingin memberontak keluar dari dadanya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, meski AC kamar berdesing lembut menghamburkan udara dingin. Rahasia yang ia simpan terasa semakin berat, seolah-olah mencekik lehernya. Namun, ia tahu bahwa mengungkapkan kebenaran saat ini hanya akan membuat segalanya menjadi lebih buruk. Sebelum ia jujur saja, Vera dapat dengan mudahnya membuat Keira banyak pikiran hanya karena gestur yang menunjukkan kecurigaan dan Vera jug
Pagi itu, mentari baru saja mengintip malu-malu dari balik awan, menyinari kediaman keluarga Bara dengan cahaya keemasannya yang lembut. Namun, keindahan pagi itu tak mampu mengusir awan gelap yang menggantung di hati Keira. Dengan tangan gemetar, ia menarik koper besarnya, setiap langkah terasa berat seolah ada magnet yang menariknya kuat-kuat, enggan melepaskannya pergi.Suara roda koper yang bergesekan dengan lantai marmer terdengar memilukan di telinga Keira, seolah menjadi pengiring sendu bagi kepergiannya yang tak diinginkan. Ia menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa untuk melangkah ke ruang makan, tempat di mana ia tahu Bara dan Vera sedang menunggu.Setibanya di ambang pintu ruang makan, Keira terpaku. Pemandangan di hadapannya begitu familiar namun terasa asing di saat yang bersamaan. Bara dan Vera duduk berhadapan di meja makan, sebuah pemandangan yang telah ia saksikan ratusan kali selama tinggal di rumah ini. Namun kali ini, ada kete
Sudah seminggu berlalu sejak insiden Keira yang hampir pergi, dan suasana di rumah itu terasa jauh lebih ringan, seolah awan gelap yang selama ini menggantung telah tersapu angin.Keira duduk di sofa, tangannya mengusap lembut perutnya yang semakin membuncit. Matanya menatap jauh ke luar jendela, pikirannya melayang pada perubahan yang terjadi selama seminggu terakhir. Ia bisa merasakan kelegaan yang perlahan merayap dalam hatinya, seperti embun pagi yang menyegarkan setelah malam yang panjang dan melelahkan.Tante Vera benar-benar menepati janjinya. Tak ada lagi tatapan penuh curiga yang dulu selalu menghantui Keira. Kalaupun masih ada, tampaknya Tante Vera pandai menyembunyikannya, sehingga Keira hanya bisa menebak-nebak isi hati wanita itu, tetapi ia memilih untuk bersyukur atas perubahan yang ada.Namun, di balik kelegaan itu, ada rasa bersalah yang semakin menggerogoti hati Keira. Setiap kebaikan yang ditunjukkan Vera terasa seperti pisau tajam yang mengiris hatinya. Ia merasa ta
Vera, dengan langkah ragu, membuka pintu, dan seketika itu juga, dunianya seolah berhenti berputar. Di hadapannya berdiri Arka, putra sulungnya yang seharusnya masih berada di Amerika, menempuh pendidikan yang telah ia dan suaminya rencanakan dengan sangat hati-hati.Pemuda tampan berusia 20 tahun itu tampak berantakan, jauh dari image anak baik-baik yang selama ini dikenal. Rambutnya acak-acakan, kantung mata yang menghitam menandakan kurang tidur, dan aroma alkohol samar-samar tercium dari tubuhnya. Di tangannya, sebuah koper besar dan tas ransel tersampir di pundaknya, menandakan kepulangan yang tidak direncanakan."Ya ampun, Arka!" pekiknya, suaranya bergetar antara kaget dan masih tidak percaya kalau yang berdiri di hadapannya adalah putra sulungnya."Apa yang kamu lakukan di sini, Arka? Bukankah seharusnya kamu masih di Amerika?"Arka hanya mengangkat bahu dengan sikap acuh yang menyakitkan. Matanya yang biasanya hangat kini dingin, menyiratkan konflik batin yang telah lama ia pe
"Good Morning, Everybody!" Suara Arka memecah keheningan pagi, mengejutkan semua orang yang sudah duduk di meja makan. Pemuda itu melangkah santai, seolah kejadian semalam hanyalah mimpi buruk yang telah terlupakan. Rambutnya masih acak-acakan, dan kantung matanya menandakan malam yang dilewati tanpa tidur nyenyak. Namun, meski begitu, senyum miring tetap terpampang di wajahnya, seperti campuran antara kelelahan dan sikap menantang.Bara, yang sedang menyesap kopinya, nyaris tersedak. Matanya melebar, campuran antara terkejut dan amarah yang belum reda. Vera, yang sedang meletakkan piring di meja, menghentikan gerakannya, tangannya gemetar sedikit. Tasya memperlambat kunyahannya. Sedangkan Keira, yang duduk di sudut meja, hanya bisa menunduk, berusaha tidak menarik perhatian.Arka memandang sekeliling, matanya menyipit melihat meja yang hanya terisi empat set peralatan makan. "Enggak ada piring buatku? Memangnya aku bukan bagian dari keluarga ini lagi apa?!" Nada suaranya sinis, teta
Larut malam, di saat sebagian besar anggota keluarga Mahendrata telah terlelap, suasana hening di rumah megah itu terganggu oleh kehadiran Bara. Pria itu keluar dari ruang kerjanya, berniat sekadar membuat secangkir kopi untuk menghilangkan rasa penatnya. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok cantik Keira yang sedang duduk sendirian di ruang keluarga, memandang layar televisi yang menyala tanpa minat."Belum tidur, Kei?" tanya Bara, mendekati Keira dengan langkah ringan. Vera, istrinya, terlihat telah terlelap di kamar, memberi kesempatan bagi Bara untuk berani menghampiri dan menyapa Keira.Keira menggeleng sambil menunjukan senyum tipis dari bibir mungilnya. “Aku enggak bisa tidur, Om. Soalanya dari dalam perut aku kerasa kaya-kyak gerak terus. Kayaknya mereka ngidam pengen nonton film, soalnya waktu aku nonton, mereka langsung diem.”Sembari, Keira mengusap lembut perutnya yang semakin membesar seiring dengan usia kehamilannya. Melihat gerakan itu, Bara tak mam
Arka berdiri dengan tegak, seringai puas masih terus terpampang jelas di wajahnya. Matanya semakin berkilat penuh kemenangan saat melihat emosi yang kian bergejolak di wajah Papanya. Ia tahu bahwa ia telah berhasil memancing amarah Bara hingga ke titik didihnya. Bahkan, ia bisa melihat dengan jelas keinginan besar dalam diri Papanya untuk melayangkan sebuah tamparan atau pukulan ke wajahnya.Namun, entah apa yang menahan Papanya untuk segera bereaksi. Papanya ia tampak masih mampu mengendalikan emosinya, meskipun terlihat jelas bahwa Papanya itu sedang berjuang keras melawannya. Melihat hal ini, Arka merasa semakin tertantang untuk meruntuhkan pertahanan terakhir Papanya."Lihat, kan? Aku udah mulai membuat ulah di rumah ini,” ujar Arka dengan nada mengejek, suaranya memecah keheningan yang mencekam. Selamat menikmati kesenangan dariku, Pa! Karena masih banyak yang akan kulakukan untuk membuat hidup Papa lebih berwarna dengan tingakahky yang bisa bikin Papa sakit kepala'."Kata-kata d