Pelukan hangat Kaisar belakangan ini membuat Almeera tidur nyenyak, dan bangun dengan wajah cerah. Almeera terbangun lebih dulu, lalu memandangi wajah Kaisar yang nampak lucu saat tertidur. Ia pun tersenyum, merasa bersyukur atas momen-momen kebahagiaan sederhana seperti ini.“Hubby, bangun,” Almeera berbisik sambil menggoyang-goyangkan bahu suaminya. Kaisar membuka matanya perlahan, senyum tipis menghiasi bibirnya saat melihat Almeera. “Pagi, Sayang,” jawabnya dengan suara serak khas bangun tidur. Tangan Kaisar menarik Almeera dalam dekapannya sampai gadis itu tersentak kaget.“Pagi, Hubby,” jawab Almeera mengusap lembut pipi Kaisar. “Aku ingin bicara sesuatu.”Kaisar tersenyum dengan mata terpejam. “Mau apa, Sayang? Apa kamu ingin menggodaku?” lirih Kaisar. “Bukan, hari ini tolong izinkan aku bekerja, ya? Aku bosan sekali di apartemen tanpa melakukan apa pun. Jika di kantor, aku bisa menggambar sesuatu.”Kaisar menghela napas, matanya menatap Almeera dengan lembut. Jelas terlihat
Setelah mendengar keributan di ruang tengah, Bi Yuli menyuruh dua orang pelayan untuk membersihkan pecahan vas bunga. Sementara dia sendiri naik ke lantai dua untuk melihat kondisi Almeera di dalam kamar. Ketika membuka pintu, ia terkejut melihat Almeera sedang memindahkan pakaiannya ke dalam tas. Padahal, ada luka di bagian lengannya yang mengeluarkan darah. Sedikit was-was, Bi Yuli mendekati Almeera dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi.“Nyonya, kenapa Anda mengemasi baju? Anda mau pergi ke mana?” Almeera menghentikan kegiatannya sejenak dan menoleh ke arah Bi Yuli. Terlihat matanya masih memerah akibat terlalu banyak mengeluarkan air mata.“Saya akan pindah ke apartemen, Bi,” lirih Almeera. “Lalu bagaimana dengan Tuan Muda? Apa Tuan Muda mengizinkan?” lanjut kepala pelayan itu.Almeera menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Justru ini kemauan suami saya, Bi. Kami akan tinggal sementara di apartemen.”Mendengar penjelasan Almeera, Bi Yuli mengangguk kecil. Tanpa bertanya
“Iya, cuma luka kecil,” jawab Almeera segera menyembunyikan lengannya di belakang punggung.Sedikit curiga dengan bahasa tubuh Almeera, Kaisar menarik kembali lengan istrinya itu. “Coba kulihat dulu, Sayang.”Dengan seksama, Kaisar memperhatikan plester yang ukurannya cukup besar di lengan sang istri. Ia yakin luka yang ada di balik plester itu tidaklah kecil. Merasa penasaran, Kaisar mencoba bertanya lagi. “Kegiatan apa yang kamu lakukan sepanjang hari ini? Kamu tidak memasak, kan?” tanya Kaisar.“Aku tidak memasak, Hubby. Kamu bilang kita akan makan malam di luar setelah menonton film,” jawab Almeera.“Lalu, kenapa kamu sampai terluka begini?” Kaisar bertanya dengan nada curiga. Entah mengapa ia merasa ada yang disembunyikan oleh Almeera darinya.Almeera terdiam sejenak, bingung apakah ia harus berkata jujur atau berbohong. Takutnya, bila ia berkata jujur maka Kaisar akan marah kepada Karenina. Sejahat apa pun wanita itu, tetaplah dia adalah istri pertama Kaisar. Lagi pula, Karenin
Usai menonton film, Kaisar menggandeng tangan Almeera menuju ke lift. Area restoran ada di lantai bawah bioskop, sehingga Kaisar bermaksud untuk mengajak Almeera ke sana. Di antara pilihan restoran yang berjajar di lantai tersebut, Kaisar memilih restoran chinese food yang bagian depannya dihiasi dengan lampion warna-warni. Cahaya temaram dari lampion yang menghiasi restoran tersebut menambah kesan romantis. Restoran itu tidak terlalu besar, tetapi suasananya terasa hangat dan nyaman. Dengan dominasi warna coklat dan krem, tempat ini menjadi pilihan yang tepat untuk menikmati makan malam berdua.Mereka duduk berhadapan di meja restoran yang terletak di sudut, agar tidak terganggu oleh pengunjung yang lain. Di atas meja, ada lilin berwarna merah yang terletak di dalam gelas kaca. Begitu mereka duduk, seorang pelayan berseragam putih datang menghampiri. Ia memberikan buku menu kepada Kaisar dan Almeera, sekaligus menyalakan lilin tersebut. Setelah membolak-balik buku menu, Kaisar dan
Mendengar Almeera menyebutkan nama Karenina, kecurigaan Kaisar kian bertambah. Sekarang, ia sangat yakin bahwa luka yang dialami Almeera ada kaitannya dengan Karenina. Bila tidak, mana mungkin istrinya itu sampai mengigau seperti orang ketakutan. Tak tega dengan kondisi Almeera, Kaisar melepas sepatu dan jam tangannya kemudian naik ke atas tempat tidur. Seperti sebelumnya, ia akan berusaha menenangkan Almeera dengan cara memeluk sang istri. Kaisar pun berbaring di samping Almeera dan menariknya ke dalam pelukan. Benar saja. Setelah beberapa menit berlalu, Almeera berhenti mengigau. Bahkan, saking pulasnya tertidur, suara napas gadis itu mirip dengan dengkuran kecil.Merasa lega melihat Almeera sudah tenang, Kaisar mendaratkan kecupan ringan di kening istrinya itu. “Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Aku ada di sini, tidak akan ada yang berani menyakitimu. Besok, aku akan mencari tahu sendiri apa yang sudah dilakukan Nina,” gumam Kaisar.Sekitar pukul enam pagi, Kaisar terbangun lebih du
Wajah Karenina berubah seketika. Tangis yang sejak tadi tertahan, kini meledak keluar. Ucapan Kaisar bagaikan suara guntur di pagi hari yang meluluh-lantakkan dunianya. "Jangan lakukan itu, Kaisar. Kamu tidak akan tega meninggalkan aku seperti ini!""Aku tidak akan tega? Lalu, kenapa kamu tega menjalin hubungan gelap dengan sahabatku? Ini semua tentang keadilan, bukan soal tega atau tidak,” bentak Kaisar balas menyerang.Sambil berlinang air mata, Karenina menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak, itu tidak benar! Kamu salah paham, aku dan Rico hanya berteman.”Apa pun yang dikatakan Karenina, Kaisar tak mau ambil peduli. Ia sudah tahu bahwa Karenina suka berdusta dan akan terus menyangkal perbuatannya. Lebih baik, ia tetap fokus pada kekejaman yang dilakukan wanita itu terhadap Almeera.“Dengan sengaja, kamu telah melukai wanita yang aku cintai. Aku memberimu kesempatan untuk memperbaiki kesalahanmu, tapi kamu sendiri yang menolaknya,” tegas Kaisar tak ingin dibantah. Karenina menan
Berusaha meredam emosinya yang bergejolak, Karenina menekan nomor ponsel Jerico. Telepon pun berdering beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara Jerico di ujung sana. Suara yang sangat dirindukan olehnya saat ini. "Nina? Ada apa?" Suara Jerico terdengar cemas, mungkin karena tidak biasanya Karenina meneleponnya pada jam seperti ini."Kaisar... Kaisar mau menceraikan aku, Sayang," Karenina berbicara cepat, suaranya masih bergetar karena menahan rasa marah yang menggelegak. "Dia bilang kalau aku tidak minta maaf pada Almeera, dia akan menceraikan aku. Aku tidak tahu harus bagaimana, Rico. Aku tidak bisa kehilangan semuanya."Terdengar jeda di ujung telepon, seolah-olah Jerico sedang memproses apa yang baru saja didengarnya. "Minta maaf? Memangnya, kamu melakukan kesalahan apa terhadap istri muda Kaisar itu?” tanya Jerico penasaran.Karenina bungkam untuk sesaat, mencoba mengelak dari pertanyaan yang dilemparkan Jerico. Namun, ia tahu bahwa lelaki itu tidak akan puas sebelum menda
Tanpa ragu, Hana meraih ponselnya lagi dan mulai mencari nomor Tuan Barata. Meski lelaki tua itu sedang berobat ke luar negeri, pastilah dia mudah dihubungi. Buktinya, tempo hari Tuan Barata pernah menelepon Almeera dan berbicara panjang lebar.Hana tahu, meminta bantuan dari sang ayah mertua adalah satu-satunya cara untuk menghentikan niat Kaisar. Walaupun mungkin mereka akan beradu mulut, ia tidak peduli. Yang terpenting sang keponakan akan selamat dari kehancuran. Selama dia masih hidup, tidak boleh ada perceraian antara Kaisar dan Karenina. Sambil menunggu telepon tersambung, Hana mencoba menenangkan diri. Ini bukan perkara mudah untuk menghadapi Tuan Barata, tetapi dia harus melakukannya. Demi Karenina, dia harus berusaha sekuat tenaga untuk melunakkan hati pria tua itu. Setelah beberapa saat, terdengar suara berat di ujung telepon. "Halo, Hana. Kenapa kamu meneleponku? Apa kamu bertengkar dengan Almeera?" Suara Tuan Barata terdengar lemah, tetapi masih menunjukkan wibawa yang