Wati sibuk mengatur para pelayan lainnya untuk memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Pikirannya, bagaimanapun, tidak sepenuhnya terfokus pada pekerjaannya. Pertemuan dengan Almeera di supermarket beberapa hari yang lalu terus berputar di benaknya. Wajah Almeera yang mirip dengan Tuan Marco membuat Wati merasa ada sesuatu yang belum tersingkap.Di tengah kesibukan itu, suara mobil memasuki halaman depan rumah. Diana, istri Marco Biantara, baru saja pulang dari rumah sakit. Sebagai seorang dokter yang berpengalaman, Diana telah menghabiskan hari yang melelahkan dengan menangani berbagai pasien. Diana pulang ke rumah dengan langkah lambat dan lelah. Gerakannya terasa berat, seolah seluruh beban hari itu terakumulasi dalam tubuhnya. Setelah seharian berada di rumah sakit, wajahnya tampak kusam dan lesu. Keringat di dahi dan kerutan di sekitar mata menandakan betapa beratnya hari yang baru saja dilaluinya.Wanita itu duduk di kursi yang ada di ruang tamu dengan desah napas panjang
Pelukan hangat Kaisar belakangan ini membuat Almeera tidur nyenyak, dan bangun dengan wajah cerah. Almeera terbangun lebih dulu, lalu memandangi wajah Kaisar yang nampak lucu saat tertidur. Ia pun tersenyum, merasa bersyukur atas momen-momen kebahagiaan sederhana seperti ini.“Hubby, bangun,” Almeera berbisik sambil menggoyang-goyangkan bahu suaminya. Kaisar membuka matanya perlahan, senyum tipis menghiasi bibirnya saat melihat Almeera. “Pagi, Sayang,” jawabnya dengan suara serak khas bangun tidur. Tangan Kaisar menarik Almeera dalam dekapannya sampai gadis itu tersentak kaget.“Pagi, Hubby,” jawab Almeera mengusap lembut pipi Kaisar. “Aku ingin bicara sesuatu.”Kaisar tersenyum dengan mata terpejam. “Mau apa, Sayang? Apa kamu ingin menggodaku?” lirih Kaisar. “Bukan, hari ini tolong izinkan aku bekerja, ya? Aku bosan sekali di apartemen tanpa melakukan apa pun. Jika di kantor, aku bisa menggambar sesuatu.”Kaisar menghela napas, matanya menatap Almeera dengan lembut. Jelas terlihat
Setelah mendengar keributan di ruang tengah, Bi Yuli menyuruh dua orang pelayan untuk membersihkan pecahan vas bunga. Sementara dia sendiri naik ke lantai dua untuk melihat kondisi Almeera di dalam kamar. Ketika membuka pintu, ia terkejut melihat Almeera sedang memindahkan pakaiannya ke dalam tas. Padahal, ada luka di bagian lengannya yang mengeluarkan darah. Sedikit was-was, Bi Yuli mendekati Almeera dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi.“Nyonya, kenapa Anda mengemasi baju? Anda mau pergi ke mana?” Almeera menghentikan kegiatannya sejenak dan menoleh ke arah Bi Yuli. Terlihat matanya masih memerah akibat terlalu banyak mengeluarkan air mata.“Saya akan pindah ke apartemen, Bi,” lirih Almeera. “Lalu bagaimana dengan Tuan Muda? Apa Tuan Muda mengizinkan?” lanjut kepala pelayan itu.Almeera menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Justru ini kemauan suami saya, Bi. Kami akan tinggal sementara di apartemen.”Mendengar penjelasan Almeera, Bi Yuli mengangguk kecil. Tanpa bertanya
“Iya, cuma luka kecil,” jawab Almeera segera menyembunyikan lengannya di belakang punggung.Sedikit curiga dengan bahasa tubuh Almeera, Kaisar menarik kembali lengan istrinya itu. “Coba kulihat dulu, Sayang.”Dengan seksama, Kaisar memperhatikan plester yang ukurannya cukup besar di lengan sang istri. Ia yakin luka yang ada di balik plester itu tidaklah kecil. Merasa penasaran, Kaisar mencoba bertanya lagi. “Kegiatan apa yang kamu lakukan sepanjang hari ini? Kamu tidak memasak, kan?” tanya Kaisar.“Aku tidak memasak, Hubby. Kamu bilang kita akan makan malam di luar setelah menonton film,” jawab Almeera.“Lalu, kenapa kamu sampai terluka begini?” Kaisar bertanya dengan nada curiga. Entah mengapa ia merasa ada yang disembunyikan oleh Almeera darinya.Almeera terdiam sejenak, bingung apakah ia harus berkata jujur atau berbohong. Takutnya, bila ia berkata jujur maka Kaisar akan marah kepada Karenina. Sejahat apa pun wanita itu, tetaplah dia adalah istri pertama Kaisar. Lagi pula, Karenin
Usai menonton film, Kaisar menggandeng tangan Almeera menuju ke lift. Area restoran ada di lantai bawah bioskop, sehingga Kaisar bermaksud untuk mengajak Almeera ke sana. Di antara pilihan restoran yang berjajar di lantai tersebut, Kaisar memilih restoran chinese food yang bagian depannya dihiasi dengan lampion warna-warni. Cahaya temaram dari lampion yang menghiasi restoran tersebut menambah kesan romantis. Restoran itu tidak terlalu besar, tetapi suasananya terasa hangat dan nyaman. Dengan dominasi warna coklat dan krem, tempat ini menjadi pilihan yang tepat untuk menikmati makan malam berdua.Mereka duduk berhadapan di meja restoran yang terletak di sudut, agar tidak terganggu oleh pengunjung yang lain. Di atas meja, ada lilin berwarna merah yang terletak di dalam gelas kaca. Begitu mereka duduk, seorang pelayan berseragam putih datang menghampiri. Ia memberikan buku menu kepada Kaisar dan Almeera, sekaligus menyalakan lilin tersebut. Setelah membolak-balik buku menu, Kaisar dan
Mendengar Almeera menyebutkan nama Karenina, kecurigaan Kaisar kian bertambah. Sekarang, ia sangat yakin bahwa luka yang dialami Almeera ada kaitannya dengan Karenina. Bila tidak, mana mungkin istrinya itu sampai mengigau seperti orang ketakutan. Tak tega dengan kondisi Almeera, Kaisar melepas sepatu dan jam tangannya kemudian naik ke atas tempat tidur. Seperti sebelumnya, ia akan berusaha menenangkan Almeera dengan cara memeluk sang istri. Kaisar pun berbaring di samping Almeera dan menariknya ke dalam pelukan. Benar saja. Setelah beberapa menit berlalu, Almeera berhenti mengigau. Bahkan, saking pulasnya tertidur, suara napas gadis itu mirip dengan dengkuran kecil.Merasa lega melihat Almeera sudah tenang, Kaisar mendaratkan kecupan ringan di kening istrinya itu. “Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Aku ada di sini, tidak akan ada yang berani menyakitimu. Besok, aku akan mencari tahu sendiri apa yang sudah dilakukan Nina,” gumam Kaisar.Sekitar pukul enam pagi, Kaisar terbangun lebih du
Wajah Karenina berubah seketika. Tangis yang sejak tadi tertahan, kini meledak keluar. Ucapan Kaisar bagaikan suara guntur di pagi hari yang meluluh-lantakkan dunianya. "Jangan lakukan itu, Kaisar. Kamu tidak akan tega meninggalkan aku seperti ini!""Aku tidak akan tega? Lalu, kenapa kamu tega menjalin hubungan gelap dengan sahabatku? Ini semua tentang keadilan, bukan soal tega atau tidak,” bentak Kaisar balas menyerang.Sambil berlinang air mata, Karenina menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak, itu tidak benar! Kamu salah paham, aku dan Rico hanya berteman.”Apa pun yang dikatakan Karenina, Kaisar tak mau ambil peduli. Ia sudah tahu bahwa Karenina suka berdusta dan akan terus menyangkal perbuatannya. Lebih baik, ia tetap fokus pada kekejaman yang dilakukan wanita itu terhadap Almeera.“Dengan sengaja, kamu telah melukai wanita yang aku cintai. Aku memberimu kesempatan untuk memperbaiki kesalahanmu, tapi kamu sendiri yang menolaknya,” tegas Kaisar tak ingin dibantah. Karenina menan
Berusaha meredam emosinya yang bergejolak, Karenina menekan nomor ponsel Jerico. Telepon pun berdering beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara Jerico di ujung sana. Suara yang sangat dirindukan olehnya saat ini. "Nina? Ada apa?" Suara Jerico terdengar cemas, mungkin karena tidak biasanya Karenina meneleponnya pada jam seperti ini."Kaisar... Kaisar mau menceraikan aku, Sayang," Karenina berbicara cepat, suaranya masih bergetar karena menahan rasa marah yang menggelegak. "Dia bilang kalau aku tidak minta maaf pada Almeera, dia akan menceraikan aku. Aku tidak tahu harus bagaimana, Rico. Aku tidak bisa kehilangan semuanya."Terdengar jeda di ujung telepon, seolah-olah Jerico sedang memproses apa yang baru saja didengarnya. "Minta maaf? Memangnya, kamu melakukan kesalahan apa terhadap istri muda Kaisar itu?” tanya Jerico penasaran.Karenina bungkam untuk sesaat, mencoba mengelak dari pertanyaan yang dilemparkan Jerico. Namun, ia tahu bahwa lelaki itu tidak akan puas sebelum menda
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe