Usai menonton film, Kaisar menggandeng tangan Almeera menuju ke lift. Area restoran ada di lantai bawah bioskop, sehingga Kaisar bermaksud untuk mengajak Almeera ke sana. Di antara pilihan restoran yang berjajar di lantai tersebut, Kaisar memilih restoran chinese food yang bagian depannya dihiasi dengan lampion warna-warni. Cahaya temaram dari lampion yang menghiasi restoran tersebut menambah kesan romantis. Restoran itu tidak terlalu besar, tetapi suasananya terasa hangat dan nyaman. Dengan dominasi warna coklat dan krem, tempat ini menjadi pilihan yang tepat untuk menikmati makan malam berdua.Mereka duduk berhadapan di meja restoran yang terletak di sudut, agar tidak terganggu oleh pengunjung yang lain. Di atas meja, ada lilin berwarna merah yang terletak di dalam gelas kaca. Begitu mereka duduk, seorang pelayan berseragam putih datang menghampiri. Ia memberikan buku menu kepada Kaisar dan Almeera, sekaligus menyalakan lilin tersebut. Setelah membolak-balik buku menu, Kaisar dan
Mendengar Almeera menyebutkan nama Karenina, kecurigaan Kaisar kian bertambah. Sekarang, ia sangat yakin bahwa luka yang dialami Almeera ada kaitannya dengan Karenina. Bila tidak, mana mungkin istrinya itu sampai mengigau seperti orang ketakutan. Tak tega dengan kondisi Almeera, Kaisar melepas sepatu dan jam tangannya kemudian naik ke atas tempat tidur. Seperti sebelumnya, ia akan berusaha menenangkan Almeera dengan cara memeluk sang istri. Kaisar pun berbaring di samping Almeera dan menariknya ke dalam pelukan. Benar saja. Setelah beberapa menit berlalu, Almeera berhenti mengigau. Bahkan, saking pulasnya tertidur, suara napas gadis itu mirip dengan dengkuran kecil.Merasa lega melihat Almeera sudah tenang, Kaisar mendaratkan kecupan ringan di kening istrinya itu. “Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Aku ada di sini, tidak akan ada yang berani menyakitimu. Besok, aku akan mencari tahu sendiri apa yang sudah dilakukan Nina,” gumam Kaisar.Sekitar pukul enam pagi, Kaisar terbangun lebih du
Wajah Karenina berubah seketika. Tangis yang sejak tadi tertahan, kini meledak keluar. Ucapan Kaisar bagaikan suara guntur di pagi hari yang meluluh-lantakkan dunianya. "Jangan lakukan itu, Kaisar. Kamu tidak akan tega meninggalkan aku seperti ini!""Aku tidak akan tega? Lalu, kenapa kamu tega menjalin hubungan gelap dengan sahabatku? Ini semua tentang keadilan, bukan soal tega atau tidak,” bentak Kaisar balas menyerang.Sambil berlinang air mata, Karenina menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak, itu tidak benar! Kamu salah paham, aku dan Rico hanya berteman.”Apa pun yang dikatakan Karenina, Kaisar tak mau ambil peduli. Ia sudah tahu bahwa Karenina suka berdusta dan akan terus menyangkal perbuatannya. Lebih baik, ia tetap fokus pada kekejaman yang dilakukan wanita itu terhadap Almeera.“Dengan sengaja, kamu telah melukai wanita yang aku cintai. Aku memberimu kesempatan untuk memperbaiki kesalahanmu, tapi kamu sendiri yang menolaknya,” tegas Kaisar tak ingin dibantah. Karenina menan
Berusaha meredam emosinya yang bergejolak, Karenina menekan nomor ponsel Jerico. Telepon pun berdering beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara Jerico di ujung sana. Suara yang sangat dirindukan olehnya saat ini. "Nina? Ada apa?" Suara Jerico terdengar cemas, mungkin karena tidak biasanya Karenina meneleponnya pada jam seperti ini."Kaisar... Kaisar mau menceraikan aku, Sayang," Karenina berbicara cepat, suaranya masih bergetar karena menahan rasa marah yang menggelegak. "Dia bilang kalau aku tidak minta maaf pada Almeera, dia akan menceraikan aku. Aku tidak tahu harus bagaimana, Rico. Aku tidak bisa kehilangan semuanya."Terdengar jeda di ujung telepon, seolah-olah Jerico sedang memproses apa yang baru saja didengarnya. "Minta maaf? Memangnya, kamu melakukan kesalahan apa terhadap istri muda Kaisar itu?” tanya Jerico penasaran.Karenina bungkam untuk sesaat, mencoba mengelak dari pertanyaan yang dilemparkan Jerico. Namun, ia tahu bahwa lelaki itu tidak akan puas sebelum menda
Tanpa ragu, Hana meraih ponselnya lagi dan mulai mencari nomor Tuan Barata. Meski lelaki tua itu sedang berobat ke luar negeri, pastilah dia mudah dihubungi. Buktinya, tempo hari Tuan Barata pernah menelepon Almeera dan berbicara panjang lebar.Hana tahu, meminta bantuan dari sang ayah mertua adalah satu-satunya cara untuk menghentikan niat Kaisar. Walaupun mungkin mereka akan beradu mulut, ia tidak peduli. Yang terpenting sang keponakan akan selamat dari kehancuran. Selama dia masih hidup, tidak boleh ada perceraian antara Kaisar dan Karenina. Sambil menunggu telepon tersambung, Hana mencoba menenangkan diri. Ini bukan perkara mudah untuk menghadapi Tuan Barata, tetapi dia harus melakukannya. Demi Karenina, dia harus berusaha sekuat tenaga untuk melunakkan hati pria tua itu. Setelah beberapa saat, terdengar suara berat di ujung telepon. "Halo, Hana. Kenapa kamu meneleponku? Apa kamu bertengkar dengan Almeera?" Suara Tuan Barata terdengar lemah, tetapi masih menunjukkan wibawa yang
Di ruang kantornya, Jerico sedang duduk menghadap ke layar laptop. Ia berhenti sejenak untuk memandangi tumpukan dokumen di atas mejanya dengan tatapan kosong. Sebentar lagi, dia akan menandatangani kerja sama dengan investor, yang akan membawa keuntungan besar baginya. Namun, setelah ia menerima telepon dari Karenina, hatinya terus dilanda kebimbangan. Bukan hanya memikirkan permintaan Karenina, pria itu juga mencemaskan masa depannya sendiri. Jujur, ia tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam rencana balas dendam Karenina. Mendengar notifikasi pesan masuk, perasaan Jerico semakin berkecamuk. Dengan cepat, ia meraih ponsel itu dan melihat pesan dari Karenina. Membaca isi pesan tersebut, membuat rongga dadanya terasa sesak. Bagaimana tidak. Nampaknya Karenina tidak akan menyerah, sebelum ia bersedia melakukan tugas kotor itu.Dengan tangan sedikit gemetar, Jerico mengamati foto-foto Almeera. Mulai dari saat gadis itu masih memakai kacamata, sampai ia terlihat cantik memakai gaun pest
Melihat Almeera yang masih tertegun mendengar ajakannya, Wati pun memberi penjelasan. “Bu Diana atau biasa saya panggil Nyonya Diana, adalah istri dari Tuan Biantara. Saya mengatakan bahwa Mbak Almeera mirip dengan Tuan Biantara, karena itu Beliau ingin bertemu.”Almeera tersentak sejenak. Entah mengapa, sejak mereka bertemu pertama kali, Wati selalu saja menyebut dirinya mirip dengan Tuan Biantara. Bahkan, sampai menceritakan hal itu kepada istri sang majikan. “Saya kemari diantar oleh Pak Barjo, sopir Tuan Biantara. Nanti Pak Barjo juga akan mengantar Mbak Almeera pulang ke apartemen,” imbuh Wati berusaha meyakinkan Almeera.Tawaran dari Wati memang cukup menggoda, apalagi Almeera menjadi penasaran apakah ia benar-benar mirip dengan Marco Biantara. Namun, mengingat pengalaman pahitnya dengan Tejo, sekarang ia tidak boleh mudah percaya dengan perkataan orang asing. Selain itu, ia juga ingin memasak makanan spesial untuk Kaisar. Pada akhirnya, Almeera menatap Wati sembari tersenyum
Kaisar melangkah cepat, keluar dari outlet perhiasan terakhir yang ia kunjungi bersama dengan Akbar. Senja mulai menjelang, dan lampu-lampu jalan sudah menyala satu per satu, memancarkan kilau yang menyelimuti jalanan ibu kota. Seharian berkeliling memeriksa beberapa outlet, Kaisar merasa ingin mengistirahatkan tubuhnya. Namun, lebih dari itu, hatinya dipenuhi kerinduan untuk segera kembali ke apartemen, tempat sang istri, Almeera, menantinya.Pria itu melirik arlojinya sejenak, lalu menoleh kepada Akbar. “Jangan lupa setelah ini temui Mr. Tanawat dan asistennya di hotel. Kita harus menyimpan bukti transfer uang yang diminta oleh Jerico,” ucap Kaisar.“Baik, Tuan, saya akan langsung naik taksi ke hotel,” jawab Akbar dengan patuh. Sesudah memberikan beberapa instruksi kepada Akbar, Kaisar melambaikan tangan ke arah sopir pribadinya yang setia menunggu di tepi jalan. "Pak Wahyu, kita ke apartemen sekarang," ujarnya tegas, tak ingin membuang waktu.Pak Wahyu mengangguk dan langsung memb
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe