Kaisar melangkah cepat, keluar dari outlet perhiasan terakhir yang ia kunjungi bersama dengan Akbar. Senja mulai menjelang, dan lampu-lampu jalan sudah menyala satu per satu, memancarkan kilau yang menyelimuti jalanan ibu kota. Seharian berkeliling memeriksa beberapa outlet, Kaisar merasa ingin mengistirahatkan tubuhnya. Namun, lebih dari itu, hatinya dipenuhi kerinduan untuk segera kembali ke apartemen, tempat sang istri, Almeera, menantinya.Pria itu melirik arlojinya sejenak, lalu menoleh kepada Akbar. “Jangan lupa setelah ini temui Mr. Tanawat dan asistennya di hotel. Kita harus menyimpan bukti transfer uang yang diminta oleh Jerico,” ucap Kaisar.“Baik, Tuan, saya akan langsung naik taksi ke hotel,” jawab Akbar dengan patuh. Sesudah memberikan beberapa instruksi kepada Akbar, Kaisar melambaikan tangan ke arah sopir pribadinya yang setia menunggu di tepi jalan. "Pak Wahyu, kita ke apartemen sekarang," ujarnya tegas, tak ingin membuang waktu.Pak Wahyu mengangguk dan langsung memb
Menangkap ketegasan pada nada suara Kaisar, Almeera tahu bahwa suaminya itu bersungguh-sungguh memberinya sebuah peringatan. Bukan karena bermaksud buruk, melainkan hanya ingin melindungi dirinya. Pastilah Kaisar belum bisa melupakan peristiwa penculikan beberapa waktu lalu. “Aku mengerti, Hubby. Jangan khawatir,” lirih Almeera dengan tatapan sayu. Ia menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia mematuhi perintah dari sang suami. Raut wajah Kaisar melunak seketika. Dengan lembut, ia merebahkan kepala Almeera di lengannya yang dijadikan sebagai bantalan. Biarpun ada rasa cemas yang tersisa, Kaisar tak ingin memperpanjang masalah tersebut. Ia harus belajar untuk lebih mempercayai naluri sang istri. Suasana kembali hening sejenak, hanya suara hujan yang terdengar turun di luar sana. Almeera sedang memejamkan mata, meresapi rasa nyaman yang diberikan oleh Kaisar. Sementara Kaisar masih terdiam. Ada dorongan dari dalam dirinya untuk berterus terang kepada Almeera, mengenai keputusan pent
Jerico melangkah masuk ke apartemennya dengan senyum yang terpatri di wajah. Meski tubuhnya terasa lelah akibat seharian penuh mengikuti meeting, hatinya diliputi kegembiraan yang meluap-luap. Di sepanjang jalan, gemerlap lampu sudah menghiasi gedung-gedung dan tempat hiburan malam. Namun bagi Jerico, gemerlap itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kilauan ribuan dollar yang baru saja ia kantongi.Di dalam apartemennya yang mewah, Jerico menanggalkan jasnya, melemparnya sembarangan ke sofa, dan langsung menuju ke kamar mandi. Ia merasa perlu membersihkan diri dari sisa-sisa hari yang panjang. Membiarkan air hangat mengalir di kulitnya dan melunturkan kelelahan yang tersisa. Ketika air mengalir deras di sekujur tubuhnya, pikiran Jerico tetap dipenuhi satu hal—kesuksesan yang ia raih hari ini.Ia baru saja mendapatkan uang dalam jumlah besar, uang haram dari hasil korupsi proyek pembukaan kantor cabang baru dengan Mr. Tanawat. Ini adalah hiburan terbesar setelah dia mendapat banyak
Cahaya matahari yang lembut merayap masuk melalui celah tirai, menyentuh wajah Kaisar yang masih setengah terlelap. Ia terbangun dengan perasaan nyaman, meresapi hadirnya pagi yang begitu menenangkan. Namun, pria itu merasakan ada sesuatu yang aneh— kasur di sebelahnya dalam keadaan kosong.Kaisar meraba tempat tidur dengan mata setengah terbuka, mencari keberadaan Almeera. Sekarang baru pukul enam pagi. Biasanya sang istri masih terlelap di sisinya, apalagi semalam mereka sempat memadu kasih. Tak disangka, Almeera malah terbangun lebih dahulu daripada dirinya. Dengan perlahan, Kaisar bangkit dari tempat tidur dan mengenakan piyama yang tergeletak di sofa dekat ranjang. Terdorong oleh rasa penasaran yang menghampirinya, Kaisar buru-buru keluar dari kamar. Ketika ia melangkah ke dapur, aroma wangi dari nasi goreng yang baru saja dimasak menyapa hidungnya. Kaisar tersenyum, melihat Almeera yang sedang sibuk di depan kompor. Wanita itu tampak cantik meski masih mengenakan gaun tidur,
Berusaha tak lagi memikirkan percakapannya dengan Reval, Almeera mencoba untuk menonton televisi sambil membaca buku tentang desain. Namun, ia hanya bisa bertahan satu jam dengan aktivitas tersebut. Merasa jenuh, Almeera memutuskan untuk kembali ke kamar.Gadis itu duduk di lantai kamar tidur, dikelilingi oleh pakaian yang telah ia pilih dengan cermat. Meski ia dan Kaisar baru akan bertolak ke kampung minggu depan, tak ada salahnya ia mulai berkemas dari sekarang. Ia ingin memastikan barang bawaannya siap, tak ada yang terlupa. Terlebih, ini adalah pertama kalinya Kaisar akan bertemu dengan neneknya. Ada semacam keinginan kuat di dalam diri Almeera untuk membuat semuanya berjalan sempurna.Jari Almeera dengan lembut merapikan lipatan gaun putih kesayangannya, sebelum memasukkannya ke dalam koper yang terbuka. Kemudian, ia melipat kemeja dan celana panjang Kaisar dengan teliti, memastikan semua tersusun rapi. Aroma bunga dari pewangi pakaian yang lembut tercium samar, memberikan rasa n
Almeera pun menelan saliva, perasaan canggung mulai menguasainya. Pikirannya sedang berputar dengan berbagai kemungkinan. Meskipun merasa tak nyaman dengan situasi ini, ia mencoba untuk tetap tenang.“Aku harus mempertemukan kamu dengan dia … harus,” lirih Nyonya Diana dengan suara tersendat. "Saya tidak mengerti maksud Anda," Almeera memandang Nyonya Diana dengan tatapan penuh pertanyaan. Ia merasa bingung dengan arah percakapan ini. “Mempertemukan saya dengan siapa, Nyonya?”Perempuan paruh baya itu menghela napas, seolah mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk melanjutkan. Secara refleks, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Almeera.“Seseorang yang sangat berarti bagiku,” jawab Nyonya Diana dengan tatapan yang penuh haru. "Almeera, aku ingin bertanya sesuatu padamu. Mungkin ini terdengar agak pribadi, tapi penting,” lanjut Nyonya Diana berusaha menguasai diri. "Tentu, Nyonya. Apa yang ingin Anda tanyakan?" balas Almeera mengerutkan dahi.Nyonya Diana mencondongkan
Hana menaiki lift, menuju lantai paling atas di gedung perkantoran PT. Tunjung Biru, di mana ruangan Kaisar berada. Hak sepatunya mengeluarkan bunyi ketukan yang ritmis di lantai marmer yang mengilap. Sebagai CEO, Kaisar memang memiliki ruangan terbesar dan paling mewah di gedung itu. Ketika tiba di lantai sepuluh, Hana keluar dari lift dan bergegas menuju ke ruangan Kaisar. Matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Sebelum ia dapat membuka pintu, Akbar -- asisten pribadi Kaisar --- muncul seraya membungkukkan badan. “Selamat pagi, Nyonya Hana,” sapanya dengan hormat. Ia sangat mengenali semua anggota keluarga Syailendra.“Kaisar ada di dalam, kan? Aku ingin bertemu dengannya,” pungkas Hana dengan tatapan angkuh. Namun, Akbar segera bergeser ke pintu untuk menghalangi langkahnya. "Maaf, Nyonya Hana, Tuan Kaisar sedang berdiskusi dengan manajer marketing. Mohon Anda untuk menunggu dulu."Hana memutar bola matanya, kesal dengan interupsi yang dilakukan oleh Akbar. Namun, ia tah
Almeera masih duduk termenung di sofa. Pikirannya masih terngiang-ngiang oleh kata-kata yang diucapkan oleh Nyonya Diana. Ada sesuatu yang berbeda dalam gerak-gerik dan ekspresi wanita paruh baya itu. Nyonya Diana, dengan sikapnya yang keibuan dan penuh perhatian, memberi petunjuk yang samar-samar. Namun, perempuan itu tidak benar-benar menjelaskan kebenaran apa yang harus diketahui mengenai dirinya dan Tuan Biantara. Nyonya Diana telah meninggalkan kesan mendalam, sekaligus rasa penasaran yang sulit untuk diabaikan begitu saja. Tanpa sadar, Almeera meremas-remas tangan di pangkuannya, mencoba mengusir rasa gelisah. Dia butuh udara segar saat ini. Akhirnya, gadis itu memutuskan untuk menghubungi Pak Wahyu agar mengantarnya ke mall. Mungkin, dengan berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, dia bisa mengalihkan pikirannya dari segala kerisauan yang melanda. Almeera meraih ponselnya dan menekan nomor Pak Wahyu. "Halo, Pak, bisa jemput saya di apartemen? Saya ingin ke mall sebentar," katan