Ketika Violetta tiba di depan gerbang mansion, rumah besar itu terlihat tenang. Hampir terlalu sunyi untuk kediaman keluarga Syailendra, yang seharusnya diisi dengan berbagai kesibukan.
Violetta keluar dari mobil, membetulkan rambutnya sejenak sebelum melangkah menuju pintu depan. Dengan tidak sabar, ia mengetuk pintu besar itu dan langsung direspons oleh Bi Yuli. Kepala pelayan itu membungkukkan setengah badan kala melihat kedatangan calon menantu Hana.
“Nona Violetta,” sapa Bi Yuli dengan sopan, meski wajahnya tampak sedikit kaku. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Aku ingin bertemu dengan Kak Nina, Bi,” kata Violetta tanpa basa-basi, menatap kepala pelayan itu tajam. “Ada masalah penting yang harus aku bicarakan dengannya.”
Bi Yuli tampak ragu, pandangannya sedikit gelisah. “Maaf, Nona. Nyonya Karenina sedang tidak ingin menerima tamu hari ini.”
Violetta mengerutkan kening, merasa tidak
Almeera hanya mengangguk dengan perasaan campur aduk. Kaisar selalu seperti itu—datang tanpa memberi tahu sebelumnya. Di satu sisi, dia senang Kaisar menyusulnya, tetapi ada bagian dari dirinya yang merasa gugup setiap kali sang suami hadir. Meski Kaisar sekarang sudah berubah hangat dan penuh pengertian, terkadang dia masih belum percaya diri.Sekitar dua puluh menit kemudian, pintu butik terbuka, dan Kaisar masuk dengan langkah percaya diri. Tak ayal, para pegawai butik langsung menatap kagum ke arah lelaki tampan itu. Penampilannya selalu rapi, dengan setelan formal yang menonjolkan statusnya sebagai seorang pengusaha sukses. Ketika matanya bertemu dengan Almeera, dia tersenyum hangat.“Sudah selesai, Sayang?” tanya Kaisar mendekati Almeera.Tanpa ragu, Almeera memperlihatkan gaun berwarna cokelat keemasan, beserta sepatu dan tas pilihannya. Kaisar pun mengamati dengan seksama sebelum memberikan komentar.“Gaun dan sepatumu terl
Jerico duduk di sudut sel penjara, punggungnya bersandar pada dinding yang berlumut. Rasa putus asa menggantung di dadanya, menekan semakin dalam hingga terasa nyeri di ulu hati. Derap langkah-langkah kaki bergema dari lorong, dan bunyi derak besi seolah tiada henti. Ya, suara berisik itu akan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.Entah mengapa nasibnya bisa semalang ini. Tak ada lagi harapan yang tersisa—segala yang pernah ia miliki, kebebasan, kekuasaan, bahkan hubungan rahasianya dengan Karenina, semuanya tampak menguap seperti asap tipis yang hilang di udara.Pintu jeruji penjara berderit saat terbuka, dan seorang sipir melangkah masuk, berdiri di depan selnya. “Ada yang menjengukmu,” katanya datar, lalu memberi isyarat kepada Jerico untuk bangkit.Jerico mendongak, matanya menyipit. Siapa yang mau repot-repot menjenguknya sekarang? Semua orang menjauh darinya setelah ia ditangkap atas tuduhan korupsi. Bahkan Karenina, wanita
Selepas berendam dengan sabun aromaterapi, Karenina kembali ke kamar dengan kursi roda. Hingga detik ini, Karenina memang belum mau menggerakkan kakinya sama sekali, demi menarik simpati dari orang-orang di sekitarnya.Ketika sampai di tempat tidur, perempuan itu teringat akan sederet persoalan yang tengah menghimpitnya. Proses perceraian dengan Kaisar, rencana melenyapkan Almeera, hingga penangkapan Jerico secara tiba-tiba. Namun, getaran ponsel memecah lamunan Karenina. Ia buru-buru menerima panggilan yang berasal dari sang pengacara.“Halo, Om Mario,” sapanya tanpa membuang waktu, berharap bahwa sang pengacara membawa kabar baik yang telah ia nantikan.Tanpa berbasa-basi, Tuan Mario langsung ke inti percakapan. “Nina, aku baru saja bertemu Jerico,” katanya dengan suara berat dan tenang.Karenina menggigit bibirnya, jantungnya mulai berdegup sedikit lebih cepat. Kabar yang berkaitan dengan Jerico selalu me
Meski jarum jam hampir menyentuh angka tujuh, Kaisar masih tenggelam dalam tidurnya yang lelap. Almeera, yang sudah terjaga sejak beberapa menit lalu, duduk di pinggir ranjang sambil menatap wajah suaminya yang terlelap damai. Dia tersenyum kecil, membelai rambut Kaisar yang sedikit acak-acakan."Hubby …," bisik Almeera lembut, mencoba membangunkan Kaisar dengan penuh kasih. Namun, tak ada tanda-tanda suaminya itu akan membuka mata.Dengan canda, Almeera mendekatkan wajahnya ke wajah Kaisar, lalu mendaratkan kecupan manis di bibir sang suami. Kaisar membuka sedikit matanya, tetapi bukannya bangun, ia malah menarik Almeera ke dalam pelukannya."Tidurlah bersamaku,” gumam Kaisar dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur. Dia memeluk Almeera erat, menenggelamkan wajahnya ke rambut istrinya yang harum.Almeera terkekeh kecil. "Kamu masih mengantuk, Hubby?"Kaisar hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, tetapi dia tak
Almeera memutuskan untuk menemui Nyonya Diana dan Tuan Marco, karena dia tidak punya alasan untuk menolak kedatangan mereka.“Terima kasih atas informasinya, Mbak. Tolong katakan pada mereka bahwa saya akan turun menemui mereka di lobby,” jawab Almeera, berusaha agar suaranya tetap terdengar tenang.Usai menutup telepon, Almeera masih berdiri di tempatnya, memikirkan apa yang mungkin akan terjadi. Dengan cepat, ia merapikan penampilannya di cermin, memastikan tidak ada yang salah dengan rambut atau pakaiannya. Almeera tidak ingin tampak gugup di depan mereka, biarpun kenyataannya hatinya bergemuruh.Almeera melangkah pelan ke arah lobi dengan perasaan yang bercampur aduk. Bayang-bayang wajah Tuan Marco dan Nyonya Diana tak henti-hentinya mengisi benaknya. Meskipun mereka bukan keluarganya, Almeera selalu merasa nyaman dan diterima di sekitar pasangan paruh baya itu. Namun, ada sesuatu yang selalu terasa asing baginya, sesuatu yang sulit ia arti
"Halo, Nyonya Almeera," suara Willy terdengar tegas di ujung sana. "Apakah Anda akan pergi berbelanja sekarang? Tuan Kaisar berpesan agar saya mengantar Anda.”Almeera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Saya sudah keluar dari apartemen, Willy. Tapi tidak perlu khawatir, karena saya ditemani oleh Nyonya Diana dan Tuan Marco."Di ujung telepon, ada jeda sejenak sebelum Willy akhirnya berkata, “Anda harus tetap berhati-hati. Tolong, bagikan lokasi terkini, supaya saya bisa memantau keberadaan Anda kapan saja.”"Baiklah, Willy, terima kasih."Almeera menutup telepon, lalu mengirimkan lokasinya kepada Willy sebelum memasukkan ponsel ke dalam tas. Nyonya Diana yang duduk di sampingnya memiringkan kepala, menatapnya penuh perhatian. "Ada apa, Almeera?" tanyanya lembut.Almeera menoleh, mencoba tersenyum tenang. "Oh, itu tadi Willy, kepala pengawal suami saya. Mulai sekarang, suami saya mengirim pengawal untuk menjaga saya bila
Melihat Almeera memegangi perutnya, Nyonya Diana mengerutkan kening tetapi segera tersenyum lembut. "Tidak apa-apa. Kalau kamu tidak suka ikan salmon, kita bisa pesan yang lain." Perempuan paruh baya itu segera memanggil pelayan lagi untuk memesan makanan. "Kamu ingin memesan sesuatu yang lain, Almeera?"Almeera menghela napas lega. "Terima kasih, Nyonya. Mungkin, saya akan memesan daging sapi."Ketika pelayan mencatat pesanannya, Almeera merasa perutnya bergejolak lagi. Sensasi tersebut semakin kuat, dan akhirnya ia terpaksa bangkit dari kursi, meninggalkan meja restoran dengan tergesa-gesa. Langkahnya ringan tetapi cepat menuju toilet, napasnya terasa semakin pendekKetika Almeera menghilang di balik pintu toilet, suasana di meja itu berubah seketika. Tatapan Tuan Marco yang tadinya hangat mendadak berubah dingin, bibirnya mengerut masam, seakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Nyonya Diana yang sudah lama mengenal suaminya, langsung menyadari perubahan itu."Kamu memikirkan
Almeera merapikan rambutnya yang terurai ke bahu, kala mobil Tuan Marco berhenti di depan lobi apartemen. Sembari menenteng paper bag yang berisi barang belanjaan, Almeera keluar dari mobil. Senyumnya tampak gugup, tetapi ia berusaha menyembunyikannya dengan berbasa-basi ringan.“Terima kasih sudah mengantar saya pulang. Terima kasih juga untuk kado pertunangan dan pudingnya,” tuturnya berpamitan dengan sopan.Nyonya Diana dan Tuan Marco hanya tersenyum tipis. “Selama kamu senang, kami pasti akan senang juga. Jangan lupa, makan yang banyak dan istirahat yang cukup,” kata Nyonya Diana mewakili sang suami. "Akan saya ingat, Nyonya," balas Almeera sambil tersenyum. Ia melambaikan tangan kepada pasangan itu, sebelum melangkah menuju lobi apartemen.Ketika lift membawanya ke unit apartemen milik Kaisar, pikiran Almeera mengulang obrolan di dalam mobil tadi. Terutama, saat Nyonya Diana menyebutkan bahwa gejala yang dialaminya mirip dengan wanita yang hamil muda. Sesampainya di apartemen,