Ketika Hizam sedang menghadapi tekanan dari ayahnya, Dania justru masih di balai kota.Di ruang khusus yang disediakan di balai kota, Levi, Dania, dan Yohan duduk di sofa mewah yang ditempatkan rapi di sekitar meja kaca besar. Sedangkan Sebastian ada di mobil.Mereka sedang menunggu Gubernur Ivory, Lukito Dharmawan yang akan segera datang untuk membahas detail mengenai proyek Smart City di pinggiran kota Ivory yang baru saja Nexus Holdings menangkan.Levi bersandar dengan lengan terlipat di dada, pikirannya masih melayang pada performa cemerlang Dania dalam presentasi yang baru saja dilakukan. Setelah sekian lama, dia baru menyadari bahwa putrinya bukan sekadar pewaris yang hidup di bawah bayangannya."Bagaimana bisa kamu begitu menguasai semua aspek real estate kita, Dania?" Levi bertanya, memecah keheningan. "Kamu tak pernah menunjukkan minat sebelumnya, tapi tadi... presentasimu sangat meyakinkan, seolah-olah kamu sudah bertahun-tahun menggeluti bidang ini."Dania tersenyum samar,
Di tempat lain, Hizam masih menundukkan kepala mendengarkan omelan ayahnya. “Huh! Kamu benar-benar mengecewakan, Zam!”“Maaf, Pa,” jawab Hizam akhirnya, suaranya bergetar sedikit. “Aku nggak mengira dia akan mempersiapkan diri sebaik itu.”“Dan sekali lagi Papa katakan bahwa kamu bodoh melepaskan istri sepertinya!” Arvan meledak dengan suara yang lebih keras. “Leona mungkin cantik dan pintar di atas kertas, tapi lihatlah Dania. Jika calon istrimu tidak bisa mengimbangi performa seperti itu, lebih baik kamu kembali ke Dania!”Sekali lagi Arvan mengulang ucapan itu, menimbulkan perasaan tak nyaman di hati Hizam.Hizam menggigit bibirnya, tidak tahu harus mengatakan apa. Dia tahu bahwa mengabaikan Dania adalah salah satu kesalahan terbesarnya, tapi sekarang semua itu sudah terlambat.Dania bukan lagi wanita yang dia kenal dulu—dia telah berkembang, melampaui segala batasan, bahkan lebih dari yang pernah dia bayangkan."Sudah cukup!" Arvan menutup diskusi dengan nada penuh otoritas. "Aku
Suara di ujung telepon itu terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Tentu saja. Kamu tau harga yang harus kamu bayar, kan?"Alina menarik napas dalam, sudah siap dengan konsekuensi dari tindakan nekat ini. “Iya, iya. Aku tau, jangan cerewet. Aku nggak peduli berapa pun harganya. Aku pingin dia lenyap. Secepatnya! Nggak lama.”Kemudian, Alina menggigit bibirnya dengan gugup bercampur gelisah. Dia sudah terdesak begini, tak ada jalan lain selain menghubungi orang ‘itu’."Aku mengerti," jawab suara itu. "Siapa targetnya?"Orang dengan nada suara berat itu bertanya. Dia sudah beberapa kali melakukan pekerjaan kotor untuk Alina.Alina menutup matanya sejenak, merasa darahnya mendidih karena amarah dan kebencian. "Dania."Suara di seberang sana terdiam sejenak, lalu terdengar lagi. "Dania? Yang dari Nexus Holdings?"Alina sedikit terkejut mendengar kalau orang itu mengetahui Dania.“Gimana kamu bisa tau kalau itu yang dari Nexus?” tanya Alina penuh tanda tanya di benak.“Hahaha… jangan buru-bu
“Jangan berlagak suci seolah baru pertama begini, hehehe!” Pria itu menghempaskan tubuh Alina ke ranjang besar.“Aku sedang malas, Bruno!” teriak Alina tertahan saat dia ditindih.Sayangnya, Bruno jenis pria yang tak suka mendengar penolakan.“Ayo, berontak saja, itu justru lebih menggairahkan!” geram Bruno sambil terkekeh mencemooh upaya Alina untuk bertahan dari sentuhannya.“Kita… kita bisnis pakai uang aja! Nggak perlu gini, Bruno stop!” Alina berusaha menepis tangan kasar Bruno yang mengurai kancing blazer mahalnya.Mendadak, Bruno tersenyum menyeringai dan bangun dari atas tubuh Alina, berdiri sambil melipat kedua tangan kokohnya di dada.“Kamu bisa pilih, aku robek pakaian mahal bermerekmu ini, atau kamu lepas sendiri dan aku akan lakukan misi darimu.” Bruno menunjukkan wajah mengejeknya.Alina meneguk salivanya sambil menatap sengit ke Bruno, tapi tak ada jalan lain agar pria itu menuruti kemauannya. Maka, dia mengalah dan mulai melucuti pakaiannya sendiri di depan tatapan lap
Alina yang masih menyisir rambutnya, langsung menoleh ke Bruno dan melemparkan sisir besar di tangan.“Jangan sebut itu lagi!” geram Alina dengan tatapan sengit.“Ayolah… memangnya kenapa kalau aku menanyakan tentang anak kita? Kulihat karirnya bagus meski sepertinya dia agak ceroboh mengelola bisnisnya.” Bruno henyakkan pantat di tepi ranjangnya.Alina mendengus sambil melemparkan pandangan tajam ke Bruno."Akan aku buat hidupmu susah kalau kau berani mendekat ke anakku!" Usai mengancam Bruno, Alina bangkit berdiri dan menyambar tasnya, lalu keluar dari apartemen itu. Dia melangkah setenang dan sepercaya diri mungkin di hadapan orang-orang yang lalu lalang di sana.Bahkan ketika tiba di rumahnya pun, dia terus berjuang menjaga ketenangan sikapnya. Untung saja suaminya tak ada di rumah. Hanya ada para pelayan."Tumben Mama arisannya rada cepetan pulangnya?" Mendadak terdengar suara Zila.Alina menoleh dan agak gugup ketika menjawab putrinya, "O-oh, iya agak cepetan ini, karena rada b
“Heh, gembel gembrot! Ambilkan jus untukku!”Seorang gadis berujar begitu enteng di ruang makan keluarga. Wajahnya tersenyum mengejek.Dania Loveto, menantu keluarga Grimaldi, menoleh ke Zila yang baru saja bicara padanya. Tanpa protes, dia mengambil gelas kosong untuk diisi dengan jus yang diminta adik iparnya.“Ini, Zila.” Dania menyerahkan segelas jus ke Zila.Zila menerimanya tanpa mengucapkan terima kasih. Dania tidak kaget. Semua anggota keluarga Grimaldi memang bersikap dingin dan kasar padanya. Tak terkecuali Hizam Grimaldi, suaminya.Sebenarnya Dania heran kenapa dirinya dilamar Hizam, anak pemimpin Zenith Group, perusahaan tempat mendiang ayahnya bekerja. Usia mereka terpaut 6 tahun.Saat itu dia mengira dirinya mendapat durian runtuh saat dilamar Hizam. Dia memang terpikat oleh pesona Hizam ketika pertama kali bertemu sewaktu Dania masih remaja.Oleh karenanya, dia menerima lamaran itu begitu saja dan tak menyangka perlakuan keluarga Grimaldi sangat buruk terhadapnya.“Udah
“Aarrgh!” Dania menjerit ketika sorot lampu mobil semakin mendekat padanya.Namun, kakinya kaku tak bisa digerakkan seolah ada bongkahan beton membelenggunya.Mobil sudah berusaha mengerem sejak tadi, tapi cukup sulit dikarenakan jalanan licin akibat hujan.“Ugh!” Dania jatuh terduduk, tepat di depan mobil yang akhirnya berhasil dihentikan.Seorang pria jangkung memakai mantel tebal keluar dari kabin belakang dengan wajah cemas.“Nona, kau tak apa-apa? Ada luka?” tanya pria itu, hendak mendekat ke Dania.Namun, entah mendapatkan kekuatan dari mana, Dania lekas berdiri dan berlari kencang menjauh dari pria itu, lalu menghilang di sebuah tikungan pertokoan.Pria itu tertegun di tempatnya sambil bergumam, “Dia … Dania?”Lalu, sopir keluar sambil membawa payung. “Tuan Rivan, silakan masuk. Ini masih di tengah jalan.”Pria bernama Rivan Ortiz itu pun masuk kembali ke mobil meski hatinya terus bertanya-tanya kenapa Dania berlari di tengah hujan.Setengah jam berikutnya, Dania duduk di depan
Tak terasa, 3 tahun berlalu.“Sayang, istirahatlah sebentar. Lihat apa yang Mama bawa.” Sofia mengacungkan puding susu cokelat ke putrinya, Dania.“Sebentar, Ma. Sedikit lagi ini beres.” Dania menjawab sambil mengetik tugas kuliahnya. “Oke, finish!”Dania melompat dari sofa dan pergi ke ruang makan. Tapi dia tertegun ketika melihat Sofia menghidangkan banyak makanan enak di meja.“Ma, aku udah susah-payah berolah raga dan diet. Kenapa Mama tega sekali menggodaku dengan ini?” Dania berlagak sedih.Sudah beberapa tahun ini dia menjalani diet dan menghabiskan beberapa jam untuk fitness dan aerobic setiap pagi demi mendapatkan tubuh ramping seperti sekarang.“Ah, Sayang, ini akhir pekan! Lupakan dietmu! Aku bosan mendengarmu mengucapkan kata ‘diet’. Itu seperti tamparan untukku, seakan aku orang tua kejam yang membatasi makanan putriku.” Sofia terlalu sayang pada Dania dan memanjakannya seakan membalas belasan tahun yang terenggut. “Lagipula, kamu sudah sangat kurus tinggal tulang!”Dani