"Serena," segera Bayu beranjak dari tempatnya menyusul Serena menuju dapur."Apa?" Serena sejenak melirik Bayu, sesaat kemudian membuka kulkas mengambil beberapa sayuran segar untuk di olah menjadi makanan.Bayu berdiri di samping kulkas melihat istrinya mengeluarkan beberapa sayuran."Kamu mau masak apa?""Nggak tau juga. Tapi, bahan makanan banyak banget. Jadi, aku masak yang ada aja. Nggak usah belanja lagi."Serena pun merasa cukup, beberapa bahan yang dibutuhkan semua sudah tertata di meja.Kemudian menutup kulkas kembali, beralih menuju rak dengan bumbu-bumbu dapur.Bayu juga mengikuti Serena, berdiri miring sambil bersandar pada rak."Ren, tuntasin kek dulu, yang tadi," Bayu tersenyum sambil menggoyangkan alis matanya.Serena memutar bola matanya, memilih diam dan tidak perduli."Ren!" Bayu mencolek Serena, berharap istrinya paham.Serena masih diam dan menutup laci, ternyata tangan Bayu berpegang pada sudut laci yang terbuka. Akhirnya tanpa sengaja terhimpit oleh laci saat d
Malam kian larut, Serena dan Bayu semakin dekat dan hangat, sedangkan Kinanti dan Adam juga di sibukkan dengan dua anaknya.Rasa bahagia kian terasa semakin dalam, sekalipun tingkah kedua anaknya bisa membuat kepala serasa akan pecah.Tetapi, di sanalah letaknya bahagia membesarkan anak memang butuh waktu dan tenaga semuanya tidak akan terasa saat melihat anak-anak nya bahagia.Namun, lain halnya dengan satu anak manusia. Renata namanya, dirinya tengah berbaring di atas brankar bersama anaknya.Mengelus rambut coklat Mentari dengan lembutnya, di saat ini dirinya sedang tidak baik-baik saja.Mengeluh mungkin hanya untuk orang-orang putus asa.Dan itulah yang kini tengah terjadi.Sudah berusaha untuk menjadi orang baik dan terus belajar menjadi orang yang lebih baik, mengikhlaskan seseorang yang sangat di cintai demi mengejar cinta yang lain.Dirinya pun sudah berusaha untuk tetap tenang, tegar dalam menghadapi kenyataan pahit.Bersuamikan seorang sahabat yang dulu pernah menjalin kasih
Setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit akhirnya, hari ini Mentari sudah di perbolehkan untuk pulang.Melanjutkan rawat jalan sebelum akhirnya dokter mengatakan sembuh total, trauma yang di alami Mentari tentu ada.Maka dari itu Renata terus mendampingi anaknya selama 24 jam."Mentari minum Obat dulu, ayo buka mulutnya," Renata tersenyum pada anaknya, perasaan menjadi seorang Ibu begitu bahagia melihat perkembangan anaknya jauh lebih baik.Mentari pun menurut, membuka mulut dan menelan obat secepatnya."Anak pintar, ayo tidur," Renata membantu Mentari untuk kembali berbaring, menyelimuti Mentari dengan kain."Ma, Tari kangen sekolah.""Iya, kalau Tari rajin minum obat, banyak istirahat pasti akan cepat sembuh. Terus sekolah lagi deh," lagi-lagi Renata memberikan semangat kepada putri kecilnya.Mentari mengangguk menurut, perlahan menutup mata hingga akhirnya benar-benar terlelap."Mama ingin bicara," kata Irma.Dari tadi Irma hanya diam sambil berdiri di sudut kamar menyaksikan
Tangan Renata meletakkannya di atas ranjang."Mainannya kok di buang?" Tanya Renata lagi sambil duduk di sisi ranjang dan mengelus kepala Mentari."Tari nggak mau! Kata Oma dia jahat!" Jawab Mentari sambil menunjuk Zidan.Hati Zidan tidak henti-hentinya merasakan sakit, mungkin Irma pun mengatakan sesuatu yang membuat Mentari membencinya.Renata memeluk Mentari dan mencium pucuk kepala putrinya hingga berulangkali."Mom boleh tanya sama Tari?" Tanya Renata dengan gaya bahasa anak kecil agar, mudah di mengerti putrinya yang masih kecil.Mentari pun mengangguk sebagai jawaban setuju atas pertanyaan Renata."Pernah Mom ajarkan Tari tidak sopan pada orang tua?"Mentari mendongkak menatap manik mata Renata kemudian menggeleng.Renata pun tersenyum dan kembali mencium kening putrinya."Terus kenapa Tari nggak sopan sama orang tua? Sama Daddy lagi?"Mentari beralih menatap Zidan yang juga tengah menatapnya, seakan dirinya bingung dengan penjelasan Renata."Tapi, temen-temen bilang Daddy itu
Setelah Mentari tertidur lelap Zidan pun berpamitan pulang, hatinya begitu bahagia mendengar panggilan Mentari."Daddy?" Zidan tersenyum sambil memasuki rumah kedua orang tuanya.Baru saja satu langkah kakinya menginjak lantai sudah terdengar suara Mala menyebut namanya."Zidan.""Ya Ma," Zidan berjalan menuju sofa, ikut duduk bersama Mala bersebelahan."Tadi Adam ke sini, mencari kamu. Kamu nggak ke rumah sakit?""Nggak Ma, Zidan libur," Zidan pun melihat ponselnya, ada banyak panggilan dari Adam yang tidak terjawab.Zidan memang membunyikan nada dering ponsel agar tidak menggangu Mentari saat tadi.Sampai ternyata Adam pun menghubungi tidak terjawab."Dia bilang sesuatu ke Mama?""Enggak, dia cuma nanya kamu itu saja.""Em," Zidan pun mengangguk mengerti."Zidan tunggu," Mala menarik tangan Zidan untuk kembali duduk di sampingnya.Dengan perlahan Zidan pun kembali duduk pada tempatnya."Gimana Mentari?" "Dia sudah lebih baik Ma."Mala mengangguk, "Apa kamu tidak ingin membawa Menta
"Iya, nanti aku manggil kamu Ayah. Manggil Kinan, Bunda," seloroh Renata."Ahahahhaha," Tawa kian menggelegar setelah ucapan sederhana yang di lontarkan Renata.Lama sekali tidak bertemu dan bertutur sapa seperti saat ini, setelah pernikahan terjadi semua hilang tidak seperti saat bersahabat dulu."Aku kok geli ya di panggil kamu Bunda," Kinanti pun menimpali sering dengan tawa kecil."Aku yang juga aneh mendengarnya," ujar Ferdian, yang dari tadi hanya diam saja."Ya, kan, lucu aja. Masa iya aku jadi mertua kamu, aku jadi mertua jahat aja entar," imbuh Kinanti."Fikri!" Seru Mentari dari kejauhan.Mentari yang menaiki kursi roda mulai ikut bergabung, seorang perawat yang mendorong kursi rodanya sesuai arahan Mentari."Zahra kamu di sini?" Kinanti melihat Zahra yang menjadi perawat untuk Mentari."Aku sekarang udah jadi asisten Dokter Zidan, tugas aku sekarang merawat anaknya," jelas Zahra.Zahra tentu setuju menjadi asisten Zidan, selain gaji yang menggiurkan juga bekerja lebih santa
Hari ini keadaan Mentari semakin membaik, setelah kemarin berkumpul bersama Adam, Kinanti, dan yang lainnya seakan semakin membuat Mentari bersemangat untuk proses penyembuhan.Hari ini Renata sudah kembali bekerja, beberapa hari ini pekerjaan nya terlantar. Sebab fokus mengurus anaknya.Namun saat dirinya tengah di sibukkan dengan pekerjaan tiba-tiba seorang sekertaris datang dan memberitahu ada seseorang yang ingin bertemu."Siapa?" Sejenak Renata beralih menatap sekertaris nya, menepikan pekerjaan yang kini begitu banyak di hadapan."Bapak Zidan, Bu," jelas sekretaris itu lagi."Zidan?" Renata tidak tahu entah untuk apa Zidan menemuinya, biasanya jika bertamu langsung kerumahnya dengan tujuan menjenguk Mentari."Iya Bu, boleh masuk atau?"Renata mengangguk, mempersilahkan. Dalam hidup Renata tidak pernah menghindari masalahnya, dirinya adalah wanita yang siap menghadapi apapun masalahnya agar segera terselesaikan baik seberat apapun juga.Setelah sekretaris keluar dan mempersilahka
"Iya, kenapa tidak?"Zidan terdiam mendengar jawaban Ferdian.Di sore hari Zidan, pun memutuskan untuk menemui Ferdian, di rumah sakit di mana keduanya bekerja.Sejak mendengar Mentari mengatakan bahwa Renata dan Ferdian akan menikah membuat perasaan Zidan tidak karuan.Mungkin selama ini dirinya hanya diam tanpa melakukan apapun, namun percayalah dirinya sedang tidak baik-baik saja.Ada perasaan rindu dan juga malu saat bertemu, sehingga memilih diam memberikan sebuah kenyamanan bagi Renata.Namun untuk menikah lagi dengan orang lain Zidan belum bisa melepaskan Renata, sebab dirinya bukan memberikan kebebasan. Melainkan waktu untuk Renata siap kembali padanya.Kini di dalam ruangan yang tidak terlalu luas ini, Zidan dan Ferdian saling bertatapan. Duduk di kursi dengan meja sebagai pembatas.Tatapan mata Zidan masih mengarah pada Ferdian, seorang dokter jiwa yang mampu membaca sedikit banyaknya pikiran Zidan.Lama keduanya diam sampai akhirnya Zidan kembali bersuara."Aku masih suamin
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada