"Iya, kenapa tidak?"Zidan terdiam mendengar jawaban Ferdian.Di sore hari Zidan, pun memutuskan untuk menemui Ferdian, di rumah sakit di mana keduanya bekerja.Sejak mendengar Mentari mengatakan bahwa Renata dan Ferdian akan menikah membuat perasaan Zidan tidak karuan.Mungkin selama ini dirinya hanya diam tanpa melakukan apapun, namun percayalah dirinya sedang tidak baik-baik saja.Ada perasaan rindu dan juga malu saat bertemu, sehingga memilih diam memberikan sebuah kenyamanan bagi Renata.Namun untuk menikah lagi dengan orang lain Zidan belum bisa melepaskan Renata, sebab dirinya bukan memberikan kebebasan. Melainkan waktu untuk Renata siap kembali padanya.Kini di dalam ruangan yang tidak terlalu luas ini, Zidan dan Ferdian saling bertatapan. Duduk di kursi dengan meja sebagai pembatas.Tatapan mata Zidan masih mengarah pada Ferdian, seorang dokter jiwa yang mampu membaca sedikit banyaknya pikiran Zidan.Lama keduanya diam sampai akhirnya Zidan kembali bersuara."Aku masih suamin
"Dia itu adalah laki-laki paling bodoh yang aku temui sepanjang perjalanan hidup ku," kata Ferdian."Apa kau tetap melanjutkan perjodohan mu dengan Renata?" Kali ini Adam yang bertanya pada Ferdian.Ferdian tersenyum tanpa menjawab pertanyaan tersebut."Kenapa kau, hanya diam?" Tanya Adam lagi."Aku sudah tertarik pada wanita lain, biar saja Zidan menganggap bahwa aku mencintai Renata," Ferdian tersenyum penuh kemenangan.Adam pun mengangguk setuju."Aku, tau dia itu sangat mencintai Renata, aku pun tidak masalah selagi keduanya bisa bahagia," Adam tersenyum tulus mengenang persahabatan mereka."Tapi aku kasihan pada Renata, kalian bertiga bersahabat, tapi malah sama-sama memiliki hubungan khusus."Adam membenarkan apa yang dikatakan oleh Ferdian."Tapi kami sama-sama tidak menyangka ini bisa terjadi, aku tidak menyalahkan Renata maupun Zidan."Ferdian merasa tertarik dengan ucapan Adam hingga ia menatap penuh tanya."Kau tidak menyalahkan Zidan ataupun Renata?" Tanya Ferdian cepat.A
Pagi ini mendung menyelimuti bumi, hujan rintik-rintik turun membasahi dedaunan.Tetapi tidak dengan Mentari yang terlahir dari rahim Renata.Senyum manisnya terus terlihat seiring dengan kebahagiaan yang terasa.Hari ini dirinya sudah berdiri tegak tanpa menggunakan kursi roda, artinya sesuai janji Renata yang akan mengabulkan keinginannya."Mom, hari ini kita jadikan foto keluarga nya?" Tanya Mentari dengan antusias."Jadi," Renata sudah menyisihkan waktu untuk anaknya, Mentari adalah hal utama dan segalanya."Daddy mana ya Mom?" Mentari membuka gorden, melihat melalui jendela kaca memastikan apakah mobil Zidan sudah berada di halaman.Wajah Mentari berubah murung, satu jam lamanya menunggu Zidan belum juga sampai."Daddy mu itu tidak akan bisa membuat mu bahagia, dari dulu sampai sekarang dia sama saja!" Ujar Irma, kemudian ia pergi begitu saja.Mentari menatap Renata dengan bertanya, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Irma."Kita tunggu Daddy, mungkin Daddy sedang ada ur
Setelah lelah jalan-jalan seharian penuh, akhirnya Mentari pun terlelap di pangkuan Renata, mungkin tidak semua keinginannya terpenuhi, tetapi mungkin sebagian besarnya sudah dirasakan oleh nya.Setiap teman-temannya bercerita keseruan saat liburan bersama kedua orang tuanya kini di rasakan oleh Mentari.Berjalan sambil memegang tangan kedua orang tuanya, berbelanja boneka kesukaannya. Bermain bersama di pusat perbelanjaan.Satu kilometer lagi sudah sampai di rumah, tapi Zidan malah menepikan mobilnya.Renata beralih menatap kearah Zidan, bertanya-tanya mungkinkah mobil itu mogok."Aku ingin bicara," ujar Zidan menatap Renata.Renata mengangguk menunggu hal yang akan dikatakan oleh Zidan."Apa kamu belum memaafkan aku?" Tanya Zidan dengan penuh hati-hati.Renata diam tanpa kata, hanya bulu matanya yang bergerak beberapa kali.Itu bukan jawaban membuat Zidan semakin merasa bersalah.Kini Renata jauh berbeda dari dahulunya yang selalu periang dengan banyaknya ocehan dari mulutnya.Zidan
Entah siapa yang dapat menyelesaikan masalah ini, Zidan benar-benar takut pernikahan Renata dan Ferdian terjadi.Sejenak berpikir siapa yang dapat membantunya menyelesaikan masalah ini."Adam."Segera Zidan melakukan mobilnya menuju Kediaman Adam, hanya dengan hitungan menit akhirnya Zidan memarkirkan mobilnya.Ini memang gila dan terkesan aneh, namun apa yang bisa di katakan oleh nya.Cinta tidak dapat di bohongi, memohon kesempatan kedua untuk tetap memiliki istrinya.Bayang-bayang kehilangan Renata dan Mentari terus menghantuinya, seakan menjadi ancaman yang begitu mengerikan.Saat ini, apapun akan dilakukan oleh Zidan demi bisa bersatu dengan Renata, sisa-sisa penyesalan membuatnya takut.Biar saja di anggap tidak tahu malu, Renata jauh lebih berharga dari apapun juga."Ada apa?" Adam keluar dari kamar setelah Fikri mengatakan Zidan menunggunya di ruang tamu.Malam sudah larut tetapi Zidan masih bertandang ke rumah nya, sudah pasti ada hal yang penting.Jika tidak, mungkin tidak
Malam pun semakin larut, suara dedaunan sesekali tertiup angin terdengar di telinga.Di saat orang-orang sudah memejamkan mata Zidan masih terdiam duduk di balkon menatap keluar.Dinginnya malam tidak lantas membuatnya menjadi gemetaran, rasanya hampa setelah mendengar pernikahan Renata yang akan di langsungkan bersama laki-laki lain.Apa itu cinta dan penyesalan, tergolong berbeda namun memiliki makna yang luar biasa.Boleh kah memohon untuk di berikan kesempatan kedua, Zidan hanya manusia biasa penuh dengan dosa dan khilaf.Terlalu mencintai menjadikan rasa cemburu yang tidak bisa terkendali, saat ini hanya bisa menatap awan hitam yang mulai menutupi Rembulan. Seakan-akan dia pun tahu ada yang sedang terluka karena penyesalan.Pagi menjelang, Zidan terlelap dalam duduknya. Mala menghampiri dan menatap anaknya."Zidan," Mala membangunkan dengan memanggil-manggil beberapa kali, hingga terbangun dari tidurnya.Zidan pun membuka mata, tersadar sudah pagi. Terlelap dalam lamunan hati yan
"Tolonglah Renata, berikan aku kesempatan kedua. Aku berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi. Aku mohon."Renata menggeleng, wajah Zidan yang penuh permohonan tidak dapat meluluhkan hati Renata yang terluka."Aku akan menikah dengan Ferdian.""Kau tidak bisa menikah dengan nya, bagaimana bisa wanita yang masih bersuami menikah dengan pria lainnya lagi?" Tanya Zidan lagi dengan wajah serius.Renata terdiam, untuk itu dirinya pun tidak mengerti harus mengatakan apa.Istri Zidan?Ya, Renata tidak menampik bahwa dirinya masih berstatus istri.Tapi sampai kapan? Kenapa Zidan tidak menceraikan nya juga sampai saat ini."Renata, coba pikirkan anak kita, selama ini dia kekurangan kasih sayang seorang Ayah. Aku pun ingin dia terus bersama ku, tolong maafkan aku.""Kau, bilang mencintaiku?" "Iya," jawab Zidan dengan cepat."Bukankah cinta tidak harus memiliki?" Tanya Renata dengan senyuman.Zidan terdiam, mengangguk mengerti."Kau masih mencintai Adam?" Hati Zidan saat ini berdebar kenc
"Aku tidak bisa berjanji untuk mendapatkan hasil seperti yang kau inginkan. Tetapi, aku akan mencobanya," jawab Kinanti dengan yakin.Belum juga Kinanti melakukan keinginan, Renata sudah merasa tersentuh. Bagaimana bisa Adam tidak mencintai Kinanti begitu besar, sedangkan sikapnya saja selembut salju dan memiliki tutur kata yang indah.Di tambah lagi penyayang dan periang, Renata menyadari dirinya yang begitu banyak kekurangan memang tak pantas bersanding dengan Adam."Terima kasih Kinanti."Mata Renata berkaca-kaca seakan menaruh harapan besar pada Kinanti.Dengan langkah kaki yang cepat Kinanti segera menuju halaman, di mana di sanalah letaknya acara.Indahnya dekorasi seakan menambah suasana terkesan romantis, namun siapa sangka ternyata yang terjadi justru sebaliknya.Kedua calon pengantin sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini, sama sekali.Mata Kinanti mengedarkan pandangannya, menatap seseorang yang harus ditemuinya.Nihil, orang yang di cari tidak ada sama sekali. Bahkan,
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada