"Tolonglah Renata, berikan aku kesempatan kedua. Aku berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi. Aku mohon."Renata menggeleng, wajah Zidan yang penuh permohonan tidak dapat meluluhkan hati Renata yang terluka."Aku akan menikah dengan Ferdian.""Kau tidak bisa menikah dengan nya, bagaimana bisa wanita yang masih bersuami menikah dengan pria lainnya lagi?" Tanya Zidan lagi dengan wajah serius.Renata terdiam, untuk itu dirinya pun tidak mengerti harus mengatakan apa.Istri Zidan?Ya, Renata tidak menampik bahwa dirinya masih berstatus istri.Tapi sampai kapan? Kenapa Zidan tidak menceraikan nya juga sampai saat ini."Renata, coba pikirkan anak kita, selama ini dia kekurangan kasih sayang seorang Ayah. Aku pun ingin dia terus bersama ku, tolong maafkan aku.""Kau, bilang mencintaiku?" "Iya," jawab Zidan dengan cepat."Bukankah cinta tidak harus memiliki?" Tanya Renata dengan senyuman.Zidan terdiam, mengangguk mengerti."Kau masih mencintai Adam?" Hati Zidan saat ini berdebar kenc
"Aku tidak bisa berjanji untuk mendapatkan hasil seperti yang kau inginkan. Tetapi, aku akan mencobanya," jawab Kinanti dengan yakin.Belum juga Kinanti melakukan keinginan, Renata sudah merasa tersentuh. Bagaimana bisa Adam tidak mencintai Kinanti begitu besar, sedangkan sikapnya saja selembut salju dan memiliki tutur kata yang indah.Di tambah lagi penyayang dan periang, Renata menyadari dirinya yang begitu banyak kekurangan memang tak pantas bersanding dengan Adam."Terima kasih Kinanti."Mata Renata berkaca-kaca seakan menaruh harapan besar pada Kinanti.Dengan langkah kaki yang cepat Kinanti segera menuju halaman, di mana di sanalah letaknya acara.Indahnya dekorasi seakan menambah suasana terkesan romantis, namun siapa sangka ternyata yang terjadi justru sebaliknya.Kedua calon pengantin sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini, sama sekali.Mata Kinanti mengedarkan pandangannya, menatap seseorang yang harus ditemuinya.Nihil, orang yang di cari tidak ada sama sekali. Bahkan,
"Menikah itu apa ya, Tante?" Tanya Mentari yang baru saja masuk ke dalam kamar Renata.Mentari ingin menunjukkan gaun indah rancangan Irma khusus untuk hari ini, tentu saja Mentari sangat bahagia."Tari, cantik sekali," Kinanti berjongkok dan memegang pundak Mentari, memandangi gaun indah Mentari dengan memuji."Menikah itu apa ya Tante?" Tanya Mentari lagi."Menikah itu, untuk orang dewasa. Tari mau punya Daddy?" Tanya Zahra.Mentari terdiam dan bingung, bocah berusia 5 Tahun itu tampaknya masih kebingungan."Tari, kan udah punya Daddy, Tante," wajah polos Mentari masih kebingungan, mungkin penjelasan yang diberikan oleh Zahra belum bisa membuatnya paham.Zahra pun ikut berjongkok, sedangkan Kinanti berdiri."Tari, memang udah punya Daddy, tapi Tari juga akan punya Daddy lagi. Tari, bakalan punya dua Daddy," jelas Zahra."Kok dua? Tari nggak mau, Tari maunya satu aja. Tari udah punya Daddy," rengek Mentari dengan polosnya.Zahra tidak tahu bagaimana caranya untuk menenangkan Mentari.
"Kalau pun kamu menikah dengan Ferdian, itu akan menjadi kesalahan terbesar. Tidak ada wanita yang bisa memiliki dua suami," Zidan beralih menatap Ferdian, "kamu masih, mau menikahinya? Dia masih istri ku!" Papar Zidan."Istri?" Ajeng rasanya ingin mati berdiri saat ini juga, mendengar pernyataan Zidan sungguh sangat mengejutkan.Di luar sana para tamu undangan sudah kasa kusuk, mempertanyakan kedua calon mempelai wanita maupun pria yang belum juga duduk di kursi tepat pernikahan akan di mulai.Sedangkan waktu terus berlalu, membuat tamu, pun mulai merasa jenuh menunggu. Sehingga Ajeng memutuskan untuk menyusul Irma yang sebelumnya berpamitan untuk menjemput Renata sesaat.Namun, sampai detik ini tidak juga tiba.Memutuskan menuju kamar calon menantunya, Ajeng seketika kehilangan senyum bahagia saat mendengar satu kata.Istri?Entah memang itu benar adanya ataukah hanya telinganya yang sudah salah mendengar, mengingat usia sudah tidak lagi muda."Bukan Jeng," Irma kini mendadak panik,
"Di luar banyak tamu, dan aku kembali merasakan malu. Ferdian, kutukan apa yang Mama dapatkan sampai harus menanggung malu terus-menerus karena kau yang tidak menikah sampai sekarang?!"Dada Ajeng terasa sakit, kepala mendadak pusing, sampai akhirnya jatuh pingsan.Dengan cepat Ferdian menahan tubuh Ajeng dan merebahkannya di atas sofa.Setelah beberapa saat kemudian akhirnya Ajeng pun sadarkan diri, perlahan mendudukkan tubuhnya dengan tidak sabaran.Matanya menatap ranjang pengantin yang sudah dihiasi bunga-bunga."Ma, seharusnya istirahat dulu," kata Ferdian memberikan peringatan.Sayang, tidak di perdulikan sama sekali oleh Ajeng."Jeng Irma, anda harus bertanggungjawab! Ini awalnya karena kamu!" Geram Ajeng pada Irma.Irma pun tidak tahu harus mengatakan apa, kepalanya benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih.Kini Irma sendiri, tanpa ada suami sebab, sudah meninggal dunia. Putri sulungnya Sindi masih berada di luar negeri, sedangkan Renata, pun sudah pergi meninggalkan diri
Raut wajah bahagia Ajeng dari beberapa saat lalu benar-benar berubah seketika, setelah Renata memutuskan pergi bersama Zidan.Pesta yang di persiapkan sedemikian indah kini mungkin hanya sebuah pajangan dan sebentar lagi dirinya akan di permalukan.Andai saja Ajeng tahu Zidan dan Renata masih suami istri, tidak akan mungkin semua persiapan ini di lakukan.Tidak sama sekali.Irma memang menceritakan bahwa setelah pernikahan Renata bersama Adam, kembali Renata menikah dengan Zidan dan mendapatkan seorang putri yang diberi nama Mentari.Itu pun tidak masalah bagi Ajeng, menurutnya meskipun seorang janda, Renata dan putrinya tetap di terima masuk ke dalam keluarga nya asalkan bisa bahagia bersama.Tidak pernah terpikirkan untuk sampai masalah sebesar ini, bahkan begitu sulit untuk dimengerti oleh logika.Tangannya hanya memijat dahi berharap Ferdian benar-benar tetap menikah dengan wanita yang barusan dikatakannya. Dengan alasan demi menyelamatkan harga dirinya.Meskipun Ajeng ragu apakah
Zahra mengerjapkan matanya, perlahan netranya mulai menatap sekitarnya. Menyadari diri di atas ranjang dan di bawah selimut, Zahra pun menarik napas lega."Untung cuma mimpi," Zahra bergumam dan merasa bahagia.Mimpi buruk yang baru saja di alami benar-benar seperti nyata, perlahan mendudukkan tubuhnya dengan rasa kepala yang sedikit pusing."Aku di mana ya? Ini bukan kamar aku?" Zahra baru menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing.Namun, dimana?Zahra belum dapat menyimpulkannya."Kau sudah sadar?" Suara berat itu membuat Zahra tersentak, seketika menatap ke arah jendela mencari asal suara.Ferdian berdiri di sana, kemeja putih yang di lipat bagian lengannya dan dua kancing kemeja yang terbuka seakan menatapnya tajam."Kenapa anda berada di sini, Dok?" Tanya Zahra kesal.Tentunya tidak baik seorang wanita dan pria dalam satu ruangan hanya berdua saja, itulah yang dipikirkan oleh Zahra."Apa pernikahan tadi membuat mu amnesia?" Tanya Ferdian."Apa?" Pekik Zahra shock, "pernika
Di langit yang sama namun, tempat berbeda. Renata duduk termenung di sudut kamar. Menatap keluar dari jendela kaca yang masih terbuka lebar.Akhirnya setelah sekian Tahun kini kembali lagi ke rumah yang sama, rumah yang banyak menyisakan kenangan luka.Tidak ada yang berbeda dari sebelumnya, semua masih sama. Bahkan, pakaian miliknya yang dulu tertinggal masih tersusun rapi di lemari.Hanya saja Renata masih terlalu larut dalam bayang-bayang masa lalu, andai saja bisa mungkin Renata memilih tidak tinggal di rumah itu.Tetapi, apalah daya Mentari kini memilih berada di sana. Bersama sang Ayah dengan rasa bahagia tanpa mengetahui perasaannya.Setitik air mata Renata tumpah, kini pikirannya melayang mengarah pada Irma.Entah apa yang terjadi setelah dirinya memutuskan untuk pergi meninggalkan acara pernikahan yang sudah di persiapkan.Entah bagaimana keadaan Irma setelah itu, apakah masih baik-baik saja atau mungkin sudah terbaring lemah karena serangan jantung.Renata merasa serba suli
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada