"Di luar banyak tamu, dan aku kembali merasakan malu. Ferdian, kutukan apa yang Mama dapatkan sampai harus menanggung malu terus-menerus karena kau yang tidak menikah sampai sekarang?!"Dada Ajeng terasa sakit, kepala mendadak pusing, sampai akhirnya jatuh pingsan.Dengan cepat Ferdian menahan tubuh Ajeng dan merebahkannya di atas sofa.Setelah beberapa saat kemudian akhirnya Ajeng pun sadarkan diri, perlahan mendudukkan tubuhnya dengan tidak sabaran.Matanya menatap ranjang pengantin yang sudah dihiasi bunga-bunga."Ma, seharusnya istirahat dulu," kata Ferdian memberikan peringatan.Sayang, tidak di perdulikan sama sekali oleh Ajeng."Jeng Irma, anda harus bertanggungjawab! Ini awalnya karena kamu!" Geram Ajeng pada Irma.Irma pun tidak tahu harus mengatakan apa, kepalanya benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih.Kini Irma sendiri, tanpa ada suami sebab, sudah meninggal dunia. Putri sulungnya Sindi masih berada di luar negeri, sedangkan Renata, pun sudah pergi meninggalkan diri
Raut wajah bahagia Ajeng dari beberapa saat lalu benar-benar berubah seketika, setelah Renata memutuskan pergi bersama Zidan.Pesta yang di persiapkan sedemikian indah kini mungkin hanya sebuah pajangan dan sebentar lagi dirinya akan di permalukan.Andai saja Ajeng tahu Zidan dan Renata masih suami istri, tidak akan mungkin semua persiapan ini di lakukan.Tidak sama sekali.Irma memang menceritakan bahwa setelah pernikahan Renata bersama Adam, kembali Renata menikah dengan Zidan dan mendapatkan seorang putri yang diberi nama Mentari.Itu pun tidak masalah bagi Ajeng, menurutnya meskipun seorang janda, Renata dan putrinya tetap di terima masuk ke dalam keluarga nya asalkan bisa bahagia bersama.Tidak pernah terpikirkan untuk sampai masalah sebesar ini, bahkan begitu sulit untuk dimengerti oleh logika.Tangannya hanya memijat dahi berharap Ferdian benar-benar tetap menikah dengan wanita yang barusan dikatakannya. Dengan alasan demi menyelamatkan harga dirinya.Meskipun Ajeng ragu apakah
Zahra mengerjapkan matanya, perlahan netranya mulai menatap sekitarnya. Menyadari diri di atas ranjang dan di bawah selimut, Zahra pun menarik napas lega."Untung cuma mimpi," Zahra bergumam dan merasa bahagia.Mimpi buruk yang baru saja di alami benar-benar seperti nyata, perlahan mendudukkan tubuhnya dengan rasa kepala yang sedikit pusing."Aku di mana ya? Ini bukan kamar aku?" Zahra baru menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing.Namun, dimana?Zahra belum dapat menyimpulkannya."Kau sudah sadar?" Suara berat itu membuat Zahra tersentak, seketika menatap ke arah jendela mencari asal suara.Ferdian berdiri di sana, kemeja putih yang di lipat bagian lengannya dan dua kancing kemeja yang terbuka seakan menatapnya tajam."Kenapa anda berada di sini, Dok?" Tanya Zahra kesal.Tentunya tidak baik seorang wanita dan pria dalam satu ruangan hanya berdua saja, itulah yang dipikirkan oleh Zahra."Apa pernikahan tadi membuat mu amnesia?" Tanya Ferdian."Apa?" Pekik Zahra shock, "pernika
Di langit yang sama namun, tempat berbeda. Renata duduk termenung di sudut kamar. Menatap keluar dari jendela kaca yang masih terbuka lebar.Akhirnya setelah sekian Tahun kini kembali lagi ke rumah yang sama, rumah yang banyak menyisakan kenangan luka.Tidak ada yang berbeda dari sebelumnya, semua masih sama. Bahkan, pakaian miliknya yang dulu tertinggal masih tersusun rapi di lemari.Hanya saja Renata masih terlalu larut dalam bayang-bayang masa lalu, andai saja bisa mungkin Renata memilih tidak tinggal di rumah itu.Tetapi, apalah daya Mentari kini memilih berada di sana. Bersama sang Ayah dengan rasa bahagia tanpa mengetahui perasaannya.Setitik air mata Renata tumpah, kini pikirannya melayang mengarah pada Irma.Entah apa yang terjadi setelah dirinya memutuskan untuk pergi meninggalkan acara pernikahan yang sudah di persiapkan.Entah bagaimana keadaan Irma setelah itu, apakah masih baik-baik saja atau mungkin sudah terbaring lemah karena serangan jantung.Renata merasa serba suli
Pagi harinya Zidan terbangun, pertama kalinya dirinya langsung melihat ke samping.Ternyata Renata sudah tidak di sana, tampaknya sudah bangun lebih awal."Daddy," Mentari ikut terbangun setelah merasa ada pergerakan.Zidan tersenyum dan mencium kening Mentari, pagi yang begitu membahagiakan melihat dua Mentari secara langsung bersinar.Sinar Mentari putri kandungnya tidak kalah cerah dengan mentari yang bersinar di langit pagi ini."Daddy, gosok gigi dulu. Mau ngantor," Zidan bergegas turun menuju kamar mandi.Sedangkan Mentari kembali merebahkan dirinya, hingga akhirnya Renata memasuki kamar berniat ingin membangunkan putrinya."Anak Mom, sudah bangun?" Renata pun naik ke atas ranjang dan memeluk Mentari."Mom, hari ini Tari, ke sekolah di antar Dad?" Renata tidak tahu untuk itu, tetapi wajah Mentari terlihat begitu berharap. Entah apa yang harus Renata katakan pada putrinya itu."Mom?" Mentari menggerakkan lengan Renata hingga beberapa kali."Sama Mom juga bisa 'kan?" Tanya Renata
Siang harinya Mentari pulang dari sekolah di jemput oleh Mala, kini Mentari begitu bahagia bisa berkumpul dengan keluarga Daddy-nya.Bahkan hari ini Mala mengajaknya untuk mengunjungi Serena, setelah itu berlanjut malamnya mengikuti acara perayaan ulang tahun teman Mala dan Mentari masih di bawa juga.Seharian penuh Renata hanya di rumah saja, sibuk dalam pekerjaan rumah untuk melupakan traumanya tinggal kembali di dalam rumah tersebut.Setelah tidak ada lagi yang bisa di kerjakan Renata pun membersihkan diri, sejak pagi tadi baru sore menjelang malam dirinya membersikan tubuhnya.Setelah selesai mandi, Renata memilih berdiam diri di sudut kamar. Memeluk lututnya sambil menatap keluar.Sebenarnya tidak masalah jika menyalakan lampu, hanya saja saat semua tampak jelas Renata kembali mengingat kejadian kasar saat bersama Zidan dulu di tempat tersebut.Sehingga gelap adalah pilihan yang tepat, hingga tanpa sadar terlelap dalam duduknya sambil bersandar pada dinding.Sedangkan di lantai d
"Coba berikan aku sedikit cara agar kami bisa dekat kembali, agar Renata tidak menganggap dirinya asing untuk ku.""Baiklah, tunggu sebentar," Adam sejenak pergi kemudian kembali lagi dengan sebotol minuman."Kau gila!" Zidan seketika berdiri saat melihat Adam membawa sebotol minuman, Zidan tidak mungkin meminumnya dan pasti Renata malah membencinya."Kau dan Renata harus selayaknya suami istri, dan tunjukkan cinta mu padanya. Perhatian kecil sangat penting dalam berumah tangga," Adam pun memberikan minuman di tangannya pada Zidan, "minum!"Zidan menggeleng dan berusaha untuk menjauh, dirinya ingin berdamai dengan Renata bukan malah menciptakan masalah baru.Sedangkan apa yang di perintahkan Adam kini adalah masalah."Minum, sedikit tidak banyak goblok!" Geram Adam, "kau mau di tolong atau tidak?" "Iya, tapi-""Cepat, atau aku tidak bisa membantu mu! Sedikit saja!"Zidan menatap botol minuman yang diberikan oleh Adam."Kau yakin Adam?" Tanya Zidan masih dengan ragu."Jangan banyak, a
"Apa harus aku tiada terlebih dahulu agar kau paham aku juga punya hati dan perasaan? Apa harus, setelah aku tiada membawa Mentari baru kamu mengerti tentang keadaan ku yang lemah ini?" Tanya Renata di sela-sela tangisnya yang terdengar memilukan hati."Renata, jangan katakan itu lagi. Aku benar-benar sudah berubah, aku tidak lagi seperti dulu. Aku mohon jangan pergi tinggalkan aku, jangan pernah mencoba untuk nekat. Aku mohon," Zidan terus mendekap Renata dalam pelukannya, tidak ingin melepaskan walaupun hanya sedetik saja.Semua kerinduan yang di pendam Zidan tidak ingin melepaskan begitu saja, apa lagi di saat Renata masih menangis tanpa jeda."Sudah terlalu banyak air mata mu mengalir karena aku, tolong jangan lagi. Aku akan sangat bersalah, aku mohon," pinta Zidan.Semua kenangan seakan kembali berputar di kepala Zidan, saat awal berusaha mendekati Renata yang masih berstatus kekasih Adam.Sampai akhirnya Zidan menjebak Renata dengan minuman hingga tidak sadarkan diri, di saat it