"Apa harus aku tiada terlebih dahulu agar kau paham aku juga punya hati dan perasaan? Apa harus, setelah aku tiada membawa Mentari baru kamu mengerti tentang keadaan ku yang lemah ini?" Tanya Renata di sela-sela tangisnya yang terdengar memilukan hati."Renata, jangan katakan itu lagi. Aku benar-benar sudah berubah, aku tidak lagi seperti dulu. Aku mohon jangan pergi tinggalkan aku, jangan pernah mencoba untuk nekat. Aku mohon," Zidan terus mendekap Renata dalam pelukannya, tidak ingin melepaskan walaupun hanya sedetik saja.Semua kerinduan yang di pendam Zidan tidak ingin melepaskan begitu saja, apa lagi di saat Renata masih menangis tanpa jeda."Sudah terlalu banyak air mata mu mengalir karena aku, tolong jangan lagi. Aku akan sangat bersalah, aku mohon," pinta Zidan.Semua kenangan seakan kembali berputar di kepala Zidan, saat awal berusaha mendekati Renata yang masih berstatus kekasih Adam.Sampai akhirnya Zidan menjebak Renata dengan minuman hingga tidak sadarkan diri, di saat it
Tangan Zidan terus meremas dua gunung kembar secara bergantian, hingga akhirnya menghisapnya secara bergantian pula.Zidan seperti seorang bayi yang kehausan, mencari asi dengan penuh kebahagiaan. Sejenak membuat tenggorokan yang kering menjadi basah.Setelah menikmati gunung kembar besar dan kenyal tersebut."Sssstttt......." Renata menggigit bibir bawahnya, menahan suara yang mungkin ingin keluar dengan kencangnya.Renata belum pernah diperlakukan dengan baik seperti saat ini, biasanya Zidan hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan dirinya yang menangis menahan sakit karena Zidan bermain kasar.Kali ini Zidan benar-benar menepati perkataan untuk menyentuhkan dengan lembut."Renata, tolong jangan minta aku untuk berhenti lagi, aku mohon," pinta Zidan sambil menatap manik mata indah Renata.Renata terdiam sambil menatap Zidan yang masih berada di atas tubuhnya yang terlentang, melihat raut wajah Zidan dengan penuh pengharapan.Renata pun menatap penuh pertimbangan."Aku moh
Pagi ini Serena mengunjungi kediaman kedua orang tuanya, sebenarnya tujuan utamanya ingin bertemu dengan Renata yang sudah kembali tinggal bersama Zidan.Serena tentunya bahagia, apa lagi keponakan nya yang lucu dan menggemaskan bisa membuatnya rindu berat."Tante, kapan datang?" Tanya Mentari saat melihat kedatangan Serena ke kamar barunya.Serena tersenyum dan mengusap pipi Mentari yang sangat tembem itu."Baru saja, Om Bayu sedang ada pekerjaan. Tante, hari ini main sama Tari, boleh nggak?" Tanya Serena dengan suara anak kecil agar lebih mudah dimengerti oleh Mentari."Boleh dong," Mentari tersenyum sambil menunjukan dua baris gigi ompong nya, seakan dirinya begitu bahagia menyambut kedatangan Serena yang diketahuinya sebagai adik dari Daddy Zidan."Mommy di mana? Di dapur ya?" Tanya Serena lagi ingin segera bertemu dengan Renata, setelah sekian lama tidak bertemu."Nggak tahu Tante, kan Tari juga baru bangun tidur.""Oh, iya. Tante lupa," Serena pun menepuk dahinya membenarkan jaw
"Hay, Kakak ipar," apa kabar," Serena mendekati Renata.Keduanya pun berpelukan layaknya wanita yang sudah lama tidak bertemu."Kamu udah lama di sini?""Sudah dari tadi. Nungguin kamu di sini, kata Mentari kamu di gigi serangga atau nyamuk ya?" Tanya Serena sambil melihat Renata dengan jelas.Renata memegang tengkuknya, dengan perasaan was-was."Nyamuk nakal itu," Mala menimpali sambil meletakkan buah di atas meja makan.Serena menatap Renata penuh intimidasi, kemudian kembali duduk di kursi meja makan."Tari, sarapan apa?" Renata beralih menatap Mentari yang sedang fokus pada makanannya.Mentari makan dengan lahap, terlihat begitu menikmati sarapan pagi nya."Nasi goreng buatan Oma, Mom," jawab Mentari dengan mulutnya yang mengunyah."Ini nasi goreng spesial, buatan Mama sendiri," Mala duduk dan memulai sarapannya juga, "ayo di coba, Zidan mana?" Tanya Mala yang belum melihat wajah putranya."Masih di kamar, Ma," Renata pun mulai mengisi piringnya, perutnya memang sangat lapar dan m
"Zidan, turunkan aku," Renata merasa geli saat Zidan mengangkat nya sambil menaiki anak tangga, bayangkan saja jika terlepas dari tangan Zidan tentu tubuhnya akan menghantam anak tangga dan pastinya sakitnya akan sangat luar biasa sekali.Renata pun masih was-was dengan perlakuan Zidan, dirinya yang terbiasa diperlakukan kasar tampak tidak mengenali perlakuan Zidan kini.Sampai akhirnya Zidan kembali membawanya masuk ke dalam kamar, setelah itu menurunkan Renata di atas ranjang."Zidan, aku harus mencuci piring. Pekerjaan ku belum selesai," Renata mencoba bangun, tatapi Zidan sudah lebih cepat menindihnya.Hingga akhirnya Renata tidak bisa bangun sama sekali."Biarkan saja, itu bukan pekerjaan mu. Kamu bukan pembantu di sini," jelas Zidan."Zidan, aku tidak enak kalau tidak melakukan apapun. Pagi tadi Mama sudah masak, apa iya aku cuci piring juga tidak?" Tanya Renata berusaha melepaskan diri dari kungkungan Zidan, "Zidan, bangun!" Renata mendorong dada bidang Zidan agar bangkit dari
"Kemana bajingan ini?" Dari tadi Adam terus menghubungi Zidan, tetapi sampai sekarang belum juga di jawab sama sekali.Adam sudah kesal sampai di ubun-ubun, saat ini dirinya harus menjadi dokter pengganti Zidan. Sedangkan jam pulang kantor seharusnya sudah beberapa jam yang lalu."Mas, udahlah. Nggak papa, mungkin dia sedang romatis-romantisan sama Renata. Sekali-kali tidak masalah 'kan Mas," Kinanti mengusap lembut punggung Adam, berusaha menenangkan suaminya yang tengah terbakar emosi.Adam beralih menatap Kinanti, menimbang kata-kata istrinya barusan.Kemudian Adam kembali berdebat dengan dirinya sendiri.Benarkah apa yang dikatakan oleh Kinanti, kalau iya sungguh Zidan sangat keterlaluan sekali.Dirinya harus menggantikan pekerjaan Zidan saat ini, sedangkan Zidan bahagia dengan istrinya."Dia itu memang sangat keterlaluan, semalam saja dia mendatangi aku. Meminta solusi, sedangkan hari ini dia malah kurang ajar begini, jangankan kata-kata terima kasih........" Adam mengacak rambu
Saat melihat Ferdian yang berdiri di dekat Zahra, akhirnya Kinanti pun perlahan pergi tanpa sepengetahuan Zahra."Kamu tahu Kinanti, pengen banget itu orang aku cekik biar dia nggak kurang ajar lagi sama aku. Coba kamu pikir kalau aku nggak mau nolongin dia, pasti dia udah malu banget! Tapi, balasannya apa? Aku malah dinodai!" Kesal Zahra tanpa mengetahui bahwa Kinanti sudah pergi.Ferdian tersenyum mendengar curhatan hati Zahra, tetapi memilih diam dan mendengar apa selanjutnya dikatakan oleh istrinya tersebut."Aku baru pingsan, baru sadar, tapi dia udah ngomongin soal hak. Dia punya otak atau tidak? Sepertinya tidak!" Geram Zahra dan melihat ke samping.Kinanti tidak ada, artinya dari tadi dirinya hanya berbicara sendirian saja."Kinan, kamu tega banget sama aku," kesal Zahra dan menangis, "jadi dari tadi aku ngomong sendiri?" Zahra mengusap wajahnya dengan putus asa."Aku, di sini!" Ferdian menepuk pundak Zahra, hingga akhirnya tersadar tidak sendirian.Wajah Zahra yang pucat sema
Ferdian pun benar-benar membiarkan Zahra untuk beristirahat di kamar sendirian, memilih memberikan waktu untuk mencerna setiap kata yang barusan disampaikannya.Ferdian bukan seorang pria romantis, apa lagi pandai dalam merangkai kata. Setiap kata yang di ucapannya hanya sebuah keseriusan, kebenaran yang nyata, walaupun kadang menyakitkan bagi sebagian orang yang mendengarnya.Namun, itulah dirinya. Hidup serius tanpa ada gurauan jenaka.Sadar dirinya sudah salah, namun lebih baik mengakuinya sebelum Zahra mengetahui dengan sendirinya.Semua hanya rekayasa saja, sejak awal Ferdian sudah merencanakan semua dengan matang. Mengingat Ajeng begitu memaksanya menikahi Renata.Ferdian tahu keadaan Renata yang terguncang, sebagai dokter yang menangani Renata dalam memulihkan mentalnya sudah pasti Ferdian tahu segalanya.Melihat kerasnya Ajeng tidak mungkin membantah dengan keras, sadar Mamanya itu baru saja pulih dari kangker payudara yang hampir merenggut nyawa.Harta paling berharga adalah