Saat melihat Ferdian yang berdiri di dekat Zahra, akhirnya Kinanti pun perlahan pergi tanpa sepengetahuan Zahra."Kamu tahu Kinanti, pengen banget itu orang aku cekik biar dia nggak kurang ajar lagi sama aku. Coba kamu pikir kalau aku nggak mau nolongin dia, pasti dia udah malu banget! Tapi, balasannya apa? Aku malah dinodai!" Kesal Zahra tanpa mengetahui bahwa Kinanti sudah pergi.Ferdian tersenyum mendengar curhatan hati Zahra, tetapi memilih diam dan mendengar apa selanjutnya dikatakan oleh istrinya tersebut."Aku baru pingsan, baru sadar, tapi dia udah ngomongin soal hak. Dia punya otak atau tidak? Sepertinya tidak!" Geram Zahra dan melihat ke samping.Kinanti tidak ada, artinya dari tadi dirinya hanya berbicara sendirian saja."Kinan, kamu tega banget sama aku," kesal Zahra dan menangis, "jadi dari tadi aku ngomong sendiri?" Zahra mengusap wajahnya dengan putus asa."Aku, di sini!" Ferdian menepuk pundak Zahra, hingga akhirnya tersadar tidak sendirian.Wajah Zahra yang pucat sema
Ferdian pun benar-benar membiarkan Zahra untuk beristirahat di kamar sendirian, memilih memberikan waktu untuk mencerna setiap kata yang barusan disampaikannya.Ferdian bukan seorang pria romantis, apa lagi pandai dalam merangkai kata. Setiap kata yang di ucapannya hanya sebuah keseriusan, kebenaran yang nyata, walaupun kadang menyakitkan bagi sebagian orang yang mendengarnya.Namun, itulah dirinya. Hidup serius tanpa ada gurauan jenaka.Sadar dirinya sudah salah, namun lebih baik mengakuinya sebelum Zahra mengetahui dengan sendirinya.Semua hanya rekayasa saja, sejak awal Ferdian sudah merencanakan semua dengan matang. Mengingat Ajeng begitu memaksanya menikahi Renata.Ferdian tahu keadaan Renata yang terguncang, sebagai dokter yang menangani Renata dalam memulihkan mentalnya sudah pasti Ferdian tahu segalanya.Melihat kerasnya Ajeng tidak mungkin membantah dengan keras, sadar Mamanya itu baru saja pulih dari kangker payudara yang hampir merenggut nyawa.Harta paling berharga adalah
Mungkin Zahra benar-benar mampu membuat Ferdian merasa tertarik, sehingga tidak perlu menunggu lama sudah langsung jatuh hati."Mas, di sini?" Kinanti dari tadi mencari keberadaan suaminya itu, dan ternyata ada di gazebo taman belakang. Puas Kinanti mencari dari timur ke barat, selatan dan juga utara.Ternyata suaminya ada di depan mata, terlalu lebay juga memang tidak baik. Sehingga lebih baik sedang-sedang saja."Kamu nyariin Mas?" "Iya. Kinan, pengen makan nasi goreng di pinggir jalan."Mulut Kinanti mengerucut, mengingat Adam baru saja pulang bekerja tentunya masih cukup lelah.Ada rasa takut juga untuk meminta, tetapi dirinya juga ingin makan ditemani oleh suaminya.Adam sejenak terdiam memperhatikan wajah Kinanti, wajah wanitanya yang menggemaskan itu terlihat memohon padanya.Mungkin nanti ada waktunya Adam akan menunjukkan wajah Kinanti saat seperti ini, dengan tujuan agar Ferdian pusing dan semakin mempercepat proses mendapatkan gelar sebagai seorang Ayah."Mas," Kinanti me
Di desa inilah Kinanti di lahirkan, sebuah desa terpencil yang terletak di sudut kota. Jauh dari kata elit seperti kehidupannya saat ini, bahkan di sini hanya terlihat hamparan sawah yang luas.Lama sudah tidak melihat desanya tersebut, membuatnya merasa kerinduan kian semakin dalam.Sebuah sawah yang kini di pandangi dulu adalah tempat nya bermain bersama dengan teman-teman, salah satunya adalah Bayu.Mandi di sungai bersama tanpa rasa takut, pulang saat hari mulai petang. Itu pun karena, orang tua mereka datang dengan membawa sebilah kayu yang mampu membuat jantung berdebar kencang.Merasa kayu tersebut adalah sebuah ancaman yang sangat menyakitkan, padahal pada dasarnya hanya sebagai alat agar segera pulang yang di bawa orang tua mereka.Sehingga ketakutan dan memilih segera pulang, semua itu hanya sebuah kenangan indah yang tidak mungkin bisa di ulang kembali.Ternyata keputusan ini adalah tepat, pulang ke kampung halaman adalah sebuah kebahagiaan yang luar biasa.Seketika bayanga
"Sayang, buka pintunya dong. Jangan ngambek dong. Malu kalau Ayah tau," kata Adam dari depan pintu kamar.Kinanti tidak perduli sama sekali, hanya diam dan memilih berdiri di depan jendela kamar yang terbuka.Malam ini terasa begitu indah, suasana desa yang sunyi benar-benar menciptakan sebuah ketenangan."Sayang," panggil Adam lagi dari depan pintu kamar dengan gorden yang terurai."Ayah ngapain? Ngeronda?" Seloroh Fikri.Adam menatap Fikri penuh permusuhan, sejak tadi anak sulungnya itu terus saja menjengkelkan."Mas Adam, sedang menunggu jemputan Mbak Kinan," celetuk Kenan, sambil berjalan memasuki kamar.Begitu juga Fikri yang ikut masuk ke dalam kamar dengan ukuran 2×2 tersebut.Adam sampai melongo saat melihat kedua anaknya yang masuk begitu saja, awalnya Adam berpikir jika pintunya di kunci.Seketika itu juga Adam ikut masuk, ternyata kamar tersebut tidak memiliki pintu. Hanya gorden yang menjadi penutup daruratnya.Sial! Adam benar-benar merutuki kebodohannya sendiri.Percuma
Tenda pun sudah terpasang di halaman rumah, walaupun banyak drama sebelumnya.Tidak lupa juga api unggun menyala dengan besarnya, terlihat cantik dan menghangatkan tubuh."Bayu, apa kau punya gitar?" Tanya Zidan sambil membalikkan beberapa jagung bakar yang hampir matang."Tidak, aku hanya punya senjata," jawab Bayu dengan serius."Senjata apa? Dasar gila!" Zidan tertawa kecil saat mendengar jawaban Bayu, "adik ipar tidak ada otak!"Tidak menyangka jika ternyata Bayu juga seorang pria humoris, sesuai dengan adiknya yang suka bersikap sesukanya.Serena pun mencubit perut Bayu, kesal sekali saat mendengar jawaban Bayu barusan."Sakit cantik!" Bayu pun menguap perutnya seakan meringis menahan sakit."Makanya nggak usah aneh-aneh!" Serena pun mengerucutkan bibirnya kesal sampai di ubun-ubun pada Bayu."Aneh?" Bayu berpura-pura bodoh, seakan tidak mengerti sama sekali, "maksudnya?" Bayu kembali bertanya."Apanya yang punya senjata?" Kini Serena yang bertanya, dengan suara pelan sambil meng
"Kamu yakin nggak mau ikut liburan di desa bersama yang lainnya?"Dari kemarin hari Zahra terus menutup mulut, tidak ingin berbicara sedikitpun dengan Ferdian. Apa pun alasan Ferdian atas pernikahan ini, tetap saja salah di mata Zahra.Menikahinya dengan memaksa sangatlah tidak bisa di anggap sebagai kesalahan ringan, sungguh yang dilakukan oleh Ferdian kesalahan besar.Menyangkut masa depan Zahra yang sudah di bayangkan bersamaan dengan kekasihnya, orang yang dicintainya, meminangnya dan juga hidup bersama.Anggap saja Ferdian benar mencintainya, lantas bagaimana dengan dirinya yang tidak mencintai Ferdian?Bukankah seharusnya menikah dengan orang yang saling mencintai?Bagaimana jika Ferdian hanya sekedar tertarik, sedangkan besok atau lusa tidak tahu seperti apa?Bagaimana cara menjalani biduk rumah tangga tanpa ikatan cinta? Alasan hanya sebuah keterpaksaan, sampai saat ini pun Zahra belum menerima pernikahannyaBelum lagi dirinya yang sudah tidak suci, semuanya karena Ferdian."
"Zahra?" Kinanti tersenyum saat melihat kedatangan seorang sahabatnya lagi, tentu saja liburan ini akan sangat menyenangkan.Zahra pun begitu bahagia sampai melepaskan tas di tangannya dan ingin memeluk Kinanti.Namun, siapa sangka ternyata tas itu jatuh tepat di atas kaki Ferdian."Kinanti," Zahra menghambur memeluk Kinanti dengan rasa bahagia."Aduh," Ferdian meringis menahan sakit, rasanya luar biasa. Andai saja yang melakukan Adam pasti sudah di hajar habis-habisan, sayangnya ini kecerobohan Zahra.Tentu Ferdian tidak ada keberanian untuk membalasnya, marah saja tidak bisa."Ahahahhaha," Adam dan Zidan menertawakan Ferdian, menurut keduanya hal yang seperti ini jarang terjadi hingga menjadi hiburan di malam ini."Dasar sialan!" Seru Ferdian kesal pada Adam dan Zidan."Siapa yang menjatuhkan benda itu di atas kaki mu?" Tanya Zidan, "istri mu sendiri!" Jawab Zidan lagi, "jadi kau mengatakan bahwa istri mu sendiri sialan?" Tanya Zidan lagi.Zahra pun menatap Zidan dan Ferdian bergant
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada