"Happy Birthday to you, happy Birthday to you!" Sang Dewi Fortuna akan tengah memihaknya. Lagi-lagi Jelita terselamatkan dari pertanyaan tersebut berkat Chanda, Catherine, Bella, Yesi, dan juga Nicky yang datang untuk memberikan kejutan. Dengan sebuah kue black forest kesukaan Mark, mereka perlahan masuk sambil menyanyikan lagu ulang tahun. "Selamat ulang tahun, Nak!" ucap Catherine dengan kedua matanya yang berkaca-kaca menahan emosi yang ada di dalam hatinya. Perlahan-lahan Jelita mulai berjalan mundur, memberikan ruang antara anggota keluarga di natal untuk saling berinteraksi dan kembali menjalin ikatan yang sempat terurai. Karena ruangan cukup ramai, Jelita puan memutuskan untuk keluar. Terutama karena adanya Bella. Jelita tak ingin ada keributan hanya karena Bella melihat ia turut berada di sana. Dibantu oleh Nicky dan Chandra, Catherine pun berdiri dari kursi rodanya. Wanita tua itu perlahan melangkah mendekati putranya lalu memeluk Mark dengan erat. "Maafkan Momm
"Mark! Mark!" seru Catherine yang masih berada di samping putranya. "Nak, kamu kenapa, Sayang? Mark tolong jangan buat Mommy takut!" Semua orang yang berada di dalam ruangan itu pun terkejut, mendapati Mark yang berteriak kesakitan sambil memukul-mukul kepalanya. "Nicky, cepat panggil dokter!" titah Chandra yang mulai panik. Kondisinya terlihat lebih buruk dari semalam, karena kini tetesan darah perlahan keluar dari lubang hidungnya. Mark berteriak histeris, tak sanggup menahan rasa sakit di kepalanya yang amat menyiksa. Tak lama, dokter dan perawat pun langsung datang. Lalu segera menangani Mark yang mengerang kesakitan. Kekhawatiran Chandra bukan hanya tertuju pada putranya, tetapi Jelita pun masih terus bergeming hingga akhirnya teriakan Mark yang meninggi membuat Jelita yang sedari tadi mematung tiba-tiba saja jatuh pingsan dalam rangkulan Yesi. *** "Heh, kau itu harus sadar diri! Gak usah banyak tingkah." Seorang anak yang baru memasuki usia remaja itu hanya
Ting! Sebuah notifikasi pesan singkat masuk pun berbunyi. Nicky meraih ponselnya dan membaca pesan singkat tersebut. 'Aku akan menunggumu di depan lift! Kalau sampai kamu tidak datang, bukan hanya nomer ponselmu saja yang aku blokir, tapi kamu juga!' Nicky menelan salivanya dengan sudah payah, lalu melihat sosok yang baru saja mengancamnya lewat pesan singkat. "Kalau begitu saya permisi dulu ya, Om, Tante. Kalau butuh bantuan jangan segan hubungi saya, kebetulan saya sedang jaga IGD." Zeya tersenyum hingga membuat Nicky merinding. Senyuman wanita itu penuh arti terutama tatapannya pada Nicky yang terasa begitu mengancam. "Pak, saya izin keluar dulu. Kebetulan ada yang mau saya beli di minimarket. Kalau misalkan butuh sesuatu bisa langsung hubungi saya saja," ucap Nicky beralasan. Nicky pun mulai keluar dari ruang rawat inap dan berjalan menuju lift. Ia melambatkan langkahnya, mengikuti Zeya yang berjalan di depannya. Ketika mereka sampai di depan lift, Zeya sontak saja b
"Jika aku tidak diadopsi, jika aku tidak membuat Chintya kesal, pasti semua tidak akan pernah seperti ini. C-chintya tidak akan pernah berpikir untuk mengusikku aku dengan cara merebut tunanganku. Dan pada akhirnya ia pasti akan menikah dengan Mark tanpa masalah seperti ini!" Suara Jelita gemetar, Jelita tak sanggup lagi menahan semua perasaannya yang kian mengusik. Mengingat semuanya saja sudah membuatnya terganggu, dan menceritakannya kembali seperti saat ini hanya membuat luka hatinya kembali terbuka dengan lebar. Yesi yang turut mendengarnya hanya terdiam tak bersuara. Kehidupan Jelita yang sudah begitu sulit seharusnya tidak semakin diperparah dengan sikap tak baik dari keluarga suaminya. Gadis itu berpikir, jika semua itu terjadi padanya mungkin ia tidak akan pernah bisa bertahan sejauh itu. Bagaikan seonggok batu besar yang terkikis karena tetesan air, begitulah keadaan yang paling pas untuk menggambarkan hati Catherine saat ini. Wanita yang terkenal angkuh dan
"Sialan! Gak berguna!" Tubuhnya terjatuh di lantai, bahkan membuat selang infus yang terpasang pada lengannya seketika tercabut dan menimbulkan bercak darah yang bercampur di lantai. Mark terlihat begitu frustasi, dari benar-benar merasa menjadi laki-laki tak berguna yang tak memiliki daya apapun. Mark Dinata, pria yang selalu terlihat sempurna di depan banyak mata dari segi penampilan, dan juga harta miliknya. Kini terhempas ke dalam jurang terdalam. Kekurangannya yang selama ini tertutupi oleh penampilan sempurnanya, kini semakin membuatnya terlihat menyedihkan. "Bro!" Nicky yang baru saja masuk ke dalam ruangan Mark pun terkejut melihat pemandangan yang ada di depan matanya. Dengan sigap ia membantu Mark untuk bangkit dan kembali ke atas ranjang rawat. "Tunggu sebentar!" serunya yang langsung berlari keluar ruangan menuju nurse station uang yang tak berada jauh dari sana. Tak berselang lama, Nicky pun kembali bersama seorang perawat yang tengah membawa perlengkapa
Seketika Jelita menutup mulutnya, nyaris saja ia mengeluarkan isi perutnya akibat melihat layar ponsel. Ia pun memejamkan matanya sejenak dan berkata, "Dok, saya boleh minta tolong terima telepon dari Zeya? Bilang saja saya sedang mual," pinta Jelita. "Maaf, Dok. Saya merepotkan." "Baiklah, tidak perlu minta maaf karena saya sama sekali tidak merasa direpotkan" jawab Veshal sambil menerima ponsel milik Jelita. *** "Mark, kau ini kenapa sih?" Setelah keadaan cukup tenang Nicky kembali bertanya pada sahabatnya. Melihat Mark yang mengamuk seperti orang kehilangan kewarasannya sungguh membuatnya miris. Karena Mark terlihat seperti orang lain, berbeda dengan diri Mark yang tenang dan percaya diri. "Saya cacat, saya tidak berguna," gumam Mark berulang-ulang. Deg! Nicky terdiam, ia menyadari apa yang tengah mengganggu Mark hingga membuat pria itu terguncang. Ia menghela napasnya, lalu merangkul pundak sahabatnya. Nicky yang sama sekali tidak tahu cara menghibur orang lain
"Jelita, saya minta maaf," ucap Veshal dengan penuh penyesalan. Jelita hanya diam, dan menganggap semua perkataan Mark hanyalah keegoisan pria itu semata. Jelita yang tidak mengetahui kondisi Mark saat ini hanya bisa mencaci maki Mark. Terutama saat Mark menyuruhnya untuk berhenti bekerja, benar-benar telah melukai hati Jelita. "Oh, tidak apa-apa. Saya baik-baik saja," ucap Jelita sambil berusaha menelpon kembali Mark. Namun, sudah belasan kali Jelita berusaha menghubungi suaminya, Mark sama sekali tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semua itu sungguh membuatnya semakin jengkel dan putus asa. Hingga pada akhirnya Jelita memutuskan untuk mematikan ponsel miliknya. Ia sedang tidak ingin mendengarkan apapun tentang suaminya. Hari itu ia lalui dengan perasaan yang tidak baik-baik saja. Bahkan Jelita ingin segera beristirahat, untuk sekedar menyegarkan kepalanya. "Jelita, lebih baik sekarang kamu istirahat saja. Ini kunci kamarmu, kalau kamu butuh bantuan jangan segan mem
"Terima kasih, Dok!" ucap Jelita setelah Veshal mengantarnya. Veshal tersenyum lalu memberikan bungkusan makanan yang sejak tadi ia bawa. "Karena tadi kamu menolak ikut makan malam, jadi saya belikan ini," ucap Veshal. Jelita semakin merasa tidak enak hati karena lagi-lagi sudah menyusahkan Veshal. Apalagi saat ia melihat Veshal memberikan dia ayam goreng tepung kesukaannya, yang pasti butuh waktu dan tenaga untuk memesannya, mengingat jika sekarang mereka sedang berada di kawasan puncak. "Loh, Dok. Untuk beli ini, kan kita harus ke bawah dulu! Dari sini lumayan jauh loh, Dok. Mana macet lagi gara-gara hari libur," protes Jelita yang hanya membuat Veshal semakin tersenyum. "Oh, tidak. Tadi memang kebetulan saya harus turun, makanya pas gak sengaja lewat ya saya ingat kamu. Jadi, langsung saya beli saja," jawabnya yang tentu saja hanya sekedar alasan agar Jelita tak merasa sungkan. Walaupun kenyataannya Veshal rela malam-malam naik ojek, hanya untuk membelikan makanan kesukaan wa
"Zeya, aku harus cari Zeya!" ucap Jelita panik.Jelita segera bangkit lalu sedikit meminum panas miliknya dengan gestur yang terburu-buru. "Maaf, Dok. Saya harus cari Zeya! Nanti kita ngobrol lagi ya.""Terima kasih untuk oleh-olehnya, saya sangat suka!" lanjutnya kembali dan segera pergi tanpa memberikan kesempatan Veshal untuk berbicara.Veshal menggelengkan kepalanya sambil terkekeh dengan tingkah laku Jelita yang sama sekali tidak berubah. Matanya terus menatap sosok Jelita yang semakin jauh hingga akhirnya menghilang dari pandangannya.Sementara itu Jelita berjalan cepat menuju IGD, karena seharusnya hari ini adalah waktunya Zeya untuk jaga pagi.Jelita membuka pintu yang terbuat dari kaca, lalu mengedarkan pandangannya mencari sosok sang sahabat."Ada apa, Dok?" tanya salah satu perawat yang berada di IGD."Dokter Zeya mana ya? Bukannya hari ini ia jaga pagi?" Jelita pun kembali bertanya dengan kepala yang masih menoleh ke kanan dan ke kiri."Tadi kami dapat kabar kalau Dokter Z
"Honey! Lihat mereka semua sudah berbuat tidak sopan padaku!"Tanpa sedikitpun rasa malu, Chintya berlari ke arah Mark dan menggandeng lengan kekar dari mantan tunangannya. Nada suaranya terdengar manja saat berbicara pada Mark, seperti saat ia dulu masih menjadi kekasih pria itu.Mark segera menarik tangannya dengan kasar, menatap Chintya penuh dengan kebencian yang telah mendarah daging. "Menjijikan!"Mark merogoh kantong jas dan mengambil sebuah sapu tangan dan sebotol hand sanitizer spray. Ia pun segera menyemprotkannya ke tangan yang terkena sentuhan Chintya lalu mengelapnya dengan sapu tangan dan membuangnya ke lantai."Lain kali langsung lapor polisi saya kalau dia datang kesini lagi!" seru Mark pada semua penjaga keamanan yang berada di sana."Mark kok kamu begitu sih?! Tolong dengarkan penjelasan aku dulu, ini semua salah paham! Aku selama ini dijebak!" pekik Chintya.Chintya berusaha mengejar Mark dan meraih tangannya,tetapi ia segera dihadang oleh 2 orang security yang seo
"Good morning, Sayang!"Senyuman dan ucapan mesra dari suaminya yang sudah sering ia dapatkan tak lantas membuatnya terbiasa. Jelita tertegun, memandangi wajah rupawan yang kini tersenyum dan berada tepat di hadapannya."Kenapa? Kebiasaan bengong kayak begitu."Tanpa ragu Mark mencium kening istrinya. Membuat Jelita kian terkejut dan memutuskan untuk segera beranjak dari ranjangnya."Hey, mau kemana? Bukannya kamu dinas siang?" tanya Mark.Jelita menoleh lalu menjawab, "Aku ingin bicara dengan Zeya. Aku gak mau ia salah paham karena kita semalam menolak membantunya."Secepat kilat Jelita segera bersiap. Entah mengapa perasannya tidak enak setelah ia menolak membatu Zeya untuk menemui Nicky. Setelah ia selesai, tak lupa ia turut membantu Mark untuk memilihkan pakaian apa yang akan dikenakan oleh suaminya hari itu.Tak terasa jarum jam terus berjalan sebagaimana mestinya, dan kini mobil Mark telah sampai di halaman rumah sakit tempat Jelita mengabdikan dirinya.Kruk alatnya menopang kes
"Kamu gak lagi sakit, kan Le?"Nicky tertawa dan menggeleng perlahan. Wajah kedua orang tuanya menyiratkan kebingungan dengan salah satu telapak tangan sang ayah menyentuh kening Nicky."Aku serius toh, Pak," ucap Nicky.Kedua orang tuanya saling menatap satu sama lainnya. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh putranya. Masih jelas diingatan mereka saat Nicky mengatakan tidak akan pernah menikah, tetapi kini semua perkataan itu berbanding terbalik."Kita bawa ke Mbah Tejo aja toh, Pak. Biar disembur. Ibu takut ada yang tempeli," ujar sang ibu memberi saran.Seketika Nicky tertawa. Ia tidak habis pikir jika ibunya sampai berpikiran sejauh itu.Putra satu-satunya meminta izin menikah, bukannya direstui malah ingin dibawa ke dukun karena takut ada makhluk halus yang merasuki Nicky."Bu, Pak. Aku sadar dan sehat wal afiat lahir batin loh. Aku gak ditempeli apa-apa, aku serius!" ucapnya menegaskan sambil mengacungkan jemari telunjuk dan jempol tangannya membentuk huruf v.Kedua oran
Belaian di kepalanya terasa begitu lembut hingga membuatnya tersentak dan tersadar dari alam mimpi. Baru saja matanya terbuka, wajah tampan dengan senyuman lembut seketika menyambutnya. "Mark!" "Tidur lagi saja kalau kamu masih mengantuk," ucap Mark. Jelita seketika mengedarkan pandangannya. Ternyata dirinya dan Mark masih berada di dalam mobil. Tak sengaja Jelita melihat ke arah jam tangannya, dan kini waktu sudah berlalu selama 2 jam semenjak ia tertidur. "Ini kita baru sampai? Kok lama banget?!" tanyanya yang bahkan baru menyadari jika mesin mobil sudah dalam keadaan mati, bahkan supir yang mengantarkan mereka pun sepertinya sudah turun terlebih dahulu. Mark tertawa lalu mencubit hidung istrinya. "Bukan perjalanannya yang lama, tapi kamu yang tidurnya kelamaan." "Hah?!" Wajah Jelita yang terlihat bingung semakin menambah keras tawa Mark, yang akhirnya membuat Jelita kesal dan mencubit perut suaminya. "Bodo amat! Aku mau turun!" rajuk Jelita. Jelita pun turut dari
Mark terdiam, menatap wajah sang istri yang tertidur di bahunya. Saat itu, setelah mendapatkan telepon dari Zeya, ia pun terburu-buru pergi ke rumah sakit, diantar oleh supir pribadi keluarganya. Ia pun bahkan rela menunggu dengan sabar hingga jam kerja istrinya selesai, dan kini mereka dalam perjalanan menuju ke rumah. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ucap Mark. Pak Supri tersenyum melihat kedamaian dari kedua majikannya. Tak pernah terbayangkan jika Mark yang begitu membenci istrinya, kini bisa berbalik dan sangat menaruh perhatian pada Jelita. "Namanya juga Dokter, Tuan. Pasti Nyonya capek sekali, apalagi kalau rumah sakitnya ramai," sahut Supri. "Tapi kenapa dia sangat menyukai pekerjaannya. Bahkan dia akan marah jika saya menyuruhnya untuk berhenti." Supri tertawa kecil menanggapi perkataan tuannya. Dengan mata uang masih fokus ke jalan pun ia berkata, "Ini adalah cita-cita beliau. Dan untuk menjadi dokter banyak sekali usaha yang Nyonya lakukan. Itulah yang membuat Nyon
"Kamu mau kemana?" tanya Jelita saat melihat Zeya yang sangat kelelahan dengan membawa selembar map di tangannya."Oh aku mau kasih ini ke ruang radiologi, tadi ketinggalan," ucap Zeya sambil tertawa kecil.Tanpa bertanya Jelita merebut map tersebut lalu berkata, "Biar aku saja! Kamu istirahat! Gak usah ngeyel, cukup dengerin aku!" seru Jelita yang sudah tidak tahan melihat Zeya yang terus menerus memforsir tenaganya hanya untuk membuang waktu."Tapi, Ta!" Belum juga Zeya melanjutkan perkataanya, ia pun langsung terdiam.karena Jelita yang melotot ke arahnya."Udah diem! Kalau kami gak nurut, aku akan paksa kamu besok untuk libur. Biar aja aku yang long shift untuk menggantikan kamu, paham!" ancamnya sungguh-sungguh.Dengan langkah kakinya yang cepat, Jelita pun berjalan menuju ruang Radiologi. Ia terdiam sejenak saat melewati ruangan poli kandungan seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya.Ada suatu rasa yang terbesit dihatinya, rasa rindu akan sesuatu yang samar bahkan nyaris tak
Deg!"Nicky? A-aku gak salah lihat, kan?!" Zeya menggosok kedua matanya dengan punggung tangannya beberapa kali, memastikan. jika penglihatannya tidaklah salah.Namun semakin melakukan hal tersebut maka semakin Jelas pula rupa sosok Nicky yang kini dilihatnya. Nicky jelas terlihat di atas pelaminan dan tengah tersenyum dengan memakai busana pengantin. Pria itu terlihat bahagia bersanding dengan seorang wanita yang memiliki wajah buram, seolah tidak diizinkan tertangkap oleh penglihatannya. Zeya terdiam, hatinya sungguh terasa nyeri bak luka yang tersiram air garam. Dia dan Nicky memanglah tidak memiliki hubungan apapun, lantas mengapa ia merasakan sesuatu yang menyiksa seperti ini? Tiba-tiba saja kedua mata Nicky melirik padanya, mata mereka pun saling bertemu dan pria itu pun melambaikan tangannya hingga akhirnya.BRAK!Zeya terbangun saat tubuhnya menggelinding dan jatuh dari atas ranjang. Seketika gadis itu pun meringis lalu berusaha bangkit walaupun masih dalam keadaan semp
Perkataan Jelita sontak membuat suasana menjadi hening. Nicky terdiam, bibirnya kelu untuk sekedar menjawab. "Sayang," ucap Mark berusaha menenangkan hati istrinya. Tetapi Jelita yang sudah bertahan berbulan-bulan untuk tidak ikut campur pun pada akhirnya merasa muak. Zeya memang tidak banyak bicara tentang Nicky, tapi sikap gadis itu yang berubah menjadi lebih pemurung sangat mengusik Jelita. "Gak bisa, Mark! Harusnya kalau memang gak niat sungguh-sungguh, ya gak usah dekatin Zeya. Baru digertak saja sudah melempem!" ucap Jelita sewot. Mark menepuk keningnya. Nampaknya istrinya ini sudah tidak bisa ditenangkan lagi. Sedangkan Nicky hanya menerima setiap cacian dari Jelita, seakan sudah mempersiapkan semuanya jika hal ini pasti terjadi. "Sebenarnya, bukan tanpa alasan aku menghilang," ucap Nicky. Tatapan Mark dan Juga Jelita semakin fokus pada Nicky. Raut wajah Nicky yang memelas membuat mereka panasaran akan maksud perkataan yang baru saja ia lontarkan. Mark menghel