"Pakai nanya lagi!" seru Nicky jengkel. "Perasaanmu! Selama ini kau selalu bilang kalau tak pernah memandang Jelita sebagai seorang wanita. Tapi melihat sikapmu itu, semua hanya karena gengsimu saja, kan! Mau sampai kapan kau berkelit?" sambung Nicky kembali.yttk "Bila kamu benar-benar serius dengan dia , komunikasikan dan ungkapkan semuanya. Jangan sampai karena kau terus menyanggahnya maka kau akan menyesal saat dia direbut orang lain!" Nicky menegaskan, menyadarkan Mark dari pikiran denial yang tak pernah mengakui jika ia telah jatuh hati pada istri penggantinya. Mark terdiam, tampaknya ucapan sahabatnya kini terlah tersampaikan dan membuatnya lebih berpikir terbuka. Sementara Nicky menepuk pundak sahabatnya dan berkata, "Ogut mau samperin ayang Zeya dulu. Jangan sampai confess saja keduluan Ogut!" Nicky pun berjalan keluar dari ruang perawatan Mark, meninggalkan sahabatnya sendirian dengan maksud membiarkan Mark menyerap dan memikirkan semua perkataan yang sudah susah paya
"Selamat, Pak. Nanti sore anda sudah diperbolehkan untuk pulang dan menjalani perawatan di rumah." Mark hanya tersenyum tipis kala mendengar kabar yang membahagiakan tersebut. Bagaimana tidak, kabar yang ingin ia dengarkan berdua oleh istri yang selama ini jungkir balik merawatnya, kini hanya ia dengar seorang diri saja. "Terima kasih banyak, Dok,"jawabnya. "Walau begitu, tolong jaga kesehatan, Bapak. Jangan lupa untuk rutin menjalani terapi," jawab dokter tersebut. "Kalau begitu saya pamit undur diri, kalau ada yang dibutuhkan atau dikeluhkan. bisa langsung panggil perawat saja." "Oh ya, Dok. Ada yang mau saya tanyakan di luar penyakit saya, apakah boleh?" tanya Mark yang terlihat ragu. Dokter tersebut pun tersenyum. "Silahkan, selama saya bisa menjawab maka saya akan jawab!" Mark terdiam sesaat, seolah tengah memikirkan sesuatu. "Kapan acara seminar yang diikuti istri saya usai? Maaf, Dok. Masalahnya sejak kemarin istri saya sama sekali tidak bisa dihubungi jadi saya khawa
"Selamat siang Dokter Jelita!" sapa seorang dokter senior yang bertanggung jawab dalam acara tersebut. Dokter yang bernama Eveline itu pun tersenyum ramah lalu kembali berkata, "Bagaimana kondisi Dokter Jelita sekarang?" "Siang juga, Dok. Kondisi saya sudah lebih baik, hanya saja masih bengkak dan terasa sakit," ungkap Jelita. Perhatian Jelita tertuju pada seorang pria di belakang dokter Eveline. Pria tersebut tersenyum ramah sambil membawa sebuah ransel di punggungnya. "Dokter Veshal, kenapa bawa-bawa tas?" tanya Jelita bingung. "Oh, kebetulan Dokter Veshal yang akan mengantar Dokter Jelita,' ucap Dokter Eveline. Tak ingin banyak komentar, Jelita hanya tersenyum menanggapi ucapan dari dokter Eveline. Entah hanya perasaannya ataukah memang kenyataannya, Jelita merasa jika sejak kemarin Dokter Veshal terus menerus berkaitan dengan dirinya. Terbesit rasa tidak enak hati karena takut semakin merepotkan, tetapi saat ini bukanlah waktu yang tepat untuknya walaupun hanya sekedar
"Jelita, kamu baik-baik saja?" tanya Veshal karena sepanjang perjalanan Jelita hanya terdiam sambil menatap kaca mobil yang berada di sebelahnya. Jelita menoleh dan tersenyum. "Saya baik-baik saja. Saya hanya sedang sedikit memikirkan sesuatu," ungkapnya dengan jujur. "Suamimu ya?" tebak Veshal yang dijawab anggukan kepala oleh Jelita. Veshal tersenyum kecut, entah mengapa ada perasaan perih menusuk tepat di dadanya. Veshal memang sudah menyukai Jelita sejak gadis itu masih berstatus sebagai tunangan dari mendiang Adimas, tapi terlebih dahulu bukannya berarti akan memiliki. Veshal sadar akan perasaannya, dan ia pun tak ingin membuat Jelita terbebani dan semakin menjauh darinya jika mengetahui perasaannya yang sesungguhnya. "Jelita, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Veshal. "Silahkan saja, Dok," jawab Jelita. Terbesit keraguan dalam diri Veshal. Ia juga merasa sedikit takut, takut jika jawaban yang akan dia dengar hanya akan semakin menyakiti hatinya sendiri. "Apakah kamu me
"Jelita, itu Zeya dan Mark, kan?" Jelita memerhatikan dengan seksama seorang wanita yang tengah mendorong sebuah kursi roda di depan Lobby. Akhir pekan membuat rumah sakit tidak begitu ramai, karena banyak jadwal dokter spesialis yang libur dan membuat poli tidak sibuk seperti hari biasanya. " Oh iya, Dok. Ya sudah kita berhenti disini aja!" seru Jelita yang sudah tidak sabar bertemu sahabat dan juga suaminya. Veshal yang berada di sisi kiri memutuskan untuk keluar terlebih dahulu, disusul oleh supir mobil rental itu yang membantu menurunkan tas bawaan mereka. Veshal mengitkurkan tangannya, bermaksud membantu Jelita untuk turun dari mobil. Tetapi Jelita merasa ragu, ia takut jika salah paham akan semakin parah. "Saya bisa sendiri, Dok!" serunya berusaha untuk perlahan keluar dari mobil tanpa bantuan Veshal. Veshal tidak memaksa, ia menghargai keputusan Jelita. Namun sungguh disayangkan, kakinya yang cidera masih tidak begitu kuat untuk bertumpu. Sehingga tiba-tiba Jelita nyaris
"Kalau seperti ini, aku bisa bertahan ya kira-kira sampai satu bulan!" ujarnya sambil tersenyum kecil. Bella mengambil sebuah tas kecil milik ibunya yang berada di dalam lemari kaca. Gadis itu tanpa rasa berdosa, mengambil sejumlah uang tunai dan juga perhiasan emas milik ibunya Catherine tanda bukti kepemilikannya agar memudahkannya untuk dijual. Setelah dirasa cukup, Bella segera keluar dengan tergesa-gesa, dan kembali menuju kamarnya. Bella menutup pintu kamarnya dan menguncinya, lalu memasukkan perhiasan dan uang tersebut ke dalam saku celana dan juga tas yang akan dibawa keluar. Mengandalkan kesibukan yang tengah terjadi, Bella melempar tas miliknya dari jendela kamarnya dan terjatuh di halaman samping. Selanjutnya ia berjalan seperti biasa, dengan menggunakan kaos dan celana pendek sambil berpura-pura memainkan ponselnya. Setelah berhasil keluar dan berjalan ke halaman samping, Bella kembali memutar otak untuk bisa melewati gerbang utama dan mengelabui pandangan s
"Mark, a-aku minta maaf kalau aku sudah berbuat salah padamu. Tapi sungguh, kamu cuma salah paham saja!" ungkap Jelita sambil menahan gemetar karena menahan rasa sakit pada kakinya. Dengan raut wajah dinginnya Mark hanya berkata tanpa menulis sedikitpun ke arah istrinya, "Masuk saja, nanti kita bicarakan lagi!" Jelita pun segera masuk ke dalam mobil dengan dibantu Zeya dan juga Nicky. Hingga semula selesai, Nicky mulai mengemudikan mobilnya kembali meninggalkan area rumah sakit. Sepanjang perjalanan mereka terdiam, tidak ada yang bersuara sedikitpun. Hanya Zeya dan Nicky yang saling lirik satu sama lainnya, seakan memberikan isyarat tanpa harus mengeluarkan suara. "Ta, aku Ama Nicky ada perlu sebentar. Gak apa-apa, kan kamu sama Mark nunggu dulu?" tanya Zeya. Jekita pun mengangguk dan hanya berkata dengan suara yang bahkan nyaris tidak terdengar, "Ya, gak apa-apa." Setelah berputar-putar untuk mencari tempatnya yang pas, pada akhirnya mereka memasuki kawasan Pantai Ancol. Nick
"Sayang?" tanya Nicky tersentak. Zeya mencubit bokong Nicky hingga pria itu meringis kesakitan dibuatnya. Gadis itupun segera mengambil ice cream milik lalu kian mengeratkan genggamannya pada lengan kekar Nicky yang terbalut kemeja berlengan panjang. "Mereka siapa, Sayang?" tanya Zeya sambil menunjuk dua orang yang sudah membuat Nicky menjadi seperti orang lain. Nicky yang mengerti maksud Zeya pun mulai mengikuti alur sandiwara gadis itu, "Oh, dia mantan aku sayang bersama dengan calon suaminya yang paling mapan." Tidak terima dengan jawaban Nicky, sontak membuat Ayrin meradang. Ayrin yang tidak mengetahui bagaimana suksesnya Nicky saat ini, terus menerus meremehkan pria itu tiap kali mereka bertemu dan dengan bangga selalu berkata jika Nicky tidak akan pernah bisa move on dari dirinya. "Ya iyalah, calon suamiku adalah seorang manager dari perusahan besar. Tidak seperti kamu yang hanya merupakan karyawan biasa!" serunya yang membuat Zeya ingin tertawa terpingkal-pingkal. "H