Seketika Jelita menutup mulutnya, nyaris saja ia mengeluarkan isi perutnya akibat melihat layar ponsel. Ia pun memejamkan matanya sejenak dan berkata, "Dok, saya boleh minta tolong terima telepon dari Zeya? Bilang saja saya sedang mual," pinta Jelita. "Maaf, Dok. Saya merepotkan." "Baiklah, tidak perlu minta maaf karena saya sama sekali tidak merasa direpotkan" jawab Veshal sambil menerima ponsel milik Jelita. *** "Mark, kau ini kenapa sih?" Setelah keadaan cukup tenang Nicky kembali bertanya pada sahabatnya. Melihat Mark yang mengamuk seperti orang kehilangan kewarasannya sungguh membuatnya miris. Karena Mark terlihat seperti orang lain, berbeda dengan diri Mark yang tenang dan percaya diri. "Saya cacat, saya tidak berguna," gumam Mark berulang-ulang. Deg! Nicky terdiam, ia menyadari apa yang tengah mengganggu Mark hingga membuat pria itu terguncang. Ia menghela napasnya, lalu merangkul pundak sahabatnya. Nicky yang sama sekali tidak tahu cara menghibur orang lain
"Jelita, saya minta maaf," ucap Veshal dengan penuh penyesalan. Jelita hanya diam, dan menganggap semua perkataan Mark hanyalah keegoisan pria itu semata. Jelita yang tidak mengetahui kondisi Mark saat ini hanya bisa mencaci maki Mark. Terutama saat Mark menyuruhnya untuk berhenti bekerja, benar-benar telah melukai hati Jelita. "Oh, tidak apa-apa. Saya baik-baik saja," ucap Jelita sambil berusaha menelpon kembali Mark. Namun, sudah belasan kali Jelita berusaha menghubungi suaminya, Mark sama sekali tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semua itu sungguh membuatnya semakin jengkel dan putus asa. Hingga pada akhirnya Jelita memutuskan untuk mematikan ponsel miliknya. Ia sedang tidak ingin mendengarkan apapun tentang suaminya. Hari itu ia lalui dengan perasaan yang tidak baik-baik saja. Bahkan Jelita ingin segera beristirahat, untuk sekedar menyegarkan kepalanya. "Jelita, lebih baik sekarang kamu istirahat saja. Ini kunci kamarmu, kalau kamu butuh bantuan jangan segan mem
"Terima kasih, Dok!" ucap Jelita setelah Veshal mengantarnya. Veshal tersenyum lalu memberikan bungkusan makanan yang sejak tadi ia bawa. "Karena tadi kamu menolak ikut makan malam, jadi saya belikan ini," ucap Veshal. Jelita semakin merasa tidak enak hati karena lagi-lagi sudah menyusahkan Veshal. Apalagi saat ia melihat Veshal memberikan dia ayam goreng tepung kesukaannya, yang pasti butuh waktu dan tenaga untuk memesannya, mengingat jika sekarang mereka sedang berada di kawasan puncak. "Loh, Dok. Untuk beli ini, kan kita harus ke bawah dulu! Dari sini lumayan jauh loh, Dok. Mana macet lagi gara-gara hari libur," protes Jelita yang hanya membuat Veshal semakin tersenyum. "Oh, tidak. Tadi memang kebetulan saya harus turun, makanya pas gak sengaja lewat ya saya ingat kamu. Jadi, langsung saya beli saja," jawabnya yang tentu saja hanya sekedar alasan agar Jelita tak merasa sungkan. Walaupun kenyataannya Veshal rela malam-malam naik ojek, hanya untuk membelikan makanan kesukaan wa
"Pakai nanya lagi!" seru Nicky jengkel. "Perasaanmu! Selama ini kau selalu bilang kalau tak pernah memandang Jelita sebagai seorang wanita. Tapi melihat sikapmu itu, semua hanya karena gengsimu saja, kan! Mau sampai kapan kau berkelit?" sambung Nicky kembali.yttk "Bila kamu benar-benar serius dengan dia , komunikasikan dan ungkapkan semuanya. Jangan sampai karena kau terus menyanggahnya maka kau akan menyesal saat dia direbut orang lain!" Nicky menegaskan, menyadarkan Mark dari pikiran denial yang tak pernah mengakui jika ia telah jatuh hati pada istri penggantinya. Mark terdiam, tampaknya ucapan sahabatnya kini terlah tersampaikan dan membuatnya lebih berpikir terbuka. Sementara Nicky menepuk pundak sahabatnya dan berkata, "Ogut mau samperin ayang Zeya dulu. Jangan sampai confess saja keduluan Ogut!" Nicky pun berjalan keluar dari ruang perawatan Mark, meninggalkan sahabatnya sendirian dengan maksud membiarkan Mark menyerap dan memikirkan semua perkataan yang sudah susah paya
"Selamat, Pak. Nanti sore anda sudah diperbolehkan untuk pulang dan menjalani perawatan di rumah." Mark hanya tersenyum tipis kala mendengar kabar yang membahagiakan tersebut. Bagaimana tidak, kabar yang ingin ia dengarkan berdua oleh istri yang selama ini jungkir balik merawatnya, kini hanya ia dengar seorang diri saja. "Terima kasih banyak, Dok,"jawabnya. "Walau begitu, tolong jaga kesehatan, Bapak. Jangan lupa untuk rutin menjalani terapi," jawab dokter tersebut. "Kalau begitu saya pamit undur diri, kalau ada yang dibutuhkan atau dikeluhkan. bisa langsung panggil perawat saja." "Oh ya, Dok. Ada yang mau saya tanyakan di luar penyakit saya, apakah boleh?" tanya Mark yang terlihat ragu. Dokter tersebut pun tersenyum. "Silahkan, selama saya bisa menjawab maka saya akan jawab!" Mark terdiam sesaat, seolah tengah memikirkan sesuatu. "Kapan acara seminar yang diikuti istri saya usai? Maaf, Dok. Masalahnya sejak kemarin istri saya sama sekali tidak bisa dihubungi jadi saya khawa
"Selamat siang Dokter Jelita!" sapa seorang dokter senior yang bertanggung jawab dalam acara tersebut. Dokter yang bernama Eveline itu pun tersenyum ramah lalu kembali berkata, "Bagaimana kondisi Dokter Jelita sekarang?" "Siang juga, Dok. Kondisi saya sudah lebih baik, hanya saja masih bengkak dan terasa sakit," ungkap Jelita. Perhatian Jelita tertuju pada seorang pria di belakang dokter Eveline. Pria tersebut tersenyum ramah sambil membawa sebuah ransel di punggungnya. "Dokter Veshal, kenapa bawa-bawa tas?" tanya Jelita bingung. "Oh, kebetulan Dokter Veshal yang akan mengantar Dokter Jelita,' ucap Dokter Eveline. Tak ingin banyak komentar, Jelita hanya tersenyum menanggapi ucapan dari dokter Eveline. Entah hanya perasaannya ataukah memang kenyataannya, Jelita merasa jika sejak kemarin Dokter Veshal terus menerus berkaitan dengan dirinya. Terbesit rasa tidak enak hati karena takut semakin merepotkan, tetapi saat ini bukanlah waktu yang tepat untuknya walaupun hanya sekedar
"Jelita, kamu baik-baik saja?" tanya Veshal karena sepanjang perjalanan Jelita hanya terdiam sambil menatap kaca mobil yang berada di sebelahnya. Jelita menoleh dan tersenyum. "Saya baik-baik saja. Saya hanya sedang sedikit memikirkan sesuatu," ungkapnya dengan jujur. "Suamimu ya?" tebak Veshal yang dijawab anggukan kepala oleh Jelita. Veshal tersenyum kecut, entah mengapa ada perasaan perih menusuk tepat di dadanya. Veshal memang sudah menyukai Jelita sejak gadis itu masih berstatus sebagai tunangan dari mendiang Adimas, tapi terlebih dahulu bukannya berarti akan memiliki. Veshal sadar akan perasaannya, dan ia pun tak ingin membuat Jelita terbebani dan semakin menjauh darinya jika mengetahui perasaannya yang sesungguhnya. "Jelita, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Veshal. "Silahkan saja, Dok," jawab Jelita. Terbesit keraguan dalam diri Veshal. Ia juga merasa sedikit takut, takut jika jawaban yang akan dia dengar hanya akan semakin menyakiti hatinya sendiri. "Apakah kamu me
"Jelita, itu Zeya dan Mark, kan?" Jelita memerhatikan dengan seksama seorang wanita yang tengah mendorong sebuah kursi roda di depan Lobby. Akhir pekan membuat rumah sakit tidak begitu ramai, karena banyak jadwal dokter spesialis yang libur dan membuat poli tidak sibuk seperti hari biasanya. " Oh iya, Dok. Ya sudah kita berhenti disini aja!" seru Jelita yang sudah tidak sabar bertemu sahabat dan juga suaminya. Veshal yang berada di sisi kiri memutuskan untuk keluar terlebih dahulu, disusul oleh supir mobil rental itu yang membantu menurunkan tas bawaan mereka. Veshal mengitkurkan tangannya, bermaksud membantu Jelita untuk turun dari mobil. Tetapi Jelita merasa ragu, ia takut jika salah paham akan semakin parah. "Saya bisa sendiri, Dok!" serunya berusaha untuk perlahan keluar dari mobil tanpa bantuan Veshal. Veshal tidak memaksa, ia menghargai keputusan Jelita. Namun sungguh disayangkan, kakinya yang cidera masih tidak begitu kuat untuk bertumpu. Sehingga tiba-tiba Jelita nyaris
Mark terdiam, menatap wajah sang istri yang tertidur di bahunya. Saat itu, setelah mendapatkan telepon dari Zeya, ia pun terburu-buru pergi ke rumah sakit, diantar oleh supir pribadi keluarganya. Ia pun bahkan rela menunggu dengan sabar hingga jam kerja istrinya selesai, dan kini mereka dalam perjalanan menuju ke rumah. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ucap Mark. Pak Supri tersenyum melihat kedamaian dari kedua majikannya. Tak pernah terbayangkan jika Mark yang begitu membenci istrinya, kini bisa berbalik dan sangat menaruh perhatian pada Jelita. "Namanya juga Dokter, Tuan. Pasti Nyonya capek sekali, apalagi kalau rumah sakitnya ramai," sahut Supri. "Tapi kenapa dia sangat menyukai pekerjaannya. Bahkan dia akan marah jika saya menyuruhnya untuk berhenti." Supri tertawa kecil menanggapi perkataan tuannya. Dengan mata uang masih fokus ke jalan pun ia berkata, "Ini adalah cita-cita beliau. Dan untuk menjadi dokter banyak sekali usaha yang Nyonya lakukan. Itulah yang membuat Nyon
"Kamu mau kemana?" tanya Jelita saat melihat Zeya yang sangat kelelahan dengan membawa selembar map di tangannya."Oh aku mau kasih ini ke ruang radiologi, tadi ketinggalan," ucap Zeya sambil tertawa kecil.Tanpa bertanya Jelita merebut map tersebut lalu berkata, "Biar aku saja! Kamu istirahat! Gak usah ngeyel, cukup dengerin aku!" seru Jelita yang sudah tidak tahan melihat Zeya yang terus menerus memforsir tenaganya hanya untuk membuang waktu."Tapi, Ta!" Belum juga Zeya melanjutkan perkataanya, ia pun langsung terdiam.karena Jelita yang melotot ke arahnya."Udah diem! Kalau kami gak nurut, aku akan paksa kamu besok untuk libur. Biar aja aku yang long shift untuk menggantikan kamu, paham!" ancamnya sungguh-sungguh.Dengan langkah kakinya yang cepat, Jelita pun berjalan menuju ruang Radiologi. Ia terdiam sejenak saat melewati ruangan poli kandungan seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya.Ada suatu rasa yang terbesit dihatinya, rasa rindu akan sesuatu yang samar bahkan nyaris tak
Deg!"Nicky? A-aku gak salah lihat, kan?!" Zeya menggosok kedua matanya dengan punggung tangannya beberapa kali, memastikan. jika penglihatannya tidaklah salah.Namun semakin melakukan hal tersebut maka semakin Jelas pula rupa sosok Nicky yang kini dilihatnya. Nicky jelas terlihat di atas pelaminan dan tengah tersenyum dengan memakai busana pengantin. Pria itu terlihat bahagia bersanding dengan seorang wanita yang memiliki wajah buram, seolah tidak diizinkan tertangkap oleh penglihatannya. Zeya terdiam, hatinya sungguh terasa nyeri bak luka yang tersiram air garam. Dia dan Nicky memanglah tidak memiliki hubungan apapun, lantas mengapa ia merasakan sesuatu yang menyiksa seperti ini? Tiba-tiba saja kedua mata Nicky melirik padanya, mata mereka pun saling bertemu dan pria itu pun melambaikan tangannya hingga akhirnya.BRAK!Zeya terbangun saat tubuhnya menggelinding dan jatuh dari atas ranjang. Seketika gadis itu pun meringis lalu berusaha bangkit walaupun masih dalam keadaan semp
Perkataan Jelita sontak membuat suasana menjadi hening. Nicky terdiam, bibirnya kelu untuk sekedar menjawab. "Sayang," ucap Mark berusaha menenangkan hati istrinya. Tetapi Jelita yang sudah bertahan berbulan-bulan untuk tidak ikut campur pun pada akhirnya merasa muak. Zeya memang tidak banyak bicara tentang Nicky, tapi sikap gadis itu yang berubah menjadi lebih pemurung sangat mengusik Jelita. "Gak bisa, Mark! Harusnya kalau memang gak niat sungguh-sungguh, ya gak usah dekatin Zeya. Baru digertak saja sudah melempem!" ucap Jelita sewot. Mark menepuk keningnya. Nampaknya istrinya ini sudah tidak bisa ditenangkan lagi. Sedangkan Nicky hanya menerima setiap cacian dari Jelita, seakan sudah mempersiapkan semuanya jika hal ini pasti terjadi. "Sebenarnya, bukan tanpa alasan aku menghilang," ucap Nicky. Tatapan Mark dan Juga Jelita semakin fokus pada Nicky. Raut wajah Nicky yang memelas membuat mereka panasaran akan maksud perkataan yang baru saja ia lontarkan. Mark menghel
Kegaduhan sejak pagi sudah terlihat disebuah gedung pencakar langit. Para pekerja mulai dari cleaning service hingga para petinggi tampak sibuk untuk menyiapkan sesuatu. Jam sudah menunjukkan pukul 8 tepat, sebuah mobil merk eropa berwarna hitam pun berhenti tepat di lobby dan menurunkan sosok yang telah dinantikan. Suara langkah kaki dan hentakkan dari Kruk saling bersahutan dan menjadi pusat perhatian. Namun bukan hanya itu, kehadiran sosok wanita yang mendampingi Mark pun sontak membuat seluruh tatapan mata benar-benar tertuju pada mereka berdua. "Selamat datang kembali, Pak Mark Dinata." ucap seluruh karyawan serentak dengan Yesi yang membawa sebuket bunga dan diberikannya kepada Mark. "Selamat datang Pak Mark dan selamat datang juga di kantor kami Ibu Jelita," sapa Yesi dengan sopan. Terbalut dengan blouse dan rok selutut, Jelita tampak anggun mendampingi suaminya. Penampilan sungguh terlihat kontras dengan Chintya yang dulu selalu datang dengan pakaian yang terbuka d
"Dor!" Zeya tersentak kala seseorang tiba-tiba saja mengagetkannya dari arah belakang. Sontak ia pun menoleh dan melihat Jelita yang tersenyum lebar ke arahnya. "Kau ini pagi-pagi mau buat jantungku copot, hah?" protesnya yang malah membuat Jelita tertawa. Tak terasa sudah setengah tahun berlalu sejak kejadian malam itu. Kini banyak yang mulai berubah, dimulai dari Dokter Veshal yang tiba-tiba saja mengundurkan diri, Zeya yang dipaksa untuk kembali tinggal bersama kedua orang tuanya, serta sosok Nicky yang seolah menghilang tanpa jejak dari kehidupan gadis itu. Semua masih terasa begitu baru, sehingga membuat Zeya tak bisa terbiasa. "Udah ah jangan cemberut gitu. Nih aku punya sesuatu buat kamu," ucap Jelita seraya menyerahkan sekotak kue kesukaan sahabatnya itu. Wajah Zeya pun berubah, gadis itu mengembangkan senyumannya "Serius nih buat aku?" "Iya. Ya sudah aku mau temani Mark terapi dulu ya! Jangan lupa dimakan, oke!" Jelita pun meninggalkan sahabatnya. Sejenak
"Sekarang coba jelaskan pada Ayah!" Pada akhirnya Nicky tertangkap basah setelah tergelincir, karena berusaha keluar dari dalam bak mandi tempat persembunyian keduanya. Kini Nicky dan Zeya pun tengah diintrogasi bak seorang terdakwa kasus kriminal. Keduanya duduk di atas karpet dengan kepala menunduk di hadapan Hana dan juga Hans yang menatap nanar mereka. "Ini semua gara-gara kau!" bisik Zeya kesal. "Aku, kan gak tau kalau bakal begini, Beb," jawab Nicky berbisik. "Ehem! Zeya Alisiana! Kamu mendengarkan Ayah tidak?!" Seketika keheningan melahap suasana malam itu. Zeya kembali terdiam, bahkan tak mampu untuk menatap wajah kedua orang tuanya. Hans menghela napasnya dan kembali berkata, "Kami tau jika usiamu sudah matang untuk menjalin hubungan dan menikah. Tetapi tidak seperti ini, Zeya. Kami selama ini melarangmu berpacaran, bukan hanya sekedar keinginan kami, tapi juga untuk menjaga martabat kamu sendiri dari hal-hal tak diinginkan." "Tapi, Ayah dan Bunda salah paham
Kriett! Bunyi pintu kamar yang terbuka seakan memecah keheningan di dalam ruangan tersebut. Perlahan-lahan Jelita berjalan ke arah ranjang, dimana sang suami telah berbaring dan berpura-pura tertidur. "Aku tau kamu belum tidur," tebaknya sambil duduk di tepian ranjang, bibirnya sedikit meringis merasakan sakit pada kakinya yang tak kunjung mereda. Namun, tak ada jawaban. Mark terus memejamkan matanya, seolah sudah terbuai ke alam mimpinya. "Jadi kamu mau ngambek lagi nih? Baiklah," lanjut Jelita. Jelita melirik ke arah Mark, menatap kelopak mata sang suami yang bergetar walaupun dalam keadaan tertutup. "Dasar," gumam Jelita seraya menggelengkan kepalanya. Jelita terdiam sejenak, memikirkan cara untuk bisa berbicara dengan suaminya yang sangat keras kepala. Hingga akhirnya ia perlahan menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang lalu tiba-tiba berbaring dan memeluk Mark yang berada di sebelahnya. Sikap Jelita yang tiba-tiba, membuat Mark tersentak dan langsung membuka matany
"Gawat kenapa?" tanya Nicky yang bingung, apalagi melihat keadaan Zeya yang panik seperti itu. "Memangnya siapa yang datang malam-malam begini?" "Duh, kamu ini gak usah banyak tanya! Sekarang ayo sembunyi dulu!" seru Zeya dengan keringat dingin yang mulai mengalir dari keningnya. Zeya berpikir keras sambil menoleh ke kanan dan ke kiri mencari tempat yang pas untuk menyembunyikan Nicky. "Hah, ada apa sih?" tanya Nicky kembali yang semakin bingung dengan sikap Zeya. Bel terus berbunyi tanpa henti, selaras dengan rasa panik gadis itu yang kian semakin meningkat. Tanpa berpikir panjang Zeya menarik-narik lengan Nicky menuju kamarnya lalu membuka lemari pakaiannya. "Ngumpet, kamu ngumpet disini dulu sebentar aja!" seru Zeya melotot yang hanya dijawab anggukannya pasrah oleh Nicky. Tak lama Zeya mengambil sepatu Nicky yang berada dekat pintu dan juga jas hitam yang tersampir di atas sofa. Zeya turut menyembunyikannya di dalam lari.bersama dengan Nicky, seolah ia ingin menghapus