"Dear, bagaimana menurut kamu tentang Kana Maholtra? Dia wanita yang cantik dan baik, kan?" Veshal menghentikan makannya, meletakkan alat makan di atas piring lalu meminum segelas air mineral hingga tandas. "Ma, stop jodoh-jodohkan aku. Aku belum siap menikah atau apapun itu!" jawabnya dengan sopan. Mrs Khan menghela napasnya. Sudah ketiga kalinya ia berusaha menjodohkan putranya. Mulai dengan wanita pribumi hingga keturunan India, tetapi tidak ada satupun yang diterima putra kesayangannya itu. "Kamu masih kepikiran Jasmine? Dia sudah tenang, Sayang. Sekarang waktunya kamu menjalani kehidupan baru," ucapnya kembali, yang terus berusaha sekuat tenaga membujuk Veshal. Tetapi Veshal hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum, "Bukan Ma. Aku sudah ikhlaskan Jasmine." "Lantas tunggu apa lagi?" tanya Mrs Khan, wanita tua itu sejenak berpikir lalu mengulas senyumnya setelah melihat mimik wajah putranya. "Oh Mama tau! Kamu pasti sudah punya pilihan sendiri, kan?" Mr.Khan yang se
"Selamat pagi, Tante. Bagaimana kabarnya hari ini?" Jelita tersenyum dan melangkah masuk menuju ruang rawat inap kelas VVIP tersebut. Tanpa ragu Jelita meraih sarapan pasien yang sudah tersedia di atas meja, dan membawanya mendekati Catherine. "Tante, kita sarapan dulu biar cepat sembuh!" ucapnya tersenyum lebar. Sudah beberapa hari setelah Catherine dan Mark pindah rumah sakit. Jelita terus menerus berusaha untuk mengurus dirinya. Walaupun hanya sebentar kala waktu luang di tengah kesibukannya, Jelita terus saja mendatangi kamar rawatnya. Perlahan Jelita mulai menaikkan posisi ranjang Catherine, membuat posisinya yang berbaring, menjadi setengah duduk. "Hari ini katanya ada jadwal Tante terapi, jadi izinkan saya yang akan suapin Tante ya!" bujuk Jelita yang masih menyadari ketidaksukaan Catherine terhadap dirinya. Catherine hanya diam dan membuang pandangannya ke sembarang arah. Lehernya yang masih terpasang gips, membuatnya tak mampu menggerakkan kepala dengan leluasa. "
"Maksud kamu apa? Jadi selama ini kamu memanfaatkan aku?!" Adimas membentak, hingga suaranya terdengar keseluruhan ruangan. Sementara Chintya tampak sama sekali tidak merasa bersalah dan masih sibuk mengemasi pakaian miliknya dan memasukannya ke dalam sebuah koper. "Memang kenapa? Kamu juga menikmatinya, kan?" celetuk Chintya. "Heh, harusnya kamu sadar. Siapa yang curhat padaku dan mengatakan jika Jelita sangat membosankan karena terlalu kolot dan selalu enggan kamu sentuh!" Adimas mengusap wajahnya dengan kasar, karena perkataan Chintya memang ada benarnya. Dulu ia selalu merasa jenuh pada Jelita, yang selalu menolak untuk dibujuk melakukan hal-hal nakal. Itulah awal mula ia mulai tergoda oleh sosok Chintya yang selalu terlihat menggoda, walaupun ia sangat mengetahui jika Chintya sangat membenci Jelita. "Asal kamu tau ya! Aku sebenarnya tidak pernah ada niatan untuk menikah dengan kamu! Kamu hanyalah alat untuk aku membuat Jelita tersiksa!" jelas Chintya dengan tawa kecilnya.
"Yang benar kamu?" tanya Jelita terkejut. Zeya mengangguk menjawab pertanyaan Jelita. Dan seketika wajah Jelita terlihat bingung. Jelita sama sekali tidak percaya dengan kabar yang baru saja didengar, semua terasa begitu mendadak baginya. "Lihat sendiri aja, yuk!" ajak Zeya yang langsung disetujui oleh Jelita. Keduanya pun berjalan cepat bahkan terkesan sangat tergesa-gesa. Hingga akhirnya mereka sampai di IGD yang terlihat sangat sibuk karena seorang pasien yang baru saja datang dengan keadaan kritis. "Gila, baru aja ditinggal sebentar udah kayak pasar malam. Banyak bsnget polisi dan wartawan!" seru Zeya yang melihat ke arah luar IGD. Melihat Jelita yang berada di dalam membuat wartawan semakin menggila, beruntung petugas keamanan dan dibantu polisi seketika langsung mengamankan sehingga tak mengganggu operasional rumah sakit. "Jelita, kamu jangan keluar-keluar dulu deh! Kalau ada yang dibutuhkan di luar, kamu bisa nyuruh aku aja!" seru Zeya yang menduga jika Jelita akan menjad
"Mih, aku gak mau dipenjara! Aku gak mau!" Sudah sejak datang tiba-tiba ke rumah orang tuanya Chintya tampak menggila, dan selalu saja mengatakan hal yang sama. Tersiarnya kabar Adimas meninggal dunia di infotainment, membuatnya semata-mata takut jika harus berakhir di balik jeruji besi bukan karena takut dan menyesal karena telah mencelakakan Adimas. "Pih, bagaimana ini? Mami gak mau ya jika anak kita harus terseret ke dalam penjara!" seru Rieta. Pikiran Jimmy semakin kalut. Tak ada 1 pun rencana di hidupnya yang berjalan sesuai keinginannya. Melihat rengekan istri dan anaknya semakin membuatnya gelap mata, Jimmy mengambil sebuah vas bunga di atas meja dan melemparkannya ke tembok. Prang! "Dasar anak bodoh! Gak punya otak!" makinya yang sudah tak tahan dengan kelakuan Chintya. "Kau selalu saja membuat onar. Apa kau sadar jika kau ini hanya bisa menyusahkan keluarga!" Chintya hanya menangis me ndengar amarah Jimmy yang sudah mencapai batasnya, sementara Rieta terli
"Selamat pagi, Dok!" "Pagi." Jelita tersenyum menanggapi seluruh sapaan para perawat yang menyapanya. Kini ia memulai harinya sebagai dokter umum sebelum kembali menempuh pendidikan sebagai dokter spesialis. Jelita memasuki ruangan ICU, menatap pria yang sudah selama setengah tahun masih enggan untuk membuka matanya. Seluruh kesetiaan ia curahkan, sebagai bentuk baktinya sebagai seorang istri. "Selamat pagi, Mark," sapa Jelita dengan senyuman yang tersungging di wajahnya. Seperti biasanya, Jelita mengawali harinya untuk menyapa Mark. Berbincang seadanya untuk sekedar bercerita mengenai hari-hari yang dilaluinya. Perlahan ia mulai membersihkan tubuh Mark, memastikan kebersihan tubuh suaminya yang tak pernah terlihat bergerak. "Mark, apa kamu gak bosan tidur terus?" ucap Jelita terus menerus walaupun lawan bicaranya sama sekali tidak pernah menanggapi. "Aku sekarang sudah punya gaji loh! Aku bisa traktir kamu, makanya cepat dong buka matanya." "Oh ya, Om Chandra meminta
"Selamat datang kembali, Nak!" Chandra tersenyum menyambut kedatangan Jelita. Setelah berpikir panjang, Jelita pada akhirnya setuju untuk kembali ke rumah keluarga suaminya. Ia memutuskan untuk membuka lembaran baru, dan melupakan segala kemalangan yang menimpanya selama tinggal di sana. "Terima kasih, Om. Saya senang bisa disambut kembali," jawab Jelita tersenyum. Chandra mendekati Jelita lalu perlahan menepuk pundak menantunya. "Nak, kita ini keluarga dan saya adalah ayah mertuamu. Kamu bisa memanggil saya Daddy atau Papa. Senyaman kamu aja." "Baik, Dad!" jawab Jelita malu. Bi Marni yang turut menyambut kedatangan Jelita pun tampak tersenyum. Wanita tua itu cukup lega karena perlahan Jelita bisa diterima dengan baik. Walaupun Catherine masih saja bersikap acuh, setidaknya kali ini dia tidak pernah mencaci maki Jelita apalagi sampai bermain tangan. Jelita mengalihkan pandangannya, dan tersenyum melihat Bi Marni. Ia pun mendekati Bi Marni dan berkata, "Apa kabar, Bi? Akhir
Deg! "Aku Jelita, istri kamu!" Mark mengerutkan keningnya seakan tengah berpikir. Tetapi semakin ia ingat semua hanya membuatnya sakit kepala. Kini matanya beralih pada ibu dan ayahnya yang berada di sisi lainnya. "Mom, Chintya mana? Saya kenapa? Dan kenapa Mommy memakai kursi roda?" Rentetan pertanyaan terus menerus Mark tanyakan. Jelita berusaha mengerti kondisi medis suaminya yang mungkin saja kehilangan sebagian dari ingatannya. "Nak, lebih baik kamu istirahat dulu. Kamu jangan terlalu berpikir keras," jawab Chandra menanggapi. Namun, Mark masih saya mengerutkan keningnya. Semua terasa asing baginya, terutama sosok wanita asing yang tiba-tiba saja mengaku sebagai istrinya. "Kamu, siapa tadi namamu?" tanyanya pada Jelita sambil memejamkan matanya, berusaha untuk mengingat nama yang terasa tak asing. Jelita pun menjawab, "Jelita Anjani, nama saya Jelita Anjani." Suasana pun hening untuk sesaat, seakan menunggu tanggapan Mark kembali. Jelita hanya bisa tersenyum t
Belaian di kepalanya terasa begitu lembut hingga membuatnya tersentak dan tersadar dari alam mimpi. Baru saja matanya terbuka, wajah tampan dengan senyuman lembut seketika menyambutnya. "Mark!" "Tidur lagi saja kalau kamu masih mengantuk," ucap Mark. Jelita seketika mengedarkan pandangannya. Ternyata dirinya dan Mark masih berada di dalam mobil. Tak sengaja Jelita melihat ke arah jam tangannya, dan kini waktu sudah berlalu selama 2 jam semenjak ia tertidur. "Ini kita baru sampai? Kok lama banget?!" tanyanya yang bahkan baru menyadari jika mesin mobil sudah dalam keadaan mati, bahkan supir yang mengantarkan mereka pun sepertinya sudah turun terlebih dahulu. Mark tertawa lalu mencubit hidung istrinya. "Bukan perjalanannya yang lama, tapi kamu yang tidurnya kelamaan." "Hah?!" Wajah Jelita yang terlihat bingung semakin menambah keras tawa Mark, yang akhirnya membuat Jelita kesal dan mencubit perut suaminya. "Bodo amat! Aku mau turun!" rajuk Jelita. Jelita pun turut dari
Mark terdiam, menatap wajah sang istri yang tertidur di bahunya. Saat itu, setelah mendapatkan telepon dari Zeya, ia pun terburu-buru pergi ke rumah sakit, diantar oleh supir pribadi keluarganya. Ia pun bahkan rela menunggu dengan sabar hingga jam kerja istrinya selesai, dan kini mereka dalam perjalanan menuju ke rumah. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ucap Mark. Pak Supri tersenyum melihat kedamaian dari kedua majikannya. Tak pernah terbayangkan jika Mark yang begitu membenci istrinya, kini bisa berbalik dan sangat menaruh perhatian pada Jelita. "Namanya juga Dokter, Tuan. Pasti Nyonya capek sekali, apalagi kalau rumah sakitnya ramai," sahut Supri. "Tapi kenapa dia sangat menyukai pekerjaannya. Bahkan dia akan marah jika saya menyuruhnya untuk berhenti." Supri tertawa kecil menanggapi perkataan tuannya. Dengan mata uang masih fokus ke jalan pun ia berkata, "Ini adalah cita-cita beliau. Dan untuk menjadi dokter banyak sekali usaha yang Nyonya lakukan. Itulah yang membuat Nyon
"Kamu mau kemana?" tanya Jelita saat melihat Zeya yang sangat kelelahan dengan membawa selembar map di tangannya."Oh aku mau kasih ini ke ruang radiologi, tadi ketinggalan," ucap Zeya sambil tertawa kecil.Tanpa bertanya Jelita merebut map tersebut lalu berkata, "Biar aku saja! Kamu istirahat! Gak usah ngeyel, cukup dengerin aku!" seru Jelita yang sudah tidak tahan melihat Zeya yang terus menerus memforsir tenaganya hanya untuk membuang waktu."Tapi, Ta!" Belum juga Zeya melanjutkan perkataanya, ia pun langsung terdiam.karena Jelita yang melotot ke arahnya."Udah diem! Kalau kami gak nurut, aku akan paksa kamu besok untuk libur. Biar aja aku yang long shift untuk menggantikan kamu, paham!" ancamnya sungguh-sungguh.Dengan langkah kakinya yang cepat, Jelita pun berjalan menuju ruang Radiologi. Ia terdiam sejenak saat melewati ruangan poli kandungan seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya.Ada suatu rasa yang terbesit dihatinya, rasa rindu akan sesuatu yang samar bahkan nyaris tak
Deg!"Nicky? A-aku gak salah lihat, kan?!" Zeya menggosok kedua matanya dengan punggung tangannya beberapa kali, memastikan. jika penglihatannya tidaklah salah.Namun semakin melakukan hal tersebut maka semakin Jelas pula rupa sosok Nicky yang kini dilihatnya. Nicky jelas terlihat di atas pelaminan dan tengah tersenyum dengan memakai busana pengantin. Pria itu terlihat bahagia bersanding dengan seorang wanita yang memiliki wajah buram, seolah tidak diizinkan tertangkap oleh penglihatannya. Zeya terdiam, hatinya sungguh terasa nyeri bak luka yang tersiram air garam. Dia dan Nicky memanglah tidak memiliki hubungan apapun, lantas mengapa ia merasakan sesuatu yang menyiksa seperti ini? Tiba-tiba saja kedua mata Nicky melirik padanya, mata mereka pun saling bertemu dan pria itu pun melambaikan tangannya hingga akhirnya.BRAK!Zeya terbangun saat tubuhnya menggelinding dan jatuh dari atas ranjang. Seketika gadis itu pun meringis lalu berusaha bangkit walaupun masih dalam keadaan semp
Perkataan Jelita sontak membuat suasana menjadi hening. Nicky terdiam, bibirnya kelu untuk sekedar menjawab. "Sayang," ucap Mark berusaha menenangkan hati istrinya. Tetapi Jelita yang sudah bertahan berbulan-bulan untuk tidak ikut campur pun pada akhirnya merasa muak. Zeya memang tidak banyak bicara tentang Nicky, tapi sikap gadis itu yang berubah menjadi lebih pemurung sangat mengusik Jelita. "Gak bisa, Mark! Harusnya kalau memang gak niat sungguh-sungguh, ya gak usah dekatin Zeya. Baru digertak saja sudah melempem!" ucap Jelita sewot. Mark menepuk keningnya. Nampaknya istrinya ini sudah tidak bisa ditenangkan lagi. Sedangkan Nicky hanya menerima setiap cacian dari Jelita, seakan sudah mempersiapkan semuanya jika hal ini pasti terjadi. "Sebenarnya, bukan tanpa alasan aku menghilang," ucap Nicky. Tatapan Mark dan Juga Jelita semakin fokus pada Nicky. Raut wajah Nicky yang memelas membuat mereka panasaran akan maksud perkataan yang baru saja ia lontarkan. Mark menghel
Kegaduhan sejak pagi sudah terlihat disebuah gedung pencakar langit. Para pekerja mulai dari cleaning service hingga para petinggi tampak sibuk untuk menyiapkan sesuatu. Jam sudah menunjukkan pukul 8 tepat, sebuah mobil merk eropa berwarna hitam pun berhenti tepat di lobby dan menurunkan sosok yang telah dinantikan. Suara langkah kaki dan hentakkan dari Kruk saling bersahutan dan menjadi pusat perhatian. Namun bukan hanya itu, kehadiran sosok wanita yang mendampingi Mark pun sontak membuat seluruh tatapan mata benar-benar tertuju pada mereka berdua. "Selamat datang kembali, Pak Mark Dinata." ucap seluruh karyawan serentak dengan Yesi yang membawa sebuket bunga dan diberikannya kepada Mark. "Selamat datang Pak Mark dan selamat datang juga di kantor kami Ibu Jelita," sapa Yesi dengan sopan. Terbalut dengan blouse dan rok selutut, Jelita tampak anggun mendampingi suaminya. Penampilan sungguh terlihat kontras dengan Chintya yang dulu selalu datang dengan pakaian yang terbuka d
"Dor!" Zeya tersentak kala seseorang tiba-tiba saja mengagetkannya dari arah belakang. Sontak ia pun menoleh dan melihat Jelita yang tersenyum lebar ke arahnya. "Kau ini pagi-pagi mau buat jantungku copot, hah?" protesnya yang malah membuat Jelita tertawa. Tak terasa sudah setengah tahun berlalu sejak kejadian malam itu. Kini banyak yang mulai berubah, dimulai dari Dokter Veshal yang tiba-tiba saja mengundurkan diri, Zeya yang dipaksa untuk kembali tinggal bersama kedua orang tuanya, serta sosok Nicky yang seolah menghilang tanpa jejak dari kehidupan gadis itu. Semua masih terasa begitu baru, sehingga membuat Zeya tak bisa terbiasa. "Udah ah jangan cemberut gitu. Nih aku punya sesuatu buat kamu," ucap Jelita seraya menyerahkan sekotak kue kesukaan sahabatnya itu. Wajah Zeya pun berubah, gadis itu mengembangkan senyumannya "Serius nih buat aku?" "Iya. Ya sudah aku mau temani Mark terapi dulu ya! Jangan lupa dimakan, oke!" Jelita pun meninggalkan sahabatnya. Sejenak
"Sekarang coba jelaskan pada Ayah!" Pada akhirnya Nicky tertangkap basah setelah tergelincir, karena berusaha keluar dari dalam bak mandi tempat persembunyian keduanya. Kini Nicky dan Zeya pun tengah diintrogasi bak seorang terdakwa kasus kriminal. Keduanya duduk di atas karpet dengan kepala menunduk di hadapan Hana dan juga Hans yang menatap nanar mereka. "Ini semua gara-gara kau!" bisik Zeya kesal. "Aku, kan gak tau kalau bakal begini, Beb," jawab Nicky berbisik. "Ehem! Zeya Alisiana! Kamu mendengarkan Ayah tidak?!" Seketika keheningan melahap suasana malam itu. Zeya kembali terdiam, bahkan tak mampu untuk menatap wajah kedua orang tuanya. Hans menghela napasnya dan kembali berkata, "Kami tau jika usiamu sudah matang untuk menjalin hubungan dan menikah. Tetapi tidak seperti ini, Zeya. Kami selama ini melarangmu berpacaran, bukan hanya sekedar keinginan kami, tapi juga untuk menjaga martabat kamu sendiri dari hal-hal tak diinginkan." "Tapi, Ayah dan Bunda salah paham
Kriett! Bunyi pintu kamar yang terbuka seakan memecah keheningan di dalam ruangan tersebut. Perlahan-lahan Jelita berjalan ke arah ranjang, dimana sang suami telah berbaring dan berpura-pura tertidur. "Aku tau kamu belum tidur," tebaknya sambil duduk di tepian ranjang, bibirnya sedikit meringis merasakan sakit pada kakinya yang tak kunjung mereda. Namun, tak ada jawaban. Mark terus memejamkan matanya, seolah sudah terbuai ke alam mimpinya. "Jadi kamu mau ngambek lagi nih? Baiklah," lanjut Jelita. Jelita melirik ke arah Mark, menatap kelopak mata sang suami yang bergetar walaupun dalam keadaan tertutup. "Dasar," gumam Jelita seraya menggelengkan kepalanya. Jelita terdiam sejenak, memikirkan cara untuk bisa berbicara dengan suaminya yang sangat keras kepala. Hingga akhirnya ia perlahan menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang lalu tiba-tiba berbaring dan memeluk Mark yang berada di sebelahnya. Sikap Jelita yang tiba-tiba, membuat Mark tersentak dan langsung membuka matany