Deg! "Aku Jelita, istri kamu!" Mark mengerutkan keningnya seakan tengah berpikir. Tetapi semakin ia ingat semua hanya membuatnya sakit kepala. Kini matanya beralih pada ibu dan ayahnya yang berada di sisi lainnya. "Mom, Chintya mana? Saya kenapa? Dan kenapa Mommy memakai kursi roda?" Rentetan pertanyaan terus menerus Mark tanyakan. Jelita berusaha mengerti kondisi medis suaminya yang mungkin saja kehilangan sebagian dari ingatannya. "Nak, lebih baik kamu istirahat dulu. Kamu jangan terlalu berpikir keras," jawab Chandra menanggapi. Namun, Mark masih saya mengerutkan keningnya. Semua terasa asing baginya, terutama sosok wanita asing yang tiba-tiba saja mengaku sebagai istrinya. "Kamu, siapa tadi namamu?" tanyanya pada Jelita sambil memejamkan matanya, berusaha untuk mengingat nama yang terasa tak asing. Jelita pun menjawab, "Jelita Anjani, nama saya Jelita Anjani." Suasana pun hening untuk sesaat, seakan menunggu tanggapan Mark kembali. Jelita hanya bisa tersenyum t
"Ta, kamu serius beli jam mahal kayak begitu? Buat apaan? Astaga Jelita!" Tawa Jelita terus terdengar setiap kali Zeya protes dengan apa yang baru saja dilakukannya. Walaupun terkesan ikut campur, Jelita memahami maksud dari sahabatnya. Zeya hanya khawatir kepadanya, mengingat selama ini Jelita hanya menggantungkan hidupnya dari uang tabungan miliknya. Bahkan kartu yang Mark berikan padanya pada hari sebelum kecelakaan, tak pernah sekalipun Jelita gunakan. Jelita adalah sosok wanita yang selalu memikirkan matang-matang sebelum membeli sesuatu. "Santai aja, Zey. Gak apa-apa sekali-kali, toh kebetulan tabungan aku masih ada sedikit dan ditambah gaji aku 2 bulan ini," jawab Jelita santai. Jelita tersenyum sambil mengecek kembali jam tangan yang akan ia beli. Dibolak-balikan arloji tersebut dengan perlahan dengan senyuman yang seakan tak pudar dari wajahnya. "Mark dikit lagi ulang tahun. Aku perhatikan dia sangat menyukai jam tangan, jadi mau berikan satu untuk dia," jelas Jeli
"Eh aku gak nyangka, yang tadi itu ibunya Dokter Veshal!" seru Zeya yang terlihat begitu terkejut setelah Jelita perkenalan dengan sosok Mrs. Khan. Seorang wanita anggun yang sangat hangat dan ramah, bahkan setiap perkataan yang keluar dari bibirnya pun terlihat sangat berhati-hati. "Coba aja ya, sedikit aja sifat ibunya Mark kayak beliau. Ya ... minimal seperempat lah, pasti hidupmu bisa damai," celetuk Zeya yang langsung di cubit pada lengannya oleh Jelita. "Aw! Sakit tau!" ucap Zeya meringis kesakitan sambil mengusap-ngusap bagian lengannya. Sedangkan Jelita hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. "Gak boleh begitu sama orang tua, nanti kualat!" seru Jelita. Mendengar seruan sahabatnya Zeya hanya memasukkan lubang telinga dengan jari telunjuknya. Bahkan ia pun menimpali perkataan Jelita dengan jawaban yang sama sekali tidak menunjukkan keseriusan."Orang tuanya kayak gimana dulu, Jelita! Kalau kayak nenek lampir gitu sih ulala! Yang ada bisa bikin kita jompo
"Dia hanya buat berisik saja!" jawab Catherine ketus. Namun, mendengar jawaban dan mimik wajah istrinya yang tidak sinkron, membuat Chandra tersenyum tipis. "Terkadang saya bingung. Terbuat dari apa tenaganya? Baru pulang kerja, dia langsung membuat kue. Dan malam pasti ia akan kembali untuk menjaga Mark kembali, tapi lihat saja wajahnya yang tidak terlihat lelah," ungkap Chandra. Aroma manis mulai menyeruak dari dapur. Membuat yang menghirupnya seketika merasa penasaran dan ingin mencicipi sumber aromanya. Chandra menghela napasnya, pandangannya lurus ke depan menatap Jelita yang tengah membuat kue sambil bersenda gurau dengan para pekerja di rumahnya. "Rumah ini sudah lama terasa begitu dingin dan sunyi sejak anak-anak kita dewasa. Saya merindukan keramaian seperti ini, dan mungkin bisa lebih sempurna jika ada suara anak-anak yang tertawa, berlarian, ataupun menangis karena bertengkar." Deg! Kalimat terakhir yang Chandra ucapkan seketika membuat Catherine membeku. masih
Jelita tersenyum sambil terus mendekatkan dirinya pada Mark. Debaran jantung Mark seolah tak selaras dengan isi kepalanya, spontan pria itu menarik napas dalam-dalam lalu memejamkan matanya. "Enak?" Tanpa permisi Jelita menyuapi sesendok kecil puding coklat kepada suaminya. Perbuatannya tentu saja mengejutkan Mark, yang langsung membuka matanya. "Aku tau kalau kamu pasti bosan dengan masakan rumah sakit. Makanya aku buatkan puding untuk kamu, karena kamu juga cuma bisa makan makanan lunak," seru Jelita yang cukup puas dengan hasil kreasinya. Sayang sekali Mark belum bisa memakan kue yang ia buat susah payah. Walaupun demikian nampaknya pria itu menikmati makanan yang kini sudah berseluncur indah di dalam mulutnya. "Mau lagi? Ayo buka mulutnya! Aaaaa ...." Jelita perlahan kembali menyuapi suaminya. Tetapi tak seperti sebelumnya, kali ini harga diri Mark membuatnya spontan menyingkap kotak makan yang ada di tangan Jelita. Membuatnya jatuh ke lantai dengan pusing yang hancur be
"Dokter Jelita, ini surat undangan seminar untuk Anda!" Jelita menerima surat tersebut dan membacanya dengan seksama. Semuanya dibaca tanpa ada satupun kata yang terlewati , hingga ia tampat mengerutkan keningnya dan bertanya, "Lusa? Saya harus berangkat lusa?" "Iya, Dok. Karena Dokter Jelita, kan sebagai pengganti Dokter Zydane yang tengah berhalangan hadir. Jadi mohon maaf sekali kalau undangannya terkesan mendadak." "Oh oke, Baiklah. Terima kasih banyak!" ucap Jelita pada staff rumah sakit yang baru saja memberikannya undangan mengikuti seminar di sebuah sanatorium selama 3 hari 2 malam yang berada di Puncak Bogor. Seluruh perwakilan dari para dokter Intership bahkan sampai masing-masing spesialis turut diikutsertakan. Jelita menghela napasnya, karena sejujurnya sulit bagi dirinya untuk meninggalkan Mark yang masih dalam masa perawatan dan tidak ada yang menjaganya. "Dor! Lagi ngapain kau?" seru Zeya yang tiba-tiba menepuk Jelita dari arah belakang. "Eh, kamu kenapa, Ta?
"Dasar, kalau emang mau dimakan ya bilang dong. Perasaan dari pagi kenapa apes mulu." Nicky yang baru saja keluar dari ruangan Mark tampak menggerutu. Ia terlihat begitu kesal dengan nasib buruk yang diterimanya. Terdengar langkah kaki seseorang mendekati ruangan tersebut. Perlahan ia melihat 2 sosok wanita yang tengah berjalan semakin mendekat sambil mengobrol. "Loh, Pak Nicky. Tumben siang-siang sudah ke sini?" tanya Jelita ramah. Sedangkan tepat di sebelah Jelita, ada Zeya yang terdiam saja tanpa menyapa seolah dirinya dengan Nicky tidak pernah saling mengenal. Nicky pun turut tersenyum dan menyapa belik Jelita. "Selamat siang Bu Jelita. Iya kebetulan lagi free setelah meeting. Jadi saya bisa sempatkan menjenguk Pak Mark." Jelita mengangguk, dan merasakan ada atmosfer berbeda antara Nicky dan juga Zeya. Pria yang biasanya selalu menggoda Zeya setiap mereka bertemu, kini terlihat lebih pendiam daripada biasanya. Begitu pula Zeya yang sedari tadi mengalihkan perhatiannya dan eng
"Bella, apa yang kau lakukan?" Chandra tak menyangka kepulangan putrinya ke tanah air setelah bertahun-tahun berada di Jerman, diawaki oleh keributan hanya karena masalah sepele. Bella yang melihat kedatangan ayahnya pun segera menghampiri Chandra dan mengadu. "Lihat, Daddy! Mereka sudah merusak koper milikku! Aku hanya ingin mereka bertanggung jawab!" Chandra menghela napasnya, setelah melihat penyebab keributan tersebut. Ia pun mengusap kepala putrinya, berusaha menenangkan Bella yang mengamuk. "Nak, tapi caramu tidak boleh seperti itu." "Ya sudahlah, biarkan saja. Nanti kita beli koper yang baru," bujuk Chandra. Bella si gadis manja yang masih dalam suasana hati buruk itu pun tak lantas termakan bujukan dari ayahnya. Wajahnya masih ditekuk, sambil terus menggerutu. "Tapi mereka tetap harus bertanggung jawab! SOP mereka tuh seperti apa sih? Sampai membuat koper saya rusak-rusak seperti ini!" "Bella, bagaimana kalau sekalian tas keluaran terbaru? Apakah kamu mau melewatkann
Belaian di kepalanya terasa begitu lembut hingga membuatnya tersentak dan tersadar dari alam mimpi. Baru saja matanya terbuka, wajah tampan dengan senyuman lembut seketika menyambutnya. "Mark!" "Tidur lagi saja kalau kamu masih mengantuk," ucap Mark. Jelita seketika mengedarkan pandangannya. Ternyata dirinya dan Mark masih berada di dalam mobil. Tak sengaja Jelita melihat ke arah jam tangannya, dan kini waktu sudah berlalu selama 2 jam semenjak ia tertidur. "Ini kita baru sampai? Kok lama banget?!" tanyanya yang bahkan baru menyadari jika mesin mobil sudah dalam keadaan mati, bahkan supir yang mengantarkan mereka pun sepertinya sudah turun terlebih dahulu. Mark tertawa lalu mencubit hidung istrinya. "Bukan perjalanannya yang lama, tapi kamu yang tidurnya kelamaan." "Hah?!" Wajah Jelita yang terlihat bingung semakin menambah keras tawa Mark, yang akhirnya membuat Jelita kesal dan mencubit perut suaminya. "Bodo amat! Aku mau turun!" rajuk Jelita. Jelita pun turut dari
Mark terdiam, menatap wajah sang istri yang tertidur di bahunya. Saat itu, setelah mendapatkan telepon dari Zeya, ia pun terburu-buru pergi ke rumah sakit, diantar oleh supir pribadi keluarganya. Ia pun bahkan rela menunggu dengan sabar hingga jam kerja istrinya selesai, dan kini mereka dalam perjalanan menuju ke rumah. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ucap Mark. Pak Supri tersenyum melihat kedamaian dari kedua majikannya. Tak pernah terbayangkan jika Mark yang begitu membenci istrinya, kini bisa berbalik dan sangat menaruh perhatian pada Jelita. "Namanya juga Dokter, Tuan. Pasti Nyonya capek sekali, apalagi kalau rumah sakitnya ramai," sahut Supri. "Tapi kenapa dia sangat menyukai pekerjaannya. Bahkan dia akan marah jika saya menyuruhnya untuk berhenti." Supri tertawa kecil menanggapi perkataan tuannya. Dengan mata uang masih fokus ke jalan pun ia berkata, "Ini adalah cita-cita beliau. Dan untuk menjadi dokter banyak sekali usaha yang Nyonya lakukan. Itulah yang membuat Nyon
"Kamu mau kemana?" tanya Jelita saat melihat Zeya yang sangat kelelahan dengan membawa selembar map di tangannya."Oh aku mau kasih ini ke ruang radiologi, tadi ketinggalan," ucap Zeya sambil tertawa kecil.Tanpa bertanya Jelita merebut map tersebut lalu berkata, "Biar aku saja! Kamu istirahat! Gak usah ngeyel, cukup dengerin aku!" seru Jelita yang sudah tidak tahan melihat Zeya yang terus menerus memforsir tenaganya hanya untuk membuang waktu."Tapi, Ta!" Belum juga Zeya melanjutkan perkataanya, ia pun langsung terdiam.karena Jelita yang melotot ke arahnya."Udah diem! Kalau kami gak nurut, aku akan paksa kamu besok untuk libur. Biar aja aku yang long shift untuk menggantikan kamu, paham!" ancamnya sungguh-sungguh.Dengan langkah kakinya yang cepat, Jelita pun berjalan menuju ruang Radiologi. Ia terdiam sejenak saat melewati ruangan poli kandungan seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya.Ada suatu rasa yang terbesit dihatinya, rasa rindu akan sesuatu yang samar bahkan nyaris tak
Deg!"Nicky? A-aku gak salah lihat, kan?!" Zeya menggosok kedua matanya dengan punggung tangannya beberapa kali, memastikan. jika penglihatannya tidaklah salah.Namun semakin melakukan hal tersebut maka semakin Jelas pula rupa sosok Nicky yang kini dilihatnya. Nicky jelas terlihat di atas pelaminan dan tengah tersenyum dengan memakai busana pengantin. Pria itu terlihat bahagia bersanding dengan seorang wanita yang memiliki wajah buram, seolah tidak diizinkan tertangkap oleh penglihatannya. Zeya terdiam, hatinya sungguh terasa nyeri bak luka yang tersiram air garam. Dia dan Nicky memanglah tidak memiliki hubungan apapun, lantas mengapa ia merasakan sesuatu yang menyiksa seperti ini? Tiba-tiba saja kedua mata Nicky melirik padanya, mata mereka pun saling bertemu dan pria itu pun melambaikan tangannya hingga akhirnya.BRAK!Zeya terbangun saat tubuhnya menggelinding dan jatuh dari atas ranjang. Seketika gadis itu pun meringis lalu berusaha bangkit walaupun masih dalam keadaan semp
Perkataan Jelita sontak membuat suasana menjadi hening. Nicky terdiam, bibirnya kelu untuk sekedar menjawab. "Sayang," ucap Mark berusaha menenangkan hati istrinya. Tetapi Jelita yang sudah bertahan berbulan-bulan untuk tidak ikut campur pun pada akhirnya merasa muak. Zeya memang tidak banyak bicara tentang Nicky, tapi sikap gadis itu yang berubah menjadi lebih pemurung sangat mengusik Jelita. "Gak bisa, Mark! Harusnya kalau memang gak niat sungguh-sungguh, ya gak usah dekatin Zeya. Baru digertak saja sudah melempem!" ucap Jelita sewot. Mark menepuk keningnya. Nampaknya istrinya ini sudah tidak bisa ditenangkan lagi. Sedangkan Nicky hanya menerima setiap cacian dari Jelita, seakan sudah mempersiapkan semuanya jika hal ini pasti terjadi. "Sebenarnya, bukan tanpa alasan aku menghilang," ucap Nicky. Tatapan Mark dan Juga Jelita semakin fokus pada Nicky. Raut wajah Nicky yang memelas membuat mereka panasaran akan maksud perkataan yang baru saja ia lontarkan. Mark menghel
Kegaduhan sejak pagi sudah terlihat disebuah gedung pencakar langit. Para pekerja mulai dari cleaning service hingga para petinggi tampak sibuk untuk menyiapkan sesuatu. Jam sudah menunjukkan pukul 8 tepat, sebuah mobil merk eropa berwarna hitam pun berhenti tepat di lobby dan menurunkan sosok yang telah dinantikan. Suara langkah kaki dan hentakkan dari Kruk saling bersahutan dan menjadi pusat perhatian. Namun bukan hanya itu, kehadiran sosok wanita yang mendampingi Mark pun sontak membuat seluruh tatapan mata benar-benar tertuju pada mereka berdua. "Selamat datang kembali, Pak Mark Dinata." ucap seluruh karyawan serentak dengan Yesi yang membawa sebuket bunga dan diberikannya kepada Mark. "Selamat datang Pak Mark dan selamat datang juga di kantor kami Ibu Jelita," sapa Yesi dengan sopan. Terbalut dengan blouse dan rok selutut, Jelita tampak anggun mendampingi suaminya. Penampilan sungguh terlihat kontras dengan Chintya yang dulu selalu datang dengan pakaian yang terbuka d
"Dor!" Zeya tersentak kala seseorang tiba-tiba saja mengagetkannya dari arah belakang. Sontak ia pun menoleh dan melihat Jelita yang tersenyum lebar ke arahnya. "Kau ini pagi-pagi mau buat jantungku copot, hah?" protesnya yang malah membuat Jelita tertawa. Tak terasa sudah setengah tahun berlalu sejak kejadian malam itu. Kini banyak yang mulai berubah, dimulai dari Dokter Veshal yang tiba-tiba saja mengundurkan diri, Zeya yang dipaksa untuk kembali tinggal bersama kedua orang tuanya, serta sosok Nicky yang seolah menghilang tanpa jejak dari kehidupan gadis itu. Semua masih terasa begitu baru, sehingga membuat Zeya tak bisa terbiasa. "Udah ah jangan cemberut gitu. Nih aku punya sesuatu buat kamu," ucap Jelita seraya menyerahkan sekotak kue kesukaan sahabatnya itu. Wajah Zeya pun berubah, gadis itu mengembangkan senyumannya "Serius nih buat aku?" "Iya. Ya sudah aku mau temani Mark terapi dulu ya! Jangan lupa dimakan, oke!" Jelita pun meninggalkan sahabatnya. Sejenak
"Sekarang coba jelaskan pada Ayah!" Pada akhirnya Nicky tertangkap basah setelah tergelincir, karena berusaha keluar dari dalam bak mandi tempat persembunyian keduanya. Kini Nicky dan Zeya pun tengah diintrogasi bak seorang terdakwa kasus kriminal. Keduanya duduk di atas karpet dengan kepala menunduk di hadapan Hana dan juga Hans yang menatap nanar mereka. "Ini semua gara-gara kau!" bisik Zeya kesal. "Aku, kan gak tau kalau bakal begini, Beb," jawab Nicky berbisik. "Ehem! Zeya Alisiana! Kamu mendengarkan Ayah tidak?!" Seketika keheningan melahap suasana malam itu. Zeya kembali terdiam, bahkan tak mampu untuk menatap wajah kedua orang tuanya. Hans menghela napasnya dan kembali berkata, "Kami tau jika usiamu sudah matang untuk menjalin hubungan dan menikah. Tetapi tidak seperti ini, Zeya. Kami selama ini melarangmu berpacaran, bukan hanya sekedar keinginan kami, tapi juga untuk menjaga martabat kamu sendiri dari hal-hal tak diinginkan." "Tapi, Ayah dan Bunda salah paham
Kriett! Bunyi pintu kamar yang terbuka seakan memecah keheningan di dalam ruangan tersebut. Perlahan-lahan Jelita berjalan ke arah ranjang, dimana sang suami telah berbaring dan berpura-pura tertidur. "Aku tau kamu belum tidur," tebaknya sambil duduk di tepian ranjang, bibirnya sedikit meringis merasakan sakit pada kakinya yang tak kunjung mereda. Namun, tak ada jawaban. Mark terus memejamkan matanya, seolah sudah terbuai ke alam mimpinya. "Jadi kamu mau ngambek lagi nih? Baiklah," lanjut Jelita. Jelita melirik ke arah Mark, menatap kelopak mata sang suami yang bergetar walaupun dalam keadaan tertutup. "Dasar," gumam Jelita seraya menggelengkan kepalanya. Jelita terdiam sejenak, memikirkan cara untuk bisa berbicara dengan suaminya yang sangat keras kepala. Hingga akhirnya ia perlahan menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang lalu tiba-tiba berbaring dan memeluk Mark yang berada di sebelahnya. Sikap Jelita yang tiba-tiba, membuat Mark tersentak dan langsung membuka matany