"Selamat pagi, Dok!" "Pagi." Jelita tersenyum menanggapi seluruh sapaan para perawat yang menyapanya. Kini ia memulai harinya sebagai dokter umum sebelum kembali menempuh pendidikan sebagai dokter spesialis. Jelita memasuki ruangan ICU, menatap pria yang sudah selama setengah tahun masih enggan untuk membuka matanya. Seluruh kesetiaan ia curahkan, sebagai bentuk baktinya sebagai seorang istri. "Selamat pagi, Mark," sapa Jelita dengan senyuman yang tersungging di wajahnya. Seperti biasanya, Jelita mengawali harinya untuk menyapa Mark. Berbincang seadanya untuk sekedar bercerita mengenai hari-hari yang dilaluinya. Perlahan ia mulai membersihkan tubuh Mark, memastikan kebersihan tubuh suaminya yang tak pernah terlihat bergerak. "Mark, apa kamu gak bosan tidur terus?" ucap Jelita terus menerus walaupun lawan bicaranya sama sekali tidak pernah menanggapi. "Aku sekarang sudah punya gaji loh! Aku bisa traktir kamu, makanya cepat dong buka matanya." "Oh ya, Om Chandra meminta
"Selamat datang kembali, Nak!" Chandra tersenyum menyambut kedatangan Jelita. Setelah berpikir panjang, Jelita pada akhirnya setuju untuk kembali ke rumah keluarga suaminya. Ia memutuskan untuk membuka lembaran baru, dan melupakan segala kemalangan yang menimpanya selama tinggal di sana. "Terima kasih, Om. Saya senang bisa disambut kembali," jawab Jelita tersenyum. Chandra mendekati Jelita lalu perlahan menepuk pundak menantunya. "Nak, kita ini keluarga dan saya adalah ayah mertuamu. Kamu bisa memanggil saya Daddy atau Papa. Senyaman kamu aja." "Baik, Dad!" jawab Jelita malu. Bi Marni yang turut menyambut kedatangan Jelita pun tampak tersenyum. Wanita tua itu cukup lega karena perlahan Jelita bisa diterima dengan baik. Walaupun Catherine masih saja bersikap acuh, setidaknya kali ini dia tidak pernah mencaci maki Jelita apalagi sampai bermain tangan. Jelita mengalihkan pandangannya, dan tersenyum melihat Bi Marni. Ia pun mendekati Bi Marni dan berkata, "Apa kabar, Bi? Akhir
Deg! "Aku Jelita, istri kamu!" Mark mengerutkan keningnya seakan tengah berpikir. Tetapi semakin ia ingat semua hanya membuatnya sakit kepala. Kini matanya beralih pada ibu dan ayahnya yang berada di sisi lainnya. "Mom, Chintya mana? Saya kenapa? Dan kenapa Mommy memakai kursi roda?" Rentetan pertanyaan terus menerus Mark tanyakan. Jelita berusaha mengerti kondisi medis suaminya yang mungkin saja kehilangan sebagian dari ingatannya. "Nak, lebih baik kamu istirahat dulu. Kamu jangan terlalu berpikir keras," jawab Chandra menanggapi. Namun, Mark masih saya mengerutkan keningnya. Semua terasa asing baginya, terutama sosok wanita asing yang tiba-tiba saja mengaku sebagai istrinya. "Kamu, siapa tadi namamu?" tanyanya pada Jelita sambil memejamkan matanya, berusaha untuk mengingat nama yang terasa tak asing. Jelita pun menjawab, "Jelita Anjani, nama saya Jelita Anjani." Suasana pun hening untuk sesaat, seakan menunggu tanggapan Mark kembali. Jelita hanya bisa tersenyum t
"Ta, kamu serius beli jam mahal kayak begitu? Buat apaan? Astaga Jelita!" Tawa Jelita terus terdengar setiap kali Zeya protes dengan apa yang baru saja dilakukannya. Walaupun terkesan ikut campur, Jelita memahami maksud dari sahabatnya. Zeya hanya khawatir kepadanya, mengingat selama ini Jelita hanya menggantungkan hidupnya dari uang tabungan miliknya. Bahkan kartu yang Mark berikan padanya pada hari sebelum kecelakaan, tak pernah sekalipun Jelita gunakan. Jelita adalah sosok wanita yang selalu memikirkan matang-matang sebelum membeli sesuatu. "Santai aja, Zey. Gak apa-apa sekali-kali, toh kebetulan tabungan aku masih ada sedikit dan ditambah gaji aku 2 bulan ini," jawab Jelita santai. Jelita tersenyum sambil mengecek kembali jam tangan yang akan ia beli. Dibolak-balikan arloji tersebut dengan perlahan dengan senyuman yang seakan tak pudar dari wajahnya. "Mark dikit lagi ulang tahun. Aku perhatikan dia sangat menyukai jam tangan, jadi mau berikan satu untuk dia," jelas Jeli
"Eh aku gak nyangka, yang tadi itu ibunya Dokter Veshal!" seru Zeya yang terlihat begitu terkejut setelah Jelita perkenalan dengan sosok Mrs. Khan. Seorang wanita anggun yang sangat hangat dan ramah, bahkan setiap perkataan yang keluar dari bibirnya pun terlihat sangat berhati-hati. "Coba aja ya, sedikit aja sifat ibunya Mark kayak beliau. Ya ... minimal seperempat lah, pasti hidupmu bisa damai," celetuk Zeya yang langsung di cubit pada lengannya oleh Jelita. "Aw! Sakit tau!" ucap Zeya meringis kesakitan sambil mengusap-ngusap bagian lengannya. Sedangkan Jelita hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. "Gak boleh begitu sama orang tua, nanti kualat!" seru Jelita. Mendengar seruan sahabatnya Zeya hanya memasukkan lubang telinga dengan jari telunjuknya. Bahkan ia pun menimpali perkataan Jelita dengan jawaban yang sama sekali tidak menunjukkan keseriusan."Orang tuanya kayak gimana dulu, Jelita! Kalau kayak nenek lampir gitu sih ulala! Yang ada bisa bikin kita jompo
"Dia hanya buat berisik saja!" jawab Catherine ketus. Namun, mendengar jawaban dan mimik wajah istrinya yang tidak sinkron, membuat Chandra tersenyum tipis. "Terkadang saya bingung. Terbuat dari apa tenaganya? Baru pulang kerja, dia langsung membuat kue. Dan malam pasti ia akan kembali untuk menjaga Mark kembali, tapi lihat saja wajahnya yang tidak terlihat lelah," ungkap Chandra. Aroma manis mulai menyeruak dari dapur. Membuat yang menghirupnya seketika merasa penasaran dan ingin mencicipi sumber aromanya. Chandra menghela napasnya, pandangannya lurus ke depan menatap Jelita yang tengah membuat kue sambil bersenda gurau dengan para pekerja di rumahnya. "Rumah ini sudah lama terasa begitu dingin dan sunyi sejak anak-anak kita dewasa. Saya merindukan keramaian seperti ini, dan mungkin bisa lebih sempurna jika ada suara anak-anak yang tertawa, berlarian, ataupun menangis karena bertengkar." Deg! Kalimat terakhir yang Chandra ucapkan seketika membuat Catherine membeku. masih
Jelita tersenyum sambil terus mendekatkan dirinya pada Mark. Debaran jantung Mark seolah tak selaras dengan isi kepalanya, spontan pria itu menarik napas dalam-dalam lalu memejamkan matanya. "Enak?" Tanpa permisi Jelita menyuapi sesendok kecil puding coklat kepada suaminya. Perbuatannya tentu saja mengejutkan Mark, yang langsung membuka matanya. "Aku tau kalau kamu pasti bosan dengan masakan rumah sakit. Makanya aku buatkan puding untuk kamu, karena kamu juga cuma bisa makan makanan lunak," seru Jelita yang cukup puas dengan hasil kreasinya. Sayang sekali Mark belum bisa memakan kue yang ia buat susah payah. Walaupun demikian nampaknya pria itu menikmati makanan yang kini sudah berseluncur indah di dalam mulutnya. "Mau lagi? Ayo buka mulutnya! Aaaaa ...." Jelita perlahan kembali menyuapi suaminya. Tetapi tak seperti sebelumnya, kali ini harga diri Mark membuatnya spontan menyingkap kotak makan yang ada di tangan Jelita. Membuatnya jatuh ke lantai dengan pusing yang hancur be
"Dokter Jelita, ini surat undangan seminar untuk Anda!" Jelita menerima surat tersebut dan membacanya dengan seksama. Semuanya dibaca tanpa ada satupun kata yang terlewati , hingga ia tampat mengerutkan keningnya dan bertanya, "Lusa? Saya harus berangkat lusa?" "Iya, Dok. Karena Dokter Jelita, kan sebagai pengganti Dokter Zydane yang tengah berhalangan hadir. Jadi mohon maaf sekali kalau undangannya terkesan mendadak." "Oh oke, Baiklah. Terima kasih banyak!" ucap Jelita pada staff rumah sakit yang baru saja memberikannya undangan mengikuti seminar di sebuah sanatorium selama 3 hari 2 malam yang berada di Puncak Bogor. Seluruh perwakilan dari para dokter Intership bahkan sampai masing-masing spesialis turut diikutsertakan. Jelita menghela napasnya, karena sejujurnya sulit bagi dirinya untuk meninggalkan Mark yang masih dalam masa perawatan dan tidak ada yang menjaganya. "Dor! Lagi ngapain kau?" seru Zeya yang tiba-tiba menepuk Jelita dari arah belakang. "Eh, kamu kenapa, Ta?