Bangun pagi itu Alea masih merasa lemas dan sedikit mual. Padahal ini sudah masuk trimester ke dua kehamilannya. Dokter kandungan yang memeriksanya bilang, morning sickness dan gejala kehamilan yang menyiksa biasanya akan perlahan hilang setelah trimester ke dua.
“Tidak selalu begitu, Bu. Adik saya saat trimester pertama biasa saja, tapi malah trimester ke dua dan ke tiga kena asam lambung dia. Sampai keluar masuk rumah sakit untuk rawat inap!” ujar Sika saat Alea sedikit curhat padanya mengenai gejala hamilnya.
“Oh, jadi gejala ibu hamil itu beda-beda ya, Mbak?” tukas Alea yang jadi serius mendengarkan Sika.
“Iya, Bu. Saya saja hamil dari anak pertama sampai anak ke tiga, gejalanya beda-beda. Enggak tahu juga ya bu penyebabnya apa, mungkin bawaan oroknya.” Sika menyuguhkan susu ibu hamil di depan Alea.
“Terima kasih, Mbak Sika,” ucap Alea lalu meneguk susunya. Sisa separuh dia balik bertanya pada Sika karen
Alea memeluk Ardhan dan menempelkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar jantungnya berdetak mulai cepat setelah dirinya memeluk, bisa jadi Ardhan tegang karena menduga Alea akan memulai pertengkaran sekali lagi tentang Naysila.“Kenapa jantung kakak berdetak kencang?” tanya Alea lirih mengelus dada Ardhan.“Haha, aku jadi tegang dipeluk cewek cantik sepertimu” Ardhan bercanda.“Kakak takut ya kalau aku menyebalkan lagi bahas-bahas tentang Naysila?” Alea bangkit dari pelukan Ardhan dan membuat jarak di antara mereka. Keduanya saling menatap.“Kalau jujur, aku lebih baik kau suruh naik kuda seperti mama dulu pada papa, daripada membuatmu terus bersedih dan berpikir buruk seperti ini, Sayang,” ujar Ardhan membelai kepala Alea.Senyum terukir di wajah Alea saat Ardhan mengingatkannya tentang ngidamnya Hera ketika sedang mengandung ayah dari anaknya itu. Membuat Ardhan ikut tersenyum dan membelai bibir
Sambil membantu sang suami menyiapkan baju dan jas yang akan dipakainya, Alea memikirkan bagaimana dia bisa ikut ke kantor karena hari ini ada pembukaan kelas masak Chef Nugros. Devano sudah memberitahunya kemarin sekaligus mengundangnya. Alea jadi begitu ingin datang dan bertemu beberapa teman angkatan kelas baking yang kebetulan ikut program musim ini.“Hari ini mau ke mana?” tanya Ardhan melihat istrinya yang seolah ingin mengatakan sesuatu tapi masih segan.“Jangan tanya, Kakak pasti gak ngebolehin!” ujar Alea terlihat sedih. Ardhan selalu tidak suka kalau itu menyangkut Devano.“Jam berapa pembukaan kelas masaknya?” tanya Ardhan yang tiba-tiba membuat manik mata Alea membulat.“Kakak tahu kalau hari ini ada pembukaan kelas masak?!”Alea berpikir dari mana Ardhan tahu hal itu? Ah, Nugros Cooking Class kan ada di gedung yang sama dengan kantornya, pasti tidak sulit mengetahui hal itu.
Devano marah pada pegawai yang mengurusi pendaftaran kelas masaknya saat mengetahui bahwa Ardhan mendaftarkan Alea dan membayar biaya pendaftaran beserta akomodasi selama kelas berlangsung. Inginnya, Devano yang membiayai pendaftaran kelas masak Alea bukan pria itu.“Sudah ada nama Alea di sini, kenapa kau masih menerima pendafataran atas nama Alea lagi?!” tukas Devano memarahi pegawainya.“Maaf, Pak Devan. Saya pikir beda orang. Kebetulan ada peserta yang daftar online dan sampai tenggang waktu yang ditentukan belum mengunggah bukti transfer pembayaran. Tidak ada laporan dana masuk juga atas nama peserta tersebut. Tiba-tiba ada pria mendaftarkan atas nama Alea Ikrima secara langsung dan melengkapi semua yang dibutuhkan. Dari itu kami langsung tindak lanjuti,” ujar pegawai dengan name tag Riko itu.“Aku gak mau tahu, ya. Balikin uang itu!” tukas Devano kesal.“Te-tapi…?”“Tapi apa lagi?&r
Wanita itu terlihat santai sambil tertawa kecil tatkala Ardhan memperingatkannya agar tidak menganggu Alea. Naysila justru merasa provokasinya berhasil. Jadi pengen mengerjai anak itu lagi.“Astaga, aku hanya ingin tertawa mendengarnya! Ternyata yang kau nikahi adalah anak-anak yang mudah merajuk. Masa dia begitu saja mengadu padamu tentang ucapanku?” ucap Naysila tak berhenti terkekeh.Mengetahui Ardhan menatapnya tanpa ekspresi, Naysila baru berdehem dan kembali serius.“Hmm, begini ceritanya; Aku datang dan melihat istrimu sungguh tak suka padaku. Jadinya aku juga terpancing sebal. Kau tahu sendiri kan aku ke rumahmu karena kau bilang tidak akan ke kantor, sementara dokumen-dokumen itu harus segera di upload. Lalu dengan spontan saja aku kasih tahu anak kecilmu itu agar dia jangan bersikap menyebalkan dan curigaan,” tukas Naysila menyakinkan Ardhan.‘Sialan, bisa-bisanya gadis itu ngadu. Diladenin lagi sama Ardhan!’ batin Naysila mencoba terlihat sewajar mungkin apalagi Ardhan tak
Alea sudah selesai mengikuti pembukaan kelas masak dan membuat kesepakatan kelas bersama peserta yang lain terkait kegiatan yang akan mereka jalani selama kurang lebih 2 bulanan itu. Dia hendak mengirim pesan pada Ardhan namun ingat bahwa tadi Ardhan mengatakan ada pertemuan penting. Jadinya Alea urung dan menunggunya saja. Tidak masalah baginya menunggu, apalagi ada beberapa teman yang bisa diajak mengobrol.“Al, kamu lihat wanita di sudut sana?” ucap Fredy pada Alea. Dia juga ikut kelas masak sebelumnya bareng Alea. Karenanya mereka sudah akrab.“Oh, kenapa?” tanya Alea melirik wanita yang dimaksud Fredy.“Itu dulu kekasihku, tapi karena ada salah paham kita putus,” tukas Fredy.“Begitu ya?” Alea masih mendengarkan Fredy.“Tidak sengaja bertemu di sini, malah dia sok-sokan pamer teman prianya. Seperti sengaja begitu!” Fredy terlihat sebal menceritakan wanita itu. “Aku bisa minta tolong?”“Minta tolong? Minta tolong apa?” Alea jadi heran.“Kita pura-pura dekat dan akrab, dan tolong
Mobil range rover sport dengan warna varesin blue tampak tertahan di depan pagar. Toni yang mengetahui mobil tuannya datang segera berlari membukakan pintu. Saat kembali menutup pagar itu, Toni bisa melihat sang nyonya lebih dulu keluar dan sang tuan terburu-buru mengikutinya.Ada apa lagi sih dengah tuan dan nyonyanya itu? Sebentar mesra sebentar bertengkar.Lalu Toni kembali masuk ke dalam untuk menyelesaikan makan siangnya. Lebih tepatnya sudah menjelang sore hari.“Sebenarnya yang diributkan suami istri itu apa saja sih, Mbak Sika?” tanya Toni iseng pada Sika yang membereskan dapur. Sebagai seorang lajang yang bahkan tidak pernah berpacaran, Toni penasaran akan hal tersebut.“Banyaklah; ekonomi sangat bisa, beda pandangan hidup juga bisa, tapi cemburu itu yang paling sering jadi pemicunya,“ jawab Sika melirik Toni yang tumben-tumbenan menanyakan hal itu.“Tuan dan Nyonya kita kelihatannya kalau bertengkar tentang apa?” Toni bertanya mungkin Sika lebih tahu hal itu.“Huss, kayak t
Jamuan makan malam itu diawali dengan basa-basi dan sekedar mengobrol santai untuk bisa saling lebih akrab satu sama lain. Mengingat kontrak kerjasama kedua perusahaan itu akan berlangsung kurang lebih dua tahun. Dan itu bukanlah waktu yang sebentar apalagi jika kedua perusahaan memutuskan untuk memperpanjang kontrak kerja sama.Naysila yang mengatur tempat dan segala sesuatunya. Dia tahu Danil dan Lindsey suka karaoke, jadinya meminta pihak kafe menyediakan hal tersebut. Lindsey begitu antusias mendengar Naysila mempersilahkan untuk berkaraoke. Dia mengapit suaminya dan meminta Ardhan yang selama makan malam lebih bersikap sopan dan terkesan menjaga diri itu, untuk ikut bersama-sama meramaikan malam ini dengan bernyanyi bersama.Leon, dan lainnya pun ikut bergabung, sehingga tidak ada alasan bagi Ardhan memisah dari mereka. meski dengan sedikit enggan, Ardhan pun ikut juga bergabung.Naysila menyerahkan microphone dan menodongnya untuk bernyanyi. “A
“Kakak dari mana saja baru pulang? Apa ada masalah sampai pulang menjelang pagi?” tanya Alea menatap Ardhan dengan begitu cemas.Ardhan balik menatap Alea dan mengetahui bahwa istrinya itu sangat mencemaskannya. Dia hanya merengkuhnya kembali dan mendekapnya erat.“Apa kau tidur di depan semalaman?” tanyanya mengelus kepala Alea.“Tidak, aku terjaga di tengah malam dan mencemaskan Kakak yang belum pulang. Karenanya aku menunggu sambil menonton televisi.”Sedih hatinya mendengar sang istri yang mencemaskannya itu sementara dia justru tidak memikirkannya semalaman. Ardhan bahkan tidak melihat Alea menunjukan rasa curiga seperti sebelumnya, padahal Alea mengetahui dirinya ada dalam satu acara dengan Naysila semalaman.“Maafin Kakak ya, Al.” Ardhan mencium kening Alea lagi. Lama kemudian dia baru teringat untuk mengajaknya sholat subuh.Alea tidak menolak. Dia pun berjingkat ke kamar mandi un
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b