Jamuan makan malam itu diawali dengan basa-basi dan sekedar mengobrol santai untuk bisa saling lebih akrab satu sama lain. Mengingat kontrak kerjasama kedua perusahaan itu akan berlangsung kurang lebih dua tahun. Dan itu bukanlah waktu yang sebentar apalagi jika kedua perusahaan memutuskan untuk memperpanjang kontrak kerja sama.
Naysila yang mengatur tempat dan segala sesuatunya. Dia tahu Danil dan Lindsey suka karaoke, jadinya meminta pihak kafe menyediakan hal tersebut. Lindsey begitu antusias mendengar Naysila mempersilahkan untuk berkaraoke. Dia mengapit suaminya dan meminta Ardhan yang selama makan malam lebih bersikap sopan dan terkesan menjaga diri itu, untuk ikut bersama-sama meramaikan malam ini dengan bernyanyi bersama.
Leon, dan lainnya pun ikut bergabung, sehingga tidak ada alasan bagi Ardhan memisah dari mereka. meski dengan sedikit enggan, Ardhan pun ikut juga bergabung.
Naysila menyerahkan microphone dan menodongnya untuk bernyanyi. “A
“Kakak dari mana saja baru pulang? Apa ada masalah sampai pulang menjelang pagi?” tanya Alea menatap Ardhan dengan begitu cemas.Ardhan balik menatap Alea dan mengetahui bahwa istrinya itu sangat mencemaskannya. Dia hanya merengkuhnya kembali dan mendekapnya erat.“Apa kau tidur di depan semalaman?” tanyanya mengelus kepala Alea.“Tidak, aku terjaga di tengah malam dan mencemaskan Kakak yang belum pulang. Karenanya aku menunggu sambil menonton televisi.”Sedih hatinya mendengar sang istri yang mencemaskannya itu sementara dia justru tidak memikirkannya semalaman. Ardhan bahkan tidak melihat Alea menunjukan rasa curiga seperti sebelumnya, padahal Alea mengetahui dirinya ada dalam satu acara dengan Naysila semalaman.“Maafin Kakak ya, Al.” Ardhan mencium kening Alea lagi. Lama kemudian dia baru teringat untuk mengajaknya sholat subuh.Alea tidak menolak. Dia pun berjingkat ke kamar mandi un
Kelas masak hari ini sudah selesai. Alea mengambil ponsel dan hendak mengirim pesan pada Toni untuk menjemputnya. Dia melihat pesan dari Ardhan, beberapa jam yang lalu. [Sayang, aku ke kantor Papa. Ada meeting penting] Alea mencebik karena sebal. Bukankah dia bilang kepalanya pusing dan butuh istirahat? Masih juga dipaksa ke kantor. [Ya sudah kalau begitu, selesai meeting langsung balik, gak boleh begadang dulu] Alea membalas pesan Ardhan. Begitu pesannya terkirim dan dibaca Ardhan, ponsel Alea langsung berdering. Ardhan sudah dalam panggilan. Alea mencari tempat untuk duduk sejenak lalu menekan tombol terima. “Halo, Kak?” Alea menyapa terlebih dahulu. “Belum selesai kelasnya?” tanya Ardhan. “Ini sudah mau pulang.” “Ya sudah langsung pulang saja! Sudah makan siang belum?” tanya Ardhan lagi penuh perhatian. “Sudah, saat break tadi.” jawab Alea yang dilanjutkan bertanya,”Kepala Kakak masih pusing kan? Kenapa malah ke kantor Papa?” “Udah selesai pusingnya dipakai tidur tadi.” j
“Supnya hampir dingin lagi lho, Kak!” ujar Alea yang melihat Ardhan keluar kamar. Apa saja yang dilakukan Ardhan di kamar hingga baru keluar. Ardhan tidak berkomentar lalu duduk saja di meja makan dan meneguk air putih yang sudah disediakan di depannya. Melihat Alea mengambilkan makanan dan menyodorkan di hadapannya, Ardhan terdiam. Bagaimana kalau Alea sampai mengetahui perbuatannya itu? “Kenapa, Kak?” tanya Alea melihat suaminya menatapnya aneh. “Suapi aku ya, Al!” pintanya ingin bermanja dengan Alea. “Oh, baik Kak!” Alea menyeret kursinya agar bisa lebih dekat dengan Ardhan dan mengambil piring yang sudah berisi makanan itu. Perlahan dia menyuapkan makanan ke mulut Ardhan. Mungkin suaminya masih Lelah hingga terlihat manja dan butuh disuapi. “Bagaimana kelas masakmu?” tanya Ardhan disela-sela makan. “Seru Kak! Ada banyak temanku dari program kelas masak sebelumnya yang ikut lagi program kelas masak sesion ini.” Alea menceritakan dengan senang tentang kegiatan kelas masaknya
Keresahan yang seharian ini Ardhan rasakan butuh sebuah kompensasi. Dia tidak mau berlarut-larut dan lupa harus bergerak cepat mencari tahu siapa pelaku yang memasukan obat perangsang di minumannya. Karenanya dia butuh mengisi daya semangatnya yang sudah ngedrop seharian ini. Hanya wanita ini dan bayi mungil diperutnya yang menjadi semangatnya. “Sedang apa dia di dalam sini?” tanya Ardhan yang tidur dipangkuan Alea sambil menikmati belaian rambut dari tangan lembut istrinya itu. Telinganya ditempelkan di atas perut Alea dan sesekali menciumi perut itu. “Coba tanya sendiri, Kak!” ujar Alea tersenyum sambil meremas-remas rambut suaminya. “Nak, ngapain kamu?” tukas Ardhan berbicara dengan perut itu. “Sepertinya dia menjawab,” Ardhan menguping seolah memperjelas sesuatu. Alea tertawa lucu. Mana bisa baby mungil di perutnya bisa bicara sampai kedengaran telinga Ardhan. “Emang apa katanya?” tanya Alea sambil terkekeh. “Katanya, dia kangen sama papanya. Mamanya kangen tidak?” Ardh
Suara ponsel berdering mengusik Alea yang terlelap dalam tidurnya itu. Perlahan matanya terbuka dan butuh beberapa detik untuk mengumpulkan kesadaran. Badannya terasa pegal-pegal dan baru menyadari tangan dan kaki Ardhan menimpa tubuhnya.Tidak sadar apa kalau tubuh pria ini lebih besar darinya. Batin Alea sambil menggoncang lengan Ardhan yang melingkar di tubuhnya.“Kak?” panggil Alea sambil menyingkirkan kaki Ardhan yang mengapit pahanya.Ardhan mulai terusik dengan gerakan Alea. Dia pun terbangun.“Kenapa, Sayang?” ujarnya sambil mengucek matanya.“Pegel nih badanku ketindihan kaki dan tangan Kakak!” Alea protes. Untung tidak nindih perutnya. “Oh, astaga! Maaf-maaf!” Ardhan menggeser posisi dan melanjutkan tidurnya. Semalam dia pulang larut dan sepagi ini Alea sudah membangunkannya. Jadinya masih mengantuk.“Subuh dulu, Kak!” Alea masih mengusik Ardhan.“Hmmm…” hanya itu yang terdengar namun tidak dibarengi dengan gerakan bangkit. Sepertinya Ardhan masih lanjut tidur.Alea bangk
Kakinya menghentak dan berjalan dengan tergesa menghampiri kedua pria dan wanita itu. Kemudian dengan penuh kebencian dia menjambak rambut sang wanita lalu menariknya dan menghempaskan ke lantai. Semua orang melihatnya dan Alea dengan geram memaki. “DASAR PELAKOR!”“Alea?”Suara seseorang membuyarkan imajinasinya. Alea baru sadar kalau dia hanya melakukan hal itu dalam pikirannya saja.Astaga, bahkan saat begini Alea masih bisa-bisanya berkhayal. Sungguh tidak dewasa sekali! Batinnya sambil mengatur napasnya yang naik turun itu.“Sedang apa?” tanya Devano melihat Alea yang melamun tapi gelisah. Kelas masak masih siang nanti. Melihat Alea sudah datang Devano tentu senang bisa punya waktu mengobrol bersamanya.“Oh, tidak apa-apa” jawab Alea masih melirik tempat di sana. Dia harus menurunkan lagi over thinkingnya dan berusaha positif thinking saja. Bahwa mereka sedang membicarakan urusan kerja.‘Harsukah sepagi itu?’ batinnya yang terus merongrong.Ardhan selalu memintanya percaya tapi s
Ardhan tidak suka melihat kebersamaan mereka berdua. Di pandangannya Alea selalu terlihat lebih menikmati kebersamaan dengan sahabatnya itu ketimbang dengannya. Wajah Alea selalu sumringah dan tak berhenti tertawa kalau kebetulan Ardhan memergoki mereka sedang mengobrol berdua.Ah, ternyata dia juga bisa baper hanya karena hal kecil seperti ini!“Aku mencarimu, ternyata kau di sini!” tukas Ardhan menarik lagi tanduk yang tadinya sudah hampir keluar dari kepalanya. Dia masih ingat harus bersikap melandai karena harus minta maaf dan menyampaikan kesalahannya pada Alea.“Toni bilang kau sudah datang sejak tadi?”Ardhan menghampiri Alea lalu melirik pria yang masih berdiri di sampingnya. Apa dia tidak punya etika, masih di sana sementara suami wanita yang bersamanya itu datang?“Dia datang sejak kau bersama Naysila di foodcourt bawah. Sayangnya kau tidak tahu tentang itu! kasihan sekali sahabatku ini!” Celutuk
Alea merasa bersalah karena kelas masaknya sebenarnya sudah selesai hampir sejam yang lalu, sementara baru keluar dan mendapati suaminya duduk terpekur menunggunya di depan kelas.Dia memang sengaja tidak menghubungi Ardhan dulu karena masih ingin mengobrol sejenak bersama Chef Nugros dan beberapa kawan yang lain. Bahkan ketika Chef Nugros sudah berpamitan pun, Alea masih menyempatkan waktu mengobrol kesana kemari dengan yang lain.Tidak tahunya ada seorang pria yang duduk menunggunya entah sejak kapan?“Kan aku belum kirim pesan atau menghubungi Kakak, kenapa sudah menunggu saja?” tukas Alea merasa tidak enak. Mereka sudah berada di dalam mobil yang meluncur ke suatu tempat.“Ya sudah tidak apa. Aku rela menunggumu sepanjang waktu, kok!” ujar Ardhan menepuk tangan Alea dengan lembut sambil fokus menyetir.“Maaf ya, Kak!” Alea jadi meminta maaf.Ardhan tak bergeming dan teringat bahwa dialah yang aka
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b