Kakinya menghentak dan berjalan dengan tergesa menghampiri kedua pria dan wanita itu. Kemudian dengan penuh kebencian dia menjambak rambut sang wanita lalu menariknya dan menghempaskan ke lantai. Semua orang melihatnya dan Alea dengan geram memaki. “DASAR PELAKOR!”“Alea?”Suara seseorang membuyarkan imajinasinya. Alea baru sadar kalau dia hanya melakukan hal itu dalam pikirannya saja.Astaga, bahkan saat begini Alea masih bisa-bisanya berkhayal. Sungguh tidak dewasa sekali! Batinnya sambil mengatur napasnya yang naik turun itu.“Sedang apa?” tanya Devano melihat Alea yang melamun tapi gelisah. Kelas masak masih siang nanti. Melihat Alea sudah datang Devano tentu senang bisa punya waktu mengobrol bersamanya.“Oh, tidak apa-apa” jawab Alea masih melirik tempat di sana. Dia harus menurunkan lagi over thinkingnya dan berusaha positif thinking saja. Bahwa mereka sedang membicarakan urusan kerja.‘Harsukah sepagi itu?’ batinnya yang terus merongrong.Ardhan selalu memintanya percaya tapi s
Ardhan tidak suka melihat kebersamaan mereka berdua. Di pandangannya Alea selalu terlihat lebih menikmati kebersamaan dengan sahabatnya itu ketimbang dengannya. Wajah Alea selalu sumringah dan tak berhenti tertawa kalau kebetulan Ardhan memergoki mereka sedang mengobrol berdua.Ah, ternyata dia juga bisa baper hanya karena hal kecil seperti ini!“Aku mencarimu, ternyata kau di sini!” tukas Ardhan menarik lagi tanduk yang tadinya sudah hampir keluar dari kepalanya. Dia masih ingat harus bersikap melandai karena harus minta maaf dan menyampaikan kesalahannya pada Alea.“Toni bilang kau sudah datang sejak tadi?”Ardhan menghampiri Alea lalu melirik pria yang masih berdiri di sampingnya. Apa dia tidak punya etika, masih di sana sementara suami wanita yang bersamanya itu datang?“Dia datang sejak kau bersama Naysila di foodcourt bawah. Sayangnya kau tidak tahu tentang itu! kasihan sekali sahabatku ini!” Celutuk
Alea merasa bersalah karena kelas masaknya sebenarnya sudah selesai hampir sejam yang lalu, sementara baru keluar dan mendapati suaminya duduk terpekur menunggunya di depan kelas.Dia memang sengaja tidak menghubungi Ardhan dulu karena masih ingin mengobrol sejenak bersama Chef Nugros dan beberapa kawan yang lain. Bahkan ketika Chef Nugros sudah berpamitan pun, Alea masih menyempatkan waktu mengobrol kesana kemari dengan yang lain.Tidak tahunya ada seorang pria yang duduk menunggunya entah sejak kapan?“Kan aku belum kirim pesan atau menghubungi Kakak, kenapa sudah menunggu saja?” tukas Alea merasa tidak enak. Mereka sudah berada di dalam mobil yang meluncur ke suatu tempat.“Ya sudah tidak apa. Aku rela menunggumu sepanjang waktu, kok!” ujar Ardhan menepuk tangan Alea dengan lembut sambil fokus menyetir.“Maaf ya, Kak!” Alea jadi meminta maaf.Ardhan tak bergeming dan teringat bahwa dialah yang aka
Ardhan berusaha memeluk namun Alea menolaknya. Sejak kapan pria ini suka sekali berbelit-belit? Ardhan pria yang selalu to the point menyampaikan sesuatu. Pasti ini semua karena wanita itu. Alea ingat, dulu Ardhan selalu berubah-ubah sikap jika mengenai mantan kekasihnya itu. Sebentar baik sebentar jutek padanya.Alea bertambah khawatir bahwa pria ini akan menyampikan hal yang menyedihkan.Jika itu dulu, saat dia menyadari pria ini tidak pernah mencintainya, Alea mungkin siap menerima apapun yang terjadi. Sekarang pria itu sudah membuatnya tenggelam dalam perasaan cinta yang dalam, berkali-kali meyakinkan bahwa dia mencintanya, terlebih di dalam tubuhnya sudah tumbuh benih-benih cinta mereka. Lalu tiba-tiba hendak menyampaikan sesuatu yang kelihatannya kurang berkenan. Alea takut hatinya akan patah sepatah-patahnya.“Kita duduk dulu, ya?” ajak Ardhan yang berusaha menguasai dirinya sendiri, menyembunyikan rasa panik karena belum apa-apa Alea sudah ta
Semalam, setelah merasa kedinginan di kamar mandi, Alea beranjak keluar. Dia tidak boleh egois dengan menyiksa dirinya untuk apa yang sudah terjadi. Ada mahluk kecil di perutnya yang harus dipastikannya baik-baik saja.Mengetahui tidak ada bayangan pria itu di kamar, Alea bergegas mengunci pintu kamar. Malam ini dan entah sampai kapan, Alea enggan sekali tidur bersama pria itu. Bayangan bahwa dia juga tidur bersama wanita lain sungguh sangat melukainya.Saat terbangun, perutnya terasa lapar. Alea bangkit memeriksa bayangannya di cermin. Lalu sebentar mengompres matanya agar tidak terlihat sembab lantaran semalaman dia menangis. Sepagi ini Sika dan Toni sudah datang. Alea tidak mau mereka melihat sisa-sisa penderitaannya sepanjang malam tadi.“Mau bikin susu, Bu?” tanya Sika melihat Alea mengambil toples susu dan gelas.“Iya, Mbak. Tidak apa aku bisa buat sendiri,” ujar Alea yang tidak mau merepotkan Sika yang sudah mengerjakan hal
“Maaf!” kata itu meluncur begitu mudah dari mulut pria kejam itu saat mendapat tatapan tajam Alea. Dia berjongkok dan memunguti barang-barang yang tercecer di lantai itu.Alea tidak suka bersikap membiarkan sang tuan rumah itu terlihat seperti pembantu yang membereskan barang-barangnya. Dia pun berjongkok tidak membiarkan Ardhan mengemasi barangnya. Mengambil barang-barangnya dengan kasar dan memasukannya di tas lagi. sudah begitu Ardhan masih juga ikut campur. Benar-benar membuat Alea tidak bisa terus mengunci mulutnya.“Bisa gak sih, gak usah sok-sok an peduli! Aku bisa kalau hanya mengemasi barangku yang sudah kau jatuhkan!” Omel Alea pada Ardhan dengan menolak tangan pria itu.Ardhan jadi merasa lega bisa mendengar lagi suara yang sudah dirindukannya itu. Dia tidak peduli Alea mengomel maupun bawel. Itu akan lebih baik daripada harus diam tak bersuara semalamam. Ardhan tidak bisa!“Maaf, Sayangku!”Ardh
Di luar sudah terdengar ramai saat Alea ikut membantu menyiapkan makanan di dapur. Kamila meminta Sri untuk memeriksa, begitu pembantu itu kembali dia mengatakan bahwa rombongan nyonyanya sudah datang.“Sudah, Alea. Itu Mama mertuamu sudah datang. Kau sambutlah dia!” titah Kamila menghentikan kesibukan Alea. Sejak tadi dia tampak sangat rajin namun lebih banyak diam. Mungkin bawaan baby, pikir Kamila.“Baik, Tante!” ucap Alea mengambil jilbab selendang dan memakainya di kepala lalu beranjak keluar.Hera dan Hamid memeluk Ardhan bergantian kemudian menyalami beberapa kerabat yang memang sengaja menunggunya di rumah untuk menyambut. Alea baru terlihat mendekat ketika mereka sudah duduk di rung keluarga yang besar.“Alea!?” panggil Hera sembari mengulurkan kedua tangannya. Dia selalu memikirkan menantunya itu di sana. Berharap cucu yang sedang dikandungnya baik-baik saja. “Kemari, Nak!” ucap Hera lagi.A
Melihat kedatangan sosok pria yang dirindukan, Alea yang sudah tampak lebih baik bangkit dari duduknya.“Ayah!” panggilnya begitu Nadhim masuk ruang perawatannya.Nadhim segera menghampiri sang putri lalu memeluknya. Alea merangkul ayahnya dengan erat. Dia terlihat menangis di dada sang ayah dan Nadhim merasakan hal itu.Di dalam kamar itu ada Ardhan dan Hera yang sejak tadi menunggui Alea. Hamid baru juga bergabung. Ketiganya menatap ayah dan putrinya itu dengan pikiran masing-masing.“Alea kangen sama Ayah!” ujar Alea lirih masih memeluk ayahnya itu.“Iya, Ayah juga kangen sama kamu. Kenapa sampai pingsan? Apa kamu tidak menjaga pola makannya? Kasihan dedek bayinya kalau kamu tidak jaga kesehatan!” tutur Nadhim mengelus kepala putrinya itu.Alea adalah putri yang dicintainya. Dulu saat harus memutuskan untuk menikahkan Alea dengan Ardhan, dia jadi tidak napsu makan dan sampai harus sakit beberapa hari. L